Pil pahit yang bernama kecewa lagi-lagi harus ditelan Wulan di hari kedua pernikahannya. Jika di hari pertama Damar masih meneleponnya, di hari ini hanya pesan yang dikirimkan laki-laki itu kepadanya.
[Dek, sehat? Mas rindu]Pesan singkat itu dibaca Wulan saat membuka aplikasi pesan di gawainya jam empat pagi. Lagi-lagi dikirimkan pukul dua dini hari. Apakah di saat selarut itu suaminya belum juga tidur karena banyaknya tumpukan pekerjaan? Sebesar itukah resiko waktu yang harus dikorbankan lelaki yang baru menghalalkannya?Hanya emotikon senyum dan hati yang dituliskan Wulan sebagai balasannya. Tak ingin mengungkapkan apa pun pada laki-laki yang bergelar suaminya itu.[Adek sehat? Rindukan Mas selalu ya! Mas akan pergi ke Puncak nanti sore dengan rekan-rekan kantor. Adek mau dibelikan apa?]Penunjuk waktu tepat pukul enam pagi saat Wulan membuka pesan yang baru dikirimkan Damar itu. Pesan itu masuk saat Wulan barLagi-lagi Bu Yayuk menyampaikan petuahnya. Wulan yang sedari tadi tampak serius memperhatikan ibunya itu sepertinya berpikir keras untuk memperbaiki dirinya untuk hari-hari ke depan."Menjaga laki-laki itu lebih sulit daripada mendapatkannya, Lan. Karena setelah didapatkan, biasanya laki-laki akan merasa menang dan tertantang untuk mencoba hal menantang lainnya. Sudah dulu ya! Ibu mau ke pasar, nanti kesiangan. Tolong siapkan bumbu untuk bikin pepes ikan! Ayahmu tadi minta dibuatkan pepes untuk lauk hari ini!"Tak menunggu jawaban putrinya, Bu Yayuk cepat berlalu dari hadapan Wulan. Setelah membalikkan tubuh, wanita itu dengan sigap meraih kunci motor yang ada di dekat televisi lantas berjalan cepat ke arah pintu samping yang terhubung dengan garasi sederhana. "Lan, tolong sirami bunga Ibu! Mumpung kamu di rumah tak ada kerjaan!"Masih terdengar pekik wanita itu sebelum deru motor terdengar meninggalkan halaman rumah. Meningga
Wulan memperhatikan bayangan dirinya di cermin. Bahagia, itu yang dirasakannya saat ini. Tak lama lagi dirinya akan bertemu dengan laki-laki yang telah menghalalkannya tiga hari yang lalu. Gurat bahagia itu jelas terpancar dadi wajahnya, sempurna dan tak dapat tertutupi. Akhirnya penantiannya berakhir. Kembali Wulan meraih gawainya, lantas membuka aplikasi pesan berlogo hijau. Memastikan apa yang sempat dibacanya beberapa saat yang lalu tak salah. Melafalkan kembali rangkaian huruf demi huruf, meskipun hanya di dalam hati. [Mas ikut penerbangan jam tujuh malam. Semoga tak terjadi penundaan. Mas merindukanmu. Sangat-sangat merindu]Lengkung indah itu terlukis di bibir mungil Wulan. Tak salah. Benar-benar tak salah. Laki-laki yang merindukannya itu akan datang tak lama lagi. Mereka akan bertemu kembali setelah berpisah sejak tiga hari lalu saat akad baru saja diucapkan.Penunjuk waktu menunjukkan pukul delapan ma
Baru saja Pak Wawan hendak menimpali ucapan istrinya, terdengar deru suara mobil memasuki halaman rumah mereka. Wulan cepat melangkahkan kakinya ke arah depan, menuju sumber asal suara.Dua laki-laki turun dari kendaraan roda empat berwarna hitam itu. Wulan sangat mengenal salah seorang di antara mereka.Memilih tetap berdiri di teras menyambut kedatangan suaminya, Wulan melihat Damar menyerahkan sesuatu kepada laki-laki yang menjadi sopir kendaraan roda empat itu. Wulan menduga itu merupakan lembaran uang sebagai bentuk pembayaran jasa laki-laki itu."Assalamu'alaikum," ujar Damar sembari melangkah ke arah Wulan yang sudah menunggunya. Tangan kanan laki-laki itu menarik koper hitam kecil sementara bahu kirinya menyandang tas kecil berwarna coklat. Ada satu kantong plastik di tangan kiri Damar. Dengan setelan celana bahan dan kemeja berwarna biru dongker membuat penampilan laki-laki itu paripurna di mata Wulan."
