Malam semakin larut. Cahaya bulan menemani langkah Darell dan Elaine yang sedang menuju parkiran mini market. Selain itu angin malam sudah mulai menusuk sampai ke tulang. Elaine yang tak mengenakan jaket mulai merasa kedinginan. Namun tak lama kemudian mereka sampai di parkiran mini market dan segera masuk ke dalam mobil.
Darell membukakan jaketnya dan memberikan pada Elaine. “Pake! Tangan lo dingin banget. Gue juga nggak akan nyalain AC,” ucapnya yang kemudian langsung mengenakan seatbelt dan menstarter mobilnya.
Elaine memegang jaket pemberian Darell, tercium aruma woody pada jaket laki-laki itu. Dengan ragu Elaine mengenakan jaketnya. Dia memang tak bisa menutupi dan tak mau jual mahal, karena saat ini dia memang sedang merasa kedinginan.
Butuh waktu lima menit saja untuk sampai di apartemen milik Darell. Karena jalanan yang sepi, sehingga jarak antara kosan Elaine dan apartemen Darell tidak terasa jauh. Sesampainya di parkiran basement,
“Bagaimana kalau kita saling menghangatkan?” tanya Darell sambil menyeringai.Mata Elaine membulat. Jantungnya semakin berpacu dengan cepat, darahnya kini berdesir. Kekhawatirannya kini menjadi nyata. Tentu saja Elaine tahu betul dengan maksud dari perkataan Darell, dan ini bukan main-main. Sorot mata Darell memperlihatkan sebuah keseriusan.“A-a-a, aku ngg-nggak dingin kok.” Kemudian Elaine hendak membuang muka, dia tak ingin menatap Darell. Karena tatapan laki-laki itu benar-benar membuatnya semakin merasa gugup dan panik. Namun sayang, Darell malah menahannya.Laki-laki itu kini memegang rahang kecil Elaine. Membuat gadis itu tetap menatap wajahnya. Kini mereka saling pandang dengan tatapan dalam.Sedetik kemudian Darell menempelkan bibirnya pada bibir Elaine. Untuk kedua kalinya, Darell menyecap bibir gadis polos ini. Memberikan sentuhan lembut, menekannya, dan kemudian melumatnya.Elaine membelalakan matanya, ketika men
“Lupakan! Lupakan apa yang lo lihat dan yang bikin lo sakit hati! Kalau lo kayak gini terus, sampai kapan pun lo nggak bisa balas dendam sama mantan lo!” cecar Darell.Mendengar ucapan Darell, Elaine semakin terisak. Darell seolah tahu apa yang sedang dia rasakan saat ini.“Gue tahu, lo masih sayang sama mantan lo, kan?” tebak Darell.Sontak Elaine terkejut dengan apa yang baru saja dia dengar. Bibirnya kini bergetar, ingin rasanya mengatakan tidak. Tapi hatinya seolah meminta Elaine untuk jujur.Elaine hanya bisa menelan salivanya, kemudian dia memejamkan matanya. Membuat air mata yang tertampung di matanya, bergulir membasahi pipi mulus gadis itu.“Gue nggak akan marah. Itu hak lo! Lagian kita cuman main-main, nggak pake hati. Tapi … gue tahu lo sakit hati sama dia! Gue tahu rasanya kayak apa. Jadi, please lupakan apa yang lo lihat saat itu. Please enjoy dan nikmati permainan kita.“Kalau
“Mau apa, lo? Lepasin!” seru Elaine. Matanya kini membulat ketika tahu sosok laki-laki yang menahannya.“Gue mau ngobrol sebenar, please,” katanya memohon.“Ngobrol apa? Gue capek, mau tidur dulu,” ungkap Elaine jujur.“Capek kenapa? Mau gue anter ke kosan?” tanyanya penuh perhatian.“Nggak usah, udah pesen ojek online. Udah ya, gue mau balik,” pungkasnya kemudian berusaha menepis genggaman tangan laki-laki itu.Laki-laki itu berdecak kesal. “Ck. Kenapa sih lo selalu menghindar dari gue, Laine?” tanyanya kesal.Elaine mengerutkan keningnya, lalu menghela napas kencang. “Ngehindar? Gue nggak ngehindar. Cuman … emangnya kita masih punya urusan, ya?” tanya Elaine ketus.“Ada. Kita ada urusan!” tegas laki-laki itu.“Hah?” Elaine menautkan alisnya. “Urusan apa? Hubungan kita juga udah berakhir, Tir,
Satu jam sebelumnya …Elaine sedang berkirim pesan whatsapp dengan Darell. Sepulang dari kampus, Elaine langsung tidur dan menenangkan dirinya. Dia terbangun saat sudah petang. Lalu saat dia mengecek ponselnya, ada pesan dari Darell menanyakan perkembangan tugas Pak Dzul. Karena saat Darell mencoba menayakan pada Veni, chat-nya hanya menampilkan ceklis satu.Obrolan mereka tiba-tiba memanjang. Sampai akhirnya Darell menanyakan tujuan Elaine, ketika gadis itu mengatakan kalau dia mau keluar. Tanpa ragu, Elaine memberi tahu tujuannya pada Darell.Darell: Mau kemana?Elaine: WS. Darell: Ngapain?Elaine: Ketemu Tirta, ada yang mau dia bicarakan. Elaine rasa hal ini bukan sebuah rahasia. Jadi dia tak ragu mengatakan hal itu pada Darell. Lalu laki-laki itu pun membalas pesan Elaine.Darell: Awas baper. Nanti nangis lagi. Ngapain sih ket
