Share

BAB III

Jemy menggenggam tangan Vivian dengan erat. Saat ini mereka orang asing di tempat yang asing. Dirinya sadar bahwa dulunya, Kaum Terkutuk selalu dihormati orang-orang dari kerajaan tetangga, karena keperkasaan mereka, juga terkenal akan kekuatan yang selalu menjaga dunia. Tapi itu adalah dulu. Kini, Kaum Terkutuk tinggal sejarah. Jemy tahu diri untuk tidak mencari masalah dalam kota yang baru saja ia masuki, terlebih ia tak sendiri. Vivian dengan setia mengekorinya, meski lelah tergurat dari wajah tuan puteri itu.

"Apa kau lelah?" tanya Jemy yang menghentikan langkahnya dan menuntun Vivian ke bawah sebuah pohon glordin, sejenis pohon dengan ranting yang menjuntai ke bawah seperti rambut manusia, namun memiliki bau yang sangat harum. Jangan terlalu menikmati baunya, kau akan terlelap dan tertidur lama hingga bermimpi buruk.

Vivian menggeleng lemah. Ia hanya ingin membasahi kerongkongannya dengan air.

"Tunggu sebentar, Ayah akan segera kembali." Jemy memberikan sebuah pisau pada gadis itu. Vivian mengerutkan dahi ketika menerimanya.

"Untuk apa ini ayah?" tanyanya masih memandang pisau dengan gagang yang dihias berlian.

"Peganglah selama aku pergi. Tidak akan ada yang mengganggumu jika kau terus memegang benda pusaka itu," katanya, lebih tepatnya dia memerintahkan Vivian tanpa banyak bertanya.

Vivian mengangguk. "Jangan tertidur. Kau akan bermimpi buruk nanti," tambahnya.

Vivian mengangguk lagi. Jemy meninggalkan gadis itu. Mereka berada di salah satu jantung kota Moon Kingdom yang merupakan kota paling aman di dunia saat ini. Hal itu membuat Jemy tidak ragu meninggalkan gadis kecilnya sendiri. Lagi pula, Vivian akan dijaga pisau pusaka itu.

Setelah Jemy menghilang di balik keramain penduduk kota. Vivian menyandar pada batang pohon glordin. Namun ia merasa tak nyaman, ranting-ranting itu mulai mengganggunya, seperti ada yang menyentuh dan mencoba meraba tubuhnya. Vivian menatap sekitar, tapi tak ada siapa-siapa yang dekat dengannya. Gadis itu kembali menatap orang-orang yang sesekali melewati tempat ia beristirahat.

Kembali...

bawa dunia dalam damai... kembali...

puteri yang tertidur di sana... bawa dunia dalam damai...

Vivian berdiri dari tempatnya, ia melihat sekitar. Baru saja ada yang bernyanyi. Ia mendengar suara merdu dari suatu tempat, tapi itu tidak mungkin. Sudah lama nyanyian dilarang, tidak terkecuali bagi penduduk Moon Kingdom. Vivian mencoba mengabaikan, ia jadi ragu dengan pendengarannya. Kembali gadis itu duduk di tempatnya semula.

Kembali...

bawa dunia dalam damai...

kembali... puteri yang tertidur disana... bawa dunia dalam damai...

Kau mutiara yang tersembunyi Hatimu lembut seperti sutra Kaulah dewi penyelamat kami Dengarlah nyanyian ini

Pesan cinta dari sebatang jiwa tua

Vivian tidak lagi mengabaikan suara nyanyian itu.

"Siapa   kau?"   tanyanya   pelan,   cukup

untuk didengar dirinya.

Aku hanya pohon tua, puteri

Vivian memutar tubuhnya menatap pohon yang sedari tadi ia punggungi.

"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Vivian dengan suara selemah yang tadi.

Kedamaian, bawalah kedamaian pada kami. Saudara- saudaraku menderita karena kalian manusia. Jika dunia seperti dulu lagi, maka saudara-saudaraku takkan menjadi korban.

Vivian menyentuh permukaan pohon glordin. Ia merasakan sebuah getaran, dan bayangan wanita memasuki pikirannya. Wanita itu sangat cantik dengan balutan gaun hijau senada dengan rambut panjangnya.

"Kaukah yang memanggilku tadi."

Kini Vivian berbicara dengan pikirannya. Lebih tepatnya, melakukan telepati. Tiba-tiba dirinya sudah berada di sebuah ruangan putih. Seorang wanita yang tadi dilihatnya kini berdiri di depan Vivian.

