Share

Tawa Wanita di Jendela

Hal yang tidak pernah Qiana bayangkan apa lagi ingin ia lakukan, berdiri di sini. Pagi-pagi saat jam Sekolah sedang sibuk, kakinya ingin sekali mundur, tapi ia harus menghentikan semua ini. Akhirnya ia memberanikan diri melangkah semakin dekat pada pintu kelas Dewa. 

"Eh…. Ada adik kelas, cari siapa?" Benar saja pilihannya untuk datang ke kelas Dewa adalah salah, baru saja wajahnya terlihat di depan pintu sudah ada yang menggodanya.

"Jangan bilang mau cari Dewa?" seketika kelas kembali berisik dengan suara sorakan. Ia yang duduk di paling pojok cuma melihat Qiana, yang mulai mati kutu di hadapan teman-temannya. Akhirnya ia berdiri menjadi tontonan satu kelas, seorang Dewa yang biasanya paling anti bila ada yang mencari kini dengan suka rela ia mendekat.

"Ikut!"

Andai saja suara itu tidak segera Qiana dengar mungkin ia akan memilih balik arah, melupakan semua niatnya pagi tadi. Dewa membawanya ke arah belakang Sekolah. 

"Kenapa?" tanpa basa-basi langsung pada intinya.

Qiana membuang napas lelah. "Gue mau nanya soal Ayudia, Boleh? Apa orang yang nabrak udah ketemu?" Ia harus membuka lembar demi lembar kisah kelam itu jika ingin menemukan inti dari semua teror yang roh itu lakukan selama ini.

"Sudah."

"Terus sekarang dimana?" Qiana makin penasaran, mungkinkah?

"Sudah diproses hukum, sudah bebas juga," jawab Dewa lagi. Ia bersandar pada tembok.

"Ko bisa? Maksudnya ko cepet?" Apa segampang itu, setelah menghilangkan nyawa orang terus bebas. 

"Mungkin roh itu belum puas kenapa orang yang nabrak dia segampang itu bebas."

"Jangan cari tau lagi soal Ayu!" ujarnya.

"Kenapa? Masalahnya harus selesai, gue gak mau diganggu terus! Apa mau dia?"

Mata Dewa kali ini berubah melihat Qiana.

"Dia gak mungkin ganggu! Kalo Lo semua nggak aneh-aneh!"

Hati Qiana bergetar, perasaan Dewa untuk Ayu masih terasa, pembelaannya mutlak.

"Lo ga percaya? Dia gentayangan, ada yang belum selesai Dewa gue yakin dia juga pasti sering ganggu lo! Lewat gue dia pengen lo tau dia tersiksa sekarang."

"Dia punya orang tua, masih hidup. Jangan lagi buka rasa yang udah dikubur lama."

"Terus lo milih korbankan dia yang udah mati, nutup kenyataan kalo masalah dia belum selesai, sebenernya Lo yang takut, takut kenyataan. Kalo sebenernya Ayu nangis sekarang dan Lo gagal jaga dia dulu!" Air mata Qiana mengalir. "Lo tau siapa dia, tapi lo diem aja." Qiana pergi meninggalkan getaran di hati Dewa, haruskah Dewa kembali membuka luka lamanya, kembali merangkai serpihan-serpihan yang telah hancur. 

Entah emosi apa yang dirasakan Qiana ia menangis begitu pilu, hatinya seakan perih ia menekan jantungnya, sesak kadang memukulnya pelan. "Kenapa gue sedih banget denger dia ngomong. Qiana waras Qiana! lo harus sadar Dewa bukan siapa-siap." Berkali-kali ia mengusap air matanya tapi tetap saja kembali mengalir. "Kenapa sih...Gue?" Ia kembali menangis. 

Sejak sore tadi kepala Qiana terus saja berdenyut, sudah minum obat tapi rasanya tidak juga hilang. Mungkin ia kelelahan tidurnya tak senyaman dulu sekarang macam-macam mimpi ia alami. Bayangan seseorang yang melihatnya dengan mata bulat besar, tapi saat terbangun bayangan itu menghilang. Dan ketika kembali memejamkan matanya sosok itu kembali ada dan melihatnya tajam dari sudut kamar seakan sedang terus mengawasi. Pada akhirnya ia enggan kembali tidur, ingin rasanya tertidur lelap tanpa diganggu mimpi-mimpi aneh. 

