Terik mentari pagi menghangatkan wajah-wajah sendu warga Punden. Berjibaku mengurusi puluhan mayat sisa tragedi semalam, duka diwilayah Punden tidak terelakkan lagi. Jangankan puluhan nyawa, satu nyawa saja melayang akibat kebengisan, mereka sangat menyayangkannya.
Belum genap satu bulan memangku tanggung jawab, Danuseka sudah di hadapkan dengan kenyataan pahit. Merasa terpukul karena tidak bisa mengemban amanah dari pendahulunya. Tetapi Danuseka tidak menunjukkan perih hatinya, ia masih terlihat tegar di depan warganya. Terlebih di depan Ajiseka, putra semata wayangnya.
Dirinya lebih memilih turut membantu warga menyiapkan keperluan pemakaman. Ikut menggali lubang raksasa agar pekerjaan cepat selesai. Bahkan, Danuseka tidak segan membersihkan jenazah yang hendak dimakamkan.
Lubang besar disiapkan untuk pemakaman warga, setidaknya ada tujuh lubang besar. Tetapi saat pemakaman berlangsung kejadian aneh menimpa mayat-mayat yang berasal dari luar Punden. Sekitar dua puluhan mayat menyembul ke permukaan, begitu juga tanah yang kembali rata. Hal itu membuat warga saling berbisik, sebagian malah terang-terangan menggunjingkan kejanggalan yang terjadi.
Danuseka segera bertindak, ia tidak ingin jenazah orang-orang yang turut melawan dirinya menjadi pergunjingan.
“Eheum ... Mohon maaf saudaraku semua. Baiknya kita Langitkan doa untuk semua jenazah yang sudah di kebumikan, begitu juga yang sedang menemui kendala saat pemakaman. Saya harap jangan digunjingkan. Sebab, sejatinya mereka sedang mendapat siksa angin dunia.” Ujar Danuseka sembari melihat kerumunan warga yang kini terdiam.
“Mari lapangkan dada, yang pergi tidak kembali, yang berlalu tidak bisa di ulang. Kita masih diberi nikmat kehidupan oleh sang Pangeran, sudah seharusnya senantiasa melangitkan doa untuk mereka yang baru saja memulai kehidupan abadinya. Sekali lagi, mari Langit-kan doa bersama.” ucap Danuseka lagi.
Suasana pemakaman menjadi hening, tidak ada lagi pergunjingan dan saling bisik. Tidak lama kemudian alunan lantunan doa bergema. Danuseka sendiri yang bertindak memimpinnya.
Setelah selesai Danuseka beringsut. Ia mencari tempat yang tepat untuk memulai semedi agar lebih khusyuk dalam bermeditasi. Tidak lama kemudian Sukma Danuseka meninggalkan wadahnya. Ia menembus dimensi yang begitu tipis, namun suasananya sungguh jauh berbeda dengan bumi nyata yang ia pijak.
Di sebuah bangunan megah ia mendaratkan diri, perlahan ia mengayunkan langkahnya. Namun, langkahnya terhenti manakala melihat beberapa orang sedang duduk bersila.
“Duduklah Danuseka ... Hapuskan muram durjamu,” mendengar itu Danuseka langsung bersimpuh. Sebab, merekalah yang hendak ditemui Olehnya. Maka, tanpa segan Danuseka langsung mengutarakan maksud dan tujuannya.
“Saya merasa gagal. Bahkan, kejadian ini mengukir sejarah kelam wilayah Punden,” keluh Danuseka.
“Kegagalan hal yang lumrah, selama Kau tidak menyerah, artinya Kau belum gagal Cucuku ... Cepatlah kembali, Kau tidak perlu risau dengan musibah yang menimpamu. Titipkan anak turunmu agar kau tidak melemah. Juga agar dia aman dari incaran makhluk itu.”
“Lalu, bagaimana dengan jenazah pengikut sesat yang tidak bisa dikebumikan,” jawab Danuseka.
