Share

ADA PIHAK KETIGA DI ANTARA MEREKA

Keduanya sedang asik dengan pikiran masing-masing. Ekor mata Hadi melirik wanita di sebelahnya, sering kali Ambar mengerem mendadak dan membunyikan klakson lalu mengomel kesal.

Pikiran Ambar yang sedang kacau membuat emosinya mudah terpancing. Hadi hanya bisa mengelus dada melihat perilaku sang istri yang berubah dratis.

“Mah, biar Papa yang nyetir. Tenangin hati Mama dulu,” ucap Hadi selembut mungkin agar emosi Ambar bisa segera stabil dan mau menyerahkan kemudi padanya.

“Diem aja. Entar kasih keterangan ke polisi sebanyak-banyaknya. Bikin alibi palsu atau ada saksi bayaran? Bedebah!” teriak Ambar sembari memukul kemudi.

Wanita ini tampak emosi dan Hadi masih bersabar menghadapinya. Pria berkaca mata tersebut hanya diam menunggu sampai emosi sang istri reda. Di saat pasutri ini sedang tegang, tiba-tiba ponsel Hadi berbunyi.

Pria ini segera merogoh benda tersebut dari saku celana dan tanpa melihat nama si penelepon langsung menjawab panggilan.

“Lagi di jalan, belum bisa terima telepon,” ucap Hadi setengah berbisik lalu segera memutuskan hubungan telepon.

Beberapa saat kemudian, terdengar pemberitahuan sebuah pesan masuk. Hadi pun segera membaca nama pengirim lalu tersenyum penuh arti dan segera membacanya.

[Sayang, barusan aku lihat kamu ada di rumah sakit. Siapa yang sakit?]

[Jagoan kecil.]

[Brian?]

[Ya, disambung nanti.]

Hadi mematikan ponsel lalu memasukkan ke saku kembali. Di saat bersamaan mobil telah memasuki gerbang kantor polisi. Ekor mata Ambar mengamati gerak-gerik suaminya dari tadi dengan ekspresi bertambah emosi.

Dasar bajingan! Umpat Ambar dalam hati sembari mengerem mobil secara mendadak lalu mematikan mesin.

Akibat aksi barusan kepala Hadi terantuk dashboard. Ambar dengan cuek turun dari mobil lalu melangkah dengan buru-buru ke arah ruang pemeriksaan. Dua orang petugas yang sedang berada dalam ruangan, mempersilakan keduanya masuk. Hadi yang tak paham tentang kasus yang akan dilaporkan oleh Ambar layaknya kambing congek, hanya mengekor saja.

Salah satu petugas mulai mempersiapkan kertas di mesin ketik. Sesi tanya jawab segera dimulai lalu Ambar menyerahkan sebuah map kepada petugas.

“Nama korban?” tanya petugas tersebut dengan kedua tangan siap mengetik.

“Brian Aditya Prayoga,” jawab Ambar mantap.

Hadi yang mendengarnya seketika terkejut lalu bertanya lirih, “Kenapa dia?”

Pertanyaan Hadi diabaikan oleh Ambar dan tentu saja membuat heran kedua petugas.

“Maaf, Bapak?” tanya petugas satunya yang menatap tajam ke arah pria berkaca mata ini.

“Dia saksi kejadian,” sahut Ambar sebelum Hadi sempat menjawab.

Tentu saja jawaban Ambar semakin membuat Hadi kelimpungan.

“Maaf, Nama saya Hadi Pratama. Suami dari Bu Ambar ini dan sekaligus bapak dari Brian. Jujur, saya enggak paham dengan kasus yang akan dilaporkan oleh istri saya,” jelas Hadi lalu menoleh ke arah sang istri.

“Penjelasan kasus ada di berkas, Pak,” ucap Ambar dengan pandangan lurus ke petugas di depannya.

“Baik. Saya baca dulu berkasnya,” sahut petugas di depan Hadi, yang tampak lebih tinggi pangkatnya.

Petugas sebelahnya segera menyerahkan map pemberian Ambar barusan. Untuk sesaat petugas tadi membaca berkas dalam map dan begitu selesai, dia pun geleng-geleng kepala.

Petugas tersebut hanya diam sembari menatap pasutri di depannya. Selama sesi tanya jawab dengan Ambar berlangsung, Hadi tampak syok. Murid kesayangan sekaligus anak sambungnya telah mengalami pelecehan saat dalam penjagaan dia.