“Mau ke mana?” tanya Elaine panik dan sambil terisak. Dia mencoba menghapus air matanya.Darell tak menjawab pertanyaan Elaine. Laki-laki itu fokus dengan kemudi dan mengemudikan mobilnya dengan cepat. Kini dia memasuki tol dan menuju ke pusat kota.“Mau ke mana? Kok nggak jawab? Ini udah malam,” tanya Elaine lagi. Dia melihat arloji yang terpasang di pergelangan kirinya. Pukul 8.10 malam.“Gue lupa stock makan gue habis. Jadi sekarang gue mau belanja.” Akhirnya laki-laki itu menjawab.Elaine mengangguk pelan ketika mendapatkan jawaban dari Darell. Memang benar, tadi pagi saat dia memasak sarapan persediaan bahan makan Darell habis. Tapi apa harus semalam ini untuk berbelanja? Elaine tak paham dengan laki-laki ini. Gadis itu masih belum bisa membaca karakter laki-laki yang menjadi partner friends with benefit-nya ini.“Kenapa nggak beli di Raksasa Mall aja? Kenapa harus ke kota?” tan
Elaine dan Darell sedang berdiri di depan lift lantai B3. Untung saja di sana hanya ada mereka berdua. Sehingga tak ada yang memerhatikan kondisi Elaine. Memang bagian dalam tubuh Elaine tidak terlau terawang dari luar. Tapi tetap saja bentuknya itu terlihat sangat jelas. Karena dada Elaine ini sangat padat, bulat, dan tentu saja sedikit besar. Pintu lift terbuka. Beberapa orang keluar dari pintu tersebut. Setelah itu Elaine dan Darell menaiki lift. Untungnya hanya ada mereka berdua di dalam lift.Elaine menundukkan pandangan. Mencoba tak melihat pantulan dirinya pada dinding lift. Dia terlalu malu untuk memandangi dirinya ini. Perasaannya sekarang ini campur aduk, antara: marah, sedih, kecewa, dan gelisah. Rasanya jantung Elaine akan meledak, karena berdegup saking kencangnya.Sedangkan Darell hanya bisa memandangi gadis itu dari pantulan cermin. Dia terlihat senang melihat Elaine tak berdaya seperti itu. Ini hukumannya karena tak bisa menepati jan
“Aaah!” pekik Elaine. Dia terkejut ketika dengan tiba-tiba Darell sudah ada di hadapannya dan memeluk tubuh Elaine.Cup berisi kopi itu membasahi bagian belakang kaus Darell. Sedangkan si pelaku berusaha berdiri dan merapikan kekacauan yang dilakukannya.“Maaf, saya nggak sengaja,” kata laki-laki itu pada Darell dan Elaine.Darell berbalik, kini dia berhadapan dengan laki-laki tadi. Darell pun mencoba melindungi Elaine dari belakang badannya. Jujur saja Darell sangat kesal dengan laki-laki yang kira-kira umurnya hanya berbeda beberapa tahun darinya. Tentu saja Darell lebih muda.“Kalau lagi jalan jangan main handphone dong, Mas. Kalau nabrak cewek saya dan dia kenapa-kenapa gimana?” sentak Darell kesal.Entah kenapa rasanya senang sekali, ketika Darell berkata demikian. Merasa dirinya dimiliki oleh seseorang. Namun seketika Elaine menggelengkan kepalanya.‘Ingat Len, jangan baper. Kamu gak boleh bape
Sudah dua hari sejak insiden Elaine dihukum oleh Darell. Setelah kejadian itu, Elaine benar-benar lupa dengan kejadiannya bersama Tirta dan Elsa. Karena dia terus memikirkan sensasi yang baru pertama kali dia rasakan saat dihukum oleh Darell.Malahan tadi malam Elaine bermimpi. Dalam mimpinya itu, dia berciuman dengan Darell di depan umum. Semua mata tertuju pada mereka. Di negara berkembang dan berbudaya ke timuran ini, berciuman di depan umum dikategorikan sebagai sesuatu hal yang tabu. Sehingga beberapa pasang mata di sana ada yang menatap dengan tak suka, namun ada juga yang menatap dengan tatapan suka.Elaine menggelengkan kepalanya. Wajahnya kini memerah akibat memikirkan mimpinya semalam. Di dalam mimpinya Elaine merasa malu, namun dia juga merasa senang dan juga tertantang. Sampai-sampai saat, ini di kondisi yang sedang terjaga dan sadar, jantung Elaine berdegup dengan kencang.“Kenapa malah memikirkan mimpi itu, sih?” rutuk Elaine.Ga