Share

Bab 2

last update Last Updated: 2022-04-11 10:57:06

“Maksudnya gimana ya, Mas?” tanyaku takut-takut dengan bibir gemetar.

 

Dia yang telah berbalik, kembali memutar badannya menghadapku. 

 

“Apa perkataanku kurang jelas?” Dia balik bertanya dengan wajahnya yang tak berhenti masam.  

 

“Aku … aku ….” Entah apa yang harus aku ucapkan agar dia mengasihaniku. Jangankan untuk tidur di kursi atau lantai, bahkan di kasur pun aku tidak nyaman. Rasa mual kerap melanda dan menyiksa. 

 

“Aku apa? Mau beralibi kalau kamu sedang hamil? Hemh, jangan takut. Tentu saja aku tahu. Kamu tahu, kata apa yang cocok untuk barang bekas?” tanyanya dengan bibir terangkat sebelah. 

 

Aku menggeleng pelan seraya menatapnya. 

 

Tubuhnya dia condongkan mendekatiku, lalu berucap,”Sampah!” katanya. 

 

Ada perih yang mendesir pada luka yang menganga. Namun, sepertinya justru itu yang membuat dia bahagia. 

 

Aku menunduk dalam. Kata-katanya sangat menohok. Benar sekali, aku ini seperti sampah, bekas dipakai orang. 

 

“Jika kamu tidak suka, kamu boleh bilang pada ibu mertuamu itu. Aku tidak akan keberatan. Mungkin dia akan mencarikanmu laki-laki lain sebagai penggantiku,” ucapnya. 

 

Apakah ini sebuah ancaman, bahwa Tnate Rita pun tidak akan bisa merubah keangkuhan lelaki yang baru saja resmi menjadi suamiku ini. Lagi pula, jika aku bilang sama Tante Rita, lalu aku ganti lagi suami? Apa kata orang nanti? 

 

Semua ini salahku, jadi aku harus mengalah sampai batas sabar. Apa aku lebih baik membunuhnya saja? Bayi ini maksudku. Dan terlepas dari pernikahan pura-pura ini. Tapi, apakah harus membuat dosa lagi setelah satu kesalahan fatal yang menyebabkan pernikahan ini terjadi? 

 

Hatiku mencelos. Tidak. Aku tidak ingin berbuat kesalahan lagi. Akan aku anggap ini adalah sebagian balasan untukku dari Tuhan. Akan jauh lebih baik jika pembalasan yang aku terima itu di dunia, karena balasan di akhirat jauh lebih pedih. 

 

“Nggak,” jawabku pelan. Dia menyunggingkan seulas senyuman sinis. 

 

“Kenapa harus saja ada perempuan murahan yang begitu mudahnya menyerahkan diri pada laki-laki yang bukan suaminya? Dan melempar kotorannya pada lelaki lain yang tak berdosa,” ucapnya pelan penuh penekanan. 

 

“Kalau kamu nggak suka dengan pernikahan ini, kenapa kamu menerimanya?” tanyaku lancang. 

 

Dia mendekatkan diri. 

 

“APa kamu benar-benar ingin tau apa yang membuatku menerima tawaran ini?” tanyanya dengan suara hampir berbisik. Tangannya terulur dan mencengkeram bahuku.

 

Aku diam menunggu dia melanjutkan ucapannya. Namun, aku lihat mulutnya masih ragu untuk berucap. Hanya tatapannya yang seolah menghujam ke relung hati. 

 

“Aku membenci ibuku, sama seperti aku membencimu sekarang. Kalian sama saja. Perempuan murahan yang memberikan tubuhnya begitu saja pada laki-laki yang bukan haknya. Apa kalian tidak berpikir, bagaimana kalau seandainya bayi yang kalian lahirkan ke dunia ini tidak akan memiliki seorang ayah?” ucapnya membuatku bingung.

 

Ibunya? Bukannya ibunya itu Tante Rita, sama dengan Rico. Aku memang tidak pernah mengetahui keberadaan Albany, sampai hari di mana Tante Rita mempertemukan kami untuk membicarakan tentang pernikahan. 

 

“Tapi tenang saja. Walaupun aku membencimu, aku tidak akan menceraikanmu dan membiarkan bayi tak berdosa itu tak memiliki ayah. Karena aku tahu, bagaimana sulitnya hidup tanpa seorang ayah,” ucapnya lagi membuatku semakin terbelalak. 

 

Teka-teki apa ini?

 

Apa maksud semua yang diucapkan Albany itu? 

