Aku Bukan Menantu ImpianPart 1 3. Anak anakku mulai berubah Hari sudah menjelang sore. Saatnya aku memberikan obat untuk Ibu, setelah sebelumnya menyuapi.Aku ajak ibu ngobrol. Apa saja aku bahas, supaya ibu tidak merasa kesepian. Walau ibu hanya mendengar tanpa membalas sepatah pun kata kataku, tapi ku rasa ibu merasa senang karena di temani. Selama ini, semenjak aku rajin merawat Ibu, tak pernah lagi Ipah peduli dengan ibunya. Ketika malam pun, biasanya mas Ridwan yang menjaga dan menemani Ibu. 'Ipah, di mana kamu ketika ibumu membutuhkanmu?' aku membatin.Tapi ya sudahlah, mungkin ini rejeki Ibu. Ketika dalam keadaan yang sangat memprihatinkan, tak ada anak anaknya di sisi.'Tak ada yang peduli dengan saya' ucapan itu memang sering Ibu ucapkan berulang kali. Tapi aku tau, ucapan itu di tujukan padaku. Karena hanya aku yang di benci ibu waktu itu. Tapi siapa sangka hal itu benar benar terjadi, dan ironisnya hanya aku yang ada di saat ibu membutuhkan.Sore selepas magrib. Aku, M
Aku Bukan Menantu Impianpart 14. Meninggal dunia.Di rumah pun tidak membuat aku lebih tenang. Mondar mandir menunggu kabar dari Mas Ridwan. Ipah menangis. Ia ingin menyusul ibunya ke rumah sakit. Aku berhasil membujuk Ipah untuk menunggu kabar di rumah saja. Menunggu pagi untuk berangkat ke rumah sakit. Apa lagi dia memiliki anak kecil yang tak mungkin di tinggal.Akhirnya karena lelah, aku terlelap walau sesaat. Tapi tak berapa lama, aku terbangun kembali mendengar suara dari ponsel yang ku letakkan di meja samping tempat tidurku.Drrrrt... drrrrt...Hp ku bergetar. Kulirik layar hp, jam sebelas tepat. Aku mengucek mata. Masih sangat mengantuk. Nama Mas Ridwan nampak di layar dan aku mengangkatnya." Assalamualaikum Mas," suara ku berat menahan rasa kantuk." Waalaikumsalam, Ibu sudah meninggal, Dek," suara Mas Ridwan serak menahan tangis di sebrang sana."Apa Mas?!" teriakku tertahan. "innallillahiwainnalillahirijiun." akhirnya aku berucap pelan. Lemas seluruh tubuh. Tak terasa l
Aku Bukan Menantu ImpianPart 15. Keserakahan.POV. Anton.Aku mendengus kesal." Sialan Ridwan, di ajak rundingan malah kabur, dasar cengeng.""Kita juga yang salah Mas, belum waktunya kita bahas ini," Heru berkomentar."Tapi kita tak punya banyak waktu Her, kita harus pulang sore ini, apa kamu mau nggak naik jabatan karena absen,""Ya enggak juga Mas,""Nah, suruh Ridwan kemari. Kita bahas segera agar kita bisa bersiap untuk pulang."Heru menurut. Dengan sedikit enggan ia beranjak mendatangi rumah Ridwan, yang hanya berjarak sepuluh meter dari rumah induk.Tak berapa lama, Heru dan Ridwan datang. Wajah Ridwan masih nampak seperti tadi ketika pergi meninggalkan tempat ini. "Ada apa Mas?" tanya Ridwan malas."Seperti yang ku bilang tadi, kita harus segera menjual rumah ini, Rid," ujarku."Terserah kalian Mas, aku tak minat ikut campur,""Ya kamu juga sebenarnya nggak punya hak atas rumah ini, kamu sudah dapat pekarangan yang kamu tempati itu. Tapi aku juga masih hargai kamu. Makanya
Aku Bukan Menantu ImpianPart 16. Setelah 40 hari.Hari berlalu terasa cepat . Ke inginkan Mas Anton dan Mas Heru untuk menjual rumah dan sawah peninggalan orang tuanya, nampaknya memang mengusik ketenangan Mas Ridwan dan juga Ipah.Keduanya tidak menginginkan itu, tapi kedua kakak tertua mereka berambisi untuk menjual.Aku tak mau ikut campur, karena ini urusan keluarga mereka. Lagi pula, Mas Ridwan sudah tak punya hak atas rumah itu, karena sudah membangun rumah yang kini kami tempati. Tapi Ipah, bagaimana kehidupan selanjutnya? Ia begitu kebingungan. Aku kasihan juga melihatnya.Tepat setelah 40 hari meninggalnya Ibu, datanglah seorang tamu tetangga desa, Pak Rudi namanya. Ia datang bersama pak RT. Di pagi itu, mereka mendatangi rumahku.Mas Ridwan menyambut keduanya. Aku hanya mendengar pembicaraan mereka dari dalam sambil berbenah. Sementara kedua anakku sudah pergi bekerja dan juga ada yang sekolah."Begini Mas Ridwan," pak RT buka suara." Ini pak Rudi tetangga desa kita, pun