“Larungkan saja, kami tidak menghendaki jasad mereka di telatah Punden. Sekalipun mereka sudah menjadi bangkai,” ucap salah satu sepuh yang juga duduk di tempat itu.
“Lalu bagaimana dengan istri saya,” tanya Danuseka sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu.
“Bukankah sudah tersampaikan? Kau tidak perlu risau dengan apa yang menimpamu, pergilah ... Wargamu menunggu keputusan darimu ....” jawab sesepuh gaib itu.
Danuseka mengangguk. Ia kembali ke alam manusia dengan sejuta pertanyaan perihal keberadaan sang istri. Namun, Danuseka harus berusaha sendiri. Setelah sukmanya kembali ke raga, Danuseka lekas menyampaikan perihal nasib mayat yang masih terbengkalai di tempat itu.
“Saudaraku sekalian, kita tidak perlu memakamkan jenazah-jenazah ini. Sebab, leluhur Punden tidak menghendakinya. Pilihan terbaik adalah melarungnya.” ucap Danuseka setelah berbaur dengan warganya.
Mendengar titah Danuseka, para warga langsung mengambil tandu dan membawa mayat-mayat itu menuju aliran sungai yang tidak jauh dari lokasi pemakaman.
***
Langit jingga menghiasi sore, Ajiseka terbangun dari mimpi. Dalam mimpi tersebut ia bertemu wanita tua yang memaksanya pergi dengan alasan untuk mempertemukan ia dan ibunya. Namun, Ajiseka menolak dan memilih pergi dari hadapan wanita tua. Saat terbangun Ajiseka merasakan ngilu pada pergelangan tangannya, ternyata memar terlihat nyata.
“ Mungkinkah ini terjadi akibat mimpi itu?” Ajiseka berbicara dengan nada lirih seiring langkahnya mencari keberadaan ayah.
“Romo, kapan Romo akan mencari ibu?” Ajiseka menagih ucapan sang ayah.
“Nak? Setiap hari Romo mencari ibu, tetapi sampai sekarang, Romo belum menemukannya. Maafkan Romo Nak?” ucap Danuseka sembari menundukkan kepalanya.
Mendengar jawaban sang ayah, Ajiseka tampak kecewa. Tetapi kekecewaannya hanya terlihat sebentar saja. Raut wajah Ajiseka berubah memerah. Bayangan ibunya yang direnggut paksa oleh makhluk bergaun merah, membuat dirinya seketika diamuk amarah.
“Ini karena makhluk jelek itu! Aji berjanji akan berlatih agar menjadi orang hebat! Romo, ajarkan Aji sesuatu agar keinginan Aji terwujud,” Ajiseka menatap ayahnya dengan penuh harap, ia benar-benar ingin menjadi orang hebat.
Danuseka merundukkan tubuhnya, kedua tangannya memegang bahu Ajiseka yang sedikit berguncang karena amarahnya.
“Dengarkan Romo baik-baik, orang hebat tidak mendendam, orang kuat itu melindungi orang yang lemah, orang hebat dan kuat tidak sembarang membunuh. Ajiseka, bisa?” ucap Danuseka kepada putranya.
“Tapi Aji ingin membalas makhluk itu, Romo?” kekeuh Ajiseka.
“Ajiseka tau tidak. Makhluk yang mengambil ibu itu berasal dari amarah dan dendam kesumat, Romo tidak ingin Ajiseka seperti itu. Ajiseka boleh menjadi hebat, tapi harus jadi orang baik. Mau?” ucap Danuseka.
Ajiseka mendengar dengan seksama ucapan yang terlontar dari ayahnya. Menelaah setiap perkataannya, tak lama kemudian ia mengangguk paham. Melihat bahasa tubuh putranya, Danuseka pun tersenyum.
“Baiklah, Romo yang akan mencari Ibu, tugas Ajiseka belajar agar hebat. Apakah Aji pernah membicarakan hal ini dengan Eyang?”
