[Mas, nanti malem aku tunggu ya. I miss you so much.]Tulis Za ke nomor whatsapp suaminya. Albany yang sedang mengecek kebun selada sontak mengulum senyum saat membaca pesan itu.[Siap-siap saja kalau sudah berani menggoda.]Balas Albany. Dia tersenyum lalu kembali memasukan ponselnya ke saku celana. Dia geleng-geleng membayangkan sang istri yang biasanya mendominasi kalau ngajak duluan.“Tunggu saja, aku buat kamu minta ampun,” gumamnya sambil mengulum senyum.[Aku minta Fitri pulang dulu ke rumah Pak Ahmad, biar kita nggak ada yang ganggu.]Za kembali membalas. Getar ponsel membuat Albany mengambilnya lagi. Dia lalu tertawa kecil sambil geleng-geleng saat membaca pesan itu.**Albany pulang dalam keadaan basah kuyup. Walaupun sudah memakai jas hujan, tetapi karena hujan yang mengguyur sangat besar air itu masih dapat tembus melalui sela-sela leher dan beberapa bagian lainnya.Albany masuk ke rumah yang terlihat sepi.“Pada ke mana, kok nggak ada?” gumamnya sambil celingak-celinguk.
Pagi-pagi Albany terbangun dengan tubuh yang luar biasa lelah. Kemarin malam dia bahkan tidak sempat makan. Hanya teh susu yang dihidangkan sang istri saja yang sempat diminumnya.Matanya mengerjap sambil dikucek. Za tersenyum di sebelahnya.“Kamu udah mandi?” tanya Albany saat melihat istrinya sudah rapih. Tak terlihat gurat lelah di mata wanita itu saat biasanya dia lihat setelah pergumulan mereka di malam harinya.“Udah. Aku bahkan udah siapin kamu sarapan. Ayo mandi dulu. kamu pasti cape,” ujar Za tersenyum semringah. Albany mengangguk. Dia lalu bangkit setelah sebelumnya meraih handuk yang semalam terjatuh ke lantai.Kening Albany mengerut saat dia berdiri dan sekilas melihat ke atas seprei hijau muda. Ada bercak darah di sana.“Sayang, kamu lagi dapet?” tanya Albany. Dia bahkan lupa jika istrinya sudah tak memiliki kantung rahim.&nb
Entah berapa lama mereka menunggu di sana. Hingga seorang suster menghampiri mereka dan mengatakan jika operasinya berhasil. Bayinya ada dalam inkubator, sementara Syafitri masuk ke ruang ICU karena kondisinya kritis.Ada rasa lega juga sedih di hati keduanya.Za menatap lekat pada bayi yang terbaring di dalam kotak kaca itu. Pikirannya kembali pada masa Rabbani masih ada. Air matanya kembali menetes tanpa bisa ditahan.Albany menatap nanar pada sang istri. Dia mengira jika itu adalah air mata bahagia atas lahirnya seorang putra.“Dia mirip Rabbani ya, Mas.” Za bergumam. Albany mengangguk.“Selamat, kamu sudah resmi menjadi seorang ibu,” bisik Albany seraya memeluk istrinya dari samping. Dia juga mengecup puncak kepala Za penuh sayang.**Za dan Albany sedang sarapan di kantin rumah sakit saat dering telepon
--Seorang calon suami itu belum tentu benar-benar akan menjadi jodohmu. Bagaimana jika Tuhan mengambilnya sebelum akad?—***Dering ponsel terdengar berulang kali. Aku menggeliat malas. Siapa, sih jam segini pake acara nelpon segala?Malas-malasan aku bangkit dan mengambil benda pipih itu di ujung kaki. Entah bagaimana caranya ponsel ini bisa sampai di sana. mungkin karena tidurku yang nggak bisa diem.Kugeser tombol berwarna hijau dan langsung terdengar isak tangis dari seberang sana.“Za, sorry, gue harus kasih tau lo … kalau Rico … Rico meninggal tadi malam.” Terdengar suara Kinara di seberang sana. dia adalah saudara sepupu Rico—calon suamiku.“Apa?!” pekikku kaget.