 

Namun, sebelum aku membuka mulut, dia mengempaskanku begitu saja hingga terjatuh di atas sofa.  Tubuhku yang didorong, tapi kenapa justru hatiku yang sakit?

 

Aku hanya bisa menatap dia  yang secepat kilat memakai kaos lalu melempar handuknya padaku. Sehina itukah aku di matanya?

 

Aku keluar membawa handuk basah itu dan menggantungnya di jemuran handuk. Ada Tante Rita di ruang makan sedang menikmati secangkir teh. Wanginya begitu menggugah selera. Rasa mual yang sejak tadi terasa, mendadak hilang. 

 

“Hai, Za. Sini duduk. Mau minum teh atau kopi?” tawarnya. 

 

“Iya, Tante,” jawabku lalu duduk di seberangnya. Lalu, terdengar Tante Rita yang meminta ART-nya untuk membuatkan secangkir teh untukku. 

 

“Tante,” ucapku ragu sesaat setelah menyesap seteguk teh dari cangkir keramik putih. Wanita berparas cantik itu sontak mengalihkan pandangannya padaku. 

 

“Iya, Za?”

 

“Apa boleh kalau aku mau tidur di kamarnya Rico. Rasanya aku kangen sekali mencium wangi tubuhnya. Melihat barang-barangnya dia,” pintaku memelas. Padahal, sebenarnya aku tidak mau sekamar dengan lelaki angkuh itu. Hatiku terlalu sakit melihat sikapnya.

 

Tante Rita hanya tersenyum.

 

“Memangnya kamu nggak mau menjadi dekat sama Al? kalian udah nikah, lho. Apa nanti Al nggak akan menjadi cemburu kalau seandainya tahu istrinya masih memikirkan mantan calon suaminya?” tanya Tante Rita. 

 

Tidak mungkin, batinku. Yang ada dia malah akan merasa senang kalau aku tidak ada di kamarnya.

 

“Emh, hanya malam ini, Tante. Aku bener-bener kangen sama Rico,” jawabku memohon. 

 

Tante Rita kembali tersenyum.

 

“Baiklah, Sayang. Lakukan apapun yang membuatmu nyaman di rumah ini. Mungkin kalian memang masih perlu penjajakan,” jawabnya dan membuat hatiku senang. Setidaknya malam ini aku tidak harus melihat wajah juteknya. 

 

“Oiya, Tante. Apa aku boleh nanya sesuatu?” tanyaku ragu. 

 

“Iya, apa?” jawab Tante Rita dengan wajahnya yang selalu terlihat ramah. Persis seperti Rico, putranya.

 

“Apa Albany itu anak Tante dan Om Hendro?” tanyaku dan membuat raut wajah Tante Rita keruh seketika. 

 

Ada apa ini? Jadi, siapa sebenarnya Albany di keluarga ini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Deudeususilawati
kasian c za c Al kebangetan ngomong nya kasar banget menyakit kan,tau rasa nanti dia jatuh cinta sama istri nya semoga ......
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 117

    Entah berapa lama mereka menunggu di sana. Hingga seorang suster menghampiri mereka dan mengatakan jika operasinya berhasil. Bayinya ada dalam inkubator, sementara Syafitri masuk ke ruang ICU karena kondisinya kritis.Ada rasa lega juga sedih di hati keduanya.Za menatap lekat pada bayi yang terbaring di dalam kotak kaca itu. Pikirannya kembali pada masa Rabbani masih ada. Air matanya kembali menetes tanpa bisa ditahan.Albany menatap nanar pada sang istri. Dia mengira jika itu adalah air mata bahagia atas lahirnya seorang putra.“Dia mirip Rabbani ya, Mas.” Za bergumam. Albany mengangguk.“Selamat, kamu sudah resmi menjadi seorang ibu,” bisik Albany seraya memeluk istrinya dari samping. Dia juga mengecup puncak kepala Za penuh sayang.**Za dan Albany sedang sarapan di kantin rumah sakit saat dering telepon

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 116

    Pagi-pagi Albany terbangun dengan tubuh yang luar biasa lelah. Kemarin malam dia bahkan tidak sempat makan. Hanya teh susu yang dihidangkan sang istri saja yang sempat diminumnya.Matanya mengerjap sambil dikucek. Za tersenyum di sebelahnya.“Kamu udah mandi?” tanya Albany saat melihat istrinya sudah rapih. Tak terlihat gurat lelah di mata wanita itu saat biasanya dia lihat setelah pergumulan mereka di malam harinya.“Udah. Aku bahkan udah siapin kamu sarapan. Ayo mandi dulu. kamu pasti cape,” ujar Za tersenyum semringah. Albany mengangguk. Dia lalu bangkit setelah sebelumnya meraih handuk yang semalam terjatuh ke lantai.Kening Albany mengerut saat dia berdiri dan sekilas melihat ke atas seprei hijau muda. Ada bercak darah di sana.“Sayang, kamu lagi dapet?” tanya Albany. Dia bahkan lupa jika istrinya sudah tak memiliki kantung rahim.&nb

