Hingga hari itu, sebuah mobil mewah berhenti di halaman rumah. Ningsih dan Albany saling melempar pandang.
“Siapa?” gumam Albany.
Matanya membulat saat melihat siapa yang datang. Laki-laki yang sering dia intip dari kejauhan, bersama wanita yang pernah mengusirnya waktu dulu. kenangan itu tak pernah hilang dari ingatannya.
“Mas Hendro?” gumam Ningsih tak percaya.
“Apakah dia itu ayahku?” tanya Albany dengan wajah suram. Ningsih menunduk tak berani menjawab.
“Heh, sudah kuduga. Mau apa mereka ke sini?” ucap Albany dengan wajah tak suka.
“Biar Ibu yang buka,” ucap Ningsih hendak bangkit, namun dicegah oleh sang putra.
“Tidak usah, Ibu duduk saja. Biar aku yang menghadapi mereka,” ucap Albany.
“Assalamualaikum,” ucap Hendro dari luar.
Dengan sikapnya yang acuh dan dingin, kini Zanna mulai sedikit menjaga jarak. Hati Albany mencelos, tapi justru itu yang diharapkan. Zanna tidak boleh terbawa suasana dan lalu mencintainya.“Nggak usah mengirimiku bekal, aku akan makan siang dengan Bu Amel.” Begitu katanya. Memang benar, kini Amel semakin sering mengajaknya makan siang dengan alasan sambil membicarakan pekerjaan. Lagi-lagi, Al tidak bisa menolaknya selama itu masih dalam batas wajar.Hingga hari itu, Albany tidak menyangka jika Amel akan berani mencumbunya. Saat itu, mereka sedang berdua di ruangan. Amel memperlihatkan desain dan denah. Albany memperhatikan dengan seksama. Perempuan itu semakin mendekat dan bahkan mereka bersisian. Albany yang merasa risih menggeser tubuhnya. Lalu tiba-tiba, Amel menarik kerah Albany hingga posisi mereka kini berdempetan. Albany sungguh tidak menyangka jika atasannya itu begitu berani. Lelaki itu hendak mendorong, namun Ame
“Albany, kamu dimutasi ke unit RSF, ya,” kata Pak Tatang. “Di sana kurang orang. Mulai minggu depan kamu kerja di unit sana,” lanjut Pak Tatang.Albany menyanggupi, karena jarak unit pabrik yang disebutkan atasannya itu justru lebih dekat ke rumahnya.Hari pertamanya di sana, banyak sekali karwati yang berdesas-desus tentang ketampanannya. Tak sedikit pula yang menitip salam untuknya pada Bu Narti. Namun, Albany hanya menanggapinya dengan senyum.Tak hanya karyawati operator, bahkan staff pun banyak yang bergunjing tentang ketampanan office boy baru itu.“Keren. Badannya juga kekar, kayak model,” bisik seseroang saat Albany lewat ke ruangan besar itu. Bagaimana tidak kekar, selama hidupnya dia bekerja berat dan kasar.“Hei, Al, kok bisa sih kamu jadi OB? Kenapa gak daftar jadi model aja?” tanya Ayu saat mereka bertemu di pantr
“Ayu, tolong ke sini, ada yang harus aku tanyakan sama kamu,” pinta Za. Gadis ceriwis itu langsung bangkit dari tempat duduknya menuju ke ruangan Za.“Iya, Bu Manager?” Ayu menyembulkan kepala di pintu sambil tersenyum.Zanna memberi kode agar Ayu segera masuk dan duduk di depannya.“Ini tolong kamu cek lagi sama Pak Ibnu. Di catatanku harga segini nggak masuk.” Za menunjuk angka-angka yang tertera di sales contract.“Ah, iya. Aku teledor,” pekik Ayu sambil menepuk jidatnya.“Terima kasih Bu Manager, kamu sudah menyelamatkan aku. Coba kalau sudah aku fax atau email sales contract ini, hancurlah aku,” ucap Ayu dengan nada yang lebay.Za hanya tertawa masam sambil geleng-geleng melihat tingkah temannya itu.Tok, tok.Sebuah ketukan terdengar di pintu. Zanna lan
“Pulangnya kemana Mbak?” tanya Al yang sedari tadi merasa risih karena dipeluk Ayu dari belakang.“Komplek Sentra Parahyangan. Kamu tau nggak?” Ayu balik bertanya.‘Wah lumayan jauh,’ bisik hati Albany.“Oh, iya. Itu kan komplek elite. Pasti banyak yang tahu,” jawab Al dengan suara samar karena terbawa desau angin.“Eh, Al, bisa nggak kamu nggak usah manggil aku pake mbak segala? Panggil Ayu aja, gitu?”Albany tak menjawab. Dia merasa risih dengan Ayu yang sok akrab.“Al, kita makan dulu yuk. Aku laper, nih,” ajak Ayu saat melihat restoran favoritnya. Albany semakin tak nyaman dengan Ayu, karena seenaknya menumpang dan ngajak makan.“Eh, itu … gimana ya?” Albany merasa bingung mencari alasan.“Tenang deh, nanti
