Aku gelisah sepanjang hari, menunggu kabar dari Mas Fadil. Apakah lelaki itu menepati janjinya?
Warna oranye sudah menghiasi cakrawala, pertanda senja telah datang. Netraku masih terpaku pada benda pipih hitam yang tidak kunjung menyala, hingga akhirnya kuberanikan diri untuk menghubunginya terlebih dahulu.
Beberapa kali mencoba menghubunginya. Namun, lelaki itu tidak mengangkat panggilan dariku.
Hati semakin tidak karuan. Gelisah, cemas dan takut bercampur menjadi satu.
[Yah, kumohon jangan temui lagi perempuan itu!]
Sebuah pesan whattshap berhasil ku kirim. Sudah centang biru, tapi tidak ada balasan.
Kemana lagi harus kubagi gelisah ini? Bayangan kehancuran berputar-putar di dalam benak. Mendorong butiran bening dari pelupuk mata dan membasahi pipi.
***
Seminggu terasa sewindu bagiku. Mas Fadil semakin sulit dihubungi, membuatku tetap terjaga di malam hari.Hari ini seharusnya dia pulang ke rumah. Aku sudah bersiap dari pagi buta. Memasak makanan kesukaannya. Membersihkan rumah dan bersolek secantik mungkin.
[Mah, Ayah kayaknya pulang malem banget. Banyak kerjaan]
Sebuah pesan whattshap yang membuatku kecewa. Untuk apa semua yang sudah kusiapkan ini?
"Mah, Ayah kok belum pulang?" tanya si sulung heran.
"Lagi sibuk, Kak," jawabku asal.
Perubahan sikapnya sudah terlihat beberapa bulan terakhir dan bodohnya, aku baru menyadarinya sekarang. Setelah semuanya sudah terlambat.
***
Malam semakin larut, sudah lewat tengah malam, yang ditunggu tidak kunjung datang. Makanan yang sudah dihangatkan beberapa jam yang lalu pun kembali dingin.
Tepat pukul dua dini hari, Mas Fadil sampai di rumah dengan raut muka lelah.
Ia duduk di ujung sofa sambil mengusap-usap layar gawai ditangannya. Tidak terlihat eksfresi kangen karena sudah seminggu tidak bersua.
"Yah, makan dulu?" tanyaku dengan nada lembut. Menyembunyikan riak di dalam hati.
"Nggak usah, udah makan tadi," jawabnya cuek.
"Makan sama perempuan itu?"
"Namanya Melati, jangan sebut sinis kek gitu," jawabnya sambil melirik dengan ujung matanya.
"Asstagfirullah, kamu ketemu dia lagi? Kalian ...."
Tidak sanggup rasanya untuk sekedar meneruskan kata yang berjejal di otak. Aku menyambar gawai yang dipegangnya dengan cepat.
Dan benarlah, sebuah chat mesra dan beberapa foto dirinya dengan memakai baju yang sama seperti yang sedang ia kenakan.
Entah untuk keberapa kalinya hati ini hancur berkeping. Perih dan sesak.
"Kamu jahat! Berengsek! Tidak tahu malu!" pekikku nyaring sambil memukut punggung ayah dari ketiga anakku.
"Kamu udah janji ... hiks," lirihku sambil terisak.
Air mata tumpah dan tak terbendung lagi. Mengalir tanpa henti untuk waktu yang lama.
Mas Fadil hanya diam dan membisu. Ia tidak lagi menghiraukan luka akibat sayatan-sayatannya. Tidak terlihat lagi cinta atau pun sayang untukku di manik cokelatnya.
"Mau kamu apa? Aku nggak bisa tinggalin dia!" hardiknya dengan tatapan tajam.
"Ceraikan aku!" pintaku tegas.
"Baiklah kalau itu mau kamu."
Jawaban Mas Fadil serasa menampar wajahku. Aku terbangun dari harapan yang hampa, mimpi yang kosong. Lelaki itu tidak pantas lagi untuk dipertahankan.
"Baik." ucapku dengan menatapnya nyalang.
Tidak pernah kusangka, pernikahan ini akan berakhir semudah ini. Pengorbanan, kesetiaan, anak-anak dan kenangan kami tidak lebih berharga dari seorang janda dua kali.
"Aku akan tulis surat talaknya besok pagi dihadapan Bapak," ucap lelaki yang sudah tidak kukenali itu sinis.
