Share

Dua puluh sembilan

Author: Puspita852
last update Last Updated: 2023-02-23 09:00:47

"Kenapa-napa gimana ni, Bu?"

"Ibu khawatir kamu tak kan bisa melupakan Anam, kalau kamu masih berhubungan dengan keluarganya," balasnya dari ujung telepon.

"Tapi Lilis sudah tidak punya siapa-siapa lagi, Bu. Istri Mas Anam gak mau menerimanya, sedangkan Mbak Sri, dia mau mengajak Lilis, tapi malah menjadikannya seperti pembantu."

"Ya, biarkan saja, Wid. Itu kan bukan urusanmu." Rupanya sakit yang ibu rasakan, melebihi yang kurasakan. Terdengar helaan napasnya.

"Aku kasihan pada anaknya, Bu. Bagaimana kalau Lilis nekat membuang atau menghabisi anaknya, karena keadaan? Saat ini hanya itu yang kupikirkan. Anaknya, Bu. Bayi itu tidak berdosa."

Hanya terdengar helaan napasnya, ibu tak menyahut. Mungkin dia kesal padaku karena ngeyel saat dinasehatinya.

"Kamu memang baik, Nak. Dari dulu selalu mendahulukan kebaikan orang lain. Bahkan seringkali kamu yang terluka dan tersakiti. Ya sudah kalau kamu mau menampung Lilis untuk sementara. L
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh enam

    Hal seperti ini takkan membuat rasa percayaku pada Mas Adnan luntur. Pengalaman dulu membuat diri ini semakin sadar, bahwa semua itu hanya sebuah jebakan, menganggap iseng orang yang sudah melakukannya.Namun, aku tak langsung menghapusnya, menyimpan agar nanti bisa kutunjukan pada suamiku. Bagaimana nanti reaksinya? Sama kah dengan sikap Mas Anam dulu?Heran, masih saja ada orang jahil dengan menggunakan cara seperti itu. Apa yang mereka harapkan, kehancuran rumah tanggaku? Sungguh pekerjaan yang sia-sia.**"Dek, jalan-jalan yuk," ajak Mas Adnan setelah pulang dari masjid selepas salat subuh."Emang mau ke mana sih, Mas?" tanyaku malas-malasan. Tadi aku kembali berbaring setelah melaksanan kewajiban subuh."Ke pasar, mau?" tanyanya lagi, saat ini Mas Adnan sudah berada di sisiku. Lelaki itu memijit kakiku dengan lembut. Sesekali tangannya mengelus perutku yang sudah membuncit."Mas," panggilku sambil memberikan ponselk

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh lima

    "Bidan? Tunggu!" Aku bergegas ke arah kalender yang tergantung di dinding. Melihat tanggal dan hari yang tertera di bulan ini."Mas ...." panggilku dengan suara bergetar. Lelaki itu gegas mendekati diriku yang sedang terpaku di depan deretan angka dalam kalender tersebut."Ada apa, Dek?" Mas Adnan nampak bingung, lelaki itu memandang diriku dan kalender secara bergantian."Mas, sudah dua bulan ini aku gak bulanan. Apa mungkin—?" Aku menggantungkan kalimat yang tadi kuucap. Dadaku berdetak lebih kencang, pandangan mata kami bertemu. Seolah bisa mengerti apa yang ingin ku ucapkan. Tiba-tiba Mas Adnan meraih tubuhku dalam pelukannya, bisa kurasakan detak jantungnya yang memompa dengan cepat."Ya Allah ... Alhamdulillah," ucap Mas Adnan dengan suara parau. Lelakiku itu nampak meneteskan air matanya."Bismillah, kita ke rumah bidan sekarang. Semoga saja apa yang kita pikirkan benar terjadi atas izin Allah." Doanya yang segera kuamini.

