Share

MAMA SELALU BERSAMA BRIAN

“Jagoan Mama udah bangun. Setelah ini kita liburan, ya. Tante Mita juga ikut, loh,” ucap lembut Ambar sembari memegang tangan Brian. 

“Brian mau pup tapi takut,” ucap bocah berkulit bersih ini sembari memegang pangkal paha.

“Gak usah takut, Sayang. Udah ada obat di infus. Lukanya mulai mengering. Mama juga dapat obat semprot dari dokter barusan. Yuk, Mama antar,” bujuk Ambar dengan menahan sekuat mungkin air mata yang mulai ingin keluar.

Ambar tak ingin terlihat sedih di mata putra kesayangannya. Kedua tangannya membantu bocah bongsor untuk berdiri. Ambar mengamati diam-diam cara berjalan putra kesayangannya. Tampak jelas perbedaannya kini, Brian berjalan mulai normal kembali, meski sesekali, bibir bawah digigit seperti menahan sakit.

Ah, Nak. Mama enggak akan dinas ke luar kota lagi, batinAmbar menjerit.

Wanita ini menahan sesak di dada, hingga tiap air yang keluar dari pelupuk mata, buru-buru diusapnya. Dia harus terlihat tegar di depan anaknya.

“Mama perlu ikut masuk?” tanya Ambar seraya mengulurkan sebuah kresek, sebelum Brian masuk toilet.

“Gak, tapi tungguin,” jawab si bocah sembari matanya sibuk melihat sekeliling seperti ketakutan.

Ambar yang menyadari hal itu spontan berkata, ”Brian aman. Mama enggak ke mana-mana. Selalu bersama kamu, Sayang. Sehabis pup, semprot dengan obat dan ganti CD. Sementara pake sarung sampe sembuh. Semua ada dikresek.”

Saat dia berucap barusan, air mata sudah mendesak ingin keluar dan Ambar tahan sekuat mungkin.

Ya Tuhan! Tolong, jangan bikin aku menangis di depannya.

Hati Ambar menjerit, tetapi dia harus mampu tersenyum manis di depan buah hatinya. Ujian ini memang lebih berat dari kemarin. Kali ini,anak kesayangannya terluka luar dalam dan itu tersemat seumur hidup. Dari dalam toilet jerit kecil Brian terdengar lalu diikuti guyuran air.

“Sa-yang! Perlu Mama masuk?” tanya Ambar dengan rasa panik yang semakin menjadi.

“Eng-gak.” Jawaban singkat Brian seketika membuat hatinya lega.

Dia khawatir sang anak pingsan di dalam toilet. Ambar masih menunggu sang bocah dengan sabar, ada sekitar satu jam, dirinya berdiri di depan toilet. Tampak Bu Retno datang menghampiri.

“Ambar, ada dua polisi mau bertemu kamu dan Brian. Ada apa tho, Nduk, sakit Brian sampe diurus polisi segala?” tanya Bu Retno sambil melihat ke arah pintu toilet.

“Nanti Ambar cerita, Bu.”  Jawaban sang putri, rupanya mengingatkan wanitasepuh ini akan sesuatu.

“Oh, ya, Nduk. Tadi saat di kantin, Ibu melihat dua orang laki-laki dengan perilaku aneh. Salah satunya sebut nama Brian dan juga ngaku jadi pacar Hadi. Apa maksudnya, ya?” tanyaBu Retno lirih khawatir didengar Brian.

“Hah? Ibu kenal laki-laki itu?” tanya Ambar pelan mirip orang  berbisik.

“Enggaklah! Baru itu liat mereka. Kayaknya, yang kenal Brian dan Hadi, habis berobat juga,” jawab Bu Retno sembari melihat raut wajah Ambar yang tampak memerah.

“Mereka sama bajingan dengan Hadi,” ungkap Ambar geram tetap dengan nada lirih.

“Nduk, sadar. Hadi itu suamimu. Dia baik dan sopan selama ini,” ucap Bu Retno sembari geleng-geleng kepala.

“Dia menipu kita semua,” bisik Ambar ke telinga sang ibu lalu berucap,”Nanti Ibu juga tau. Tolong Ibu bilang ke polisinya, tunggu sebentar.”

Bu Retno pun tersenyum sembari menepuk bahu Ambar dan segera berlalu. Kini tinggal Ambar yang masih menunggu Brian.

‘Tok ... tok ... tok!’

“Sayang, pakaian kotor masukin kresek dan sehabis pake, obat semprotnya pegang aja,” pintanya kepada sang anak yang tak terdengar lagi merintih.

