Suara jeritan terdengar di seluruh Kerajaan Starais. Semua prajurit terbaik turun bertempur bersama sang raja, Zaen Yang Agung. Mereka diserang oleh kaum terbengis yang menjadi momok bagi setiap kerajaan di seluruh penjuru dunia yaitu Kaum Gouwok. Misi mereka hanya satu, menciptakan satu dunia dengan satu penguasa. Selama ini mereka selalu berhasil, tapi usaha mereka seolah sia-sia karena Kaum Terkutuk selalu menjadi penghalang. Cara terakhir yang belum pernah dicoba adalah memusnahkan seluruh keturunan Kaum Terkutuk. Kaum yang dikenal sebagai penjaga kedamaian dunia. Dan inilah yang sedang mereka lakukan. Menghancurkan keturunan kerajaan Starais yang merupakan kerajaan dari Kaum Terkutuk untuk dimusnahkan.
"Yang Mulia. Mereka telah sampai di depan gerbang istana. Kita tidak memiliki persanjataan lagi untuk mempertahankan diri. Lebih baik Yang Mulia pergi
dari sini. Kami akan melindungi Yang Mulai sampai ke perbatasan." Abdi setia Raja Zaen menunduk hormat di depannya. Ia orang kepercayaan di kerajaan Starais."Aku tidak bisa meninggalkan istana dan rakyatku. Lebih baik aku terkubur di sini bersama kaumku, Jemy!" katanya tegas. Dia Raja yang sangat dihormati karena wibawanya, membuat siapa saja rela untuk mengabdi tanpa syarat.
"Yang Mulai Ratu akan segera melahirkan. Kita tidak mungkin membiarkannya tetap dalam istana Yang Mulia." Sekali lagi abdinya itu membujuk sang raja agar mau menyelamatkan dirinya.
"Bawalah Ratu bersamamu. Selamatkan penerus kerajaan ini, kita harus menyelamatkan Pear Girl yang akan segera hadir ke dunia," kata Sang Raja masih dengan wajah tenangnya.
"Jauhi dia dari tangan-tangan jahat yang akan menghancurkannya. Hanya dia harapan terakhir kita," kata Raja Zaen penuh wibawa.
Sesungguhnya ia ingin melihat kehadiran puterinya. Tapi dirinya telah berjanji sampai titik darah penghabisan tidak akan meninggalkan istana.
"Sampaikan maafku pada Ratu. Dia tidak perlu mencemaskan kerajaan ini. Tugasnya hanya menjaga si mutiara yang akan tumbuh. Dan, aku tahu itu adalah tugas terberat yang akan membebaninya." Raja Zaen mengambil pedangnya dari singgasana. Ia berjalan melewati Jemy, abdi setianya.
Jemy menangis haru melihat pengorbanan Rajanya Yang Agung. Ia tahu ini adalah hari terakhir ia melihat sang raja. Kepalanya menunduk dalam, melepas kepergian sang raja berperang melawan Kaum Gouwok yang telah sampai di halaman istana.
Mereka merahasiakan kelahiran Pearl Girl Sang Legenda dari dunia untuk menghindari dengki dan benci yang akan menyulut peperangan demi merebut legenda tersebut, tapi di hari kelahirannya mereka diserang oleh kaum bar-bar yang bengis. Jemy menyadari betapa berat tugas Kaum Terkutuk. Mereka mengorbankan segalanya demi perdamaian dunia, tapi di saat kesulitan seperti ini semua kerajaan di sekitar mereka seolah tutup mata menyaksikan kehancuran kaumnya. Dengan berat hati, Jemy berlari ke kamar Sang Ratu. Suara tangis bayi mengisi setiap sudut ruangan. Ia bernapas lega melihat ratu melahirkan dengan selamat.
"Yang Mulia Ratu,” katanya penuh hormat pada wanita yang berbaring di atas tempat bersalin.
"Yang Mulia memerintahkanku untuk membawa Yang Mulia Ratu keluar perbatasan."
Sang ratu menatap abdi setia itu. "Aku tidak akan meninggalkan istanaku. Bawalah puteriku bersamamu, dan bawa juga seorang wanita untuk mengurusnya," kata sang ratu membalas perkataan abdi itu.
