Share

Pintu Bergerak Sendiri

Qiana adalah anak yang ceria, cantik, dan mudah bergaul kesehariannya sama seperti anak lain, hanya saja. Ia memiliki garis keturunan yang dapat merasakan pergerakan supranatural. Ia pun percaya bahwa ada makhluk dari dimensi lain. Kita cukup menghargai keberadaan mereka itu saja. Qiana anak sulung dari dua bersaudara, ayah dan ibunya adalah guru sedangkan adiknya Sila masih di kelas tujuh. Hidupnya berubah setelah permainan memanggil roh di sekolah, tidurnya tak lagi nyenyak mimpi terus diganggu oleh anak sekolah berseragam putih abu-abu rambut sebahu tertunduk murung. Dari samping pinggangnya ada dau tangan berkuku hitam dan panjang merayap lalu anak itu mengangkat wajah, membuka mulut lebar dengan mata yang berwarna hitam pekat.

Qian terbangun dari tidur dengan bunyi alarm yang mengagetkan, napasnya berat keringat mengucur dari semua sisi dahi.

"Mimpi lagi!" Hampir setiap hari mimpi yang sama terus muncul dan ia pasti akan terbangun saat alarmnya berbunyi. Seakan itu adalah penyelamat kala kesadaran tidak mampu ia raih.

Qian melihat jam dinding. Jam enam pagi, semalam ia tidur jam berapa? Kenapa tubuhnya masih saja merasa lelah, dalam mimpi Qiana akan selalu berlari tak tentu arah kala makhluk itu muncul merayap di dinding.

Dari ujung selimut yang menutupi kaki ada yang bergerak terus mendekat sampai pada betisnya. Qiana menarik pelan-pelan selimut itu, ingin tahu apa yang bergerak di bawah kakinya, deru napas juga cepat detak jantungnya saat ini. Selimut itu terus ia tarik perlahan. Dan.

"Miyaong-miyaong." Qiana menghela napasnya lega seraya menarik kucing dalam dekapan, kucing kampung berbulu putih abu-abu itu menempel manja padanya. Ia sudah memiliki kucing itu semenjak kos di sini. Qiana memutuskan untuk kos sendiri semenjak kelas sepuluh. Hanya butuh waktu beberapa menit untuk sampai ke sekolah, ia terbiasa berjalan kaki dengan anak lain yang sama-sama kos di tempat ini.

"Qin, tungguin gue dong!" Pelita baru saja sampai. Keduanya berjalan bersama masuk pintu gerbang.

Dari belakang bunyi klakson mobil berwarna merah. Qiana dan Pelita sama-sama menoleh, di dalamnya ada Dewa yang mereka tau anak 12 yang mengherankan ada Federica di sampingnya, tersenyum bangga sambil melambaikan tangan. 

Dewa sedikitpun tidak menoleh ia memang terkenal dingin juga sombong. Selain terkenal karena garis wajah yang memikat kaum hawa, yang bisa dekat dengannya bisa dihitung terlihat dari ia yang tidak memiliki banyak teman. Tapi, tidak mengurangi sorakan suara para siswa termasuk di kelas Qiana, mereka akan rela menunggu Dewa lewat hanya ingin melihat bagaimana ia terlihat misterius.

"Gue duluan ya!" pamit Federica. Mobil berjalan pelan berlalu masuk.

"Oke." Qiana melihat Pelita. "Itu Dewa kan, kakak kelas yang katanya nggak punya temen?"

"Iyah, ko bisa ama Fee ya? Padahal dulu Dewa gak pernah respon perasaan dia loh. Dia udah suka dari kelas sepuluh," tutur Pelita, tetap melangkah pada halaman sekolah.

"Mungkin baru sekarang tuh kanebo kering sadar," kata Qiana. Dengan kikikan kecil mereka semakin masuk kedalam halaman sekolah.

"Qin, lo ngerasa ga ada yang aneh sama Vanessa, Fee juga? Mereka kaya nghindar gitu dari kita, mesti so sibuk," selidiki Pelita ala-ala detektif penuh curiga.

"Ya ialah mereka sibuk nggak kaya kita."

"Jomblo sejati," ucap keduanya sambil tertawa terbahak, tangan keduanya terulur lalu kembali ditarik manja alat tos cantik. Pelita menautkan tangannya di sikut Qian, mendekati kelas mereka masih dengan tawa. Di dalam kelas ada Dewa pemandangan yang aneh menurut anak lain, gosip sudah menyebar ke seantero sekolah jika Fee adalah kekasih Dewa. Anak laki-laki ganteng yang tidak bisa diajak berteman. Ditambah tidak ada bantahan dari keduanya. Bel masuk kelas berbunyi anak perempuan yang tadi saling berbisik akhirnya bubar diiringi suara Dewa berpamitan.