Sementara itu di kantin rumah sakit, Bu Retno tanpa sengaja mendengar pembicaraan dua orang pria yang menyebut nama Brian—sang cucu.

“Gile, lu! Dia tuh anak gebetan lu,” ucap pria berbadan atletis kepada temannya.

“Biar tau rasa. Indehoi ama gue, nikah ama orang lain. Kalo enggak ada bini, diembat juga tuh bocil. Udahan, yuk. Kita pulang,” balas pria berkemeja motif bunga sepatu dengan bibir menyibik.

“Libur berapa hari?”

“Udah seminggu, tapi belum sembuh juga. Masih perih kalo ke toilet. Brian sakit, ketularan gue deh,” ungkap pria berkemeja motif bunga sepatu dengan pandangan menerawang.

“Lu kaga demen beneran ama tuh bocil? Ngapain?”

“Hei, Tampan. Lu, kaga pernah cembukur? Tapi gue angst sekarang. Gue takut lekong gue gelay,” ucap si motif bunga sepatu yang tampak bingung, heberapa kali jemarinya yang terlihat lentik meremas sapu tangan. *[angst=cemas]*[lekong=laki] *[gelay=gak like]

“Lu sih. Udah ama gue aja! Nyariin Hadi mulu. Kita pulang!”

“Sleeping beauty ama lu? Ogah!”

“Gue lebih macho dari si Hadi,” sergah pria atletis sembari mengusap lembut rambut si motif bunga sepatu.

“Anter surat dokter gue, ya?”

“Okey. Gue anter lu pulang dulu.”

Keduanya bangkit lalu menghampiri penjaga kantin dan berjalan melewati Bu Retno yang terbengong-bengong sehabis mendengar pembicaraan barusan.

Mereka kenal sama Hadi dan Brian? Tanyanya dalam hati sambil mata awas mengamati dua pria yang kini telah berjalan menjauh.

Kini, kedua mata Bu Retno tampak lebih segar setelah menyeruput kopi. Semalam dia begadang membuat katering pesanan dan rasa kangen ke cucunya mengalahkan rasa kantuk. Wanita tua ini lalu bangkit dan segera membayar kopi serta beberapa bungkus roti yang dimasukan kresek. Hatinya cemas dengan keadaan sang cucu.

Dari raut wajah Ambar yang panik sebelum pergi, dia menduga sebuah penyakit serius sedang diderita oleh Brian. Dengan langkah kaki perlahan Bu Retno menuju ruang perawatan khusus anak. Baru sejam yang lalu Brian dipindahkan dari ruang UGD dan sempat siuman lalu tertidur karena efek dari obat tidur.

Saat kedua kaki Bu Retno masuk kamar, dia disambut pertengkaran Ambar dengan Hadi. Wanita tua ini seketika menghampiri keduanya.

“Kalian enggak kasian sama Brian? Bertengkar depan anak. Selesaikan di rumah! Malu ... tempat umum,” ucap Bu Retno dengan menatap tajam ke pasutri di hadapannya.

Keduanya bergegas mencium tangan wanita tersebut. Tampak buliran bening menggenang di kedua pelupuk Ambar.

“Maaf, Bu. Dek Ambar tak terima penjelasan saya,” jelas Hadi sembari mendekat ke arah ranjang Brian.

Langkah Hadi seketika dihadang oleh Ambar. Wanita ini berdiri tepat di hadapan suaminya dengan mata memerah.

“Gak usah dekat-dekat anakku. Pergi sana! Najis bener!” teriak Ambar yang tampak semakin emosi saat Hadi berusaha melempar senyum.

“Ambar, tenang! Nak Hadi tolong keluar dulu,” ucap Bu Retno dengan bijak lalu mengantar sang menantu sampai keluar ruangan.

“Maafkan saya, Bu. Saya sama sekali gak tau kalo Brian sedang sakit. Tau-tau pingsan lalu kami bawa kemari,” jelas Hadi kepada mertuanya.

“Sabar. Nanti Ibu tanya Ambar dulu tentang masalah sebenarnya. Nak Hadi sementara menjauh dulu. Ambar lagi emosi.”

“Baik, Bu. Saya ke kantin saja. Kalo ada apa-apa dengan Brian, tolong telepon saya.”

Bu Retno mengangguk mendengar omongan menantunya. Hadi berpamitan lalu mencium tangan mertuanya. Wanita tua ini memandang kepergian sang menantu dengan perasaan sedih.

 

 

 

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status