Share

Kepalanya Terpelintir

Suara ketukan pintu menyita pandangan semua siswa, mereka melihat arah yang sama, pintu yang tadi diketuk. Sedangkan di depan papan tulis guru sedang menulis. 

"Siang pak maaf mengganggu jam pelajaran." Izin seorang guru perempuan yang masih terlihat muda.

"Tidak apa-apa bu, silahkan ada perlu apa?"

Guru perempuan berseragam batik tadi maju beberapa langkah. "Yang namanya Pelita?" panggilnya. 

"Saya Bu, Hadir." Pelita mengangkat tangannya. 

"Ikut Ibu ke Kantor!"

Pelita melihat Qiana dan yang lainnya, ia tidak merasa punya salah sampai harus dipanggil ke kantor. Pelita bangun mengikuti arah langkah gurunya, sedangkan siswa yang lain kembali belajar. 

Menyusuri lorong sepi sampai pada ujung. Keluar dari area sekolah masuk ke area kantor. Mereka terus berjalan. Masuk ruang kepala sekolah.

"Pelita ya?" Pelita mengangguk.

"Duduk!" Di depannya ada dua orang Polisi, dua guru dan Pak Kepala Sekolah. 

"Pelita yang sabar ya!" Kata guru perempuan sambil mengusap punggungnya. 

"Kenapa bu? Beasiswa saya mau dicabut?"

Gurunya menggeleng. "Kita dengarkan penjelasan Pak Polisi dulu."

"Nak Pelita, sebelumnya kami dari kepolisian turut berduka atas musibah ini." Musibah? Pelita masih bingung.

"Kami dari kepolisian baru saja mengungkap pembunuhan, yang kemungkinan salah satu korbannya adalah ibu nak Pelita. Tapi kami harus menyelidiki lebih lanjut dan butuh kesaksian adik sebagai anak dan DNA untuk lebih memastikan korban adalah benar ibu nak Pelita!"

Pelita menutup mulutnya ia menangis, gurunya langsung memeluknya. "sabar Pelita. Sabar!"

"Ibu." panggilnya menangis. 

Polisi pun bingung bagaimana cara menjelaskan pada Pelita dengan benar agar tidak melukai mentalnya, apa lagi menurut informasi gurunya Pelita sudah ditinggalkan Ayahnya, hanya tinggal ia dan adik perempuannya.

"Sehubungan dengan itu, kami dari Kepolisian butuh data lengkap keluarga terutama anak, karena korban sudah tidak bisa dikenali. Dan maaf jenazah ditemukan dikubur bersamaan dengan korban lain di bawah wc."

Pelita menangis sejadi-jadinya sampai terdengar ke ruangan lain. "ibu." teriaknya berkali-kali memanggil ibunya.

"Sabar sayang, Pelita, ini cobaan Nak." Gurunya memeluk kuat, ingin membagi dukungan.

Giliran kepala sekolah yang berujar.

"Dari pihak sekolah sudah memberi tahu keluarga Pelita, sekarang semuanya ada di kantor Polisi," penjelasannya. Pelita masih menangis. "Sekarang Ibu guru sama pak Polisi, anter Pelita ke rumah sakit buat ambil sampel DNA, dan keperluan penyelidikan lainnya!" Pelita masih menangis ia tidak sanggup, ini beban yang belum sanggup ia tanggung tubuhnya lemas hampir pingsan dalam tangisan, andai tidak ada guru yang menyadarkannya untuk tetap kuat.

"Pelita sadar Nak! Pelita." Pipinya terus dipukul kecil serta diberikan minyak kayu putih agar pelita tetap tersadar, sekalipun ia masih menderaikan air mata terus memanggil ibunya.

Waktu terus berjalan sesaat Pelita dibiarkan istirahat terlebih dahulu sedangkan polisi dan guru masih berbincang menunggu mental Pelita kuat.

Qiana :

Jam istirahat baru saja berbunyi Qiana sudah berdiri di depan kantor menunggu Pelita keluar. Dari sudut ke sudut mata Qiana terus melihat area luas sekolah. Sampai pada langkah kaki terlihat keluar dari pintu kantor ia menoleh. Pelita masih dalam rangkuman ibu Iis yang tadi datang ke kelasnya, terlihat dari wajah pelita dan matanya yang lembap Qiana tahu ada masalah besar yang menimpa sahabatnya itu. Qiana melihat semua orang yang keluar dari kantor, 'kenapa ada polisi?' Setelah semua orang berpamitan dan saling menjabat tangan barulah Qiana berani mendekat.