"Ya, tuan puteri. " Wanita itu berlutut menunjukkan hormatnya.

"Aku bukan puteri. Panggil saja Vivian," katanya lembut.

Wanita itu mengangkat kepalanya dan tersenyum.

"Baiklah. Aku akan memanggilmu sesuai keinginanmu. Kalau begitu, panggil aku Zhavira. Jiwa yang menjaga kota ini. Aku tinggal di dalam pohon glordin."

Vivian menatap wanita itu. "Kenapa kau menyanyikan lagu itu?"

"Karena kau mengunjungi kami. Aku hanya senang kau datang ke kota ini. Selamatkan dunia, dengan begitu kau menyelamatkan kami, jiwa penjaga yang mendiami pohon glordin. Hanya kau yang bisa melakukannya, Nona Vivian."

Lagi-lagi wanita itu menunduk memberi hormat padanya. Vivian tidak mengerti mengapa harus dirinya. Ia bahkan tidak tahu caranya bertarung ataupun memegang senjata. Pastilah jiwa penjaga itu mimpi buruknya.

"Bangun Vivian... ini tidak nyata," bisiknya. Ia mencoba keluar dari alam pikirannya. Tapi seperti ada yang menghalangi.

"Ini nyata Vivian. Kau tidak sedang bermimpi. Aku yang mengundangmu. Ingatlah ini, saat kau sedang kesulitan."

Wanita itu memainkan tangannya ke udara membentuk tarian. Taburan serbuk berkilau mengelilingi tangannya yang menari.

"Panggil aku dengan menyentuh untaian benang emas ini. Dengan senang hati aku akan membantumu."

Sebuah untaian benang berbentuk tipis menyatu dengan tubuh Vivian, membuat gadis itu terkesiap karena terkejut.

"Bangunlah Vivian," katanya lagi, mencoba mengembalikan dirinya ke dunia nyata.

Wanita itu tersenyum padanya sebelum menghilang bersama udara.

"Vivian...Vivian...." Samar-samar ia mendengar suara Jemy dari kejauhan.

"Ayah...," bisiknya. Ia merasa tubuhnya berat. Entah di mana dirinya saat ini, semua gelap. Padahal tadi ia berada di ruangan putih.

"Ya, ini aku. bangunlah." Suara itu terdengar semakin dekat.

"Ayah...," gumamnya lagi masih dengan mata terpejam.

Jemy menyadari bahwa Vivian terjebak dalam dunia mimpi. Ia mencoba tenang untuk membangunkan gadis itu. Selama Vivian masih bisa menjawabnya, maka ia masih aman. Jemy mengambil pisau yang digenggam Vivian.

"Maafkan aku. Tapi tidak ada cara lain."

Jemy menggoreskan pisau itu di telapak tangan Vivian. Hanya goresan kecil sepanjang lima centi, namun cukup menyakitkan. Vivian berteriak. Ia langsung membuka matanya seketika dan rasa sakit menyengat telapak tangan kirinya. Ada darah yang menetes di sana. Vivian menatap darahnya sendiri dengan ngeri.

"Tahan sedikit."

Jemy merobek ujung bajunya dan mebasahinya dengan air yang ia bawa lalu mengelap luka itu. Vivian meringis hingga menggigit bibirnya. Dengan terampil Jemy membalut luka di tangan Vivian dan mencuci darah itu dengan air yang banyak hingga tidak tertinggal baunya sedikit pun. Akan sangat berbahaya jika ada yang mencium bau harum dari darah tuan puterinya.

"Aku memperingatimu untuk tetap terjaga," katanya masih menjaga suara.

"Maafkan aku, Ayah. Sebuah nyanyian memanggilku ke suatu ruangan putih yang tak kukenal." Vivian menunduk. Merasa bersalah.

"Kau terjebak dalam dunia mimpi, karena bau dari pohon ini. Seharusnya aku tidak membiarkanmu istirahat di sini." Jemy menatap pohon itu.

"Aku rasa begitu, Ayah," jawab gadis itu lagi. Jangan lupa dengan pembicaraan kita tadi Vivian. Lagi-lagi suara wanita itu mengisi kepalanya.

Jemy melihat Vivian yang membeku dengan wajah pucat pasi.

"Vivian?" Ia memanggil Vivian. Ada nada khawatir dari suaranya.

Vivian tersadar dan menatap Jemy. "Ayah tidak dengar itu?" tanya Vivian polos.

