Apa jadinya jika seorang perempuan yang sudah lama dicari dan dicintai, ternyata malah menjadi istri dari sahabatnya. Semua itu terjadi pada Haidar. Berusaha melupakan cintanya pada Hazimah, tetapi semesta malah menyatukan mereka, sedangkan Haidar sendiri sudah memiliki pasangan hidup. Apa yang harus Haidar lakukan?
Voir plus"Selamat, ya. Semoga kamu menjadi pemimpin yang amanah. Bisa membawa komisariat ini lebih maju dari sebelumnya. YAKUSA (yakin usaha sampai) sampai akhir kepengurusan nanti." Menangkupkan kedua tangannya. Gadis yang aneh menurut Haidar karena dia sudah bersikap acuh padanya. Namun, dia tetap bersikap sebaliknya.
Haidar baru saja ditetapkan sebagai ketua umum komisariat organisasi ekstra di fakultasnya. Dia mengalahkan gadis yang memberinya selamat tadi. Sebenarnya, rasa kagum terhadap gadis itu telah menghampiri hatinya. Namun, sisi egois seorang laki-laki telah mengalahkan semua perasaan pada sang gadis. Sikap lelaki yang tak bisa dikalahkan oleh seorang perempuan telah mengakar kuat dalam hatinya. Bagaimana tidak, jika setiap mata kuliah yang diambil oleh Haidar nilainya selalu dibawah sang gadis. Bahkan pemilihan ketua senat kemarin, dia juga dikalahkan olehnya. "Ya, terima kasih. Selamat juga buat kamu." Memandang sinis pada sang gadis, lalu pergi begitu saja. Melewatinya tanpa ucapan salam perpisahan. Selalu saja, hati dan perilakunya tak selaras terhadap sang gadis. Gadis itu bukan tak mengerti arti tatapan sinis Haidar, tetapi dia sengaja mengabaikan semua. Sudah terlalu sering dia mendapat pandangan sinis dari Haidar. Namun, dia tak pernah menggubris semua itu, baginya menjalin sebanyak mungkin pertemanan jauh lebih baik daripada pusing memikirkan sikap sinis Haidar. Nyatanya, sikap humble yang dia tawarkan tak mampu meluluhkan hati Haidar. "Hei! Lagi ngelamunin apa sih? Segitunya ngeliat ketum baru. Jangan katakan kamu naksir dia?" celetuk salah satu sahabat gadis itu. "Ish, amit-amit kalau aku sampai naksir cowok kayak dia." Ia mengepalkan tangan kanan kemudian memukulkan pada keningnya sendiri beberapa kali.Seolah-olah apa yang diperbuatnya bisa menghindari perkataan sahabatnya tadi.
Suara tawa sontak terdengar dari keduanya.
"Emang aneh dia. Kalau sama kamu juteknya minta ampun, tapi sama yang lain kok dia ramah banget, ya. Curiga nih, jadinya? Jangan ... jangan ...," ucapnya menggoda. Cubitan keras akhirnya melayang di lengan sahabatnya itu. "Aduh, ampun! Sakit, Ima, sayang." "Makanya, kalau ngomong yang bener! Awas, sekali lagi aku dengar kayak tadi! Gak bakal mau aku jadi sahabatmu," ancam Hazimah. Mereka masih terus tertawa mengingat percakapannya. Perbincangan dua sahabat itu sebenarnya tertangkap oleh indra pendengaran Haidar, tetapi dia acuh saja.Dalam hatinya, ada rasa bahagia seandainya hal yang diungkap sahabat Hazimah itu benar adanya.
Namun entah mengapa setiap percakapan yang melibatkan mereka berdua, Haidar senantiasa menampakkan rasa sinis dan benci terhadap Hazimah.Haidar tahu perbuatannya itu akan menyakiti gadis itu, tetapi dia tidak bisa bersikap manis padanya seperti pada teman-temannya yang lain.
Dan Haidar menelan pil pahit itu sekarag.
Duduk termenung di sebuah kafe, Haidar mencoba menikmati rinai hujan yang turun ditemani secangkir coffelatte.
Salahkah jika pria itu masih berharap suatu keajaiban akan mempertemukannya dengan perempuan yang selama ini tak pernah diumbar namanya. Namun, selalu ia sematkan dalam bait-bait doa di sepertiga malamnya.
Berharap Rabbnya menuliskan dan menakdirkan Hazimah menjadi pendamping hidupnya.
Haidar mulai menyesali apa yang telah dilakukannya pada gadis itu.Menyimpan cinta sendiri ternyata tak semudah bayangannya.
Lima tahun sudah berlalu, tetapi perasaannya masih sama.