“Maksudnya gimana ya, Mas?” tanyaku takut-takut dengan bibir gemetar.Dia yang telah berbalik, kembali memutar badannya menghadapku.“Apa perkataanku kurang jelas?” Dia balik bertanya dengan wajahnya yang tak berhenti masam.“Aku … aku ….” Entah apa yang harus aku ucapkan agar dia mengasihaniku. Jangankan untuk tidur di kursi atau lantai, bahkan di kasur pun aku tidak nyaman. Rasa mual kerap melanda dan menyiksa.“Aku apa? Mau beralibi kalau kamu sedang hamil? Hemh, jangan takut. Tentu saja aku tahu. Kamu tahu, kata apa yang cocok untuk barang bekas?” tanyanya dengan bibir terangkat sebelah.Aku menggeleng pelan seraya menatapnya.Tubuhnya dia condongkan mendekati
Itu, biar nanti Om Hendro aja yang jelasin sama kamu. Atau … Albany sendiri. Tante tidak berhak menjelaskan ini sama kamu.” Tante Rita mengakhiri kalimatnya dengan embusan napas panjang.Aku tak ingin lagi memaksa jika Tante Rita tak berkenan menjelaskan.“Iya, Tante nggak apa-apa. Za mau istirahat dulu ya. Rasanya lelah sekali, mungkin efek dari kehamilan juga,” pamitku padanya. Seulas senyum kembali terukir di wajahnya, walaupun tak semanis biasanya.“Iya, Sayang. Istirahatlah,” katanya mengiringi langkahku menuju kamar Rico.Kamar itu ada di lantai dua. Aku pernah ditunjukan oleh almarhum calon suamiku itu, dulu. sebuah kamar yang luas dan tentu saja nyaman. Kamar ini berwarna hijau muda. Rico bilanng, dia suka warna hijau, karena warna itu menggambarkan ketenangan dan menjad
“Mas. bersikaplah sopan pada orangtua,” pintaku dengan nada tegas. Tante Rita mengelus pundakku dan menggeleng pelan, seolah ingin mengatakan tidak perlu mengkhawatirkannya. Atau mungkin Tante Rita ingin mengatakan kalau aku jangan melawan Al.Albany tak menjawab ucapanku, dia pergi tanpa berkata-kata lagi.“Aku tadi mendengar percakapan antara Om Hendro dan suamiku, Tante. Apakah Al memang baru datang di rumah ini?” tanyaku saan Tante Rita mengajakku duduk di sofa.“Iya. Jadi, Tante harap kamu bisa memaklumi sikap Al yang seperti itu.”“Apa Tante tau soal Al sudah lama?” tanyaku penasaran.Tante Rita mengembus napas berat sambil menerawang jauh.“Tante tau saat dulu Om Hendro
Pagi itu aku membantu menyiapkan sarapan di meja. Walaupun Bi Yuyun berulang kali melarangku, tapi aku hanya ingin melakukan sesuatu di rumah ini daripada hanya sekedar berdiam diri.“Mbak Za, duduk saja. Biar Bibi yang nyiapin semuanya,” katanya sambil menarik tubuhku agar duduk.“Nggak, Bi. Aku mau nyiapin sarapan buat suami. Bibi tenang aja, aku nggak akan gangguin kerjaan Bibi. Aku cuman ingin nyiapin sarapan buat Mas Al. oiya, Bibi tau nggak selama di sini dia suka sarapan apa?” aku coba menelisik. Kali aja, Bi Yuyun memperhatikan kebiasaan Albany selama di sini.“Oh, Mas Al. Bibi kurang tau juga, tapi biasanya dia cuman minum kopi aja sebelum berangkat. Katanya dia udah kenyang walaupun cuman minum kopi. Ibu Rita sama Pak Hendro suka nyuruh Mas Al buat makan tapi Mas Al-nya yang nggak mau.”