Jemy mengerutkan dahi. "Dengar apa?" Ia tidak mendengar apa pun, selain suara langkah kaki orang- orang di sekitar mereka dan juga tawa wanita yang berkumpul tidak jauh dari tempat itu.

"Suara wanita. Tadi aku bertemu dengannya dalam mimpiku, Ayah. Dia mengatakan sesuatu yang tak kumengerti," jelasnya sembari mengawasi sekitar, melihat apakah itu hanya mimpi atau nyata.

Jemy mengelus kepala Vivian. "Lupakan saja. Kau hanya bermimpi. Itu bukan apa-apa." Jemy mencoba meyakinkan.

Ia tahu hari seperti ini akan datang, kebangkitan Pearl Girl sebentar lagi. Tugasnya akan semakin berat untuk menjaga Vivian dari orang-orang serakah yang ingin menguasainya. Jemy tidak yakin bisa menjaga Vivian sendiri. Ia harus bergerak mencari perlindungan, karena itulah ia ke mari. Moon Kingdom. Jemy menunggu waktu yang tepat untuk memberi tahu Raja Dimitri, penguasa Moon Kingdom tentang jati diri Vivian. Selama itu, ia akan bersembunyi di kota Hebes ini.

"Ayo, kita akan tinggal di sini. Pertama-tama kita butuh penginapan."

Jemy menarik Vivian untuk segera berdiri. Gadis itu selalu patuh pada perkataannya. Ia memang sosok ayah yang sangat disayang oleh Vivian, dan begitulah Jemy memainkan perannya. Jemy membawa Vivian ke sebuah bangunan Bergaya gothic, seorang pelayan menyambut kedatangan mereka.

"Satu kamar, untukku dan puteriku," katanya pada wanita paruh baya yang ada di balik meja.

"Ini tuan. Kunci kamar Anda," kata wanita itu sambil melirik Vivian. Ia memandang Vivian dengan seksama.

"Putri anda cantik sekali," pujinya. Ia masih menatap Vivian lekat.

"Terima kasih."

Jemy tidak menyadari pandangan wanita itu. Ia membawa Vivian bergegas menuju ke kamar mereka. Wanita paruh baya tadi menyeringai ke arah Vivian saat gadis itu berbalik menatapnya. Vivian bergidik, dan tanpa sadar dia semakin mengeratkan genggamannya pada Jemy karena rasa takut yang perlahan menguasainya. Menyadari ketegangan dari Vivian, Jemy menghentikan langkah dan berbalik menatapnya.

"Ada apa Vivian?"

"Tidak ada Ayah," jawabnya cepat sembari menggeleng. Jemy mencoba mengabaikan sikap protektifnya pada Vivian. Ia merasa lelah seharian ini, dan mereka berdua butuh istirahat.

Jemy membuka rompinya setelah masuk ke kamar. Ia menyuruh Vivian untuk membersihkan diri terlebih dulu. Gadis itu hanya mengangguk lalu berjalan ke kamar mandi yang ada di sana. Kamar itu sangat sederhana dengan dua tempat tidur yang terbuat dari kayu dengan kasur beralaskan kain putih polos yang melapisinya, hanya ada satu bantal pada masing-masing kasur, dan terlihat satu meja kayu tua dengan catnya yang terkelupas tanpa kursi tepat di sudut ruangan serta satu lemari kayu yang sama tuanya di sebelah meja tersebut. Pintu kamar mandi tepat di depan kasur mereka, dan selama Vivian mandi, Jemy memperhatikan struktur bangunan di penginapan. Ia sudah bisa membaca bagaimana bentuk bangunan itu.

Hal ini perlu untuk melarikan diri jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Ia sangat teliti untuk hal sekecil apa pun. Sikapnya yang selalu menjaga dirinya tetap waspada sangat membantunya untuk menyelamatkan dirinya dan juga Vivian dari kematian.

"Ayah, bisakah kita makan dulu. Aku sangat lapar." Vivian baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Bajunya sudah berganti dengan gaun panjang berawarna biru lembut yang tadi Jemy beli saat melewati pasar.

"Baiklah. Aku juga merasa lapar. Kita makan di tempat makan seberang." Jemy memakai rompinya kembali dan menggenggam tangan Vivian. Itu sudah menjadi kebiasaan mereka, karena takut kalau-kalau mereka terpisah.