Tangan Wulan baru saja terulur menyentuh koper hitam milik Damar saat terdengar pintu kamar dibuka seseorang dari luar."Dek, kopernya tak usah dibongkar! Besok kita pamitan dengan Ibu dan Ayah. Kita ke rumah dinas Mas saja. Lebih nyaman di rumah sendiri menurut Mas."Ucapan Damar yang tiba-tiba membuat gerakan tangan Wulan berhenti mendadak tepat di pegangan koper itu. Wulan menolehkan kepala dan melihat langkah kaki sang suami mendekat ke arahnya. "Harus besok ya, Mas? Kenapa tak dua atau tiga hari lagi kita di rumah ini?" tanya Wulan sembari menegakkan kembali posisi tubuhnya dari berjongkok."Apa bedanya besok dengan dua atau tiga hari lagi, Dek? Sama saja kan?" balas Damar sembari mengusap rambut basahnya dengan handuk.Wajah Wulan sempat merona melihat tubuh bagian atas Damar yang polos, tanpa penutup apa pun. Laki-laki itu hanya mengenakan celana pendek berbahan kaos tebal. Rambut basah Dama
Wulan membuka pintu kamar lantas keluar dari ruangan berukuran enam belas meter persegi itu. Damar mengikuti langkah istrinya dari belakang.Mengisi piring putih dengan nasi, lantas Wulan menambahkan piring itu dengan satu ekor utuh nila cabai hijau berukuran sedang."Sayurnya Mas isi sendiri atau mau aku yang mengisinya?" tanya Wulan sembari menatap wajah Damar.Ada sepiring capcai dan beberapa iris tempe goreng tepung di hadapan laki-laki itu."Adek saja yang mengisinya. Mas mau merasakan dilayani seorang istri untuk pertama kalinya."Posisi Wulan dan Damar yang bersebelahan membuat Wulan kembali melayangkan cubitan ke pinggang laki-laki itu."Cukup Mas menggodanya! Bilang saja mau, selesai!" sahut Wulan sembari menambahkan tumpukan capcai dan dua potong tempe goreng ke piring putih berisi nasi milik Damar.Tak ada sahutan, hanya kekehan saja yang terdengar dari mulut Damar. Ekor mata
Ponsel Mas jatuh setelah menelepon Adek di pagi Senin itu. Tersenggol saat Mas makan. Layarnya retak dan sama sekali tak bisa dihidupkan. Karena itu mungkin Adek tak dapat menghubungi Mas seharian."Tampak sekali Damar menunjukkan rasa penyesalannya. Dan itu membuat Wulan merasa bersalah. Mengapa dirinya langsung menghakimi suaminya tanpa meminta penjelasan terlebih dahulu? Harusnya Wulan bertanya, bukan justru menuduh tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya. "Aktivitas Mas seharian itu sangat padat. Mas tak bisa pergi kemana-mana karena banyaknya agenda kegiatan yang harus Mas ikuti. Akhirnya Mas memutuskan malam harinya untuk meminta tolong salah seorang karyawan hotel membelikan ponsel dengan spesifikasi yang sudah Mas tentukan."Damar menatap wajah Wulan dengan penuh kesungguhan. Rasa bersalah dan penyesalan jelas terbingkai pada rahang tegas lelaki itu. Wulan merasa suaminya benar-benar mengatakan yang sesu
"Jelaskan siapa mereka!" pinta Wulan dengan penuh ketegasan. Damar terdiam. Membuang pandangannya ke arah lemari pakaian tiga pintu milik istrinya. Tak lama berselang, lelaki itu menghela napas panjang dan memilih menatap langit-langit kamar. "Hanum dan Raya merupakan pasangan ibu dan anak. Hanum, wanita itu merupakan ibu dari Raya."Tampak Damar menyugar rambutnya dengan kasar. Entah apa yang coba disampaikan laki-laki melalui sikapnya itu kepada Wulan."Hanya itu yang dapat Mas jelaskan tentang mereka?" tanya Wulan dengan nada gemetar.Tak mungkin hanya itu penjelasan yang berhak didapatkannya. Harus ada penjelasan yang lebih atas keresahan yang dirasakannya karena postingan itu. Tak hanya sesingkat ini. "Mas memang pernah memiliki hubungan dengan Hanum. Dulu sekali."Mau tak mau Danar harus memberikan penjelasan yang lebih panjang kepada Wulan. Sungguh, Damar tak ingin suara istri
Wulan melangkahkan kakinya dengan sedikit ragu. Menatap bangunan minimalis berwarna cokelat muda yang berdiri di hadapannya. Inikah istana sekaligus surga mereka hingga masa kerja suaminya akan berakhir di kota ini nantinya?Ingatan Wulan tiba-tiba kembali pada percakapannya dengan Damar satu minggu sebelum akad kemarin diucapkan."Mungkin Mas tak selamanya menjadi kepala cabang di kota ini. Bersediakah Adek ikut kemanapun Mas bertugas nantinya?"Pertanyaan itu dilontarkan Damar saat keduanya baru saja melakukan fitting kebaya untuk acara akad nikah mereka. Sebuah rumah jahit kenamaan menjadi pilihan Damar untuk hari sakral mereka. Wulan memilih mengikuti saja permintaan lelaki itu tanpa membantah. "Insya Allah, Mas. Aku akan ikut, mungkin mengajukan mutasi memang membutuhkan watu nantinya. Tapi aku juga tak ingin kita menjalani hubungan jarak jauh. Terlalu banyak resiko yang terjadi nantinya," ucap Wulan dengan penuh keyakina