Hari sudah gelap. Alunan musik instrumen menemani keduanya di dalam mobil waktunya Qiana diantar pulang, di pahanya tumpukan album yang ia bawa dari studio. Qiana tertarik dengan hasil bidikan Dewa yang berkaitan dengan alam dan sosial. Foto hitam putih pinggiran kota jadi daya tarik tersendiri keindahan yang bisa dihasilkan dari momen yang Dewa ambil. Sederhana saja. Induk ayam bersama empat anaknya yang sedang berebut cacing. "Dari foto ini gue bisa liat apa yang ingin disampaikan si fotografer," ujar Qiana.
"Apa?" tanya Dewa kemudian.
"Waktu terus berjalan, jangan peduli. Karena mereka hanya lewat, dan pergi. Betulkan? Keliatan dari cara ngambil gambar. Di sini ayam sama anak-anak lagi makan di belakangnya orang jalan yang pasti berganti setiap detik. Tapi si ayam terus makan."
Dewa senyum sebagai jawaban, sedangkan pandangannya tetap lurus melihat jalanan.
"Minggu ini ada acara? Kalau nggak ada, mau ikut?"
"Mau ngambil gambar lagi, ikut," semangat Q
Federica :Satu kunci terbuka, yang di maksud bunga merah adalah api. 'bunga api' pagi ini Qiana bersemangat berangkat sekolah ia mencari Federica. "Fee, Fee. Tunggu Fee!" Qiana tidak peduli bagaimana ia harus mengejar Federica. "Sorry. Gak sengaja." Teriaknya meminta maaf pada siswa lain."Ati-ati dong." buku orang lain berjatuhan."Maaf." Ulang Qiana lagi, ia masih terus berlari di koridor kelas."Fee," napasnya masih terpacu berdiri di depan Federica. "Gue tau arti bunga merah." Federica berlalu begitu saja. Sesaat Qiana bingung, mungkin Federica belum mengerti maksudnya. Qiana kembali mendekati Federica yang masih terus berjalan tidak menghiraukan dirinya, sahabatnya ini bersikap seakan ia tidak terlihat."Fee, Dewa. Aaarrrggg." Qiana jatuh didorong Feederica."Munafik lo jadi temen. Lo juga suka kan sama dia? Makanya Lo selalu ngelarang gue buat nanya tentang dia!?" teriak Federica sampai jadi perhatian semua siswa yang ada
Empat orang siswa putih abu-abu berkumpul di kelas yang sudah lama tidak digunakan. Meja, kursi yang terbuat dari kayu sudah rusak berbaris di pojokan ditata tidak rapi. Bau ruangan lembab bercampur debu ada genangan air di lantai dari atap yang bocor, menimbulkan bau amis. Di luar siang hari tapi di sini cahaya seolah enggan masuk."Lo, yakin main disini?" tanya Pelita sambil mengerutkan kening mengedarkan pandangan memutari ruangan. "Ko gue worried ya?""Gak mungkin juga kita main di kelas?" tutur Qiana. Menarik meja usang yang penuh dengan coretan tidak jelas, bahkan pinggiran mejanya sudah patah juga terdapat jejak rayap."Gimana Cara mainnya Qin?" tanya Vanessa, melihat Qiana meletakan satu lembar kertas juga uang logam di atasnya."Ikutin gue! Tapi, jangan lepas tangan kalian dari koin ini, ngerti?"Semua mengangguk, mengerti.Qiana, Pelita, Vanessa, Federica. Meletakan masing-masing telunjuk mereka di atas koin lama seratus rupiah ter
Qiana adalah anak yang ceria, cantik, dan mudah bergaul kesehariannya sama seperti anak lain, hanya saja. Ia memiliki garis keturunan yang dapat merasakan pergerakan supranatural. Ia pun percaya bahwa ada makhluk dari dimensi lain. Kita cukup menghargai keberadaan mereka itu saja. Qiana anak sulung dari dua bersaudara, ayah dan ibunya adalah guru sedangkan adiknya Sila masih di kelas tujuh. Hidupnya berubah setelah permainan memanggil roh di sekolah, tidurnya tak lagi nyenyak mimpi terus diganggu oleh anak sekolah berseragam putih abu-abu rambut sebahu tertunduk murung. Dari samping pinggangnya ada dau tangan berkuku hitam dan panjang merayap lalu anak itu mengangkat wajah, membuka mulut lebar dengan mata yang berwarna hitam pekat.Qian terbangun dari tidur dengan bunyi alarm yang mengagetkan, napasnya berat keringat mengucur dari semua sisi dahi."Mimpi lagi!" Hampir setiap hari mimpi yang sama terus muncul dan ia pasti akan terbangun saat alarmnya berbunyi. Seakan itu
Bell pulang sekolah baru saja berbunyi semua siswa berhambur keluar dari pintu kelas, begitu juga Qiana dan yang lainnya mereka sedang tertawa kadang menoyor kepala lantas saling berpamitan. Dari kelasnya ke parkiran melewati barisan kelas dua belas dan toilet barulah ruang Laboratorium. Dari ujung ruang Lap sudah terlihat parkiran, di sana ada seseorang bersandar di kap mobilnya, yang Qian tau itu Dewa cowok pelit suara yang tadi ia tabrak di depan toilet.Sepertinya Qiana salah lihat. Dewa seakan sedang melihatnya sekarang, masih dengan mata datarnya. Tentu saja Fee yang dilihat. Qiana menepis pemikiran sendiri ia terus melangkah melewati Dewa yang sudah disapa Federica dengan semangat, setelah itu sudah tidak ada lagi suara yang ia dengar."Qin, ngelamun loh? Jadi ke kosan gak?" Pelita bertanya."Iya jadi, Vanessa mana?" Ia mencari Vanessa yang sudah tidak ada."Mm.. Tuh kan kebanyakan mikir, tadi dia pamit udah dijemput ama nyokapnya.""