“Iya, Romo. Eyang menyuruh Aji pergi mencari padepokan yang tidak terlihat oleh makhluk jelek itu, apakah Romo tau tempatnya?” jawab Ajiseka.
“Romo tidak tau, tapi jika Eyang sudah berkata seperti itu, Romo yakin Aji akan menemukannya sendiri. Tetapi, baiknya Aji berlatih dengan tetua muda di wilayah Selatan Punden terlebih dahulu. Mau?”
Netra Ajiseka menatap langit-langit rumah. Manik matanya sedikit menyerong, menandakan jika dirinya sedang berpikir dan menimbang ucapan sang ayah, tak lama kemudian Ajiseka mengangguk.
“Baik! Aji mau!” ucap mantab Ajiseka.
“Sementara Romo akan mencari tau padepokan yang Aji maksud, Aji tidak perlu risau. Apakah masih ada yang mengganjal, Nak?”
Mendengar penuturan sang ayah, Ajiseka seketika teringat dengan mimpinya.
“Romo, tadi Aji mimpi bertemu wanita tua, Dia memaksa Aji ikut dirinya, lihatlah bekas memar ini.” Ajiseka menunjukkan luka di pergelangan tangannya.
“Nyai Ajeng Ratri.” Gumam Danuseka setelah melihat kilas balik mimpi dan menelisik bekas luka Ajiseka.
Belum sirna kekhawatirannya perihal Sariti, muncul satu sosok yang lebih berbahaya lagi, terlebih untuk Ajiseka.
****
Cicit burung mengantar langkah riang Ajiseka. Tekadnya yang kuat membuat dirinya mantab meninggalkan ayahnya. Bahkan, embun pagi yang dingin tidak menyurutkan ayunan langkahnya.Tepi Selatan menjadi tujuan pertama Ajiseka, ia dijemput oleh dua orang tetua yang cukup mumpuni. Belum lagi pengawalan diam-diam Ki Dirgodono, tetua sepuh Punden yang jarang sekali berbaur dengan warga. Lelaki yang piawai dalam penyamaran dan ahli menekan aura kedigdayaannya.Untuk pertama kalinya Ajiseka keluar dari pemukiman, langkahnya begitu riang manakala dirinya melintasi hutan lebat. Bahkan, Ajiseka tidak khawatir jika ada binatang buas seperti yang pernah diceritakan oleh sang ibu. Sesekali Ajiseka bersiul menirukan kicauan burung, terkadang mengernyitkan dahinya saat mencurigai sesuatu.Tiba-tiba Ajiseka berhenti, ia menatap tajam pohon besar yang letaknya tidak jauh dari tempatnya berdiri.“Ki, apakah itu gubuk, Aki?” tanya Ajiseka kepada Ki Sawung, tetua sepuh yang menjemputnya.“Bukan Aji? Gubuk A
Dewi Panguripan. Wanita dari bangsa lelembut beraliran putih, memiliki paras yang ayu dan berbudi baik. Sosoknya tidak banyak di kenal, sebab ia sendiri sejatinya sudah menjauh dari permasalahan-permasalahan dunia. Tetapi, tidak untuk keturunan penguasa Punden, pemilik keraton Setyaloka yang kini moksa. Kehadirannya yang tiba-tiba membuat Ki Sawung sedikit tergagap. “Ah, Nyai ... Maafkan saya yang tidak menyadari kehadiran Nyai,” “Tidak mengapa Ki Sawung, berikan ini kepadanya, biarkan dia sendiri yang mencari keberadaan padepokanku,” ucap Dewi Panguripan sembari memberikan Sebuah benda berbentuk daun berwarna kuning emas. “Maafkan saya Nyai, rasanya saya tidak tega membiarkan Ajiseka berangkat sendiri, Nyai?” “Tidak perlu khawatir, Ki. Dengan membawa benda ini lelembut wilayah Selatan tidak akan ada yang berani menyentuhnya, kecuali bocah itu mendapat rintangan lain. Kembalilah, energimu akan terkuras jika sukmamu terlalu lama di tempat ini.” Ki Sawung menyadari jika ucapan Dewi