“Mbak bisa pulang sendiri nggak? Saya lagi buru-buru,” ujar Al pada Ayu. Wanita itu langsung memasang wajah masam.“Kamu tega banget ya, Al. Masa ninggalin cewek di tengah jalan, sih?” rengek Ayu. Albany mengusap wajahnya kasar dan menyugar rambutnya yang panjang. Dia terlihat kesal dengan tinngkah wanita yang terus mennguntitnya.“Mbak—“ Albany tidak jadi melanjutkan kalimatnya, dia lebih memilih mengantarkan Ayu hari ini dan akan mencari cara agar esook wanita ini tidak lagi mengganggunya.“Ayo naik,” ucapnya setelah dia memakai helm. Ayu terlonjak kegirangan karena merasa jika Al sudah mulai mau menerimanya.Ayu tanpa malu memeluk pinggang Albany dari belakang. Menghidu bau tubuh lelaki maskulin itu dan tersenyum sendiri.“Mulai hari ini, kamu adalah pacarku,” ucap Ayu percaya diri.Albany tersenyum masam
Seperti rencana semula, sepulang kerja Albany mampir ke rumah Pak Rosyid untuk membicarakan pembelian sayuran milik lelaki paruh baya itu. Beruntung bagi Al, karena dua hari ke depan, kebun kol milik Pak Rosyid akan panen.“Kira-kira berapa banyak, Pak?” tanya Albany.“Mungkin ada sekitar dua ton untuk panen besok. Gimana?” kata Pak Rosyid setelah mereka mencapai kesepakatan dengan harga. Lumayan, Albany bisa mendapatkan 2500 Rupiah dari setiap kilogram selisih dari harga jualnya pada bandar. Lelaki itu bersyukur karena bisa mendapat penghasilan lebih besar dari gajinya sebulan yang hanya 2 juta saja.“Baik, Pak. Saya ambil. Uang mukanya saya kasih segini dulu,” ucap Albany menyerahkan sebuah amplop coklat. Uang tabungannya yang ia sisihkan selama ini. Tak banyak memang, tapi cukup untuk menjadi jaminan kepercayaan pada Pak Rosyid.Albany pulang ke ruma
“Please, Ron, kamu mulai mabuk,” tepis Za saat Ronald mulai berani mencium pundaknya.“Nggak Za, aku masih sangat waras dan bisa melihat kecantikanmu. Bagaimana kalau malam ini kita lanjut ke hotel?” bisik Ronald yang masih dapat terdengar oleh Al. Darahnya mulai mendidih.“Please Ron, aku tidak suka seperti ini,” tolak Za dan mendorong tubuh Ronald agar menjauh.“Ah, tunggu sebentar. Aku harus ke toilet dulu,” ujar Ronald dan bangkit.Za terlihat lega dengan kepergian lelaki itu. Dia melirik pada Al yang juga tepat sedang menoleh padanya. Tatapan tidak suka tergambar jelas di wajah lelaki itu.“Maaf, aku juga sepertinya harus ke toilet,” ucap Al dan beranjak pergi.Dia menuju arah yang ada tanda panah bertuliskan toilet. Sebelah kanan untuk wanita dan sebelah kiri untuk laki-laki. Kakinya berhenti m
Mobil kembali berjalan di jalanan mulus. Hati Ronald menggerutu kesal. Kacau sudah rencananya untuk malam ini. Gara-gara lelaki yang hanya seorang office boy itu rencananya hancur berantakan. Malam ini, Ronald harus menahan hasratnya untuk sementara. Jika memaksakan kehendak, bisa-bisa Za justru akan akan menghindar. Dia akhirnya mengantarkan Za ke rumahnya.“Bye,” ucap Za saat dia sudah berada di depan rumah. Ronald membalas lambaian tangan Za kemudian berlalu.“Shit! Keparat! OB sialan! Kacau rencana gue malam ini,” umpat Ronald dalam mobil setelah jauh dari rumah Za.Dia kemudian mengambil benda pipih dari saku kemeja dan mulai menghubungi seseorang.“Halo. Kamu lagi kosong malam ini? OK, aku ke situ.”Klik. Ronald menutup sambungan teleponnya.Laju mobilnya menyepat menuju tempat yang bisa memberikannya kepuasan untuk m