PLAK!
Suara antara benturan kulit tangan Elaine dan pipi Tirta itu terdengar keras. Elaine menampar laki-laki yang sudah berlaku kurang ajar di depannya. Katanya dia tak akan menyentuh Elaine tanpa izin. Tapi buktinya dia main nyosor duluan, seperti saat pertama Elaine menyatakan perasaannya. Ah, tidak! Kali ini lebih kasar, seolah Tirta benar-benar bernafsu dengannya.
“Lo apa-apaan, Tir?” sentak Elaine, kini nada bicaranya meninggi.
“Gue mau buktiin kalau gue serius sama lo!” sahut Tirta.
Elaine mendengus sambil tersenyum getir. “Buktiin apa? Nyebut Tir, lo itu punya pacar dan itu kakak gue!” tegas Elaine pada Tirta yang mungkin dulu dia juga melakukan ini pada kakaknya. Sumpah Elaine merasa semakin jijik pada Tirta.
“Gue bisa putusin Elsa sekarang juga. Lagian gue udah jenuh sama Elsa dan gak sanggup menangani sikap dia.”
Mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Tirta, Elaine terper
Elsa terbangun dari tidurnya. Dia melihat pada jam yang ada di dinding kamarnya. Ternyata sudah pukul setengah tujuh pagi. Gadis itu mengerang, merentangkan kedua tangannya. Hidungnya mengendus sesuatu, masakan Lena. Perempuan berumur 45 tahun itu selalu membuatkan sarapan, sebelum nanti dia berangkat kerja. Namun anehnya, dia merasa sedikit mual ketika mencium bau masakan ibunya.“Huek!” Tiba-tiba Elsa merasa mual saat mencium bau makanan. Sontak gadis itu langsung beranjak dari tempat tidurnya.“Elsa, Mama dan Papa berangkat kerja dulu, ya!” sahut Lena dari balik pintu kamar gadis berumur hampir dua puluh tahun itu.“Hmm!” Elsa hanya berdeham, menjawab sang ibu.Lalu Elsa menyingkap selimut dan turun dari ranjang tidurnya. Dia butuh minum, untuk menghilangkan rasa mualnya.“Masuk angin deh gue,” gumanya, lalu menelan salivanya sendiri. Mengingat semalam dia melakukan live streaming sampai jam dua be
“Ha-halo,” ucap Elaine gugup. Perasaan gugup itu akibat Elaine terlalu senang. Karena laki-laki yang beberapa hari ini dia tunggu kabarnya, akhirnya menghubungi Elaine.“Kenapa lo nggak datang ke apartemen gue?” Darell langsung bertanya tanpa membalas sapaan Elaine. Ya, laki-laki yang menelepon Elaine adalah Darell.“Eh?” Dahi Elaine berkerut, “ma-maksudnya?” Elaine terheran dengan pertanyaan Darell yang tiba-tiba.Darell mendengus, sepertinya keras sampai Elaine bisa mendengarnya. “Harusnya kalau lo udah sampai, lo kudu langsung ke apartemen gue. Cepet datang ke sini!” perintah Darell.“E-emangnya lo ada di sini? Bukannya lagi magang?” tanya Elaine.Sejujurnya tadi Elaine sempat memiliki niat untuk datang ke apartemen Darell. Tapi dia ingat laki-laki itu sedang magang di Jakarta. Jadi dia mengurungkan niatnya, terlebih Darell tak memberikan kabar apa pun padanya.&ldquo
Bagaimana Elaine tidak menaruh hati pada laki-laki yang saat ini sedang duduk di depannya? Setiap hari laki-laki ini memperlakukan Elaine dengan sangat baik. Semakin hari Elaine semakin suka pada sosok Darell. Padahal dia tahu, laki-laki itu hanya memanfaatkannya saja.“Btw, bukannya lo lagi magang? Kok, udah seminggu lo diem aja di sini?” tanya Elaine pada Darell yang sedang sibuk dengan layar laptopnya.“Iya. Santai aja sih, lagian gue bilang lagi ngurus skripsi dulu,” jawab Darell enteng.Memang benar, beberapa hari ini Darell sedang sibuk dengan skripsinya. Dia berniat untuk lulus semester ini. Laki-laki itu pernah bercerita bahwa dia dan kedua temannya –Kale dan Valen- memiliki janji untuk lulus bersama di tahun ini. Sampai-sampai Kale menunda sidangnya, hanya untuk lulus bersama dengan Darell dan Valen. Persahabatan mereka patut diacungi jempol.“Hah? Tapi kan lo kudunya masih magang, jangan jadiin skripsi alesan,
Hati Elaine terasa sakit. Bagaimana bisa kakaknya hamil anak Tirta? Elaine tak rela jika harus merelakan Elsa bersama dengan laki-laki busuk seperti Tirta. Apalagi dia ingat ucapan Tirta, yang hanya menganggap hubungan dengan Elsa main-main belaka.Sekarang, Elsa sedang hamil anak dari laki-laki itu! Ini sudah tidak bisa dikatakan hubungan yang sekedar main-main belaka. Tapi entah kenapa Elaine yakin laki-laki itu tak akan bertanggung jawab dengan apa yang sudah diperbuatnya. Tangan Elaine mengepal ketika membayangkan wajah laki-laki busuk itu.“Tirta, anak Pak Pratama yang pengacara itu?” tanya Robby dengan penuh penekanan.Elsa hanya mengangguk. Sedangkan Robby mulai merasa frustrasi, pasalnya dia mengenal baik laki-laki yang bernama Tirta. Bagaimana tidak? Tirta adalah sahabat anak bungsunya. Dia mengenal Tirta sebagai anak yang baik dan juga sopan.“Bukannya dia dekat dengan Elaine?” tanya Lena terheran-heran. Baik