Dhar!Dhar!Senyum mengembang manakala Ajiseka mampu membuat makhluk itu terpental jauh. Namun, bukan niat Ajiseka untuk melukai, ia gegas mengayunkan langkahnya menghampiri sosok yang baru saja terpental.“Maafkan aku, aku tidak berniat sekeras itu melemparmu,” tangan Ajiseka mencoba meraih pergelangan makhluk besar yang sedang terjerambab, tidak sedikit pun rasa takut dihati Ajiseka.“Kau yang mengajarkan diriku menyerang seperti itu. Bahkan, aku sama sekali belum pernah menggunakannya, sekali lagi maafkan aku,” ucap Ajiseka lagi.“Hua ha ha ha ha, Kau bocah kecil! Jangan bilang kau tidak tau sedang dimana dirimu saat ini, Kau tampak polos sekali,”Mendengar itu Ajiseka menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu ia menatap makhluk itu dengan raut muka yang bingung.“Lho, memangnya aku dimana? Di bumi kan? Bumi ciptaan sang pangeran kan? Setidaknya itu yang pernah Romo sampaikan kepadaku,” ucap Ajiseka.“Hua ha ha ha ... Ghoaar ... Kalau begitu, Kau harus mengalahkanku bocah kecil!”
Teng! Dalam sekejap Ajiseka tersadar, melihat sekeliling dan memastikan jika dirinya telah benar-benar kembali. Senyumnya mengembang manakala bilah-bilah bambu tersusun rapi mengitari Sekitarnya , artinya ia benar-benar berada di kediaman Ki Sawung. ‘Syukurlah aku sudah kembali.’ Monolog Ajiseka. Ia keluar dari bilik, berusaha mengayunkan langkah gontainya. Tetapi saat pandangan Ajiseka terarah di kegelapan malam, dirinya menangkap sekelebat bayangan. Persis seperti makhluk yang baru saja membersamainya di alam bawah sadar. “Terimakasih, Ki Kumbolo!” teriak Ajiseka. “Ada apa Ajiseka ...” jawab Kumbolo manakala berhenti melesat tepat di depan Ajiseka. “Eh? Tidak apa-apa, aku hanya mengucapkan terimakasih saja, Ki,” Ajiseka mengulum senyumnya, merasa lucu melihat makhluk yang begitu cepat kembali ke hadapannya. Tentu Ajiseka membayangkan Kumbolo yang begitu repot menghentikan laju dan kembali dalam sekejap. “Ah! Kau ini, baiklah” ucap Kumbolo, makhluk itu tidak lagi melesat, tetap
“Lepaskan aku!”Ajiseka ingin meronta manakala wanita sepuh itu seperti memangkas waktu. Pasalnya, dirinya dan wanita sepuh tidak berjalan saat mendekati gubuk, tetapi setiap kedipan mata posisinya semakin mendekati gubuk reot miliknya.“Tenangkan dirimu, Nak Mas. Nanti Kau akan senang di gubukku, aku hanya minta sedikit pengorbanan dari rasa ikhlasmu. Oleh karena itu, tenanglah.” Mendengar itu Ajiseka mengendurkan ototnya, ya! Ia tidak bisa bergerak, namun otot tubuhnya menegang, mengikuti gejolak amarahnya.Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Ajiseka, dirinya hanya perlu sedikit berpikir agar terlepas dari pengaruh digdaya wanita sepuh itu. Ajiseka mulai memikirkan sesuatu, tidak mungkin dirinya hanya diam tanpa melakukan perlawanan seperti saat ini. Sedangkan otaknya masih sangat mampu untuk mengatur strategi agar dirinya tidak terus menerus berada dalam kungkungan.“Ah! Baiklah, lepaskan diriku agar bisa seperti yang Simbah harapkan, jika tidak. Sampai kapan-pun aku tidak akan menu
