“Sopirmu udah nungguin tuh!” ucap Devi teman satu kosku.“Aku duluan, ya! Aku Pamit pada semua teman yang sedang berjalan bersamaku.“cie ... cie ... nempel teroos!” ledek Devi yang disambut oleh siulan beberapa temanku.Aku segera menghampiri Mas Rafi yang sudah bersiap di atas motor. Setelah memakai helm yang di berikan Mas Rafi, aku langsung naik dan melingkarkan tanganku ke pinggang Mas Rafi.“Siap?” tanya Mas Rafi sambil menghidupkan motornya.“Iya.”Mas Rafi segera melajukan motornya perlahan. Seperti biasa Mas Rafi akan mengajak makan sebelum mengantarkanku pulang ke tempat kos. Ramai suasana jalan khas sore hari membuat motor berjalan sedikit pelan. Aku mengeratkan pelukan dan meletakkan kepalaku di bahu Mas Rafi menikmati udara sore yang begitu dingin karena cuaca sedikit mendung. Walaupun hatiku sedikit ragu setelah bertemu keluarga Mas Rafi, pada nyatanya hubungan kami tetap berjalan seperti biasa. Bahkan saat ini kami sudah tak segan lagi mengumbar kemesraan di depan umum
“Dasar pelakor, bisa-bisanya kamu minta di nikahi Mas Rafi!” Aku menjauhkan ponsel dari telinga saat mendengar suara keras Mbak Silvi di seberang sana. Dari nada bicaranya dia pasti dalam keadaan sangat marah.“Mau gimana lagi, Mbak! Orang Mas Rafi ngejar-ngejar aku terus. Aku jadi kasihan dong,” jawabku dengan nada sombong.“Kan aku udah bilang sama kamu kemarin, jauhi Mas Rafi. Bilang aja kamu pengen apa, pasti aku kasih kok.”“Tapi aku pengennya menikah sama Mas Rafi, Mbak! Lagian kan Mbak enggak bisa kasih anak, kalo enggak nikah sama aku bisa saja dia nikah sama yang lain.”“Gila kamu, ya!” “Aku waras, Mbak! Kan aku masih baik sama Mbak, jadi Cuma minta jadi istri kedua bukan istri satu-satunya.” Aku segera mengakhiri panggilan dan kembali melempar ponselku ke atas ranjang.Aku harus mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini jika nanti aku benar-benar menikah dengan Mas Rafi. Aku sadar tidak ada wanita yang benar-benar ikhlas jika suaminya menikah lagi. Tapi mau bagaimana lagi,
"Ayah Miko sebenernya ... " Aku tak tahu harus menjawab apa, yang jelas aku tak mungkin mengatakan bahwa Mas Rafi adalah ayah kandungnya. "Pasti bukan keduanya ya, Ma! Kan Ayah Miko udah meninggal," lanjut Miko.Aku bernafas lega karena selamat dari pertanyaan keramat seperti itu. "Tapi kata Bude Yati, Om Rafi Ayah Miko.""Emang kapan Bude Yati bilang?" tanyaku penasaran."Udah lama, sih!" Miko meletakka telunjuknya di dagu seperti orang sedang berpikir."Bude Yati bilang apa aja sama Miko?""Cuma bilang gitu aja, sih! Palingan tanya udah di kasih apa aja sama Om Rafi dan Om Rendi. Sering tanya-tanya lah pokoknya," jelas Miko.Dasar Bu Yati, anak kecil aja di tanyain macam-macam. Sebegitu pentingkah informasi tentang aku bagi dia. Awas aja kalo dia bilang yang tidak-tidak sama Miko."Ya udah enggak apa-apa. Sekarang Miko tidur, ya!"Aku menarik selimut hingga menutupi sebatas perut Miko."Ma!" panggil Miko lagi."Kenapa, Sayang!” Aku mendekap dan mengelus rambut Miko.“Kalo Mama
“Miko sekarang jajannya yang mahal-mahal, ya!” kata Bu Yati yang melihat Miko sedang memegang susu UHT dan makanan ringan berukuran besar ditangannya.“Kan Ayahnya sering datang, kemarin neneknya juga datang. Apalagi Om kesayangan Mamanya, enggak pernah absen. Pasti uang Mamanya sekarang banyak, dong!” timpal Bu Lusi.Kalo bukan karena gas di rumah tiba-tiba habis, aku jarang sekali mengunjungi toko ini. Bukannya tak mau membeli di warung tetangga, tapi aku hanya menghindari mulut julid Bu Yati dan kawan-kawannya.“Semua berapa, Bu?” tanyaku pada Bu Sumi-pemilik toko ini.“Totalnya seratus kurang dua ribu, Mbak!” jawabnya sambil menyodorkan nota.Aku segera membuka dompet dan mengeluarkan dua lembar uang berwarna biru lalu menyerahkannya pada Bu Sumi-pemilik toko ini.“Kembalinya, Mbak Nita!"“Sekarang uang dua ribu mah kecil ya, Nit?” celetuk Bu Yati saat melihatku memasukkan uang kembalian pada salah satu kotak amal yang berderet di meja kasir.“Alhamdulillah, Bu! Bisa beramal walau
