Ketika kebengisan dipertontonkan oleh Sariti, tetua wilayah punden tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa mengutuk sosok yang berdiri angkuh di atas sebuah batu besar. Ya! Sariti mengendalikan seluruh lawannya. Dia memanfaatkan amarah rekan-rekan Danuseka.
Cukup lama tubuh para tetua berada dalam kendali Sariti. Selama itu pula mereka menyaksikan penyiksaan yang terjadi bahkan, ketika sanak saudaranya meregang nyawa mereka hanya bisa meratapi. Lebih mengejutkan lagi pelakunya adalah warga punden yang disusupi makhluk tinggi besar dan berbulu. Pantaslah mereka tidak lagi merasa iba kepada sesama manusia. Sebab sejatinya yang melakukan itu Adalah makhluk-makhluk itu.
“Ki Danuseka!” tiba-tiba salah satu tetua berteriak memanggil nama pimpinannya. Dia tersadar pesan yang pernah disampaikan Danuseka.
Di tempat yang jauh dari Punden Danuseka menghentikan pengejarannya, dengan jelas ia mendengar teriakan yang memanggil namanya. Seketika Danuseka sadar jika ia telah terkecoh oleh Sariti. Gegas dirinya kembali ke wilayah Punden. Dengan menggunakan digdayanya dalam sekejap mata Danuseka sudah berpindah tempat.
“Hentikan!”
Kilatan cahaya putih menebas leher seorang lelaki yang sedikit lagi merenggut nyawa seorang tetua muda. Rupanya setelah memanggil Danuseka, tetua itu langsung di seret ke atas altar yang sekelilingnya terdapat puluhan mayat bergelimpangan.
Tatapan Danuseka nanar manakala melihat begitu banyak warganya yang meregang nyawa. Tragisnya yang turut menjadi korban adalah remaja dan wanita. Artinya seluruh mayat itu tidak hanya dari pertempuran saja, melainkan dari pemukiman wilayah Punden yang seharusnya tidak turut terkena imbasnya.
Danuseka benar-benar Murka menyaksikannya.
“Biadab Kau! Makhluk laknat!” sentak Danuseka sembari mengibaskan tangannya. Tidak disangka, efek kibasan tangan Danuseka membuat pengikut Sariti dari kalangan manusia tewas seketika.
Ledakan dahsyat terjadi manakala Danuseka melesatkan kekuatan dari telapak tangannya.
Akibatnya seluruh siluman binasa, rata-rata meledak dan kepala terpisah dari badannya. Kecuali dua pimpinan siluman. Digdayanya cukup kuat menahan gelombang dahsyat kekuatan Danuseka.
“PUNDEN KEPATEN! Mulai sekarang! Tidak kuizinkan kebengisan terjadi lagi di wilayah Punden!” ucapan Danuseka menggelegar, membahana di kawasan puncak Punden.
Jangankan tetua di bawah kepemimpinannya. Sosok dua bawahan Sariti juga dibuat gentar dengan ucapan itu. Namun, tidak dengan Sariti. Dia malah tersenyum miring, lalu menyeringai. Kekacauan punden adalah keinginannya, lemahnya kekuatan manusia adalah tujuannya.
“Sudahlah, Danuseka ... Bawa pergi sisa warga punden ... Itu jika Kau menginginkan kehidupan yang tenteram untuk mereka ... Lepaskan wilayah ini, Kau! Hanya penerus masa lalu saja, sedangkan Aku adalah bagian masa itu ... “
“Kekacauan ini akibat dendam masa lalumu! Perlu kau tau, Wahai makhluk Laknat! Garis keturunan Trah Setyaloka tidak akan mundur!”
Mendengar ucapan yang dilontarkan Danuseka, seringai mengejek Sariti tiba-tiba pudar. Raut wajahnya pun berubah kuyu, pasalnya ia teringat tragedi ratusan tahun yang menimpanya. Tetapi perubahan raut wajah itu berubah drastis bahkan, amarahnya seolah tersulut.
