Waktu selalu butuh beberapa saat untuk memutar balikkan hidupmu.
“Aku minta maaf, Mi.”
Di antara jutaan rasa sakit yang kumiliki, pengkhianatan orang terdekat adalah hal yang paling membekas. Itu membuatmu menjadi takut mempercayai orang lain, membuatmu selalu waspada kepada kebaikan yang datang. Seakan pasti ada tujuan di balik semua kebaikan-kebaikan itu, seakan semuanya palsu.
Pernah sekali ku berpikir akhirnya takdir memberikan hal yang indah melalui persahabatanku dengan Lina. Sampai aku menyadari bahwa semua senyumannya hanya kamuflase belaka.
Kini, ketika takdir kembali membuat kami duduk berhadapan di kafe seberang kantorku, ia menunjukkan air mata yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Alunan lagu terdengar samar dari speaker yang terpasang di langit-langit kafe. Aroma kopi membaur sempurna dengan aroma lezat roti yang baru saja dikeluarkan dari dalam oven. Seorang gadis kasir tersenyum riang sambil memasukkan roti itu ke da
Maaf,Aku egois. Aku minta maaf. Aku minta maaf. Kututup pesan terakhir yang ia kirimkan ke ponselku. Pesan itu sangat berbeda dengan pesan-pesan yang ia kirimkan sebelumnya. Padahal dulu ia selalu mencoba menahanku pergi, ia selalu berusaha mengumbar kata untuk tetap mempertahankan pernikahan kami, menghujaniku dengan janji-janji jika kelak ia akan berubah, tapi tak pernah ditepati. Sampai aku tak lagi bisa mengerti, jika ia mencintai kami sebesar itu, cinta seperti apa yang ia miliki?Namun, pesan terakhir yang ia kirimkan setelah pertengkaran kami tak lagi berisi sanggahannya, atau upayanya untuk mempertahankan, hanya sebuah permintaan maaf, dan… sebuah kekosongan.Seakan ia sudah tau, tidak peduli sekeras apa usahanya untuk mempertahankan, pada akhirnya, kami berdiri di sebuah persimpangan yang berbeda.“Mama, kenapa kita ke rumah sakit? Siapa yang sakit?”Pertanyaan da
24 Tahun Kemudian“Eh, udah dengar belum gosipnya?”“Soal Dokter An lagi?”“Ya, siapa lagi?”Aku melirik sekilas kepada dua perawat yang tengah berbincang di balik meja resepsionis sambil terus mengisi formulir di hadapanku.“Pakai BPJS atau umum, Bu?” tanya perawat muda yang melayaniku. Pertanyaannya secara otomatis membuat lamunanku buyar seketika.“Umum,” jawabku singkat.Perawat berusia 20 tahunan itu tersenyum dan mengangguk, lalu mengetik sesuatu di komputernya.Setelah megisi seluruh folmulir, aku kembali menyerahkannya kepada si perawat.“Baik, Bu, silakan tunggu sebentar ya, nanti akan dipanggil kembali.”“Tapi suster, antriannya masih lama nggak yah?” tanyaku, sambil melirik bocah kecil yang sekarang bersidekap di belakang punggungku.Gadis berseragam merah muda itu memeriksa data di komputernya. &ldq
“Kamu nggak harus antar Mama dan Willia, An. Mama bisa naik taksi juga,” kataku, saat kami duduk di mobilnya. Willia yang tadi mendapat perawat pembersihan karang gigi dari Dokter Kinan, sekarang tengah terlelap di kursi belakang.Andra tersenyum lembut. “Kan jarang-jarang Mama ke tempat kerja Andra. Pokoknya kalau Mama ada apa-apa, Mama telepon Andra, biar Andra jemput.”“Kamu kan sibuk, pasienmu paling banyak.”Andra membelokkan mobilnya ke jalan raya. “Yah, Andra bisa curi-curi waktu sedikit, apa sih yang nggak bisa buat Mama,” ujarnya santai.Aku tersenyum, meski mungkin ia mengatakannya dengan asal, tapi kata-kata itu terdengar sangat hangat bagi seorang ibu.“Oya, tadi Mama dengar gosip soal rumah sakit baru dan tawaran Dokter Heru.”Kedua mata putraku membulat kaget. Mungkin sama sekali tidak menyangka aku bisa mengetahui hal itu.“Kenapa kamu nggak pernah cerita
“Om! Om Andraaa!!! Lama banget sih?!” Buk. Buk. Buk. Willia menggebrak pintu kamar mandi berkali-kali. “Ommmm udah beluuumm??!” teriaknya, mengintip dari celah kecil sudut pintu. “Wooy!” Andra yang menyadari sosok mungil itu tengah mengintip langsung melempar sikat gigi dari dalam kamar mandi, membuat Willia tertawa keras. Tak lama, keduanya berlarian menuruni tangga sambil berteriak kencang. “Maaaa ada monster!!!” teriak Willia riang, sambil terus berusaha mengelak dari amukan Andra. “Andra, Willia, jangan lari-lari di tangga,” tegur Miranda. Hampir saja mereka berdua menyenggol baki berisi piringan keik pisang kesukaan Syila, adik iparnya. Willia melompat ke sofa, tempat ibunya tengah duduk bersandar sambil mengusap perut yang membuncit. “Mamaaa!” “Duh, hati-hati, Will,” keluh Syila. Ia menahan tangannya di udara, khawatir putri sulungnya akan melompat tanpa pikir panjang. Meski ia adalah gadis