Namun perbincangan dengan sang ibu membuatnya bimbang. "Le, kowe ngenteni opo meneh, tho. (Nak, kamu nunggu apalagi). Umurmu wis cukup gawe omah-omah (Usiamu sudah cukup untuk berumah tangga). Opo ra mesakne Bunda (apa gak kasihan Bunda)? Ayahmu wis sedo, mengko lak Bunda keburu sedo pisan, piye (sekarang Ayah sudah meninggal, nanti jika Bunda meninggal juga, bagaimana)?" ucap Bunda Haidar. Satu titik bening siap terjatuh dari kelopak mata bundanya. Tangan kanannya diletakkan di atas tangan kiri Haidar. Tangan kirinya mengusap lengan putranya, seolah berkata mengertilah posisi Bunda saat ini."Pun ngoten, Bun (jangan begitu, Bun)." Semua kata sanggahan untuk menolak bundanya serasa tercekat di tenggorokan Haidar. Bagaimana dia harus mengucap keberatan hatinya? Jika melihat kesedihan pada paras bundanya saja dia sudah kesakitan.
"Awakmu kie wis ngerti yen Bunda sakit-sakitan. Bunda mung pingin sak durunge sedo ndeleng awakmu omah-omah (kamu sudah tahu keadaan Bunda yang sakit-sakitan. Bunda cuma ingin melihat kamu berumah tangga sebelum Bunda meninggal)." Bulir-bulir bening itu telah jatuh mengaliri pipi bundanya, kala dia mengatakan hal itu.
Haidar, hanya mampu terdiam seribu bahasa melihat bundanya. Wajahnya dia palingkan agar tak melihat tangisan orang sangat dicintainya itu karena jauh di sana, hatinya, lebih sakit melihat keadaan ini. Tak disangka, diamnya itu dianggap sebagai jawaban iya oleh sang Bunda.
Tanpa mengikutsertakannya dalam penyampaian niat tersebut, wanita yang dihormatinya itu telah berkunjung ke rumah sang gadis bersama kakak iparnya.
Sekarang apa yang harus dia lakukan?
Happy Reading*****"Selamat datang di kantor baru, Mas. Semoga bisa betah," ucap Dwi. Eza menatap ruangan baru miliknya. Hampir tiga bulan dalam masa rehabilitasi kesehatan membuatnya sadar. Siapa orang yang paling tulus menyayangi dan siapa orang yang tidak mempedulikan keadaannya. "Pucuk pimpinan usaha Papa sekarang ada di tangan Mas. Selama ini, aku cuma membantu saja." Dwi menambahkan."Aku nggak mau nerima. Biarlah tetap kamu yang megang kendali. Kita bangun sama-sama usaha Papa." Eza menepuk bahu adiknya. Jarak beberapa senti tak jauh dari keduanya, orang tua mereka tersenyum bahagia. Demikian juga dengan si bungsu dan juga suaminya. Sikap keras kepala Eza nyaris lenyap, dia kembali menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Rasa sakit yang dirasakan lelaki itu telah mengajarkan banyak hal. Si istri yang masih tetap kukuh tidak bersedia pulang ke rumah, dia biarkan. Sisa tabungan dan pesangon dari perusahaan tempatnya bekerja, Eza gunakan untuk menafkahi Mufidah dan Haikal selam
Happy Reading*****Empat hari berlalu, masa kritis Eza memang sudah lewat. Namun, kondisi lelaki itu tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Apalagi ketika sang istri menjenguk. Bukannya mendukung sembuh, Mufidah malah memperkeruh suasana dengan mempersoalkan biaya perawatan selama di rumah sakit."Aku nggak mau ngeluarin biaya buat perawatan Mas Eza, Ma. Uang belanja dari dia aja kurang, gimana bisa bayar biaya rumah sakit." Mufidah memutar bola mata. "Lagian anak minta warisan aja nggak dikabulin.""Mbak, jaga ucapanmu! Ini rumah sakit. Bukannya Papa nggak mau ngabulin, tapi keadaan memang nggak seperti ketika usaha sedang bagus-bagusnya. Tahu sendiri di mana-mana banyak pengusaha gulung tikar. Jika usaha beliau masih berdiri sampai saat ini adalah suatu rejeki dan berkah bagi keluarga." Dwi memulai kalimat panjang. Merasa jengah dengan semua keluhan iparnya."Halah! Sok banget kamu, Dik. Kamu sama suamiku itu nggak jauh beda. Lihat aja istrimu juga pergi. Kalian emang nggak becus jad