“Suatu saat, Kau akan melihat kehancuran di tempat ini, Danuseka! Aku tetap hidup selama ada dendam dan kebengisan! Sedangkan kau hanya akan berakhir dalam kubur!”
“Sudah menjadi kodrat manusia seperti itu. Kau yang seharusnya mengubur keinginan semasa hidupmu!”
“Keinginanku tidak akan pernah berakhir, Danuseka ... Ingatlah itu ...”
“Sayangnya, Kau akan terus berhadapan dengan garis keturunan Setyaloka bahkan, saat ini Kau sudah tidak memiliki lagi kekuatan untuk melawannya!”
“Seperti itu?” Sariti menatap tajam manik mata Danuseka bahkan, tatapan keduanya bersirobok. Menandakan jika keduanya sama-sama memiliki pendirian kuat.
“Kalian semua! Kembalilah ke pemukiman. Biarkan saya sendiri yang mengurus makhluk-makhluk ini!” ucap Danuseka sembari menunjuk ke arah Sariti dan dua pimpinan siluman wilayah Punden.
Tidak satu-pun orang berani berucap. Pasalnya saat berbicara tatapan Danuseka begitu tajam, bahkan netra Danuseka tidak seperti biasanya. Hal itu membuat seluruh warga Punden menuruti perintah pimpinannya.
“Bersiaplah mempertanggungjawabkan perbuatan kalian!” sentak Danuseka kepada tiga makhluk di depannya.
Ia melakukan serangan terlebih dahulu. Merangsek maju dengan kekuatan penuh bahkan, digdaya aneh mulai ia gunakan. Ya! Kekuatan langka warisan dari leluhurnya terpaksa ia gunakan.
Sariti dan kedua pimpinan siluman disibukkan dengan pergerakan Danuseka yang misterius. Pasalnya mereka tidak bisa melihat dengan pasti sosok Danuseka, samar dan cenderung tidak terlihat. Belum lagi aura panas yang di timbulkan, membuat energi ketiganya cepat terkuras.
“Sial! Kalian berdua bisa lebur jika terus seperti ini!” ujar Sariti kepada dua bawahannya.
“Kami tidak akan binasa, Nyai ...” jawab pimpinan siluman ular sembari berkelebat.
“Jangan bodoh! Kalian tidak binasa, tapi hal buruk akan terjadi pada kalian! Tinggalkan tempat ini segera!” perintah Sariti kepada dua bawaan.
Dhar!
Dhar!
Perintah Sariti terlambat. Dua ledakan menghantam Sariti berikut kedua pimpinan siluman.
“Katakan! Siapa diantara kalian yang menculik istriku!” ucap lantang Danuseka setelah tiga lawannya terluka cukup parah.
Danuseka benar-benar mewarisi kekuatan dari ayahnya bahkan, wibawanya tidak hanya berpengaruh kepada manusia. Tetapi juga kepada tiga makhluk seperti Sariti dan dua bawahannya.
“Cepat katakan!” bentak Danuseka.
“Tidak semua kejadian buruk kami yang melakukannya, bukankah kami tidak tau menahu perihal keluargamu? Lagi pula tidak ada untungnya kami menculiknya bukan?” jawab Sariti.
“Semakin Kau banyak bicara, semakin membuatku yakin jika Kau pelakunya! Dimana kau sembunyikan istriku!” sentak Danuseka lagi.
Sariti terdiam beberapa saat, ia memutar otaknya agar tidak terus di desak oleh Danuseka. Disisi lain juga khawatir jika Danuseka memiliki digdaya yang mampu melihat kejadian sebelumnya. Setelah lama berpikir, akhirnya Sariti membuka suara.
“Baiklah. Akulah yang membawa istrimu, tetapi aku dihadang oleh lelaki tua, dan saat ini istrimu berada ditangannya,” ucap jujur Sariti.
Namun Danuseka tidak lantas percaya begitu saja. Ia memejamkan netranya, menelisik kebenaran dari ucapan Sariti.
Setelah beberapa saat menelisik Danuseka pun membuka Netranya.
