Share

5. Alam mimpi

Terik mentari pagi menghangatkan wajah-wajah sendu warga Punden. Berjibaku mengurusi puluhan mayat sisa tragedi semalam, duka diwilayah Punden tidak terelakkan lagi. Jangankan puluhan nyawa, satu nyawa saja melayang akibat kebengisan, mereka sangat menyayangkannya.

Belum genap satu bulan memangku tanggung jawab, Danuseka sudah di hadapkan dengan kenyataan pahit. Merasa terpukul karena tidak bisa mengemban amanah dari pendahulunya. Tetapi Danuseka tidak menunjukkan perih hatinya, ia masih terlihat tegar di depan warganya. Terlebih di depan Ajiseka, putra semata wayangnya.

Dirinya lebih memilih turut membantu warga menyiapkan keperluan pemakaman. Ikut menggali lubang raksasa agar pekerjaan cepat selesai. Bahkan, Danuseka tidak segan membersihkan jenazah yang hendak dimakamkan.

Lubang besar disiapkan untuk pemakaman warga, setidaknya ada tujuh lubang besar. Tetapi saat pemakaman berlangsung kejadian aneh menimpa mayat-mayat yang berasal dari luar Punden. Sekitar dua puluhan mayat menyembul ke permukaan, begitu juga tanah yang kembali rata. Hal itu membuat warga saling berbisik, sebagian malah terang-terangan menggunjingkan kejanggalan yang terjadi.

Danuseka segera bertindak, ia tidak ingin jenazah orang-orang yang turut melawan dirinya menjadi pergunjingan.

“Eheum ... Mohon maaf saudaraku semua. Baiknya kita Langitkan doa untuk semua jenazah yang sudah di kebumikan, begitu juga yang sedang menemui kendala saat pemakaman. Saya harap jangan digunjingkan. Sebab, sejatinya mereka sedang mendapat siksa angin dunia.” Ujar Danuseka sembari melihat kerumunan warga yang kini terdiam.

“Mari lapangkan dada, yang pergi tidak kembali, yang berlalu tidak bisa di ulang. Kita masih diberi nikmat kehidupan oleh sang Pangeran, sudah seharusnya senantiasa melangitkan doa untuk mereka yang baru saja memulai kehidupan abadinya. Sekali lagi, mari Langit-kan doa bersama.” ucap Danuseka lagi.

 Suasana pemakaman menjadi hening, tidak ada lagi pergunjingan dan saling bisik. Tidak lama kemudian alunan lantunan doa bergema. Danuseka sendiri yang bertindak memimpinnya.

Setelah selesai Danuseka beringsut. Ia mencari tempat yang tepat untuk memulai semedi agar lebih khusyuk dalam bermeditasi. Tidak lama kemudian Sukma Danuseka meninggalkan wadahnya. Ia menembus dimensi yang begitu tipis, namun suasananya sungguh jauh berbeda dengan bumi nyata yang ia pijak.

 Di sebuah bangunan megah ia mendaratkan diri, perlahan ia mengayunkan langkahnya. Namun, langkahnya terhenti manakala melihat beberapa orang sedang duduk bersila.

“Duduklah Danuseka ... Hapuskan muram durjamu,” mendengar itu Danuseka langsung bersimpuh. Sebab, merekalah yang hendak ditemui Olehnya. Maka, tanpa segan Danuseka langsung mengutarakan maksud dan tujuannya.

“Saya merasa gagal. Bahkan, kejadian ini mengukir sejarah kelam wilayah Punden,” keluh Danuseka.

“Kegagalan hal yang lumrah, selama Kau tidak menyerah, artinya Kau belum gagal Cucuku ... Cepatlah kembali, Kau tidak perlu risau dengan musibah yang menimpamu. Titipkan anak turunmu agar kau tidak melemah. Juga agar dia aman dari incaran makhluk itu.”

“Lalu, bagaimana dengan jenazah pengikut sesat yang tidak bisa dikebumikan,” jawab Danuseka.

“Larungkan saja, kami tidak menghendaki jasad mereka di telatah Punden. Sekalipun mereka sudah menjadi bangkai,” ucap salah satu sepuh yang juga duduk di tempat itu.

“Lalu bagaimana dengan istri saya,” tanya Danuseka sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu.

“Bukankah sudah tersampaikan? Kau tidak perlu risau dengan apa yang menimpamu, pergilah ... Wargamu menunggu keputusan darimu ....” jawab sesepuh gaib itu.

Danuseka mengangguk. Ia kembali ke alam manusia dengan sejuta pertanyaan perihal keberadaan sang istri. Namun, Danuseka harus berusaha sendiri. Setelah sukmanya kembali ke raga, Danuseka lekas menyampaikan perihal nasib mayat yang masih terbengkalai di tempat itu.