Vivian duduk di seberang Jemy. Mereka sengaja mengambil bangku paling sudut untuk menutupi diri dari pandangan orang-orang. Beberapa ksatria sempat menatap mereka saat memasuki tempat makan itu, tetapi Jemy mengabaikannya. Vivian yang berjalan di belakangnya sedari tadi menunduk untuk menghindari tatapan orang-orang yang penasaran. Penampilannya memang sangat mencolok. Ia terlalu cantik untuk ukuran gadis biasa. Bahkan ada beberapa pria yang menatapnya terang-terangan. Untung saja Jemy melindungi puterinya dari pandangan buas mereka.

"Makanlah, kita harus segera keluar dari tempat ini," bisik Jemy saat Vivian menyendok suapan pertamanya.

"Aku tahu Ayah," balas gadis itu sembari menyembunyikan wajahnya. Menunduk ke bawah pada mangkuk makanannya.

Jemy menaikkan kewaspadaan. Ia merasa sedang diawasi. Radarnya menangkap aura yang cukup besar di sekitar tempat itu.

“Siapa kau?” Jemy memusatkan pikirannya pada bola cahaya samar. Ia membuka diri untuk berkomunikasi dengan orang yang memiliki kekuatan besar itu.

“Hanya pengembara. Jangan khawatir aku tidak akan menyakitinya”'

Ia mendapat jawaban dari suara seorang pria tua. Jemy memperbaiki posisi duduknya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Setidaknya ada empat pria tua di sana. Satu di antaranya sedang mabuk.

"Bukan dia," batinnya. Ia kembali melihat tiga yang lain. Dua di antaranya sedang terlibat pembicaraan seru sambil tertawa. Dia mengabaikannya dan yang terakhir sedang bertengkar dengan rekannya, membuat tempat itu sedikit ribut.

"Ayah, kau sudah kenyang?" Vivian menyentuh tangan Jemy dengan sentuhan lembut.

Pria itu menatap puterinya sebentar. "Ya, kau lanjutkan saja makanmu," katanya sambil menambahkan setengah broborun—sup daging kambing dengan campuran sayur sliek—ke mangkuk Vivian. Jemy mencari bola cahaya samar itu lagi dalam pikirannya.

“Kau masih memperhatikan kami?” tanyanya memastikan orang itu tetap di tempat persembunyiannya.

“Ya. Aku masih melihat gadismu makan dengan anggunnya. Ia persis seperti yang digambarkan.”

Jemy merasa pria tua itu tersenyum saat mengatakannya. Ia berusaha lebih keras untuk membuka bola cahaya yang menutupi orang yang berbicara dengannya.

“Jangan mencoba Nak. Kau tidak akan bisa melihatku.”

Nadanya begitu dalam. Seberapa keras Jemy mencoba dia tak pernah berhasil hingga akhirnya Jemy menyerah. Pria tua itu sangat kuat. Ia bahkan tidak bisa menembus pikirannya.

“Siapa sebenarnya kau?” tanya Jemy mulai frustrasi. Berkali-kali  ia memperbaiki  posisi

duduk.

Vivian hanya menatap ayahnya dengan raut heran. "Makan saja. Ayah hanya lelah," katanya seolah menjawab wajah bertanya Vivian.

“Tak perlu gelisah. Aku di pihakmu. Jaga gadis itu dengan baik. Takdirnya akan segera tiba."

Bola cahaya samar di pikiran Jemy menghilang. Ia menggeram kesal sambil memukul meja sedikit lebih keras. Membuat Vivian terlonjak kaget. Jemy mendapati Vivian yang lagi-lagi menatapnya dengan wajah heran.

"Tidak apa. Ayah hanya ingin cepat keluar dari sini."

Vivian mempercepat makannya, gadis itu ingin segera kembali ke penginapan. Ia tidak mau membuat ayahnya bertingkah aneh seperti tadi jika terus-terusan di tempat itu. Jemy menahan napasnya sebentar lalu membuangnya perlahan. Ia harus menyembunyikan Vivian mulai dari sekarang. Dirinya tidak bisa jamin jika orang yang berbicara dengannya tadi benar-benar berada di pihaknya.

Matanya meneliti semua pengunjung di sana dengan teliti. Ia melihat seseorang dengan mantel abu- abu yang menutupi seluruh tubuhnya. Hanya bagian mulut dan rahang pria itu yang terlihat. Sebuah senyuman terulas di wajahnya. Jemy bermaksud bangkit dari tempat duduknya, tapi sosok itu tiba-tiba menghilang sepersekian detik. Hal itu semakin membuatnya khawatir. Ia bertekad untuk membawa Vivian bersembunyi. Apa pun yang terjadi Vivian harus menjadi prioritas. Karena memang itulah tugasnya.[]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status