“Baiklah! Untuk urusan ini aku percaya dengan ucapanmu, tetapi kalian penyebab pertumpahan darah, apa yang bisa kalian Pertanggungjawabkan dengan kesalahan ini, hah!”
“Danuseka! Pelankan suaramu! Kami bukanlah budakmu yang bisa seenaknya kau bentak!” Pimpinan siluman Danau tepi Barat tentu tidak takut akan kematian bahkan, kedua rekannya sesungguhnya tidak khawatir akan hal itu.
“Baiklah, jika kalian ingin menjadi sebuah benda, aku akan melakukannya untuk kalian!” sentak Danuseka.
Sebuah ancaman yang tidak bisa di anggap remeh oleh ketiga makhluk itu. Pasalnya mereka begitu takut jika Danuseka mengungkung mereka malam ini juga. Bukan pekerjaan yang sulit, terlebih lagi keadaan mereka tidak memungkinkan untuk melawannya bahkan, tanpa luka yang mereka derita pun Danuseka mampu melakukannya.
“Begini saja Danuseka, kami tidak akan mengganggu wargamu. Tetapi, jika ada salah satu manusia di wilayah punden membutuhkan kami, maka kami akan meminta upah yang semestinya kepada mereka.” timpal Sariti.
Danuseka menyetujui permintaan Sariti, bukan tanpa sebab. Setiap manusia pemikiran yang tidak bisa di pahami oleh orang lain, oleh sebab itu Danuseka tidak berani menjamin jika warga Punden tidak akan terpengaruh oleh tipu daya Sariti. Danuseka memiliki pertimbangan lain perihal itu. Mengingat sosok yang dia hadapi bukanlah sosok biasa. Walau-pun malam ini mereka kalah. Bahkan, ketika menjadi benda sekalipun, digdaya mereka sama sekali tidak musnah.
***
Terik mentari pagi menghangatkan wajah-wajah sendu warga Punden. Berjibaku mengurusi puluhan mayat sisa tragedi semalam, duka diwilayah Punden tidak terelakkan lagi. Jangankan puluhan nyawa, satu nyawa saja melayang akibat kebengisan, mereka sangat menyayangkannya. Belum genap satu bulan memangku tanggung jawab, Danuseka sudah di hadapkan dengan kenyataan pahit. Merasa terpukul karena tidak bisa mengemban amanah dari pendahulunya. Tetapi Danuseka tidak menunjukkan perih hatinya, ia masih terlihat tegar di depan warganya. Terlebih di depan Ajiseka, putra semata wayangnya. Dirinya lebih memilih turut membantu warga menyiapkan keperluan pemakaman. Ikut menggali lubang raksasa agar pekerjaan cepat selesai. Bahkan, Danuseka tidak segan membersihkan jenazah yang hendak dimakamkan. Lubang besar disiapkan untuk pemakaman warga, setidaknya ada tujuh lubang besar. Tetapi saat pemakaman berlangsung kejadian aneh menimpa mayat-mayat yang berasal dari luar Punden. Sekitar dua puluhan mayat meny