“Saudaraku sekalian, kita tidak perlu memakamkan jenazah-jenazah ini. Sebab, leluhur Punden tidak menghendakinya. Pilihan terbaik adalah melarungnya.” ucap Danuseka setelah berbaur dengan warganya.

Mendengar titah Danuseka, para warga langsung mengambil tandu dan membawa mayat-mayat itu menuju aliran sungai yang tidak jauh dari lokasi pemakaman.

***

Langit jingga menghiasi sore, Ajiseka terbangun dari mimpi. Dalam mimpi tersebut ia bertemu wanita tua yang memaksanya pergi dengan alasan untuk mempertemukan ia dan ibunya. Namun, Ajiseka menolak dan memilih pergi dari hadapan wanita tua. Saat terbangun Ajiseka merasakan ngilu pada pergelangan tangannya, ternyata memar terlihat nyata.

 “ Mungkinkah ini terjadi akibat mimpi itu?” Ajiseka berbicara dengan nada lirih seiring langkahnya mencari keberadaan ayah.

“Romo, kapan Romo akan mencari ibu?” Ajiseka menagih ucapan sang ayah.

“Nak? Setiap hari Romo mencari ibu, tetapi sampai sekarang, Romo belum menemukannya. Maafkan Romo Nak?” ucap Danuseka sembari menundukkan kepalanya.

Mendengar jawaban sang ayah, Ajiseka tampak kecewa. Tetapi kekecewaannya hanya terlihat sebentar saja. Raut wajah Ajiseka berubah memerah. Bayangan ibunya yang direnggut paksa oleh makhluk bergaun merah, membuat dirinya seketika diamuk amarah.

“Ini karena makhluk jelek itu! Aji berjanji akan berlatih agar menjadi orang hebat! Romo, ajarkan Aji sesuatu agar keinginan Aji terwujud,” Ajiseka menatap ayahnya dengan penuh harap, ia benar-benar ingin menjadi orang hebat.

Danuseka merundukkan tubuhnya, kedua tangannya memegang bahu Ajiseka yang sedikit berguncang karena amarahnya.

“Dengarkan Romo baik-baik, orang hebat tidak mendendam, orang kuat itu melindungi orang yang lemah, orang hebat dan kuat tidak sembarang membunuh. Ajiseka, bisa?” ucap Danuseka kepada putranya.

“Tapi Aji ingin membalas makhluk itu, Romo?” kekeuh Ajiseka.

“Ajiseka tau tidak. Makhluk yang mengambil ibu itu berasal dari amarah dan dendam kesumat, Romo tidak ingin Ajiseka seperti itu. Ajiseka boleh menjadi hebat, tapi harus jadi orang baik. Mau?” ucap Danuseka.

Ajiseka mendengar dengan seksama ucapan yang terlontar dari ayahnya. Menelaah setiap perkataannya, tak lama kemudian ia mengangguk paham. Melihat bahasa tubuh putranya, Danuseka pun tersenyum.

“Baiklah, Romo yang akan mencari Ibu, tugas Ajiseka belajar agar hebat. Apakah Aji pernah membicarakan hal ini dengan Eyang?”

“Iya, Romo. Eyang menyuruh Aji pergi mencari padepokan yang tidak terlihat oleh makhluk jelek itu, apakah Romo tau tempatnya?” jawab Ajiseka.

“Romo tidak tau, tapi jika Eyang sudah berkata seperti itu, Romo yakin Aji akan menemukannya sendiri. Tetapi, baiknya Aji berlatih dengan tetua muda di wilayah Selatan Punden terlebih dahulu. Mau?”

Netra Ajiseka menatap langit-langit rumah. Manik matanya sedikit menyerong, menandakan jika dirinya sedang berpikir dan menimbang ucapan sang ayah, tak lama kemudian Ajiseka mengangguk.

“Baik! Aji mau!” ucap mantab Ajiseka.

“Sementara Romo akan mencari tau padepokan yang Aji maksud, Aji tidak perlu risau. Apakah masih ada yang mengganjal, Nak?”

Mendengar penuturan sang ayah, Ajiseka seketika teringat dengan mimpinya.

“Romo, tadi Aji mimpi bertemu wanita tua, Dia memaksa Aji ikut dirinya, lihatlah bekas memar ini.” Ajiseka menunjukkan luka di pergelangan tangannya.

“Nyai Ajeng Ratri.” Gumam Danuseka setelah melihat kilas balik mimpi dan menelisik bekas luka Ajiseka.

Belum sirna kekhawatirannya perihal Sariti, muncul satu sosok yang lebih berbahaya lagi, terlebih untuk Ajiseka.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status