Mas Fadil masuk ke dalam kamar tamu dengan wajah kesal. Kini, kami seperti musuh yang berada di dalam satu atap. Yang menyimpan kebencian di dalam hati.
Aku pergi ke rumah orang tuaku yang tidak jauh dari rumahku dengan menggendong si kecil Fariz.
"Bu!Pak!" pekikku sambil menggedor pintu belakang rumah.
Selang beberapa menit, Ibu membukakan pintu. Aku menghambur ke pelukan Ibu sambil terisak.
"Ada apa, Ra? Ayo masuk!"
Kami duduk di ruang tamu, suasana hening. Bapak menatapku penuh tanya, begitu pun Ibu yang duduk tepat di depanku.
"Mas Fadil menceraikan ku, hiks," lirih sambil terisak.
"Dia lebih memilih perempuan itu dibanding aku dan anak-anaknya," tambahku geram.
"
Kami pun terdiam, hening seketika. Hanya suara denting jam yang terdengar memecah kesunyian. Aku mengangkat wajah perlahan, menatap dua orang yang sangat kucinta itu satu per satu.Terlihat jelas kesedihan dan kekecewaan di wajah mereka. Tubuh rentanya harus ikut menanggung kesedihan diriku. 'Maafin, Zahra, " lirihku di dalam hati.
"Tenangkan dirimu, minta petunjuk kepada Allah. Yang akan terjadi pasti terjadi, " ucap Bapak tenang.
Aku mengangguk perlahan, kemudian pergi mengambil air wudhu.
***
Kumandang Adzan subuh sudah terdengar dari toa surau. Seisi rumah telah bersiap menunaikan shalat subuh berjamaah di surau.Aku memilih shalat di rumah sambil menjaga si kecil. Kemudian pulang untuk membangunkan kedua anakku di rumah kami.
Mas Fadil terlihat duduk di atas sofa, dengan secarik kertas di depannya. Perasaanku sudah tidak enak, takut bercampur cemas.
"Tanda tangan di sini! " pintanya sembari menunjuk kertas putih didepannya.
Secarik kertas berisi pernyataan talak itu kupegang dengan erat. Netraku memindai setiap kata yang tertulis di dalamnya.
"Teganya kamu, menceraikanku demi wanita lain. Bagaimana nasib anak-anak? " tanyaku dengan tatapan nyalang.
Air mata keluar tanpa henti, membasahi wajahku yang sudah membengkak akibat menangis semalaman.
"Kamu sendiri yang maksa aku ceraikan kamu, kamu g mau nerima pacarku sebagai madumu," ucap lelaki itu sinis.
"Jahat, kamu! "
"Sudah, cepetan tanda tangan."
Tanganku bergetar saat pena yang kupegang mulai menggoreskan tanda tangan. Tubuh ini lemas seketika, seperti ada yang hilang di dalam hidupku.
Separuh jiwaku hilang. Cinta pertama yang ku yakinkan menjadi cinta terakhirku, kini hanya akan menjadi kenangan.
Sebuah kenangan pahit yang menorehkan luka yang dalam. Membuatku merutuki takdir yang menyatukan kita.
"Aku pergi, " ucap Mas Fadil sambil menyeret sebuah koper besar.
Aku masih tergugu di atas lantai, memandang punggung belakangnya yang perlahan menghilang.
"Mah, kenapa? " tanya si sulung yang terlihat khawatir.
"Ayahmu, menceraikan mamah, " jawabku datar.
Gadis kecilku yang baru berusia sebelas tahun itu terlihat kaget. Manik hitamnya tampak menyembunyikan embun yang banyak.
Ia menatapku iba dengan berlinang air mata. Kemudian pergi ke dalam kamarnya. Aku tahu betul Si sulung sama terlukanya denganku. Anak mana yang sudi orang tuanya berpisah?
Akhirnya, aku kalah dan harus merelakan Mas Fadil dengan perempuan lain.
"Zahra! kamu harus kuat. lelaki bukan cuma Fadil. inget anak-anakmu, " ucap Ibu sambil memelukku.
Entah dari kapan beliau ada di dekatku. Melihat anaknya terpuruk dan terbuang. Lelakiku yang dahulu teramat kubanggakan. sikap santun dan bacaan Al-Qur'annya yang meluluhkan hati ini. Ternyata, tega menyakiti.