Qiana membaringkan tubuhnya, kamarnya sudah gelap matanya mulai menutup. Dari kaca luar kamarnya, tirai putih bergerak terhempas angin, bayangan perempuan berdiri melihatnya. Qiana makin merapatkan matanya apa pun itu ia tidak ingin melihat. Bayangan itu dengan kilat menembus kaca melayang ke arahnya lalu mencekik Qiana.

Qiana tersengal ingin melepaskan lehernya dari tangan mahluk itu, matanya tajam melihat Qiana. Ia terbangun kucingnya melompat naik ke atas tempat tidur, matanya tajam melihat arah Qiana. 

Qiana yakin bukan ia yang dilihat kucing itu tajam. Napas Qiana masih tersengal, untuk beberapa saat Qiana membiarkan kucing itu berjalan ke arah belakang.

Kamar ini terang? tadi jelas lampu dimatikan. Suasana kembali tenang apa bayangan tadi sudah pergi? Qiana kembali membaringkan tubuhnya dengan lampu yang masih menyala. Baru saja ia memejamkan mata. Bunyi saklar lampu ditekan lalu kasur singlenya berputar ia kembali membuka mata. Tawa cekikikan terdengar dari jendela lantas menjauh. Qiana takut tapi tidak boleh gentar, ia tidak boleh kalah dari rasa takutnya sendiri mereka sengaja mengganggu membuat jiwa kita tidak tenang. Qiana ingin menangis untunglah ada Miska kucingnya, terus mengeong seolah sedang bicara padanya. Qiana mengambil lantas memeluk, setidaknya ada Malaikat yang menjaga.

Pagi ini adalah hari pemakaman ibu Pelita jasadnya sekarang sudah bisa dimakamkan dengan layak. Pelita menangis dalam rangkulai Qiana di sampingnya ada Federica, pemakaman hanya dihadiri beberapa kerabat. 

Sepulangnya dari pemakaman Federica dan Qiana bersama. "Gue denger jasad ibunya Pelita dikubur di bawah wc, betul Qin?"

"Iya"

"Berarti roh itu bener."

"Gak usah dibahas lagi Fee!"

"Gue masih terus diganggu Qin, gue mau pindah Sekolah, semuanya udah diurus seminggu lagi gue pindah."

"Apa harus sampai pindah Sekolah Fee. Gue minta maaf karena permainan itu kita kena masalah." 

"Gue duluan! salam buat Pelita!"

Federica berlalu meninggalkan kata maaf yang Qiana ucapkan, tanpa terbalas. Ia berlalu meninggalkan Rumah Pelita menuju salah satu mall besar yang ada di Jakarta. Di sana ia akan bertemu dengan anak-anak kelas dua belas. Ia baru saja datang lalu disambut sangat bahagian oleh yang lainnya. Hanya ternyata itu palsu geng Renata hanya tersenyum palsu menyambut Federica datang.

"Lama nunggu?" Tanyanya sambil menarik kursi untuk duduk.

"Gak papa ko, jadi ke pemakaman nyokapnya temen Lo itu, siapa namanya?" 

"Pelita, jadi." 

"Dewa dateng juga?" lanjut Renata selidik.

"Gue nggak liat sih, tadi. Hari ini gue traktir pesen apa aja yang lo semua mau!" 

"Asik...." Semua berdecat suka, selain karena ada yang dibutuhkan Renata dari anak ini, ia juga anak yang royal.

"Lo kan ceweknya, emang gak bareng?" Sebetulnya Federica enggan membahas tentang Dewa tapi karena tidak enak, akhirnya ia membuka suara juga.

"Gue bukan pacar Dewa, kita dekat karena gue tau mantannya."

"Mantannya? Setau gue dia ga punya pacar." Renata antusias.

"Mantan yang udah mati." 

"Terus-terus, siapa mantan Dewa yang udah mati dari mana kalian tahu kalo mantannya udah mati?" Renata makin ingin tahu.

Akhirnya Federica bercerita semua dari awal, bagaimana Dewa bisa ada bersamanya termasuk Qiana yang bisa melihat roh. Ia malah sempat kembali diajak permainan memanggil roh itu, tapi Federica tolak dengan alasan tidak bisa.

"Emang. Lo gak kenal Ayudia, dia sekolah di PB juga, satu angkatan sama Dewa."

Renata menjawab dengan terbata. "Gue lupa nama itu, memang satu sekolah? Kan belum tentu juga satu kelas."

"Iya sih, gue malah penasaran, kata Dewa dia anaknya baik banget." 

"Gak usah bahas orang yang udah mati, nanti dia ngikutin kita." Regina malah tertawa, berbeda dengan Federica yang terlihat murung seakan tersinggung apa yang dikatakan Renata.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status