Cicit burung mengantar langkah riang Ajiseka. Tekadnya yang kuat membuat dirinya mantab meninggalkan ayahnya. Bahkan, embun pagi yang dingin tidak menyurutkan ayunan langkahnya.Tepi Selatan menjadi tujuan pertama Ajiseka, ia dijemput oleh dua orang tetua yang cukup mumpuni. Belum lagi pengawalan diam-diam Ki Dirgodono, tetua sepuh Punden yang jarang sekali berbaur dengan warga. Lelaki yang piawai dalam penyamaran dan ahli menekan aura kedigdayaannya.Untuk pertama kalinya Ajiseka keluar dari pemukiman, langkahnya begitu riang manakala dirinya melintasi hutan lebat. Bahkan, Ajiseka tidak khawatir jika ada binatang buas seperti yang pernah diceritakan oleh sang ibu. Sesekali Ajiseka bersiul menirukan kicauan burung, terkadang mengernyitkan dahinya saat mencurigai sesuatu.Tiba-tiba Ajiseka berhenti, ia menatap tajam pohon besar yang letaknya tidak jauh dari tempatnya berdiri.“Ki, apakah itu gubuk, Aki?” tanya Ajiseka kepada Ki Sawung, tetua sepuh yang menjemputnya.“Bukan Aji? Gubuk A
Dewi Panguripan. Wanita dari bangsa lelembut beraliran putih, memiliki paras yang ayu dan berbudi baik. Sosoknya tidak banyak di kenal, sebab ia sendiri sejatinya sudah menjauh dari permasalahan-permasalahan dunia. Tetapi, tidak untuk keturunan penguasa Punden, pemilik keraton Setyaloka yang kini moksa. Kehadirannya yang tiba-tiba membuat Ki Sawung sedikit tergagap. “Ah, Nyai ... Maafkan saya yang tidak menyadari kehadiran Nyai,” “Tidak mengapa Ki Sawung, berikan ini kepadanya, biarkan dia sendiri yang mencari keberadaan padepokanku,” ucap Dewi Panguripan sembari memberikan Sebuah benda berbentuk daun berwarna kuning emas. “Maafkan saya Nyai, rasanya saya tidak tega membiarkan Ajiseka berangkat sendiri, Nyai?” “Tidak perlu khawatir, Ki. Dengan membawa benda ini lelembut wilayah Selatan tidak akan ada yang berani menyentuhnya, kecuali bocah itu mendapat rintangan lain. Kembalilah, energimu akan terkuras jika sukmamu terlalu lama di tempat ini.” Ki Sawung menyadari jika ucapan Dewi
Dhar!Dhar!Senyum mengembang manakala Ajiseka mampu membuat makhluk itu terpental jauh. Namun, bukan niat Ajiseka untuk melukai, ia gegas mengayunkan langkahnya menghampiri sosok yang baru saja terpental.“Maafkan aku, aku tidak berniat sekeras itu melemparmu,” tangan Ajiseka mencoba meraih pergelangan makhluk besar yang sedang terjerambab, tidak sedikit pun rasa takut dihati Ajiseka.“Kau yang mengajarkan diriku menyerang seperti itu. Bahkan, aku sama sekali belum pernah menggunakannya, sekali lagi maafkan aku,” ucap Ajiseka lagi.“Hua ha ha ha ha, Kau bocah kecil! Jangan bilang kau tidak tau sedang dimana dirimu saat ini, Kau tampak polos sekali,”Mendengar itu Ajiseka menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu ia menatap makhluk itu dengan raut muka yang bingung.“Lho, memangnya aku dimana? Di bumi kan? Bumi ciptaan sang pangeran kan? Setidaknya itu yang pernah Romo sampaikan kepadaku,” ucap Ajiseka.“Hua ha ha ha ... Ghoaar ... Kalau begitu, Kau harus mengalahkanku bocah kecil!”