Adzan magrib baru saja selesai berkumandang ketika Qiana sedang merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pikirannya masih melayang, hari ini banyak yang aneh. Kompor tadi, ia yakin kompor itu belum mati, juga saat di toilet sekolah. Qian masih masuk dalam pikiran saat sosok Pelita lewat di belakang ia bisa melihat dari ekor matanya. Pelita lewat tapi aneh? Kenapa hanya diam saja Qiana makin menegaskan pandangan melihat Pelita dari belakang punggungnya, 'apa dia marah? Tidak ditemani kedepan tadi' katanya dalam hati melihat Pelita menghilang ke arah dapur.Tidak berapa lama setelah Pelita menghilang ke arah dapur, dari arah pintu. Pelita mengucapkan salam, ia baru saja datang."Ta, lo dari mana?" Tanya Qiana terbelalak seraya menggeser duduknya agar lebih tegas melihat. Heran, kalau Pelita baru saja datang lalu yang tadi siapa? "Ta. Barusan lo lewat, di belakang gue, pake baju yang sama." Qiana bertanya lagi untuk memastikan.Sedangkan Pelita masih tidak percaya apa
Pagi ini Qiana merasa tidak enak pada Federica, semalam ia rasanya seakan selingkuh dengan cowoknya. Ahh... Tapi tidak, semalam ngobrol saja tidak, saat tehnya habis Qiana langsung masuk dan tertidur pulas sampai pagi. Sekalipun pagi ini rasa ada yang tidak enak. "Gue balik dulu sekarang! Pulang sekolah nanti sini lagi, Lo istirahat ya!" Vanessa mengangguk, tadi ia sempat bertanya kenapa ia ada di rumah sakit. Qiana hanya bilang pingsan, karena sakit dan perban di tangannya karena tergores. Bukan bermaksud berbohong tapi biarlah nanti setelah ia benar-benar pulih baru Qiana akan jujur."Gue juga balik ya, nyokap lo bentar lagi dateng." Pamit Federica. Vanessa kembali mengangguk sekalipun ada getir dimatanya.Qiana dan Federica keluar dari kamar Vanessa. Keduanya berjalan di lorong rumah sakit yang mulai aktif melayani. Dewa berjalan santai di belakang Qiana tangannya terselip dalam saku seragam yang belum berganti dari kemarin, wajahnya basah sehabis dicuci tadi.
Bunyi gorden jendela ditarik membuat cahaya matahari masuk kesela kamar rawat Vanessa. Mamanya berdiri melipat tangan di dada. "Kenapa kamu lari? Kemarin Mama harus nyempetin waktu buat jemput kamu, terus makan. Kamu udah gede sekarang Nesa jangan kayak anak kecil, main kabur kaya gitu. Mama udah gak perlu jaga perasaan kamu lagi kamu udah tau ada masalah dikeluarkan kita, Kamu udah bisa liat kaya gimana kelakuan papa kamu, Mama cape Vanessa!""Dulu Mama pikir bisa bertahan, tapi lama-kelamaan masalah terus menumpuk sampai gak ada jalan keluar. Sekedar nyapa saja udah susah, Nesa. Apa lagi bersama. Mama akan urus kepindahan kamu, kamu ikut Mama! Sekarang Mama pergi dulu masih ada kerjaan, cepet sembuh Vanessa! Sayang." Mamanya sempat mencium pinggiran kepala Vanessa. Tidurnya menyamping mendengarkan dengan air mata yang terus mengalir.***"Papa dateng sama siapa?" Vanessa melihat ke arah pintu. Seorang wanita bersandar di sisi pintu, dari cara pakaiannya terlihat
Sore ini Vanessa sudah boleh pulang, Mamanya sedang membereskan barang anaknya di atas ranjang. Sedangkan Vanessa masih duduk mengetik pesan untuk teman-temannya."Vanessa pulang sekarang?" Vanessa dan Mamanya sama-sama menoleh ke sumber suara Papanya berdiri di pintu."Iya, Vanessa ikut aku. Ke Singapura!""Apa? Gak usah, Vanessa disini, kalau kamu mau pergi. Pergi sendiri!""Buat apa? Buat kamu kenalin ke simpenan kamu?" sindir mamanya terang-terangan meski sejujurnya belum menemukan bukti yang nyata."Jaga mulut kamu, jangan terus jelekan aku di depan Vanessa.""Kamu kemarin udah bawa dia ke sini, apa yang harus aku jelekan lagi.""Dia temanku.""Nesa mau ke toilet."Mereka mulai kembali bertengkar didepan Vanessa. Ia pun lupa sejak kapan keadaan ini berawal dan terus berlanjut sampai sekarang. Vanessa menangis tidak tau harus berbuat apa, kepalanya sakit terus berdenyut. Saat ia selesai mencuci wajahnya, dari cermin yan