Happy Reading*****Pulang dari klinik bersalin menjenguk adiknya, Eza melajukan motor dengan kecepatan di atas rata-rata. Pikirannya kacau, harta yang diinginkan tak kunjung didapat. Sementara anak serta istrinya sudah meninggalkannya. Tanpa sadar dia menerobos lampu lalu lintas yang berwarna merah. Dari arah samping kanan tepat di hadapannya, seseorang dengan kecepatan sama tingginya tengah melaju. Kecelakaan pun tak terhindarkan lagi. Tubuh Eza terpelanting ke sisi kiri. Darah segar keluar mengaliri wajah. Sebagian orang berteriak meminta tolong. Saudara tertua Nafeeza tak lagi bisa berbuat apa pun. Matanya mulai meredup seiring bayangan-bayangan kesalahan yang dilakukannya pada orang tua. Sebelum inderanya menutup sempurna, lelaki itu sempat berucap istigfar atas semua kelakuan buruknya. Setelah itu dia tidak mengingat apa pun lagi. *****Dering ponsel Khoirul terdengar, nama Eza terlihat. "Mau apa lagi, Mas. Belum puas dengan kalimat kasarmu tadi?""Maaf, Pak. Saya Nadim, ingi
Happy Reading*****Kecemasan dua keluarga itu sedikit berkurang setelah mendapat penjelasan dari dokter. Ilyas, hanya diminta untuk mengazani putrinya sebelum mereka membawa ke ruang observasi. Ada sedikit pemeriksaan khusus dari dokter karena kelahiran yang terlalu cepat."Putrimu pasti sehat, Bang." Haidar menepuk pundak putra sulungnya yang terlihat khawatir."Amin, Yah. Semoga enggak ada apa-apa sama dia seperti yang dikatakan dokter tadi.""Sebaiknya Abang temani Mbak Feeza. Dia lebih membutuhkanmu sekarang. Biarlah kami yang akan dampingi putrimu," kata Aliyah."Terima kasih, Bu."Ditemani mertuanya, Ilyas kembali masuk ke ruangan ICU. Di sana terlihat Nafeeza yang memejamkan mata masih bersama para suster yang sedang memasang selang infus. Sepertinya, tenaga istrinya terkuras habis saat melahirkan. Si Abang tahu betul proses bagaimana lahirnya sang putri.Sekali lagi, air mata Ilyas menetes. Lelaki itu mendekati istrinya dan mencium kening serta kedua pipi. Mengucapkan terima
Happy Reading*****Pulang dari rumah Dwi, Ilyas langsung menghubungi Khoirul walau belum sampai di rumah. Sedang asyik berbicara dengan sang mertua, si Abang mendengar rintihan istrinya. Lelaki itu menjeda percakapan dan melirik Nafeeza. "Sayang kenapa?" Menengok ke arah Nafeeza."Ndak tahu, Bang. Tiba-tiba aja perutku mules banget."Ilyas kembali berbincang dengan Khoirul, hanya mengucap satu kalimat untuk memberitahukan keadaan istrinya dan diakhiri dengan salam. "Kita ke dokter sekarang. Abang enggak mau ambil resiko." Dia memutar haluan, kembali pada jalan yang mereka lalui. Tak jauh dari tempat mereka sekarang ada sebuah klinik. Wajah Nafeeza terlihat memucat, meskipun bukan rintihan keras. Namun, si suami tetap khawatir. "Apa waktunya si dedek keluar?" Sebelum menjawab pertanyaan suaminya, Nafeeza mendesis kesakitan. "Kata dokter masih dua minggu lagi, Bang," jelasnya, "Ya Allah! Kenapa rasanya ada yang mau keluar." Tangan perempuan itu memegang perut bagian bawah. "Sabar,
Happy Reading*****Hari berlalu begitu cepat bagi Ilyas dan Nafeeza. Kini, mereka sudah kembali ke rumah sendiri sambil menunggu proses kelahiran. Sesekali, Ilyas masih membantu mertuanya mengurus usaha yang mulai bangkit kembali.Masalah dengan kedua iparnya masih terus berlanjut, tetapi ada sedikit harapan Ilyas kepada salah satu saudara Nafeeza. Beberapa kali, Dwi sempat menghubunginya untuk menanyakan kiat-kiat menjadi seorang pengusaha sukses. Tak jarang, si sulung menyarankan untuk terjun langsung saja. Membantu usaha papanya bahkan menggantikan posisinya."Abang mau pergi?" Nafeeza menatap suaminya yang sibuk menyisir rambut dan sudah berpakaian rapi."Sayang enggak inget? Kita ada janji ke rumah Mas Dwi malam ini." Menatap si istri, lalu tersenyum saat perempuan itu masih mengenakan mukenanya dan menepuk kening."Astagfirullah. Kenapa aku sampai lupa," kata Nafeeza sambil melepas mukena. "Sebenarnya, kenapa Mas Dwi ngundang kita ke rumahnya? Padahal dia begitu benci njenenga
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Commentaires