Beberapa saat kemudian, tampak handle pintu diputar dari dalam dan seraut wajah manis keluar dari balik pintu. Tetap dengan diam dan pandangan mata ketakutan lalu seketika menunduk saat beradu pandang dengan sang mama. Hati Ambar semakin menjerit.

“Udah, yuk. Buruan tidur lagi, biar cepat sembuh,” ujar Ambar seraya mengambil kresek dan obat semprot dari genggaman Brian lalu merangkulnya.

Ambar berjalan pelan untuk mengimbangi langkah kaki Brian. Mereka menuju ke arah ranjang. Di sana tampak dua orang polisi sedang berbincang dengan dokter dan Bu Retno, serta Mita. Namun, tanpa disangka-sangka Brian lari terbirit-birit dan masuk toilet. Ambar terkejut, begitu pun dengan yang lain. Seketika Ambar dan Bu Retno buru-buru menyusul Brian.

Mita segera mengatasi keadaan langsung berkata, “Maaf Bapak-bapak. Sepertinya pasien masih trauma berat. Seperti banyak kasus paedofil apalagi ini kasus istimewa. Korban tak punya rasa percaya terhadap orang lain, apalagi genre yang sama dengan si pelaku. Sebaiknya sesi meminta keterangan dilakukan oleh seorang wanita bersama saya dan Bu Ambar sebagai pendamping korban. Itu pun menunggu mental korban stabil dulu.”

Penjelasan Mita bisa diterima oleh kedua petugas lalu mereka melangkah ke arah Ambar dan Bu Retno. Sedangkan Pak Dokter segera pamit untuk memeriksa pasien lain.

“Bu Ambar dan Bu Retno, kami putuskan sesi tanya jawab menunggu korban siap mental dulu. Kami permisi. Selamat siang,” jelas salah satu petugas lalu keduanya menyalami ibu anak ini dan beranjak pergi.

Ambar mengetuk pintu toilet perlahan dan berusaha membujuk Brian.

“Sayang, mereka udah pergi. Hanya ada Mama, Nenek dan Tante Mita. Keluar, yuk!” pintanya lembut sembari menempelkan telinga di daun pintu.

Dari dalam terdengar isak tangis Brian dan Ambar tak tahan mendengarnya. Air mata yang sedari tadi dengan susah payah dibendung, akhirnya jebol juga. Buliran bening deras mengalir dari kedua pelupuk mata.

Bu Retno bergegas memeluk sang putri lalu berbisik, “Nduk, Ibu paham rasanya. Memang berat, tapi kamu harus kuat demi Brian. Habiskan dulu air matamu di luar. Ibu bisa jaga Brian. Sana!”

Ambar mengangguk lalu berucap,”Titip Brian, Bu.”

Bu Retno tersenyum bijak sembari menepuk lembut kedua pipi sang putri. Ambar segera pergi menjauh dari toilet.

Sesampai dekat Mita dia berkata, "Mit, titip anak gue, ya.”

“Okey! Tenangin diri kamu dulu,” balas sang teman sembari menepuk bahu Ambar beberapa kali.

Ambar segera melangkah ke arah pintu dan keluar. Selepas Ambar pergi, Mita bergegas menghampiri Bu Retno.

“Bagaimana keadaan Brian, Tante?” tanyanya lirih seraya menepuk lembut bahu wanita tua yang sedang menghadap ke pintu toilet.

“Masih belum mau keluar, tuh,” jawab Bu Retno yang terlihat mulai cemas karena tak mendengar suara apa pun dari dalam.

‘Tok ... tok ... tok!’

“Brian, ini Tante Mita. Keluar, yuk! Tante pengen beli hamburger dan frech fries, nih. Mau gak?” tanya Mita seraya mendekatkan telinga ke pintu toilet.

“Brian? Jawab dong! Tante tunggu kamu, mau enggak?” Ucapan Mita tak ada balasan dari dalam dan Bu Retno terlihat semakin cemas.

“Brian, Sa-yaaang!” kata Mita sedikit teriak diikuti ketukan pintu oleh Bu Retno.

“Jagoan Nenek. Keluar, yuk!” pinta Bu Retno sembari menempelkan telinga di pintu.

“Brian belum keluar juga?” tanya Ambar yang baru saja masuk ruangan dan langsung mendekat ke arah kedua wanita.

Mita dan Bu Retno mengangguk ke arah Ambar dan segera direspon dengan sebuah dobrakan keras ke arah pintu oleh si kaki jenjang. Namun, tak membuahkan hasil. Bahan daun pintu yang tebal tak goyah sedikit pun oleh tenaga Ambar.

“Biar Papa yang dobrak, Mah,” ucap Hadi yang muncul tiba-tiba lalu mendobrak sekuat tenaga dan pintu pun terbuka.

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status