Beranda / Lainnya / ANAKKU DIMANGSA PAEDOFIL / MA, BRIAN PENGEN PUP

Share

MA, BRIAN PENGEN PUP

last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-16 10:17:42

“Saya ke kantin, Bu. Kalo ada apa-apa dengan Brian, tolong telepon saya.”

Bu Retno mengangguk mendengar omongan menantunya. Hadi berpamitan lalu mencium tangan mertuanya. Wanita tua ini memandang kepergian sang menantu dengan perasaan sedih.

Langkah kaki wanita tua ini memutar arah masuk kembali ke ruang perawatan. Tampak di dekat ranjang, Ambar mengelus wajah anak semata wayangnya. Sesekali bulir bening menetes membasahi pipi hingga kulit Brian. Namun, dia buru-buru menyekanya dengan tisu. Dia tak ingin sang jagoan mengetahui keterpurukannya.

Anaknya sudah teramat terluka dan itu pasti menghancurkan psikis. Ambar pun seketika teringat seorang teman yang tahun lalu mendampingi Brian hingga lepas dari rasa depresi. Dia mengambil ponsel lalu menghubungi nomor kontak sang teman. Ambar bangkit dari kursi lalu berjalan keluar ruangan.

Sementara itu, Bu Retno berjalan menghampiri Ambar dan menepuk bahu putrinya beberapa kali lalu mendekati ranjang cucunya. Sesampai di luar ruangan, Ambar menutup daun pintu perlahan. Dia berdiri tak jauh dari sana dengan ponsel menempel di telinga.

“Hai, Bar. Tumben nih. Ngajakin nongkrong?”

“Maunya kita meet up. Lu sibuk mulu. Gak terasa udah 6 bulan kaga ketemu,” balas Ambar terdengar ceria, tetapi raut wajahnya tak bisa menipu.

“Samaan. Giliran gue kosong, lu full time. Udah berani ngajakin meet up, udah sekarung tuh dolar,” sahut sang teman dari ujung telepon.

“Mitaa ... kita harus meet up!” teriak Ambar tanpa sadar dan buru-buru terdiam lalu celingukan dan mencoba tersenyum kepada beberapa orang di sekitar dia.

“Baar! Brian sehat?” tanya sang teman yang sukses membuat kedua kelopak mata Ambar tergenang cairan bening kembali.

Beberapa saat wanita berkaki jenjang ini tertegun. Dia sibuk menyeka air mata yang tak berhenti mengalir, meski telah diusap tiap kali keluar.

“Ambaaarr? Are you okey, Dear? What happen with you? Tell me, please!” teriak sang teman bernada cemas dari ujung telepon.

“Mita! Kenapa air mataku gak mau berhenti, ya? Ada yang salah dengan kelopak matanya,” ucap Ambar serupa orang meracau dengan senyum yang sulit diartikan.

“Dear, share loc. I will coming for you,” kata sang teman dengan intonasi pelan dan jelas dengan mengeja per-kata.

Ambar segera mengirimkan lokasi dia kepada temannya melalui aplikasi berlogo hijau. Hubungan mereka pun terputus dengan menyisakan seraut wajah tirus berurai air mata. Ponsel di tangan Ambar beberapa kali berbunyi, akan tetapi dia sudah tak ingin berbicara lagi.

Tampak dari kejauhan Hadi mengamati perilaku sang istri yang tampak kacau. Kebetulan ruang perawatan anak berada di seberang kantin. Hanya berjarak sekitar 50 meter saja. Jadi, Hadi bisa melihat dengan jelas ekspresi Ambar yang sangat terluka.

Pria ini amat menyayangi Ambar dan tak ingin membuatnya terluka. Akhirnya, Hadi segera beranjak dari kantin, meski kopi susu masih separuh gelas diminumnya. Langkah kaki pria ini mantap ke arah laboratorium.

Dia bertekat akan memperjelas semuanya hari ini dan ingin segera mengakhiri kemelut di antara dia dengan Ambar. Tak lupa, Hadi masih menyempatkan berkirim pesan kepada wanita tercintanya.

[Sayang, akan kubuktikan bahwa aku tak serendah itu. Aku amat menyayangi kalian. Love U]

Pesan terkirim bersamaan dengan langkah kaki Hadi tepat berada di depan laboratorium. Setelah dia mengutarakan keinginannya, oleh salah satu petugas disarankan untuk berkonsultasi dulu dengan dokter.