***
Tidak seperti biasanya, Mas Fadil tidak memberi kabar sama sekali. Seakan hilang ditelan bumi. Mungkin, akan lebih baik jika ia benar-benar hilang di telan bumi daripada harus mengetahui dia sedang bersama perempuan lain.
Aku memindai setiap sudut rumah, terasa kosong dan sepi. Tidak ada lagi gelak tawa dan senda gurau. Semua telah dirampas dan berganti duka.
Ketiga anakku terlihat murung dan tidak terurus. Uang jatah bulanan dari Mas Fadil pun semakin menipis. Apa yang akan mereka makan, esok?
Pertanyaan itu sedikit menggangguku akhir-akhir ini. Bodohnya aku yang hanya ibu rumah tangga tanpa penghasilan dan terlalu bergantung kepada suami.
"Mah, Dedek panas! mukanya pucat! " pekik Luna sambil menggendong Fariz dan menyerahkannya kepadaku.
"Astagfirullah, kenapa bisa begini? "
"Bawa ke Dokter, Mah, " ucap Luna yang terlihat cemas.
Duka yang menyelimutiku seakan tiada henti. Belum kering luka di hati, ditambah dengan sakitnya Si kecil.
Bersambung
Setelah memutuskan hubungan dengan Fadil. Suasana di kantor terasa kaku dan canggung. Lelaki itu kembali cuek dan acuh. Begitupun dengan diriku yang sudah tidak ingin kembali terlibat dengan dirinya.Mba Vera menasehati berulang kali agar tidak kembali kepada Fadil. Kami fokus dengan pekerjaan masing-masing. Dia berhasil naik jabatan dan itu membuatnya semakin menyombongkan diri.Aku tidak banyak terpengaruh dan hanya fokus mencari uang. Hari demi hari mulai terasa membosankan. Sampai saat kami mendapat tugas ke luar kota."Kamu bantu Fadil buka di cabang baru ya," pinta Manager perusahaan saat kami tengah mengadakan meeting."Iya, Pak," jabawku singkat."Awas lo, hati-hati jangan masuk perangkap Fadil lagi," bisik Mba Vera yang duduk tepat di sampingku.Aku hanya berdehem sambil mengangguk.***Suasana di kota Kecil tempat kami ditugaskan sangat asri. Udaranya cukup dingin, tapi menyegarkan. Aku di sana hanya untuk satu bulan saja. Kami masih tidak bertegur sapa.Ada satu wanita berna
Fadil dan aku berdiri tepat di depan pintu rumah kos. Kami terdiam untuk beberapa saat. Dia menatapku lekat, sebuah tatapan hangat yang mencairkan hati yang mulai membeku. Akan tetapi, hati ini menolak, berusaha membentengi diri agar tidak goyah. aku berusaha untuk mengalihkan pandangan dan menghindari tatapannya."Kita balikan aja?" Tanyanya seraya menggenggam telapak tanganku erat.Aku sempat kaget untuk beberapa saat. Jantung ini terasa berdegup kencang, berpacu lebih cepat. Pertahanan di dalam hati sepertinya mulai roboh. Merasakan sentuhan lembut di telapak tangan, membuatku sedikit gugup dan salah tingkah. Ada sebuah euforia di dalam hati, tapi aku tahan sebisaku agar tidak terlalu terlihat."Gimana?" Tanyanya lagi seperti tidak sabar.Entah setan apa yang mendorong kepala ini. Aku mengangguk dengan spontan. kini, pertahanan ku telah benar-benar roboh. Hati ini memang selemah itu dan mudah luluh."Makasih," ucapnya dengan tersenyum lebar.Tampak rasa puas dan kemenangan di raut m
Suasana rumah mendadak ramai, keluarga Mas Fadil sibuk berkemas sambil tertawa. Aku segera masuk ke dalam kamar dengan perasaan tidak menentu.Tangan ini rasanya lemas saat membuka isi dompet yang hanya tersisa beberapa lembar untuk bekal anak sekolah sampai tanggal gajian."Yah, uang bensin sama tol di ayah ya? aku.udah ga ada simpanan," tanyaku dengan tatapan cemas."iya," jawabnya dengan eksfresi bingung."Emang ayah masih punya uang lebih buat ke kolam renang?" tanya ku lagi untuk memastikan."Nggak ada, tapi ga pa- pa, tenang aja," jawabnya yang mencoba untuk tenang.Padahal jauh di dalam hati, aku tahu betul bahwa Mas Fadil sedang memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan tambahan uang. Sesekali, lelaki itu melirik ke arah satu- satunya perhiasan yang aku pakai, sebuah cincin dan sebuah gelang yang melingkar manis di lengan dan jadi."Eit ... kemarin udah jual dua cincin loh, buat tahlil ibu. Ini yang terakhir," tukasku sambil menyembunyikan lengan."Apaan sih, GR ... ayah g ma