"Tapi ini titah Raja. Hamba tidak bisa menolaknya Yang Mulia," katanya sembari menunduk memberi penghormatan, rakyat rendah seperti Jemy tidak berani menatap wanita di depan yang memiliki kasta lebih tinggi. Hal tabu bagi mereka jika menatap seorang bangsawan secera terang-terangan.
"Ini juga titahku. Aku tidak bisa berjalan. Tubuhku masih sakit. Kalian hanya akan terhambat karena keadaanku yang lemah." Sang Ratu menatap bayi yang ada di gendongannya.
Jemy tahu apa yang dimaksud Ratunya. Saat ini mereka kekurangan pengawal. Terlalu beresiko membawa ratu dengan keadaannya. Keselamatan bayi yang baru lahir itu jauh lebih penting. Kehadirannya telah ditunggu oleh dunia. Dia tidak boleh mati di tempat ini.
"Bawa puteriku bersamamu. Cepatlah sebelum mereka sampai ke mari!" Sang ratu terlihat cemas. Ia takut mereka terlambat keluar dari sana.
*
Jemy bergerak cepat. Ia menyuruh Doroti, pembantu setia Ratu untuk membawa keperluan mereka hingga ke perbatasan. Dengan sigap kedua orang itu menyelesaikan perbekalan untuk perjalan panjang, melarikan diri dari sana. Saat Doroti bermaksud mengambil bayi dalam gendongan Ratu, ia melihat mata sang ratu berkaca-kaca seolah tak rela berpisah dengan bayinya.
"Yang Mulia," panggil Jemy diikuti ketakutan karena suara dentuman meriam yang semakin menjadi.
"Kuberi namanya Vivian Louzhavier. Jangan pernah membuka identitasnya sebagai puteri dari kerajaan Starais. Biarkan dia menemukan takdirnya sendiri."
Sang ratu menatap puteri kecilnya sekali lagi. Ia berat untuk berpisah. Ada rasa sakit menatap wajah putih bayi yang menggeliat dalam gendongan ibunya, namun harus ada pengorbanan untuk menjaga keseimbangan dunia yang sudah mengkhawatirkan. Kaum Terkutuk menyadari tugas mereka. Bentuk pengorbanan apa pun akan dilakukan, termasuk darah dan nyawa kaum itu sendiri.
"Maaf kan Ibu, sayang. Kau harapan kami satu- satunya. Pergilah, jaga kedamaian sebagai bayaran untuk darah kaummu,” bisiknya parau di telinga bayi mungil itu.
Sang ratu memberikan bayinya pada abdi setia dan pembantu kepercayaannya. Ia menangis histeris melepas puteri kecilnya, dan menyadari bahwa bayi itu akan tumbuh tanpa tahu identitasnya merupakan hal yang menyakitkan. Dan bagaimana perasaan bayi kecil itu ketika dewasa nanti jika dia mengetahui kenyataan menyakitkan yang mengubur kaumnya hingga menjadi sejarah. Tentu tidak ada yang ingin membayangkannya.
*
Jemy dan Doroti berlari melewati lorong istana, mereka bergegas menuju perpustakaan pribadi istana. Jemy menarik sebuah bola kristal di atas meja. Keduanya merasakan lantai yang bergetar dan sebuah gerakan kecil menggeretak, seolah membelah dinding di depan mereka. Doroti sempat terperangah saat mendapati dinding yang perlahan turun ke bawah, membentuk tangga pada lorong gelap dari balik dinding yang polos.
“Ayo, tidak ada waktu mengagumi apa pun saat ini!” tegas Jemy, menarik Doroti menuruni tangga tersebut.
Jemy menutup dinding itu di belakangnya dengan menekan, lalu memutar sebuah lukisan usang yang menggambarkan wajah Raja Aiden, pendiri kerajaan Starais. Mereka bergerak cepat, melewati lorong dengan dinding batu hitam yang dipenuhi laba- laba. Jemy bahkan kesulitan melihat jalan hanya dengan penerangan dari lampu petrolamp—lampu dengan cahaya kecil—yang cukup menerangi jalan di depan dan membatasi penglihatan mereka.
Terdengar langkah kaki mengikuti dari belakang. Ada yang mengejar. Mereka semakin mempercepat langkahnya, berusaha lebih dulu di depan agar tidak tertangkap. Suara decit tikus menemani pelarian itu. Doroti bersyukur, Vivian masih tenang dalam gendongan, seolah tidak peduli dengan aksi kejar-kejaran mereka.