Teng! Dalam sekejap Ajiseka tersadar, melihat sekeliling dan memastikan jika dirinya telah benar-benar kembali. Senyumnya mengembang manakala bilah-bilah bambu tersusun rapi mengitari Sekitarnya , artinya ia benar-benar berada di kediaman Ki Sawung. ‘Syukurlah aku sudah kembali.’ Monolog Ajiseka. Ia keluar dari bilik, berusaha mengayunkan langkah gontainya. Tetapi saat pandangan Ajiseka terarah di kegelapan malam, dirinya menangkap sekelebat bayangan. Persis seperti makhluk yang baru saja membersamainya di alam bawah sadar. “Terimakasih, Ki Kumbolo!” teriak Ajiseka. “Ada apa Ajiseka ...” jawab Kumbolo manakala berhenti melesat tepat di depan Ajiseka. “Eh? Tidak apa-apa, aku hanya mengucapkan terimakasih saja, Ki,” Ajiseka mengulum senyumnya, merasa lucu melihat makhluk yang begitu cepat kembali ke hadapannya. Tentu Ajiseka membayangkan Kumbolo yang begitu repot menghentikan laju dan kembali dalam sekejap. “Ah! Kau ini, baiklah” ucap Kumbolo, makhluk itu tidak lagi melesat, tetap
“Lepaskan aku!”Ajiseka ingin meronta manakala wanita sepuh itu seperti memangkas waktu. Pasalnya, dirinya dan wanita sepuh tidak berjalan saat mendekati gubuk, tetapi setiap kedipan mata posisinya semakin mendekati gubuk reot miliknya.“Tenangkan dirimu, Nak Mas. Nanti Kau akan senang di gubukku, aku hanya minta sedikit pengorbanan dari rasa ikhlasmu. Oleh karena itu, tenanglah.” Mendengar itu Ajiseka mengendurkan ototnya, ya! Ia tidak bisa bergerak, namun otot tubuhnya menegang, mengikuti gejolak amarahnya.Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Ajiseka, dirinya hanya perlu sedikit berpikir agar terlepas dari pengaruh digdaya wanita sepuh itu. Ajiseka mulai memikirkan sesuatu, tidak mungkin dirinya hanya diam tanpa melakukan perlawanan seperti saat ini. Sedangkan otaknya masih sangat mampu untuk mengatur strategi agar dirinya tidak terus menerus berada dalam kungkungan.“Ah! Baiklah, lepaskan diriku agar bisa seperti yang Simbah harapkan, jika tidak. Sampai kapan-pun aku tidak akan menu
Ajeng Ratri benar-benar murka, Dia sama sekali tidak menghentikan serangannya. Wanita sepuh itu terus melontarkan energi panas. Bahkan, kekuatannya melebihi yang sebelumnya. Sayang, kekuatan besar Ajeng Ratri malah menambah kehancuran alam mimpi yang dia kuasai.“Kau membuatku murka Tirtadunya!”“Seharusnya Kau murka kepada dirimu sendiri, Nyai. Bukankah Kau sendiri yang menghancurkan tempatmu ini? He?”“Semua karena Kau mencampuri urusanku!”“Tentu saja ikut campur, Nyai ... Karena aku adalah bagian dari mereka,”“Tirtadunya ... Sadarlah ... Kau berada di alam ciptaanku ... Artinya aku adalah dalang di tempat ini ... Eh eh eh” Ajeng Ratri mengibaskan tangannya.Gumpalan merah melesat dan memendarkan aura panas di sekitarnya. Dedaunan seketika layu, udara menghangat dan pengap. Bahkan, kondisi diwilayah itu menjadi temaram disertai kabut jingga.***Beberapa saat berada di tempat persembunyian membuat Ajiseka bosan, ia hanya mendengar ledakan-ledakan dan sesekali mendengar ocehan kedu
Semilir angin menerpa tubuh kecil Ajiseka, sudah sejak tadi ia hanya berdiri mematung di depan gapura saja. Jelas ia kebingungan, pasalnya ia tidak melihat adanya lalu lalang manusia di tempat itu. Namun, Ajiseka meyakinkan dirinya jika tempat yang dipijak saat ini sudah benar adanya.‘Apa yang harus aku lakukan? Tidak seorang pun berjaga disini. Ah, sudahlah! Lebih baik aku tunggu barang sebentar.’ Monolognya.Merasa bosan, Ajiseka mengayunkan langkah setapak demi setapak melewati gapura. Hal itu ia lakukan karena merasa terlalu lama menunggu keberadaan penjaga. Belum lagi kekhawatirannya perihal kebenaran padepokan yang katanya berada di alam lain.Wush!Dugh!Ajiseka terpental manakala sesuatu terlempar dan menubruk dirinya.“Hoi! Siapa kau!” teriak kesal Ajiseka.“Awas saja!” gerutu Ajiseka sembari melirik kiri dan kanan.Wush ...Tap!Tap!Benar saja. Ajiseka mendapat serangan untuk kedua kalinya. Namun, ia lebih waspada dari sebelumnya. Bahkan, Ajiseka menyadari dari mana datang