Hari hampir pagi saat kami sampai di rumah. Anak2 tampak lelah dan langsung masuk ke kamar, begitu pun dg Mas Fadil yang tampak letih.Laki-laki itu terlihat sedih dan terpukul. Tapi, entah kenapa dengan perasaan diriku. Tidak ada rasa sedih atau pun kehilangan, hanya simpati saja.Beberapa kali kuyakinkan diri ini ' kok nggak sedih? nggak nangis? apa aku masih normal? yang meninggal itu ibu mertua kamu loh, ibu dari suami kamu?' pertanyan itu hilir mudik di dalam benak.Namun, entah lah aku tetap merasa biasa saja, rasa ini sepertinya telah mati akibat rasa sakit saat melihat Ibu berfoto dengan Ira. Salahkah aku yang sudah tidak berempati lagi terhadap mertua atau pun keluarganya. Luka di dalam hati ini sepertinya enggan pergi dan masih terasa perih. Aku memang sudah memaafkan semuanya. Tapi, ingatan ini masih lekat dan mungkin tidak akan pernah lupa dengan setiap perbuatan dan perkataan mereka.***keesekan harinyaSeperti biasa, pagi yang sibuk dengan segala drama anak-anak yang ak
Tepat pukul 01.30 Kami sampai di rumah Mas Fadil. Suasana rumah sudah agak sepi.Hanya ada keluarga inti saja di dalamnya. Anak, cucu dan menantu.Di halaman rumah, masih berjejer kursi dan tenda seadanya. Bendera kuning masih tertancap di samping pagar rumah.Kami masuk dengan mengucapkan salam yang disambut oleh saudara-saudara Mas Fadil.Kakak beradik itu saling berpelukan dalam tangis yang menyayat hati. Suasana haru sangat terasa. Kesedihan telah menyelimuti rumah masa kecil mas Fadil itu.Membuat diriku yang sulit menangis sedari tadi, menjadi luruh dalam tangisan bersama seisi rumah."Tadi udah dilama-lamain ngurus jenazahnya biar bisa nunggu kamu, tapi tetep nggak keburu," bisik kakak tertua Mas Fadil yang menyesalkan keterlambatan sang adik.Mas Fadil hanya tersenyum, menahan getir di dalam hatinya. Sosok yang selalu menjadi penyemangat dan alasan dirinya kembali ke rumah itu.Kini telah tiada dan terkubur berkalang tanah seorang diri. Tidak akan terlihat lagi senyuman dari wa
"Ibu meninggal, tolong ngebut dikit, Zi!" Pintaku cemas."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un."Semua orang terdiam dan saling berpandangan. Suasana di dalam mobil menjadi tegang seketika."Ibu beneran meninggal?" Tanya Luna seperti tidak percaya."Iya, masa Mamah becanda. Ayah yang bilang tadi."Bumi dan Kia tampak tertunduk sedih. Aku sibuk dengan pikiran ku sendiri.Takut tidak bisa datang tepat waktu. Takut Mas Fadil menyalahkan aku karena acara liburan ini. Takut tidak sempat menghadiri pemakaman Ibu gara-gara keterlambatan diriku.Suasana jalanan tiba-tiba macet. Jalanan penuh, pengendara motor dan mobil berdesakan.Aku semakin gelisah dan takut. Menatap ke luar dengan tatapan liar. Berharap mobil ini bisa terbang melewati jalanan macet ini."Aduh, gimana ya, takut nggak keburu. Takut Mas Fadil marah," rutukku dengan wajah cemas."Udah, tenangkan diri. Kalo takdirnya harus ketemu dulu sama jenazahnya Ibu pasti bakal ketemu. Tapi kalo sebaliknya, ya ikhlaskan saja," jawab Bapak deng