Hadi pun segera menuju ruang dokter yang dimaksud. Kini di depan matanya terpampang palang, Dokter spesialis kulit dan kelamin. Pria ini mengetuk daun pintu sebanyak tiga kali lalu terdengar sahutan dari dalam yang memintanya masuk.

Berjarak 100 meter dari Hadi mengetuk pintu, terdapat Ambar yang sedang bersandar ke dinding di samping ruang perawatan Brian. Wanita ini baru saja melihat pemberitahuan sebuah pesan yang telah diterima dan salah satunya dari Hadi.

Dia tak ingin membacanya. Ponsel masih tergenggam di tangan kanan, sementara kedua mata Ambar menatap nanar awan putih yang berarak di celah-celah daun akasia yang tumbuh di depan ruang perawatan anak.

“Ambar, apa kabar?” sapa seorang wanita berblazer hijau tosca berpadu celana jeans sembari memeluk erat tubuh Ambar.

Mereka bercipika-cipiki sesaat lalu mengurai pelukan dan tersenyum bersama.

“Gue hancur, Mit,” sahut Ambar seraya menatap sang teman dengan pandangan layu.

“Kita ke kantin, yuk. Gue yang traktir lu. Ini ruang jagoan?”

Ambar pun mengangguk menanggapi pertanyaan Mita. Sang teman menatap kedua mata Ambar sembari memegang kedua lengannya.

“Brian ada yang jaga?”

“Ada ibu gue,” jawab Ambar sambil menunduk.

“Okey, kita ke kantin, girl!” pungkas Mita segera menggandeng tangan Ambar.

Keduanya melangkah berdampingan menuju kantin yang sudah mulai ramai dengan pembeli. Mita adalah teman akrab Ambar sedari SMP. Hanya dengan wanita cantik berwajah keibuan ini, Ambar mampu bercerita semua hal.

Begitu pun sebaliknya. Hanya keberuntungan belum berpihak kepada Mita. Hingga menginjak usianya yang ke 35 tahun, wanita hitam manis ini masih betah melajang. Seperti yang sering kali wanita berblazer ini bilang ke Ambar bahwa dirinya tak masalah ada suami apa enggak, yang penting punya anak banyak.

Hal itu akhirnya menjadi kenyataan, kini Mita dicintai banyak anak karena profesinya sebagai psikiater anak. Mereka bercengkerama melepas rindu sekaligus berdiskusi tentang masalah yang sedang dihadapi Ambar. Tiba-tiba ponsel Ambar berbunyi dan tertera nomor kontak Bu Retno di layarnya.

“Ya, Bu. Aku di kantin,” jawab Ambar sesaat setelah terhubung.

“Brian mencari kamu,” balas Bu Retno dari ujung telepon.

“Bujuk dia bentar, Bu. Aku segera datang,” ucap Ambar lalu memutuskan hubungan telepon.

“Mir, pasien lu udah bangun. Kita ke sana!” ajak Ambar seraya bangkit.

Sang teman juga mengikuti berdiri, tetapi langkah kakinya masih mengitari seisi kantin dengan mengambil beberapa bungkus camilan dari rak makanan. Wanita hitam manis ini lalu membayar ke penjaga kantin.

Kedua wanita berpostur tubuh sama ini melangkah bersama ke arah ruang Brian. Ambar membuka pintu saat mereka sampai depan ruangan.

“Selamat siang, Tante, Jagoan,” sapa ramah Mita sembari mendekat ke arah ranjang.

“Selamat siang, Cantik. Kok tau kita di sini?”tanya Bu Retno yang segera berdiri lalu memeluk Mita.

Ambar seketika duduk di depan Brian yang terlihat terluka dalam. Sorot matanya mewakili perihnya jiwa yang tercabik.

“Jagoan Mama udah bangun. Setelah ini kita liburan, ya. Tante Mita juga ikut, loh,” ucap lembut Ambar sembari memegang tangan Brian.

“Brian mau pup tapi takut,” ucap bocah berkulit bersih ini sembari memegang pangkal paha.

“Gak usah takut, Sayang. Udah ada obat di infus. Lukanya mulai mengering. Mama juga dapat obat semprot dari dokter barusan. Yuk, Mama antar,” bujuk Ambar dengan menahan sekuat mungkin air mata yang mulai ingin keluar.