Aku Bukan Menantu ImpianPart 17. Mas Anton membeli mobil.Beberapa hari sudah berlalu sejak Ipah pindah ke rumah kontrakan. Beberapa kali aku mengantarkan sedikit makanan untuk anak anak Ipah. Karena aku bisa mengendarai motor, jadi biar aku yang ke rumah Ipah. Sedangkan Ipah walau pintar mengendarai motor tapi ia tidak punya kendaraan.Ipah bekerja di rumah tetangga yang tak jauh dari rumah kontrakannya, sebagai art. Doni dan Nana yang menjaga adik kecilnya ketika mamanya sedang bertugas. Karena itu, walau Doni dan Nana merengek minta ikut denganku, aku tidak bisa mengabulkan permintaannya, karena mereka punya tugas juga, yaitu menjaga adiknya. Mas Ridwan pun selalu mendatangi rumah Ipah selepas magrib, hanya untuk memastikan keadaan mereka baik baik saja.Hari - hari kami lalui seperti biasa, hingga suatu hari aku dan Mas Ridwan mendengar kabar bahwa Mas Anton sudah membeli mobil."Jadi Mas Anton buru buru menjual rumah untuk membeli mobil," gumam Mas Ridwan."Ya biarkan saja Mas
Aku Bukan Menantu ImpianPart 18. Fitnah lagi.Pertanyaan demi pertanyaan bergelayut di benakku. Tak penting sebenarnya bagiku. Mungkin aku bukan siapa siapa bagi keluarga suamiku. Makanya aku tak tau apa apa tentang segala jual beli rumah maupun sawah, tak perlulah aku perpanjang ke ingin tahuanku tentang siapa sang pembeli sawah yang akan di jual oleh Mas Anton.Sesampainya aku dirumah, kulihat ada sepeda motor terparkir di depan rumah. Berjejer di belakang mobil Mas Anton.Kulihat dua orang pria dan wanita duduk di teras rumah. Setelah semakin dekat, ternyata dia adalah Bi Sumi dan suaminya Paman Kohir. Bi Sumi adalah Bibi dari suamiku, adik dari almarhum bapak mertua.Agak heran juga melihat keduanya, karena jarang sekali mereka berkunjung bahkan hampir tak pernah. Aku hanya melihat dua kali ketika ibu mertua baru sakit dan ketika ibu mertua meninggal, bi Sumi hanya melayat sebentar. Lalu menghilang bersama pelayat yang lain." Paman, Bibi ," aku menyapa sambil menjabat tangan k
Aku Bukan Menantu ImpianPart 1 9. Ipah membeli rumah.Ku tinggalkan mereka, kembali aku memasuki salon ku. Kebetulan memang ada pelanggan yang datang. Seorang ibu, tetangga walau rumah kami memang agak berjauhan. Sambil ngobrol, pekerjaanku memotong rambut Bu Inayah namanya, memang cepat selesai. Hanya butuh waktu kurang dari lima belas menit. Bu Inayah segera berpamit pulang, dan aku kembali duduk melamun kembali.Saat aku terdiam, datanglah Ipah. Datang bersama tiga anaknya. Doni dan Nana segera berhambur memelukku. Sepertinya kangen sekali mereka padaku. "Bu De,,,,"Aku mendekap keduanya."Kakak mana?" tanya Doni menanyakan keberadaan Fara dan Novi."Belum pulang dong,,," jawabku."Kerja ya Bu De?" tanya Nana."Yeee,,,sekolah!!" Doni ngegas."Kalian semua benar," kataku menengahi keributan," Kak Fara kerja, Kak Novi sekolah.""Benarkan aku,,,?" Nana belum mau kalah."Aku juga benar, ya Bu De," Doni ingin pembelaan."Ya,,,kalian semua benar,"Beberapa saat akhirnya, mereka nampak
Aku Bukan Menantu Impian.Part 20. Suami Ipah datang.Aku terus mendekati orang yang mengenakan jaket dan bertopi itu. Saat melihatku, orang itu senang karena menemukan orang yang mungkin bisa di tanya. Aku lebih dulu menyapanya."Permisi, Mas cari siapa ya?" tanyaku.Orang itu menatapku seraya melepaskan topi, yang membuat aku terkejut karena dia adalah Robi suami Ipah." Mbak Yani, ya?" tanyanya. "Robi?" Sesaat kemudian kami saling berjabat tangan."Apa kabar kamu?" aku bertanya lagi."Baik Mbak," jawabnya." Mbak Yani sekeluarga sehat?""Alhamdulilah sehat, tapi rumah ini sudah jadi rumah orang Rob, sudah di jual. Yuk mampir ke rumahku aja. Nanti biar di antar Mas Ridwan ke rumah Ipah.""Jauhkah rumah Ipah, Mbak?""Tidak terlalu jauh. Tapi lumayan kalo jalan kaki. Apalagi sekarang mendung, sepertinya mau turun hujan,"" Ya Mbak, terimakasih,"Akhirnya ku ajak Robi kerumah. Tak lama kemudian gerimis datang. Setelah Robi membersihkan diri ku hidangkan makanan sekedarnya. Sembari ma