Ajeng Ratri benar-benar murka, Dia sama sekali tidak menghentikan serangannya. Wanita sepuh itu terus melontarkan energi panas. Bahkan, kekuatannya melebihi yang sebelumnya. Sayang, kekuatan besar Ajeng Ratri malah menambah kehancuran alam mimpi yang dia kuasai.“Kau membuatku murka Tirtadunya!”“Seharusnya Kau murka kepada dirimu sendiri, Nyai. Bukankah Kau sendiri yang menghancurkan tempatmu ini? He?”“Semua karena Kau mencampuri urusanku!”“Tentu saja ikut campur, Nyai ... Karena aku adalah bagian dari mereka,”“Tirtadunya ... Sadarlah ... Kau berada di alam ciptaanku ... Artinya aku adalah dalang di tempat ini ... Eh eh eh” Ajeng Ratri mengibaskan tangannya.Gumpalan merah melesat dan memendarkan aura panas di sekitarnya. Dedaunan seketika layu, udara menghangat dan pengap. Bahkan, kondisi diwilayah itu menjadi temaram disertai kabut jingga.***Beberapa saat berada di tempat persembunyian membuat Ajiseka bosan, ia hanya mendengar ledakan-ledakan dan sesekali mendengar ocehan kedu
Semilir angin menerpa tubuh kecil Ajiseka, sudah sejak tadi ia hanya berdiri mematung di depan gapura saja. Jelas ia kebingungan, pasalnya ia tidak melihat adanya lalu lalang manusia di tempat itu. Namun, Ajiseka meyakinkan dirinya jika tempat yang dipijak saat ini sudah benar adanya.‘Apa yang harus aku lakukan? Tidak seorang pun berjaga disini. Ah, sudahlah! Lebih baik aku tunggu barang sebentar.’ Monolognya.Merasa bosan, Ajiseka mengayunkan langkah setapak demi setapak melewati gapura. Hal itu ia lakukan karena merasa terlalu lama menunggu keberadaan penjaga. Belum lagi kekhawatirannya perihal kebenaran padepokan yang katanya berada di alam lain.Wush!Dugh!Ajiseka terpental manakala sesuatu terlempar dan menubruk dirinya.“Hoi! Siapa kau!” teriak kesal Ajiseka.“Awas saja!” gerutu Ajiseka sembari melirik kiri dan kanan.Wush ...Tap!Tap!Benar saja. Ajiseka mendapat serangan untuk kedua kalinya. Namun, ia lebih waspada dari sebelumnya. Bahkan, Ajiseka menyadari dari mana datang
Seorang wanita nan anggun tiba-tiba muncul di tengah-tengah Ajiseka dan Galuh.“Kenapa tidak Kau tunjukkan kepada mereka benda yang sudah saya berikan, seharusnya benda itu kau tunjukkan saat memasuki gapura padepokan,” ucap wanita yang tidak lain Dewi Panguripan.Ajiseka baru sadar akan benda itu, lalu ia mengeluarkan dari sakunya dan hendak memberikan kepada wanita di depannya. Ajiseka juga menyadari jika wanita yang berdiri anggun itu adalah orang yang dimaksud oleh Ki Sawung. Tetapi Ajiseka butuh sedikit waktu untuk menetralisir amarahnya, terlebih ia juga merasakan keanehan yang terjadi pada dirinya. Setelah mereda barulah Ajiseka berucap.“Maafkan saya, Nyai. Gadis itu menyapa saya dengan cara yang tidak benar, Nyai.” ucap Ajiseka sembari menunjuk ke arah Galuh. Hal itu membuat Galuh mendelik kesal ke arah Ajiseka.Dewi Panguripan menoleh ke arah gadis kecil yang berdiri menunduk di belakang kedua lelaki penjaga gerbang. Kemudian tatapan netranya beralih ke Ajiseka yang hendak m