Dia tak ingin terlihat sedih di mata putra kesayangannya. Kedua tangannya membantu bocah bongsor untuk berdiri. Ambar mengamati diam-diam cara berjalan putra kesayangannya. Tampak jelas perbedaannya kini, Brian berjalan mulai normal kembali, meski sesekali, bibir bawah digigit seperti menahan sakit.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • ANAKKU DIMANGSA PAEDOFIL   AKHIR SEBUAH PENDERITAAN

    "Bar, buruan!"seru Sabrina yang telah ambil alih kursi roda. Ia telah berjalan mengikuti Tuan Farel dan Ambar masih berdiri melamun.Ambar seketika tersadar dari lamunan. "Oh, ya, ya. Yuk."Kedua wanita berjalan buru-buru menuju ruang perawatan. Gerak-gerik keempat orang di taman tadi telah diawasi oleh salah seorang bodyguard Tuan Gerry. Pria ini segera mengambil ponsel dari dalam saku celana lalu menelepon seseorang. Beberapa saat, ia mendengarkan ucapan dari ujung telepon."Mereka berencana shopping," ucap pria kekar tersebut kepada lawan bicaranya. Sementara itu, Tuan Farel yang sedang merebahkan tubuh Brian di pembaringan mendengar ponselnya berdering. Ia mengusap rambut Brian lembut sambil berbisik ke telinga si bocah. "Om akan jaga kamu, Superboy. Harus semangat untuk sehat."Pria ini lalu mengecup kening Brian. Saat ia menyelimuti tubuh si bocah, kedua wanita baru saja masuk ruangan. Pemandangan di depan mata, membuat kedua wanita semakin terharu. Tuan Farel segera menyadari k

  • ANAKKU DIMANGSA PAEDOFIL   BRIAN TIDAK MAU PULANG

    "Coba kamu tanya ke Tuan Farel," saran Ambar kepada si bocah."Tuan Farel owner-nya?"tanya Sabrina dengan antusias."Bukan. Ia yang dipercaya oleh owner untuk mengelola tempat ini. Dan, kita telah diizinkan untuk tinggal di sini sampai Brian sembuh," jelas Ambar sengaja berbohong demi kebaikan bersama."Wah, sangat menyenangkan sekali. Liat, tuh, anak lu kerasan di sini," balas Sabrina. Ambar tersenyum lebar melihat Brian yang kembali ceria. Padahal sebelumnya, si bocah dalam keadaan kacau. Bahkan ia sempat berpikir untuk bunuh diri ke Hutan Aokigahara segala."Bagus, dong. Kalo Jagoan kerasan di sini. Mama tadi sudah bilang ke Tuan Farel dan lebih keren lagi, kamu bilang langsung,"ucap Ambar kepada Brian."Ya, Brian mau,"kata si bocah bersemangat. Ambar bahagia sekali mendapati anaknya yang penuh semangat. Ia bangkit lalu memeluk jagoan lalu mencium kedua pipinya. Tidak ada kebahagiaan yang ingin dirasakan selain kesembuhan bagi Brian."Cepat sembuh, Jagoan!" Ambar bertambah besar ha

  • ANAKKU DIMANGSA PAEDOFIL   KISAH ASMARA NEGERI TIRAI BAMBU

    "Kamu suka, Sayang?"tanya Tuan Farel sambil membuka blus Ambar. Kini tampak dua gundukan berbalut bra berenda. Ambar yang mulai mengikuti permainam sang pria.Jemari lentiknya mengusap lembut milik Tuan Farel yang telah membuat penasaran. Pasangan ini bergantian memberi usapan, jilatan bahkan remasan di beberapa bagian sensitif."Farel, Sayang!"panggil Ambar di antara desah dan jerit tertahan."Iya, Sayang. Nikmati, ya,"ucap Tuan Farel sambil mengusap lembut bibir Ambar.Mereka yang telah memanas akhirnya berpacu saling memuaskan. Keduanya bersamaan telah lunglai di atas pembaringan. Ambar pun baru sadar bahwa dirinya belum belanja pakaian."Oh my God!"jerit Ambar sambil membebat tubuhnya dengan selimut."Ada apa, Sayang?"tanya Farel yang buru-buru memakai hanfu. Kemudian ia duduk di pembaringan lalu membenahi anak rambut di wajah Ambar."Honey, aku belum belanja baju. Kamu tahu sendiri, kan. Kami berangkat tanpa persiapan. Gimana, dong?" Ambar menatap Farel dengan wajah sedih.Farel t