“Apa-apaan Elsa!” geram Tirta. Saat ini laki-laki itu sedang berada di kamarnya. Hal yang bisa dia lakukan adalah mengumpat. Laki-laki itu langsung meraih benda pipih yang ada di dalam saku celananya. Mencari kontak Elsa, dia harus bertanya langsung pada pacarnya itu. Ah, rasanya malas sekali mengakui Elsa sebagai pacarnya. Tirta langsung meneleponnya. ‘Nomor yang ada tuju sedang tidak aktif. Cobalah—’ “Ah, Shit!” umpat Tirta yang langsung membantingkan ponselnya di atas kasur. “Argh!” erangnya sambil menarik rambut, tanda seseorang yang sedang kesal dan frustrasi. Laki-laki itu kini berkacak pinggang. Otaknya sedang memikirkan momen terakhir bersama Elsa. Seingatnya, dia sudah lama tidak tidur dengan gadis itu. Lalu, kenapa dia bisa hamil? Tirta masih tidak habis pikir dengan hal tersebut. Tirta harus menanyakan hal ini pada Elaine. Siapa tahu dia tahu sesuatu. Karena tak mungkin jika Elaine tak tahu apa-apa. Laki-laki itu mengambil ponselnya
Selepas pertemuan dengan keluarga Tirta tadi sore, Elsa tak bisa tidur. Dia merasakan gelisah bukan main. Gadis itu mencoba memejamkan matanya, mematikan lampu kamar, dan fokus beristirahat. Tapi semua usahanya itu sia-sia. Padahal badannya sangat amat lelah. Matanya juga terasa berat, akibat tangisan yang tidak berhenti mengalir deras dari matanya. Namun otaknya ini tak bisa berhenti memikirkan kejadian tadi.Kini air mata Elsa terasa sudah kering, dia tak bisa menangis lagi. Karena saat ini dia sedang dilanda rasa takut yang sangat besar. Sampai-sampai mengalahkan rasa sedih dan kecewa akibat respon dari kekuarga Tirta.“Argh!” Elsa mengerang sambil menarik selimutnya. Kini seluruh tubuhnya diselimuti, dia bersembunyi di balik selimut putih yang membungkus seluruh tubuhnya.Mata Elsa terus melirik ke kanan dan ke kiri. Terkadang dia mengigit bibir bawahnya. Jantungnya pun terus berdegup dengan kencang. Elsa benar-benar merasa kalut saat ini.
Elsa mematung ketika melihat Elaine dan Tirta ada di hadapannya. Mempertanyakan kedatangan mereka berdua di sini. Lidahnya kini terasa kelu, tak bisa berbicara sama sekali. Ekspresi wajahnya terlihat sangat panik dan itu pun terjadi pada Rio. Pasalnya laki-laki itu tahu betul siapa yang datang, dia adalah Tirta pacar dari gadis yang sedang bersamanya sekarang. “Wah, keren! Ternyata kelakuan lo gini ya, Sa!” Terdengar nada cibiran dari kalimat yang dilontarkan oleh Tirta. Laki-laki itu bertepuk tangan. Sedetik kemudian melirik ke arah Rio yang tadi membukakan pintu. Mencoba memindai penampilannya dari atas sampai bawah, lalu menepuk pundak laki-laki itu. Tirta seolah tak peduli dengan yang namanya sopan santun. Mengingat Rio satu tahun lebih tua darinya. Elsa hanya diam, dia tidak bisa membela dirinya. Sudah jelas-jelas dia kepergok sedang berduaan dengan Rio. Bagaimana ini? Apa yang harus Elsa lakukan disaat seperti ini? Pikirannya kalut seketika.
PLAK!Lagi-lagi Robby menampar pipi anak sulungnya. Rasanya Elsa sudah kebal dengan sensasi ketika ditampar. Mungkin ini tamparan ke ... entahlah Elsa tidak mengingat sudah berapa kali ayahnya ini menampar dirinya. “Kurang ajar, ya kamu! Berani-beraninya mengaku bahwa itu anak Tirta! Sekarang mau ditaruh di mana muka Papa, hah?” berang Robby yang tidak habis pikir dengan pemikiran sempit Elsa. “Memang, ya. Kamu itu anak yang bego!” hardik Robby seolah dia lupa bahwa Elsa juga merupakan darah dagingnya.“Papa! Jangan pernah bilang seperti itu pada anakmu! Anak kita tidak ada yang bego!” sergah Lena yang tidak terima ketika Elsa dikatai demikian.Sebagai seorang ibu dia tak ingin anaknya dihardik oleh orang tuanya sendiri. Seharusnya sebagai orang tua haruslah melindungi, mengatakan hal-hal baik dan memuji anak mereka. Jika mereka salah, sampaikanlah dengan cara yang benar. Bukan dengan cara memarahi, menghardik, b