“MIA, APA-APAAN INI?! KAMU DI MANA, HAH?!” Pertanyaan itu membuatku bergeming. Suaranya seperti bisa menerobos keluar dari dalam ponsel, lalu ia akan berada di hadapanku untuk –mungkin– sekali lagi membunuhku.
“JAWAB MIA! KAMU DI MANA?!” bentaknya keras. “PULANG, B*NGSAT! CEPAT PULANG!” teriakan dan makian itu kini tak lagi terdengar asing. Mungkin karena terlalu sering ia ucapkan aku mulai menjadi terbiasa.
“MIA!”
“Ya, Mas,” jawabku pelan.
“KAMU DI MANA, BR*NGSEK?! CEPAT PULANG! KAMU PIKIR KALIAN BISA KABUR DARIKU?! KAMU DENGAR, AKU NGGAK AKAN PERNAH CERAIKAN KAMU. AKU NGGAK AKAN PERNAH LEPASKAN KALIAN! CEPAT PULANG!”
Itu bukan lagi rumahku.
Rumah adalah tempat yang membuatmu merasa aman, dan aku tak menemukan rasa itu lagi di sana. Bagaimana mungkin aku bisa kembali?
“Ayo kita bercerai, Mas.”
“BR*NGSEK, MIA! AKU NGGAK A
BRAK!Kejadian itu sangat cepat.Rasanya baru sedetik yang lalu aku melihat kedua mata nyalang pria itu di balik kemudi mobilnya, lalu teriakan Andra yang begitu girang melihat ayahnya, sedetik kemudian kami sudah terpelanting di atas aspal, tepat di depan gerbang rumah yang ditempati mertuaku.Saat melihat mobil itu melaju begitu kencang, tak ada lagi yang bisa kupikirkan selain membungkukan badan, melindungi Andra dengan seluruh tubuhku. Meski mungkin itu akan sia-sia andai ia memang berniat membunuh kami.Suara benturan keras terdengar memekakan telinga. Aku masih memeluk tubuh Andra yang tampak syok dan menangis kesakitan. Namun, yang lebih mengejutkan adalah rembesan darah di sekitar kami. Aku mencoba bangkit, memeriksa tubuh Andra kalau-kalau ia terluka, tapi itu bukan darah kami.Sedetik kemudian, aku menyadari sosok Syila yang berbaring di sampingku, wajahnya meringis menahan tangis, dengan kaki yang remuk di bawah ban mobil kakaknya sendir
Kalau kau diberikan pilihan, untuk melanjutkan hidup, dan memperbaiki semua yang terjadi – semampumu,Atau,Kembali ke masa lalu, ketika kau bisa mengulang semuanya dengan lebih baik, dan menghentikan kegilaan-kegilaan itu sebelum terjadi, apa yang akan menjadi pilihanmu?Pertanyaan-pertanyaan yang kubaca di dalam buku-buku fiksi itu terngiang-ngiang saat malam datang. Meski aku hanya membaca selembar, itu pun tidak sengaja membacanya saat menemukan lembaran novel yang dibuang di tempat sampah, atau secarik kertas yang dijadikan bungkus makanan oleh pedangan asongan, tapi pertanyaan itu terus terngiang.Pada dasarnya, manusia selalu mengarapkan sebuah pengandaian.Andai itu tidak terjadi,Andai aku bisa memperbaiki semuanya,Andai aku memilih jalan yang lain,Atau mungkin, andai aku tidak pernah hidup sejak awal.Jika aku mendapatkan pertanyaan di atas, mungkin secara egois aku akan memilih opsi kedua
Jika ada yang mengatakan bahwa hidup itu mudah, maka orang itu tengah berbohong kepadamu.Semua selalu memiliki harga yang setimpal. Kau mungkin iri melihat keberhasilan salah satu kenalanmu, ia bisa sukses diusia mudanya, memiliki pekerjaan berpenghasilan besar, keluarga harmonis, dan bahagia, seakan tak memiliki celah sama sekali.Lalu kau akan berkata, betapa beruntungnya ia, tapi tidak pernah berbela sungkawa atas apa yang sudah ia lewati untuk sampai ke titik itu.Ingatan adalah hal yang rumit. Otak tidak akan mungkin mengingat semua yang terjadi dalam hidupmu. Otak tidak punya kapasitas penyimpanan. Kita akan lupa sebagian besar apa yang terjadi, termasuk kejadian yang mungkin sangat penting pada saatnya. Hal-hal yang tersimpan dari masa lalu hanyalah keping-keping kecil informasi-informasi yang kadang terlalu membahagiakan, atau terlalu menyedihkan, tapi sebagian besar, hanya menguap dan terlupakan.Pun, dengan kejadian pemerkosaan 7 tahun yang lal