  • ANAKKU DIMANGSA PAEDOFIL   MEREKA MELAYANG BERSAMA

    Benar saja, dugaannya memang tepat. Petugas informasi memberikan sebuah denah untuk menuju ruang staf khusus. Ambar sedikit curiga dengan dua petugas tersebut yang saling berbisik lalu tertawa kecil.Ambar tidak ambil pusing tentang hal tersebut. Ia langsung mencari keberadaan tempat Tuan Farel dengan berbekal selembar denah. Wanita berkaki jenjang ini kembali menyusuri koridor lalu mengikuti arah pada denah.Tak butuh waktu lama untuk mencari tempat Tuan Farel. Letak ruangannya terdapat di lantai dua dan lebih mengherankan, di sini tidak ada lift. Seluruh bangunan dan fasilitas yang terdapat di dalamnya bernuansa klasik.Kini, kedua kaki Ambar telah berdiri tepat depan sebuah ruangan yang ditunjuk oleh petugas informasi sebagai tempat Tuan Farel. Sebuah plang bertuliskan aksara Hanzi. Ambar mengetuk daun pintu kayu berukir. Ia mengetuk sampai ketiga kali pun tidak ada yang membuka pintu.Ambar pun merasa konyol setelah melihat ada sebuah lonceng kecil di sisi kanan pintu. Wanita ini

  • ANAKKU DIMANGSA PAEDOFIL   TUAN FAREL STAF KHUSUS

    Tempat rehabilitasi ini dibangun di atas bukit. Sebagian besar bangunan disusun dari papan kayu dan beratap rumbia. Beberapa pohon cemara berdiri mengelilingi bangunan ini. Samar-samar terdengar gemericik air terjun dan suara aliran sungai."Pasti sedang jatuh cinta dengan tempat ini,"ucap Tuan Farel mengagetkan Ambar yang sedang fokus melihat sekeliling.Ambar seketika menoleh dan langsung terpana dengan penampilan pria di sebelahnya. Ambar pun jadi salah tingkah. "Tuan Farel. Iya."Pria gagah dengan rambut cepak layaknya anggota militer tersenyum manis. Dua ceruk menghias pipi. Ambar baru sekarang benar-benar mengagumi sosok pria. Pesona pria di depannya berhasil memporak-porandakan otak dan hatinya."Pusat rehabilitasi ini sengaja dibangun di daerah sini karena faktor lingkungan yang masih alami. Hal tersebut dipercaya bisa menunjang kesembuhan para pasien." Tuan Farel menjelaskan dengan pandangan lepas ke bukit. Ambar hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari pria di sampi

  • ANAKKU DIMANGSA PAEDOFIL   TUAN GERRY MENEBUS DOSA

    "Terima kasih kembali, Nak. Anggap ini sebagai penebus dosa-dosa Bapak."Begitu mendengar ucapan Tuan Gerry, Ambar tidak bisa berkata-kata lagi. Air mata membasahi sudut mata lalu ke arah pipi. Ada rasa sesak karena harus merelakan nasib Rafael ke tangan pihak interpol. Ia harus kehilangan Rafael untuk kedua kalinya dan ini benar-benar menyakitkan.Pria yang diharapkan akan menjadi pendamping hidup untuk rangkaian perjalan hidup dia dan Brian. Ternyata telah menjadi seorang penjahat internasional. Ambar menangis sesenggukan."Ambar, relakan semua,"ucap Sabrina sambil menggenggam jemari sang sahabat. Sementara air mata tidak berhenti mengalir dari pelupuk mata Ambar. Sabrina membiarkan saja agar rasa sesak di dada Ambar segera lenyap.Mobil telah memasuki area bandara udara dan Ambar masih sesenggukan. Tiba-tiba Sabrina menyadari sesuatu. "Ambar, kita kaga bawa baju ganti.""Gak perlu khawatir soal baju dan lain-lain. Di sana banyak pilihan,"sahut Geo dari balik kemudi. Pria ini mengar

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status