“Cantik kok, Sayang.”“Eh?” Kinan menutup cermin di tangannya secepat kilat. Ia berdeham pelan, lalu bangkit dari kursinya. “Papa, tumben ke sini…,” gumamnya malu-malu. Ia menyelipkan helai rambutnya ke belakang telinga.Heru tersenyum lembut. “Habis belakangan ini susah banget ketemu putri Papa satu-satunya.”“Mmm, maaf, Pa, pasien Kinan—”“Iya, Papa tau. Kamu ini dokter gigi favorit di sini, makanya pasien apalagi yang anak-anak pasti lebih nyaman sama kamu. Kemarin bahkan Dokter Juniar sampai komplain loh, mereka pikir kamu Papa spesialkan.”“Ya? Tapi kan itu nggak benar.”Heru mengangguk setuju. Ia tidak pernah membeda-bedakan dokter yang ada di rumah sakitnya. Meski rumah sakit itu tidak sebesar rumah sakit di ibu kota, tapi Heru berupaya memberikan fasilitas yang terbaik untuk pasien dan dokter di rumah sakitnya. Dan ia tidak pernah mendahu
Ternyata menjadi dokter gigi itu tidak semudah yang Willia bayangkan. Padahal Willia pikir, jika dibandingkan dengan proses menjadi dokter-dokter lainnya, maka dokter gigi lah yang termudah.Namun, ketika ia menonton Kinan yang harus berurusan dengan pasien-pasien beragam kondisi, Willia mulai meralat pikirannya. Terlebih, kebanyakan pasien Kinan adalah pasien anak-anak yang terlalu takut bertemu dengan dokter Juniar, dokter gigi lain di rumah sakit itu.Mereka bahkan rela untuk memundurkan jadwal berobat mereka jika Kinan sedang tidak praktek.Kinan tengah menuliskan status pasien saat mendengar helaan napas Willia di sudut ruangan. Sesuai permintaannya, saat ini Willia sudah berganti pakaian dengan pakaian steril yang disediakan rumah sakit. Ujung lengan dan kaki pakaiannya digulung sedemikian rupa karena masih terlalu besar untuk tubuhnya.“Kamu bosen ya, Will?”“Eh, nggak kok, Dok.” Willia menegakkan punggungnya. “
“Ah, ma-maaf.” Andra yang pertama kali tersadar dari keterkejutannya. Ia mundur beberapa langkah, sampai menabrak dental chair di belakang punggungnya.Kinan ikut menegakkan punggung, saat sadar jika itu bukanlah sebuah mimpi. Saat ia bergerak, sesuatu meluncur jatuh dari pundaknya. Kinan menatap benda putih yang kini berada di bawah kaki kursi. Itu adalah snelli, tapi jelas bukan miliknya.Ketika Kinan membaca nama di jas putih itu, debaran jantungnya kian tak menentu. Apa pria itu sengaja memakaikan jas untuknya?“Ma-maaf, Dok, tadi dokter kelihatan kedinginan,” jelas Andra, sambil mengusap tengkuknya.“Iya, Dok, terima kasih,” senyum Kinan dengan pipi bersemu merah muda. Bahkan hanya dengan kebaikan sederhana saja, jantungnya sudah berdebar tak karuan.“Dokter kelihatannya kelelahan. Sebaiknya Dokter istirahat. Dan, terima kasih karena sudah menjaga sepupu saya. Saya minta maaf karena datang ter
Kinan pikir ia akan melewati makan malam yang indah dan seru dengan keributan dua sepupu itu. Namun, saat keduanya sampai di rumah sakit, wajah mereka terlihat begitu murung. Bahkan, ketika mereka sampai di restoran yang berada tepat di belakang rumah sakit, mereka tetap tidak terlihat bersemangat.Willia hanya mengaduk makanannya tanpa selera, sedangkan Andra makan dengan sangat cepat, juga tanpa kata.“Dok, saya titip Willia sebentar boleh? Saya mau ambil berkas di ruangan dulu.”“Ya?”“Om mau ke rumah sakit lagi? Aku ikut!” rengek Willia.“Om cuma mau ambil berkas yang ketinggalan aja. Cuma sebentar. Kamu di sini sama Dokter Kinan. Cepat makan makananmu, jangan diaduk-aduk aja.”Wajah mungil Willia tertunduk menatap nasi goreng pesanannya, tapi tidak membantah. Kinan yang melihat kepergian Andra hanya bisa mengangguk pelan. Ini benar-benar aneh. Dan saat ia menoleh lagi ke arah Willia, betap