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 115

    [Mas, nanti malem aku tunggu ya. I miss you so much.]Tulis Za ke nomor whatsapp suaminya. Albany yang sedang mengecek kebun selada sontak mengulum senyum saat membaca pesan itu.[Siap-siap saja kalau sudah berani menggoda.]Balas Albany. Dia tersenyum lalu kembali memasukan ponselnya ke saku celana. Dia geleng-geleng membayangkan sang istri yang biasanya mendominasi kalau ngajak duluan.“Tunggu saja, aku buat kamu minta ampun,” gumamnya sambil mengulum senyum.[Aku minta Fitri pulang dulu ke rumah Pak Ahmad, biar kita nggak ada yang ganggu.]Za kembali membalas. Getar ponsel membuat Albany mengambilnya lagi. Dia lalu tertawa kecil sambil geleng-geleng saat membaca pesan itu.**Albany pulang dalam keadaan basah kuyup. Walaupun sudah memakai jas hujan, tetapi karena hujan yang mengguyur sangat besar air itu masih dapat tembus melalui sela-sela leher dan beberapa bagian lainnya.Albany masuk ke rumah yang terlihat sepi.“Pada ke mana, kok nggak ada?” gumamnya sambil celingak-celinguk.

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 114

    Mereka tiba di rumah baru itu sudah sore. Rumah itu lebih terlihat seperti vila di daerah pegunungan. Za sengaja memilihnya, agar sang suami mudah mencari lahan perkebunan baru di sana.“Ini kamar kamu, ya, Fit.” Za menunjukan sebuah kamar di sebelah miliknya. Mata gadis itu tak henti-henti berbinar semenjak kedatangannya ke rumah ini. Rumah yang di matanya begitu mewah, jauh jika dibandingkan dengan rumah sang ayah.“Kamu nggak apa-apa, kan, di kamar ini?” tawar Za meminta persetujuan. Gadis itu mengangguk cepat.“Terima kasih, Bu,” ucap Syafitri dengan senyum semringah. Gadis yang baru setahun lulus SMA itu langsung masuk ke kamarnya dan berputar-putar melihat setiap benda yang seolah mimpi bisa menjadi miliknya.Za tersenyum melihat rona bahagia di wajah gadis itu. Gadis yang telah mau membantunya untuk memberikan seorang anak.Beberapa hari yang lalu, Za diam-diam mendatangi rumah Ahmad dan menceritakan semuanya. Za meminta Syafitri agar mau menjadi madunya.Awalnya Ahmad juga Sya

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 113

    “Mas, aku sudah siapkan sebuah rumah di luar kota untuk rencana kita itu,” ujar Za saat Albany berganti pakaian pagi itu.“Rencana? Rencana apa?” tanyanya menghentikan aktifitas.“Punya bayi,” jawab Za singkat.“Maksudnya gimana?”“Kita pindah rumah dari sini, Mas. Tidak mungkin kita membawa istri barumu ke sini, kan? Bisa-bisa Papa sama Ibu marah sama kita. Mereka juga tidak tahu, kan, kalau aku sudah tidak memiliki Rahim?” ungkap Za.Terdengar dengkusan dari mulut Albany. Ternyata keinginan dan rencana istrinya itu bukan main-main. Padahal dia sama sekali tak menginginkan pernikahan kedua. Jika memang Tuhan tidak menakdirkannya memiliki anak, Albany akan menjalaninya dengan ikhlas.“Mas … kok malah gitu, sih? Bukannya jawab,” kejar Za dan menarik lengan suaminya.Albany mengembus napas kasar dan menatap istrinya nanar.“Aku harus jawab apa, Sayang? Aku sama sekali tidak punya ide untuk itu. Bahkan membayangkannya saja aku berat,” jawab Albany.“Hanya sebentar, Mas. Kita harus berkor