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh empat

    "Mas, aku mau tinggal di sini. Di rumah Ayah dan Ibu." Memang benar apa yang dikatakan suamiku ini, tapi aku sangat berat meninggalkan kota, di mana aku lahir dan dibesarkan. Mas Adnan terlihat terkejut, namun sekejap kemudian dia tersenyum bahagia."Insyaallah, di sini juga menyenangkan kok, Dek. Kamu juga bisa bantu Mas ngajar ngaji. Bayangkan setiap satu huruf yang kita ajarkan akan menjadi amal jariyah untuk kita selamanya."Aku tersenyum mendengarkan bujukan Mas Adnan, aku berasa jadi anak kecil. Dibujuk dan dirayu."Dan untuk Anam dan istrinya biarkan mereka bahagia menurut mereka. Tahu gak, kalau kita membuat orang lain bahagia, maka atas izin Allah kita juga akan dibahagiakan orang lain." Kembali aku dibuat tersenyum oleh lelaki dengan mata setajam elang ini."Bagaimana dengan rumahnya, Mas? Apa harus dijual?""Gak usah dijual, Dek. Sebulan atau dua bulan sekali kita ke sana untuk liburan. N

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh tiga

    "Difa itu apanya kamu, Mas?" tanyaku, ketika tangannya mulai mengelus rambut hitamku."Sepupu, Dek. Kenapa?" Lelaki itu balik bertanya. Saat ini di tengah menoleh memperhatikan diri ini.Mas Adnan bertanya mengapa? Benar-benar laki-laki gak peka. Padahal tadi Hanin, sepupunya yang lain sedikit cerita tentang sepupunya yang bernama Difa itu."Menyebalkan," ucapku yang lebih mirip dengan gumaman."Siapa yang sudah membuatmu sebal, Dek? Sini bilang." Mas Adnan mencoba menggodaku dengan candaannya. Namun, hati ini sudah telanjur kesal, akhirnya aku pun berbaring memunggunginya.Mas Adnan tak lagi membujuk, lelakiku itu ikut berbaring, lalu memeluk tubuh ini dari belakang, posisi yang sangat kusukai karena aku merasa nyaman, aman dan yang pasti merasa dilindungi."Mas, tahu gak? Tekanan mental seberat apapun dari pihak ketiga untuk istri, tidak akan berpengaruh banyak jika suami menjadi tameng terdepan ba

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh dua

    Lagi, kata Mbak Sasa, Erna terlihat sangat bahagia semenjak aku pulang ke kampung. Namun, akhir-akhir ini wanita itu nampak murung kembali setelah mengetahui aku telah menikah. Hah?! Apa hubungannya?Setelah berhaha-hihi dengan mereka, aku pun berpamitan untuk undur diri. Saatnya meneruskan nulis untuk menambah bab cerita yang sedang on-going. Sampai entah kapan diri ini terlelap.Aku merasa terusik, saat merasakan seseorang tengah membetulkan letak tidurku. Tubuhku menggeliat setelah itu mata ini mengerjap, setelah mengamati sekejap akhirnya netra ini terbuka sempurna."Mas Adnan, kapan datang? Kok gak dibangunin sih?" tanyaku bercampur kaget."Baru saja datang, Dek. Maaf ya gara-gara mas tidur jadi terganggu. Habisnya melihatnya saja dadaku ikut ampek," ujarnya sambil meninggalkanku, kemudian dia melangkah ke kamar mandi.Kutengok jam di meja menunjukkan pukul setengah tiga, aku pun bangkit, beranjak dari kasur yang empuk dan nyaman ini

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh satu

    "Nanti sore saja kita ke rumah ibu. Sekalian nginap di sana. Setelah sampai di sana, baru kita berangkat ke kota. Aku berangkat dulu ya." Dia pun melajukan sepeda motornya setelah mengucapkan salam.Karena merasa sepi, sendirian di rumah, aku pun memutuskan untuk pergi ke pasar. Untuk membantu Ayah dan Ibu."Loh, nganten baru kok ke pasar sendirian?" tanya seorang ibu yang aku tahu orangnya, tapi gak tahu namanya."Iya, Bu," sahutku sambil tersenyum, berusaha bersikap ramah walaupun tak begitu mengenalnya."Gak, pa-pa, Nak. Memang suamimu itu orang sibuk, pekerja keras dia. Rajin, banyak yang menyukainya, eh dia malah jadi jodohmu." Ibu itu pun berlalu setelah berucap.Sebenarnya aku ingin padanya tentang apa sebenarnya pekerjaan Mas Adnan. Namun, aku mengurungkannya, khawatir wanita itu nanti malah berpikir yang tidak-tidak, masak seorang istri gak tahu pekerjaan suaminya. Aneh, kan?"Loh, Widya. Kamu kok kesini?" tanya Ayah sa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status