"Qin." Pelita memeluknya lantas kembali menangis, "ibu." Ia terus menangis lara, kenapa malang seakan tidak menjauh darinya, setelah sang Ayah meninggalkan karena sakit memaksa ibu banting tulang untuk menghidupi ia dan adiknya, kini? Ibunya sendiri yang pergi dengan cara menyakitkan.

"Bawa Pelita ke UKS, biar dia istirahat sebentar, ibu masih ada urusan! Nanti ibu nyusul baru kita ke rumah sakit."

"Iya bu," Qiana membawa Pelita.

"kenapa Ta? Ko rumah sakit?"

Seakan ingin menumpahkan emosi sedih yang dipendam tadi, sekarang Pelita menangis lebih pilu, Qiana adalah kebebasan untuknya, semua masalah yang ia punya selama ini telah terbagi bersama Qiana.

Qiana adalah sahabat sejati.

Setelah ia puas menjerit dalam tangisan di pelukan Qiana barulah ia mulai bercerita. "Orang yang punya rumah tempat kerja ibu, ternyata sakit jiwa. Dia psikopat Qin, dan kemungkinan ibu jadi salah satu korban. Ibu ketemu tapi udah gak ada Qin," Pelita kembali menangis. Qiana ikut meneteskan air mata, kenyataan yang sulit diterima ternyata dunia itu sempit hal seperti ini bisa saja terjadi disekeliling kita. 

"Terus, gimana kejadiannya?" 

"Tempat kerja ibu yang aku datengin ternyata pembunuhnya. Polisi mulai curiga banyak laporan kehilangan setelah kerja di rumah dia, dari situ Polisi mulai penyelidikan dan bener Qin, banyak korban salah satunya mungkin ibu, jasadnya dikubur di bawah WC."

Qiana terhenyak mendengar penjelasan Pelita dimana jasad ibunya bersama korban lain ditemukan. Apa masih ada hubungan dengan roh itu, apa roh itu sedang menuntunya untuk menemukan siapa pembunuhnya. Qiana mengenyahkan segala urusan roh itu terlebih dahulu, Pelita sedang butuh ia saat ini.

"Pelita sudah siap?" Dari pintu bu Iis bertanya. Pelita menghapus air matanya.

"Iya bu. Gue ke kantor Polisi dulu." Pamitnya pada Qiana dibalas anggukan olah Qiana. Ia kembali ke dalam kelas.

"Ati-ati." keduanya berpisah dengan pikiran masing-masing. Apa hubungan roh itu dengan kematian ibu Pelita atau dengan tersangka?

Qiana:

Hari sudah gelap pikiran Qiana masih dipenuhi rangkaian demi rangkaian peristiwa yang membawanya semakin masuk. "Qiana." Itu suara Federica memanggilnya pelan, ruangan ini begitu gelap. Qiana tau ini tidak nyata. "Qin." lagi itu suara Vanessa. Kemana kali ini ia akan terbawa, Qiana melangkahkan kaki mencoba mencari jalan, jiwanya terbawa masuk ke dalam gedung atau rumah tua ia tidak tahu dengan jelas, ia hanya melihat tembok tinggi dengan dindingnya yang mulai terkelupas. Kakinya terus melangkah menyusuri tanah lembab penuh dengan dedaunan kering, hawanya dingin senyap dengan bau amis, busuk dan gosong, Harusnya Qiana tidak semakin masuk. "Fee." Panggil Qiana ia berdiri di sudut tembok, wajahnya tertunduk rambut panjangnya terurai. Kelam. "Fee." 

Dari atas sosok mengerikan itu kembali muncul ia merangkak perlahan, kuku panjang hitamnya mengakar di tembok terus turun mendekati Federica. "Fee, pergi Fee! Fee pergi!" Qiana menangis sambil berteriak-teriak terus memanggil nama Federica, kakinya seakan terikat ia tidak bisa bergerak ia hanya bisa melihat.

Makhluk itu menari Federica. Federica berteriak kesakitan, makhluk itu terus membawanya ke atas dengan merangka satu tangannya menarik lengan Federica. Tubuhnya terus berayun sampai atas gedung.

Kesakitan Federica. Qiana rasakan, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. "Ini mimpi ini cuma mimpi, bangun Qiana! Bangun!" Qiana mencoba untuk bangun. Dari atas makhluk itu melempar Federica tanpa ampun tubuhnya terhempas, menyisakan teriakan kesakitan. Qiana terdiam matanya melihat tubuh Federica di tanah tidak bergerak dengan posisi badan dan kepalanya terpelintir mengerikan.

Qiana membuka matanya, jantungnya berpacu cepat, helaan napasnya meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Matanya basah tadi ia benar-benar menangis. Kenapa, kenapa mimpinya selalu mengerikan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status