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 112

    Mata Amara membulat seketika. Bahunya meluruh saat rekaman itu berakhir.“KAmu dengar sendiri, kan? Apa laki-laki macam itu yang akan kamu pertahankan? Dia hanya akan jadi penyakit untuk masa depanmu, Mara. Kamu lebih baik berhenti mengharapkannya,” ucap Za menatap dalam pada sepupunya.Amara mulai melemah emosinya. Tangis itu kini berganti isak. Za lalu merengkuh sepupunya dan mengelus punggungnya perlahan.“Kamu harus bersyukur karena mengetahui kebenaran tentang Rafael sebelum hari pernikahan kalian. Kalau seandainya kalian sudah menikah, sudah pasti akan jauh lebih berat buatmu,” bisik Za berusaha menyalurkan kekuatan.“Terima kasih, Za. Kalau seandainya kamu nggak ngasih tau semua ini, aku pasti salah paham terus sama kalian. Rafael bilang kalian telah menjebaknya hingga dia ditahan,” ucapnya terisak.Za tersenyum sekilas setelah mengendurkan pelukannya.“Kamu adalah adikku. Sudah sepantasnya aku menyelamatkanmu dari manusia picik seperti dia.” Za mengusap bahu Amara lalu mengaj

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 111

    “Apa?” Mata Za terbelalak. Albany mengangguk dengan mata terpejam. Tak kuasa menahan rasa sakit di dadanya.“Dia sepertinya yang telah menabrakmu,” ucap Albany penuh sesal.“BAgaimana kamu bisa seyakin itu?” tanya Za dengan jantung yang bertalu kencang. Jika benar lelaki itu yang telah menabraknya, lalu apa alasannya?“Apa kamu tidak ingat waktu motor itu menabrakmu, Neng Za? Ibu melihat jelas sekali jenis motor, warna dan juga plat nomornya,” timpal Ningsih.“Aku kaget sekali waktu itu, Bu. Perutku juga sakit sekali diterjang motor itu. Kalau gak salah, memang motor yang sejenis motor Ninja warna merah. Hanya saja aku nggak tau nomor platnya. Lagi pula, buat apa dia nabrak aku?” Za tampak kebingungan.Albany mengembus napas kasar. Dia menggenggam tangan sang istri erat sebelum berani berterus terang tentang segalanya.“Kamu ingat dengan lelaki yang menggodaku di kafe?” tanya Albany dengan nada memelas.Mata Za terbelalak. Dia sadar, jika suara yang pernah dia dengar memang persis den

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 110

    Mata Albany membulat seketika, apalagi saat lelaki itu datang mendekat.“Ini, kenalkan, sepupuku. Za. Dan ini suaminya, Albany,” ucap Amara memperkenalkan.Alis Rafael terangkat sebelah. Dia lalu tersenyum semringah seraya mengulurkan tangan.“Hai. Aku Rafael. Senang bertemu denganmu,” ucapnya mengulurkan tangan pada Albany. Lelaki berkuncir itu dengan terpaksa menerima uluran tangan orang yang dibencinya. Kala tangan mereka berjabat, Rafael menggerak-gerakan ibu jarinya mengelus telapak tangan Albany dengan menyunggingkan seulas senyum.Albany bergegas menarik tangannya. Sungguh terasa menjijikan ketika harus berhadapan dengan lelaki belok itu.Rafael juga tersenyum manis pada Za seraya mengulurkan tangan. Namun, Albany segera menarik lengan Za yang lain agar segera menjauh dari lelaki itu. Ada perasaan aneh dalam hati Za dengan sikap sang sua

  • AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA   Bab 109

    Za hendak bangkit, namun ditahan oleh sang suami. Tubuhnya semakin bergetar menahan tangis.“Lepas, Mas. Lepaas …,” pinta Za memohon dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Albany yang menahan erat dirinya.“Tidak.” Albany menggeleng.“AKu mau pergi, Mas. Aku mau sendiri,” ucap Za terisak.“Tidak, Za. Aku mohon, jangan pergi lagi.” Lelaki itu tetap kukuh menahan tubuh istrinya yang hendak bangkit berdiri.“Aku hanya wanita tidak berguna, Mas. untuk apa lagi kau pertahankan aku,” isak Za semakin kencang.Albany merengkuhnya ke dalam pelukan. “Siapa bilang kau tidak berguna?” bisik Albany seraya mengusap punggung sang istri perlahan.“Kau adalah hidupku. Kau adalah nyawaku.” Albany semakin mengeratkan pelukannya. Tangis Za semakin pecah. Dia merasa menjadi wanita yang egois jika terus bersama dengan Albany.Lelaki itu sangat menginginkan seorang anak, dan sekarang … dia takkan lagi mampu memberikannya.“Aku tidak ingin kamu kecewa dengan keadaanku, Mas. Aku mandul. Aku tidak akan per

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status