Jemy membuka sebuah pintu rahasia yang ada di dinding dengan menekan salah satu batu yang tampak menonjol. Sebuah pintu dengan celah kecil kini menyambut mereka, itu pintu keluar yang menghubungkan lorong dengan halaman belakang istana. Dulunya, istana ini dibangun dengan banyak pintu rahasia untuk keadaan terdesak seperti ini. Jemy sangat hafal setiap sisinya. Ia memang bertugas untuk menyelamatkan keluarga kerajaan bila peperangan terjadi hingga ke istana, seperti yang terjadi saat ini.
Saat berhasil keluar, mereka berlari melintas di padang rumput yang luas. Bangunan istana berada di belakang mereka. Doroti dan Jemy berhenti di pintu masuk hutan. Mereka lolos dari istana yang terkepung. Jemy melihat atap istana yang tampak kecil di matanya. Terlihat asap tebal menutupi. Ia menangis menyadari kaumnya dibantai secara berutal. Bayi dalam gendongan Doroti ikut menangis bersamanya. Mata indah bak mutira bayi kecil itu tak henti-hentinya mengeluarkan kristal bening yang berkilau. Doroti dan Jemy saling pandang. Legenda tentang kemunculan Pearl Girl benar adanya.
Mereka berjanji akan menjaga mutira itu hingga dewasa. Di mana ia bisa menentukan jalan hidupnya sendiri, tapi perjuangan mereka tidak berakhir di sini. Bahkan ini adalah awal terberat dari tugas mereka. Sang legenda harus disembunyikan dari dunia sebelum ia bisa bersinar sendiri. Banyak rintangan menanti di depan. Bahkan cinta juga penghalang bagi si mutiara untuk bersinar.
Awalnya Aaron ingin mencapai perdamaian dengan sedikit bernegosiasi pada Herold. Seingatnya pria itu bukanlah orang yang haus darah ataupun kekuasaan. Jelas sekali pria yang membawa pasukan Kaum Gouwok dan Abandonis ini sangat berbeda dengan pria yang dikenalnya lima tahun yang lalu.Pasti sesuatu sedang terjadi.Batin Aaron masih dengan pandangan berkabut marah. Katalput dalam peti yang Kaum Gouwok bawa sudah mereka keluarkan dari peti, begitu pula meriam kecil dan sebuah senjata yang terbuat dari besi sepanjang satu meter berdiameter dua puluh centi tampak berdiri kokoh di barisan belakang Kaum Gouwok. Ketiga senjata itu diarahkan tepat ke barisan Moon Kingdom.“Untuk apa kau mengeluarkan senjata itu? kita akan bertarung dengan jarak dekat, jadi simpan mereka karena kau tidak akan memerlukannya,” kata Aaron dengan nada mengejek.Herold tertawa mendengar perkataan Aaron. “tidak, aku tidak menggunakan benda-benda itu dalam perte
Nervi, salah satu dataran terjal dengan barisan tebing dan bukit juga lembah yang hanya dipenuhi tanah cokelat berbatu. Tempat tertandus setelah Corgonla, salah satu jalur neraka bagi pengembara. Namun medannya yang berat sangat menguntungkan bagi Aaron untuk memulai rencana peperangan mereka. “Tugaskan pemanah di sekeliling bukit, buat barisan serapi mungkin untuk mengepung mereka,” kata Aaron memberi tugas pada para Archer untuk membuat dua lapisan pasukan pemanah di atas bukit yang mengelilingi jalur yang pastinya akan dilalui Kaum Gouwok.“Lalu letakkan masing-masing meriam di sini,” tunjuk Aaron pada sepuluh titik yang paling strategis untuk membidikkan meriam.“Pasukan bersenjata bersembunyi di sini,” kata Aaron lagi menunjuk pada beberapa goa dan ceruk menjuruk ke