"Gue ke kelas," Sekalipun katanya pacaran, tapi Dewa tetap saja berbicara dingin serta misterius. 

"Pulang jemput gue!" tidak ada kata yang Dewa ucapkan namun Federica yakin Dewa pasti akan menunggu di parkiran saat pulang sekolah nanti, sudah beberapa hari ini selalu seperti itu, sekalipun Dewa masih pelit dengan suaranya.

Pelita duduk di samping Federica. "Udah jadi bener?" tanyanya serius.

"Keliatannya? Gue nggak nyangka Dewa dari luar sombong, dingin lagi. Ternyata...? Aslinya dia romantis banget ..." ujar Federica tersipu-sipu, seakan melemah.

Bibir Pelita mencibir melihat Federica.

"Sirik lo ya," decak Federica.

"Sory ya... Ratu jomblo ini tidak pernah sirik sama yang namanya pa-ca-ran." Tangan Pelita seakan ikut mengeja kata yang Pelita ucapkan.

Qiana menghentikan perdebatan mereka dengan pertanyaan. "Gue pengen nanya sama kalian? Seudah kita main jai langkung kalian pernah mimpi serem ga? Misal anak sekolah yang diri di pojokan," Qiana keluar dari topik pembicaraan, suaranya lebih dipelankan agar tidak ada yang mendengar.

Mereka saling memandang satu sama lain. "Nggak." Semuanya kompak menggeleng. 

'berarti cuma gue doang' batin Qiana.

"Sebetulnya." Federica langsung menyenggol lengan Vanessa, membuat Vanessa kembali terdiam. 

"Kenapa?" tanya Qiana selidik.

"Mmmm, gak papa ko." Vanessa menunduk tidak berani melanjutkan perkataannya.

Di tengah pelajaran berikutnya berganti Qiana izin ingin ke toilet ia berjalan sendirian di lorong kelas. Toilet ada di antara kelas dua belas dan ruang Lap. Karena belum jam istirahat toilet sepi hanya ada Qiana di dalam, dengan empat baris pintu yang terbuka, udara terasa berbeda saat pertama kali Qiana masuk tadi. Berkali-kali Qiana menoleh. Tidak ada siapapun, namun rasanya ada seseorang yang mengikuti.

Satu pintu yang paling ujung bergerak, terbuka tertutup dengan sendirinya, terus seperti itu. Gesekan grendel pintu terdengar berdecit. Qiana masih memperhatikan pintu itu heran. 'angin kenceng banget' komentarnya dalam hati. Kemudian. 'dari mana angin masuk?' balasnya kembali dalam hati. Lantas bulu-bulu halus di tengkuknya kembali berdiri, seketika suasana menjadi tidak nyaman. Qiana mempercepat langkah untuk keluar dari toilet, tiba-tiba saja terdengar bisikan sangat dekat di telinganya.

'Aku, ada di belakang!' 

Qiana tidak tahu siapa yang berbisik yang jelas di sini tidak ada siapapun 'mungkin kelas sebelah.' Otaknya masih berpikir logika tapi tidak seiring dengan langkah yang kian cepat. Syukurlah tidak seperti di film-film pintu utama toilet terkunci dan ia terjebak di dalamnya. Karena kenyataan pintunya terbuka dengan mudah dan ia segera menemukan cahaya matahari siang, sekalipun jantungnya masih berdenyut tidak beraturan.

"Aduhh..." Jidat Qiana menabrak dada seseorang. "sorry." Ia mengusap dahinya. 'orang ini kayaknya dari ruang lap masih pake jubah putih' komentarnya dalam hati.

Mata tanpa ekspresi. Datar, andai tadi Qiana tidak mendengar detak jantungnya pasti Qiana pikir 'ini orang mayat hidup' Qiana masih menunggu kata. 

Dewa hanya melihatnya datar, keduanya hanya saling terdiam. Qiana mengatupkan mulutnya, percuma rasanya menunggu kata dari laki-laki ini, akhirnya Qiana pergi meninggalkan Dewa yang masih tanpa kata.

"Sepatu!" suara dingin Dewa seketika menghentikan langkah Qiana.

Ada apa dengan sepatunya? Dewa begitu saja berlalu, tanpa sempat bertanya. Qiana perlahan menunduk melihat ke arah bawah.

'Tali sepatunya lepas.'

"Sumpah! Baru kali ini gue ketemu spesies model gitu!" Omel Qiana baru saja duduk di kursinya.

"Sejenis apa Qin?" Pelita malah tertawa.

Selain tadi pertama kali melihat mata Dewa yang datar. Qiana masih berpikir keras, tadi. Apa? Di toilet? Siapa yang berbisik? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status