Share

#2 Langit Cerah

Setelah beberapa menit menyendiri di kantin, aku memutuskan beranjak dari sana untuk pergi ke perpustakaan yang tadi sempat kulihat.

Ternyata setelah masuk ke dalam perpustakaan, bukannya membaca aku malah berkeliling mencari buku yang mungkin takkan bisa kutemukan, karena saking luasnya tempat ini.

Aku mencoba mencarinya di komputer, tapi ini juga membingungkan. Komputer ini hanya menampilkan nomor rak penyimpanan bukunya.

“Ah, dari pada bingung ambil acak aja,” gumamku.

Dengan santai aku bersandar di hadapan meja bersofa empuk sembari membaca buku yang telah asal aku comot. Sekarang setiap orang yang melintas di hadapanku tampak menahan tawa. Aku tetap fokus membaca menghiraukan mereka.

“Emang salah, ya, kalau aing baca buku ini?” sungutku dalam hati.

Sambil memasang wajah masam, aku keluar dari surganya para kutu buku itu. Aku segera duduk di balkon dekat pintu masuk.

“Hei!”

Sepertinya aku sudah sangat hafal dengan suara lembut ini. Kepalaku dengan cekatan menengok.

“Arka, kamu lagi apa di sini? Bukannya ke dalam.”

“Salma?”

Mungkin sekarang wajahku tampak memerah, karena dia sekarang duduk di dekatku.

“Iya, aku Salma. Kamu sakit? Wajahmu kayak moci merah muda gitu.”

“Eh, nggak-nggak. Aku cuman lagi kesal.”

“Kesal ke siapa? Aku?”

“Bukan! Tadi, kan, aku di dalam baca buku, terus orang yang lewat di depanku pada nahan tawa.”

“Tunggu. Emang tadi kamu baca buku apa?”

“Si Kancil.”

Dia tertawa terkekeh. Bukannya kesal aku malah ikut terbahak-bahak.

Setelah beberapa detik tertawa, Salma memperhatikan perpusataan dan sekitarnya. Mungkin karena kami baru di kampus, jadi suka kagum-kagum gitu. Aku malah menyelidik wajahnya.

“Kamu tadi ada kelas? Terus kenapa udah keluar?” tanyaku.

“Cuman perkenal doang.”

“Terus cari aku lagi ke sini?” Aku nyengir.

“Ih, apaan. Aku mau cari buku tahu.”

“Kirain.”

“Jangan kepedean.”

“Nggak kepedean.”

“Terus?”

“Cuman memastikan.”

“Arka, Arka.” Salma tersenyum lalu menggeleng.

“Kenapa?”

“Udah, ah, nggak jelas.”

“Gara-gara kamu tadi ajarin aku trik menatap mata, aku jadi kepedean.”

“Tuh, kan, bener. Dasar kepedean.” Dia tertawa.

Balkon perpustakaan itu semakin ramai. Mahasiswa-mahasiswa yang keluar dari dalam mungkin suka duduk sebentar di teras pualam ini, termasuk aku sekarang. Mataku manatap langit, sepertinya hari ini terasa akan cerah sepanjang hari.

“Habis ini kamu mau ke mana?” tanya Salma.

Aku berpikir sejenak. “Mungkin nggak ke mana-mana. Kamu mau ke mana?”

“Aku mau pinjem buku.”

“Nah itu, tadi aku juga mau pinjem buku, tapi susah banget.”

“Gimana kalau gini, aku pinjemin buku yang kamu mau. Asal nanti kamu temani aku.”

“Okey. Ide bagus,” kataku bersemangat.

“Kamu mau pinjem buku apa?”

“Apa aja. Asal buku puisi.”

Dia mengangguk, lalu bergegas masuk ke dalam perpustakaan.

Tidak kurang dari sepuluh menit Salma sudah muncul dari pintu keluar perpustakaan. Aku melongo. Bagaimana dia bisa menemukan dua buku dengan sangat singkat? Aku saja tadi sampai kebingungan mencari.

Dia menyodorkan buku. Aku segera mengambilnya sembari bilang terima kasih. Karena gengsi, aku tidak mau menanyakan bagaimana dia bisa meminjamnya secepat itu.

“Sekarang kita ke mana?”

“Ikut aku!”

Kami berjalan di trotoar tepi jalan kampus. Saking luasnya kampus ini jalanannya jadi banyak belokan serta pertigaan. Sesekali kami harus menyeberang. Sisi kiri-kanan jalanan ada pohon-pohon besar yang mungkin sengaja ditanam agar kampus asri.

Karena kini Salma mulai tidak tahu mau ke mana, jadi aku yang mengajaknya.

“Kita pake apa?”

“Pake damri aja.”

“Aku ada motor, loh. Kamu nggak bawa motor?” Salma menyarankan.

“Naik damri aja. Enak ada AC-nya.”

“Di motor juga ada.”

“AC alami.”

“Iya.”

“Udah. Naik damri aja, ya, Salma.” Aku sedikit memaksa.

“Okey, deh, Arka.”

“Motor kamu bakal aman, kok, kan, ada satpam.”

Dengan raut wajah sedikit ragu, tapi Salma tetap mengikutiku. Mungkin, dia masih takut motornya dimaling.

“Motormu pasti aman.”

Dia mengangguk ragu-ragu.

Di gerbang keluar kampus ada pos satpam. Aku segera menghampiri ke sana. Salma mengikuti.

Punten, Pak,” sapaku sopan.

“Iya, ada apa, Dek?” tanya satpam.

“Kami mahasiswa di sini, kalau kami menyimpan motor di parkiran kampus, apakah aman, Pak?”

“Iya, apa aman, Pak?” tanya Salma.

“Oh, tenang aja, Dek, satpam di sini 24 jam. Pasti aman. Tapi kalau mau keluar harus pake kartu mahasiswa, ya, Dek.”

“Siap, Pak. Hatur Nuhun.”

Sawangsulna. Hati-hati, Dek.”

Kami mengangguk tegas sembari meninggalkan pos satpam.

Gerbang utama kampus langsung berada di dekat jalan raya. Kami beruntung, karena kendaraan besar berwarna biru itu berhenti di seberang. Kami segera ke sana, kemudian naik ke dalam bus damri.

Langit tetap cerah, tampaknya ia dapat selalu peka dengan perasaanku ini.

-Bersambung-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status