Udara terasa panas menyengat kulit makhluk yang berada di bawah terik matahari termasuk iring- iringan pasukan Moon Kingdom menuju Nervi, masih ada perjalanan selama satu hari satu malam sebelum mereka tiba ke tujuan. Pasukan itu melewati daratan Raeng yang dipenuhi tanaman perdu, kemudian mereka memasuki lembah Antontem dengan tebing runcing yang rawan longsor. Aaron membawa mereka melewati jalur yang tidak biasa agar kedatangan mereka ke Nervi tidak terendus oleh Kaum Gouwok yang juga sedang menuju perjalanan ke Nervi.Sebisa mungkin Aaron serta pasukannya datang lebih dulu sebelum Kaum Gouwok sampai di Nervi agar rencana mereka bisa berjalan semestinya. Beberapa kali pasukan yang Aaron pimpin beristirahat untuk memberi makan para ksatria, namun dia hanya memberi jeda selama setengah jam sebelum akhirnya kembali meneruskan perjalanan. Jalanan yang mereka lalui terasa sangat berat diakibatkan perbukitan terjal, tiupan angin lembah yang hangat membakar kulit, maupun sengatan
Aaron melangkah pelan mendekati dipan yang ditiduri Vivian. Sejak saat itu dia sering mendatangi balai pengobatan dan berjaga di sebelah Vivian. Pandangan Aaron jatuh pada tubuh rapuh yang tergeletak lemah tanpa daya. Kulitnya begitu pucat, lebih pucat dari biasanya. Namun wangi tubuhnya masih kuat, menebarkan aroma mawar yang menggoda. Dalam keadaan seperti ini Vivian tak ubahnya seperti gadis yang tidur biasa. Tidak tampak tanda-tanda dia baru mengalami percobaan pembunuhan.“Bisakah Pangeran bergeser. Kami hendak memeriksanya.”Seorang pria tinggi berambut panjang sebahu dengan baju hijau daun mendekati Aaron dan berdiri di sebelah Vivian, tepat di depan Aaron. Dan satu pria lagi mengikuti di belakangnya dan bergerak ke sebelah Aaron. Kedua pria itu adalah tabib istana, jelas terlihat dengan baju kebesaran mereka yang berwarna hijau daun. Sampai saat ini Aaron sudah melihat mereka tiga kali. Keduanya adalah muridnya Sue yang bernama Jeid dan Hazu.
“Aku tidak tahu apakah kita bisa menang, tetapi aku akan melakukan apa pun untukmu Pangeran. Hidupku adalah milikmu Yang Mulia.” Morio memberi hormatnya dengan membungkukkan tubuh ke hadapan Aaron.“Berapa kali harus kukatakan bahwa aku tidak suka cara kalian membungkuk padaku, cukup mengatakan apa yang kalian rasakan tanpa harus memberi penghormatan lebih seperti itu. Aku hanya manusia biasa yang beruntung terlahir dalam lingkaran keluarga kerajaan,” ujarnya.Para ksatria tersenyum, mereka sangat mengenal watak Aaron yang tidak terlalu membanggakan identitasnya sebagai Putera Mahkota. Dia lebih senang berbaur bersama mereka yang kastanya lebih rendah karena bagi pangeran muda itu mereka semua sama, status yang manusia ciptakanlah yang membuat mereka membedakan diri satu dengan yang lain.“Lalu apa rencana kita Pangeran?” Jackuen membuat semua yang hadir terdiam dengan pertanyaan krusialnya. Mereka kini fokus mencari solusi.
Beberapa pria berbadan besar dengan baju perang lengkap yang mereka kenakan tampak berlari dengan terburu-buru ke arah Istana Utama. Ksatria yang tadinya sibuk berlatih kini menghentikan aktivitas dan menatap waswas melihat sepasukan tentara berzirah perak itu memasuki istana. Melewati mereka yang mulai memberi perhatian pada barisan pasukan khusus. Morio menatap mereka sembari mengeratkan pegangan pada busur panahnya. Dia mengangguk pada pimpinan pasukan yang berjalan paling depan dengan langkah terburu-buru. Ini bukan saatnya untuk saling sapa dan sekedar berbagi kisah dengan sejawat lama, karena kedatangan pasukan berzirah perak itu bukanlah pertanda baik. Mereka pasukan elit terlatih yang bertugas sebagai mata-mata dan juga penjaga perbatasan Moon Kingdom dan kerajaan di bawah aliansi.“Pasti sesuatu yang buruk sedang terjadi,” bisik Jackuen dengan ngeri. Berkali-kali dia menelan salivanya menatap kedatangan pasukan itu.“Ya, dan kedatangan mereka