Your secrets keep you sick.Your lies keep you alive, but you’ll never be happy. ***“Bu, tolong izinin Abrar ketemu Mia!”Sekarang ada keributan lain di rumah sakit. Seorang pasien yang baru saja mengalami kecelakaan kemarin, kini memohon di depan ruang perawatan adiknya. Pria itu memang tidak memiliki luka berarti, tidak seperti Syila yang harus kehilangan kakinya, tapi dokter tetap memintanya tinggal selama beberapa hari untuk dilakukan observasi.Aku sudah menyuruh Xei pergi untuk melihat keadaan Andra, karena hanya hal Andra yang saat ini memenuhi benakku, tapi aku terlalu takut untuk menemui sosok mungilnya. Meski mungkin Andra belum cukup mengerti, tapi bagaimana jika suatu hari nanti orang-orang akan membahas masalah ini di depan Andra yang sudah cukup dewasa untuk memahami jika ibunya adalah korban pemerk*saan beberapa pria mabuk. Bagaimana jika akhirnya penilaiannya kepadaku akan berubah
Aku sangat lelah.Lebih dari pada yang bisa kau bayangkan.Aku sangat lelah.“Ibu, bisa tinggalin kami dulu sebentar?”Setelah terdiam beberapa saat akhirnya ia kembali berbicara.“Kamu mau apa lagi, Abrar?! Kalau kamu mau ngomong, ngomong di depan Ibu!”Kedua mata pria itu menatap lekat ke dalam mataku, seakan mencoba menyelami kelamnya jiwaku.“Jangan macam-macam lagi, Abrar! Jangan buat Ibu lebih malu dari ini! Berhenti sekarang juga! Jangan buat kesalahan yang lain. Lepaskan mereka, atau Ibu sendiri yang akan tuntut kamu!”Wajah tua Ibu tampak sangat kecewa. “Ayah macam apa yang tega menyakiti anaknya sendiri, Abrar?” tanya Ibu getir. “Ibu pikir ibu sudah mendidik kamu dan Syila dengan cukup baik selama ini, tapi ternyata ibu sangat salah. Kamu menikahi Mia, walau tau dia korban pemerk*saan, itu tindakan yang benar. Tapi kamu menyimpan video pemerk*saan Mia, itu salah. K
Waktu selalu butuh beberapa saat untuk memutar balikkan hidupmu.“Aku minta maaf, Mi.”Di antara jutaan rasa sakit yang kumiliki, pengkhianatan orang terdekat adalah hal yang paling membekas. Itu membuatmu menjadi takut mempercayai orang lain, membuatmu selalu waspada kepada kebaikan yang datang. Seakan pasti ada tujuan di balik semua kebaikan-kebaikan itu, seakan semuanya palsu.Pernah sekali ku berpikir akhirnya takdir memberikan hal yang indah melalui persahabatanku dengan Lina. Sampai aku menyadari bahwa semua senyumannya hanya kamuflase belaka.Kini, ketika takdir kembali membuat kami duduk berhadapan di kafe seberang kantorku, ia menunjukkan air mata yang tak pernah kulihat sebelumnya.Alunan lagu terdengar samar dari speaker yang terpasang di langit-langit kafe. Aroma kopi membaur sempurna dengan aroma lezat roti yang baru saja dikeluarkan dari dalam oven. Seorang gadis kasir tersenyum riang sambil memasukkan roti itu ke da
Maaf,Aku egois. Aku minta maaf. Aku minta maaf. Kututup pesan terakhir yang ia kirimkan ke ponselku. Pesan itu sangat berbeda dengan pesan-pesan yang ia kirimkan sebelumnya. Padahal dulu ia selalu mencoba menahanku pergi, ia selalu berusaha mengumbar kata untuk tetap mempertahankan pernikahan kami, menghujaniku dengan janji-janji jika kelak ia akan berubah, tapi tak pernah ditepati. Sampai aku tak lagi bisa mengerti, jika ia mencintai kami sebesar itu, cinta seperti apa yang ia miliki?Namun, pesan terakhir yang ia kirimkan setelah pertengkaran kami tak lagi berisi sanggahannya, atau upayanya untuk mempertahankan, hanya sebuah permintaan maaf, dan… sebuah kekosongan.Seakan ia sudah tau, tidak peduli sekeras apa usahanya untuk mempertahankan, pada akhirnya, kami berdiri di sebuah persimpangan yang berbeda.“Mama, kenapa kita ke rumah sakit? Siapa yang sakit?”Pertanyaan da
24 Tahun Kemudian“Eh, udah dengar belum gosipnya?”“Soal Dokter An lagi?”“Ya, siapa lagi?”Aku melirik sekilas kepada dua perawat yang tengah berbincang di balik meja resepsionis sambil terus mengisi formulir di hadapanku.“Pakai BPJS atau umum, Bu?” tanya perawat muda yang melayaniku. Pertanyaannya secara otomatis membuat lamunanku buyar seketika.“Umum,” jawabku singkat.Perawat berusia 20 tahunan itu tersenyum dan mengangguk, lalu mengetik sesuatu di komputernya.Setelah megisi seluruh folmulir, aku kembali menyerahkannya kepada si perawat.“Baik, Bu, silakan tunggu sebentar ya, nanti akan dipanggil kembali.”“Tapi suster, antriannya masih lama nggak yah?” tanyaku, sambil melirik bocah kecil yang sekarang bersidekap di belakang punggungku.Gadis berseragam merah muda itu memeriksa data di komputernya. &ldq