"Jadi kapan kamu akan menikah?" tanya Vera di sela-sela kesibukan kami."Belum tahu, Nit! Lagian Mas Rafi belum menjawab setuju atau tidaknya.""Aku yakin dia akan setuju, dia pasti tak ingin melewatkan kesempatan untuk menjadi Ayah Miko.""Mungkin.""Besok kalo kamu butuh bantuan tinggal hubungi aku, oke!" ucap Vera sambil menunjukkan ibu jarinya."Makasih ya, Ver! Tapi kayaknya aku enggak perlu persiapan apapun, aku hanya menikah di KUA. Lagian aku enggak akan ngundang siapa-siapa." “Jangan gitu dong, Nit! Paling tidak ngundang teman kerja lah. Masa iya selama ini kamu kondangan doang tapi enggak mau di kondangani," tanya Vera serius“Enggak, Ver! Aku cuma ngundang kamu sama beberapa keluarga aja.”Aku memang sengaja tak memberitahu siapa pun tentang pernikahan ini selain Vera dan keluarga juga tetangga dekat. Walaupun kami akan menikah secara resmi tapi menjadi istri ke dua tetap saja dianggap sebagai hal yang memalukan untuk sebagian orang.“Pak Doni udah tahu kamu mau nikah?”“B
"Mbak Nita!" panggil seorang wanita yang tengah berdiri di depan gerbang tempat kerjaku."Ya, cari siapa, Mbak?" tanyaku setelah berdiri di hadapannya."Bisa bicara sebentar, Mbak? Aku Rania, calon tunangan Mas Rendi," Dia menjabat tanganku."Oh, iya. Kita duduk di sini atau mau ke cafe depan?" tanyaku memberi pilihan.Walaupun agak deg-degan tapi aku mencoba bersikap biasa. Apa Rendi membuat ulah, sampai-sampai calon tunangannya menemuiku.Akhirnya kami duduk di bangku yang ada di pinggir tempat parkir karyawan."Ada apa ya, Mbak?" tanyaku memulai percakapan."Panggil Rania saja, Mbak!” jawabnya sopan.“Oke kalo gitu panggil aku Nita saja,” balasku.“Sebenanya kedatanganku kesini untuk menanyakan sesuatu, tapi sebelumnya aku minta maaf jika pertanyaanku nanti membuat kamu tersinggung.”“Mau tanya apa?”“Apa benar kamu kekasih Mas Rendi? Tolong jawab sejujur-jujurnya, Mbak!” Sudah kuduga, ini pasti ulah Rendi. Dia menjadikanku alasan untuk menolak perjodohan dengan Rania. Kenapa Rend
"Cium tangan," kata Mas Rafi sambil mengulurkan tangannya."Belum sah." Aku menggeleng lalu melewatinya begitu saja.Seperti janjinya tadi, Mas Rafi sore ini dia benar-benar datang ke rumah. Bahkan dia telah sampai sebelum aku dan Miko pulang. Kulihat dia tengah menunggu di teras saat Aku dan Miko sampai di rumah."Hay, Miko!" sapa Mas Rafi sambil melambaikan tangannya."Hay, Om!" balas Miko."Miko masuk dulu, ya! Nanti mama nyusul," perintahku.Miko mengangguk lalu berlari ke dalam, dia pasti tak sabar membuka mainan yang baru saja di beli. Setelah meletakkan barang bawaanku di ruang tamu, gegas aku keluar dan langsung duduk di kursi teras."Apa kamu udah punya jawabannya, Mas?" tanyaku."Kamu enggak nyuruh aku masuk?" Mas Rafi berbalik tanya."Ari enggak ada di rumah, Mas! Takut terjadi fitnah kalo aku nyuruh kamu masuk.""Miko kan ada," tunjuknya pada Miko yang terlihat asyik bermain di ruang tamu."Udah, deh! Enggak usah basa-basi. Apa jawaban kamu? Keburu sore, Miko belum mandi.
“Nit, diliatin Pak Doni, tuh!” bisik Vera menyenggol bahuku.Seketika aku menoleh pada Pak Doni yang ternyata sedang memandangku. Ia menjadi salah tingkah saat pandangan kami bertemu. Aku segera menunduk dan berpura-pura sibuk untuk menghindari suasana canggung ini. “Kamu udah izin sama HRD?”Aku terperanjat saat Pak Doni ternyata sudah berdiri di hadapanku.“Be-belum, Pak. Tanggalnya belum di tentukan," jawabku.“Doni!” sanggahnya.“Be-belum, Don. Maaf aku belum terbiasa.”“Setelah menikah kamu akan tetap bekerja, kan?” tanyanya lagi.“Masih, Don!”“Oke, semangat kerjanya, ya!” Mendapat sapaan dari Doni, membuat hatiku sedikit tenang. Ini adalah pertama kali Doni bicara denganku Setelah beberapa hari ia terlihat menghindar. Aku salut karena Doni kini sudah bisa bersikap profesional layaknya rekan kerja karena bagaimanapun kamj akan tetap bertemu selama kami masih bekerja di sini."Sebenarnya Pak Doni itu baik loh, sama kamu aja dia terlihat garang," ucap Vera saat Pak Doni keluar r