Setelah beberapa menit menyendiri di kantin, aku memutuskan beranjak dari sana untuk pergi ke perpustakaan yang tadi sempat kulihat.
Ternyata setelah masuk ke dalam perpustakaan, bukannya membaca aku malah berkeliling mencari buku yang mungkin takkan bisa kutemukan, karena saking luasnya tempat ini.Aku mencoba mencarinya di komputer, tapi ini juga membingungkan. Komputer ini hanya menampilkan nomor rak penyimpanan bukunya.“Ah, dari pada bingung ambil acak aja,” gumamku.Dengan santai aku bersandar di hadapan meja bersofa empuk sembari membaca buku yang telah asal aku comot. Sekarang setiap orang yang melintas di hadapanku tampak menahan tawa. Aku tetap fokus membaca menghiraukan mereka.“Emang salah, ya, kalau aing baca buku ini?” sungutku dalam hati.Sambil memasang wajah masam, aku keluar dari surganya para kutu buku itu. Aku segera duduk di balkon dekat pintu masuk.“Hei!”Sepertinya aku sudah sangat hafal dengan suara lembut ini. Kepalaku dengan cekatan menengok.“Arka, kamu lagi apa di sini? Bukannya ke dalam.”“Salma?”Mungkin sekarang wajahku tampak memerah, karena dia sekarang duduk di dekatku.“Iya, aku Salma. Kamu sakit? Wajahmu kayak moci merah muda gitu.”“Eh, nggak-nggak. Aku cuman lagi kesal.”“Kesal ke siapa? Aku?”“Bukan! Tadi, kan, aku di dalam baca buku, terus orang yang lewat di depanku pada nahan tawa.”“Tunggu. Emang tadi kamu baca buku apa?”“Si Kancil.”Dia tertawa terkekeh. Bukannya kesal aku malah ikut terbahak-bahak.Setelah beberapa detik tertawa, Salma memperhatikan perpusataan dan sekitarnya. Mungkin karena kami baru di kampus, jadi suka kagum-kagum gitu. Aku malah menyelidik wajahnya.“Kamu tadi ada kelas? Terus kenapa udah keluar?” tanyaku.“Cuman perkenal doang.”“Terus cari aku lagi ke sini?” Aku nyengir.“Ih, apaan. Aku mau cari buku tahu.”“Kirain.”“Jangan kepedean.”“Nggak kepedean.”“Terus?”“Cuman memastikan.”“Arka, Arka.” Salma tersenyum lalu menggeleng.“Kenapa?”“Udah, ah, nggak jelas.”“Gara-gara kamu tadi ajarin aku trik menatap mata, aku jadi kepedean.”“Tuh, kan, bener. Dasar kepedean.” Dia tertawa.Balkon perpustakaan itu semakin ramai. Mahasiswa-mahasiswa yang keluar dari dalam mungkin suka duduk sebentar di teras pualam ini, termasuk aku sekarang. Mataku manatap langit, sepertinya hari ini terasa akan cerah sepanjang hari.“Habis ini kamu mau ke mana?” tanya Salma.Aku berpikir sejenak. “Mungkin nggak ke mana-mana. Kamu mau ke mana?”“Aku mau pinjem buku.”“Nah itu, tadi aku juga mau pinjem buku, tapi susah banget.”“Gimana kalau gini, aku pinjemin buku yang kamu mau. Asal nanti kamu temani aku.”“Okey. Ide bagus,” kataku bersemangat.“Kamu mau pinjem buku apa?”“Apa aja. Asal buku puisi.”Dia mengangguk, lalu bergegas masuk ke dalam perpustakaan.Tidak kurang dari sepuluh menit Salma sudah muncul dari pintu keluar perpustakaan. Aku melongo. Bagaimana dia bisa menemukan dua buku dengan sangat singkat? Aku saja tadi sampai kebingungan mencari.Dia menyodorkan buku. Aku segera mengambilnya sembari bilang terima kasih. Karena gengsi, aku tidak mau menanyakan bagaimana dia bisa meminjamnya secepat itu.“Sekarang kita ke mana?”“Ikut aku!”Kami berjalan di trotoar tepi jalan kampus. Saking luasnya kampus ini jalanannya jadi banyak belokan serta pertigaan. Sesekali kami harus menyeberang. Sisi kiri-kanan jalanan ada pohon-pohon besar yang mungkin sengaja ditanam agar kampus asri.Karena kini Salma mulai tidak tahu mau ke mana, jadi aku yang mengajaknya.“Kita pake apa?”“Pake damri aja.”“Aku ada motor, loh. Kamu nggak bawa motor?” Salma menyarankan.“Naik damri aja. Enak ada AC-nya.”“Di motor juga ada.”“AC alami.”“Iya.”“Udah. Naik damri aja, ya, Salma.” Aku sedikit memaksa.“Okey, deh, Arka.”“Motor kamu bakal aman, kok, kan, ada satpam.”Dengan raut wajah sedikit ragu, tapi Salma tetap mengikutiku. Mungkin, dia masih takut motornya dimaling.“Motormu pasti aman.”Dia mengangguk ragu-ragu.Di gerbang keluar kampus ada pos satpam. Aku segera menghampiri ke sana. Salma mengikuti.“Punten, Pak,” sapaku sopan.“Iya, ada apa, Dek?” tanya satpam.“Kami mahasiswa di sini, kalau kami menyimpan motor di parkiran kampus, apakah aman, Pak?”“Iya, apa aman, Pak?” tanya Salma.“Oh, tenang aja, Dek, satpam di sini 24 jam. Pasti aman. Tapi kalau mau keluar harus pake kartu mahasiswa, ya, Dek.”“Siap, Pak. Hatur Nuhun.”“Sawangsulna. Hati-hati, Dek.”Kami mengangguk tegas sembari meninggalkan pos satpam.Gerbang utama kampus langsung berada di dekat jalan raya. Kami beruntung, karena kendaraan besar berwarna biru itu berhenti di seberang. Kami segera ke sana, kemudian naik ke dalam bus damri.Langit tetap cerah, tampaknya ia dapat selalu peka dengan perasaanku ini.-Bersambung-
Sudah lebih dari lima belas menit kami berdua duduk berhadapan. Sesekali Salma melihat-lihat pemandangan Kota Bandung dari jendela bus di belakangnya. Bila ada kesempatan aku pandang wajah cantiknya yang terhias cahaya.“Udah kenyang lihat akunya?” tegurnya memajukan bibir.“Belum, eh. Kamu pikir makan bisa kenyang,” jawabku keceplosan.“Kita mau ke mana, sih?” Dia mengalihkan pembicaraan.“Kita ke Pasar Baru, sih,” ledekku.“Mau apa ke sana? Belanja?”“Nggak belanja, kita jalan-jalan aja.”“Orang lain ke pasar itu buat belanja bukan jalan-jalan.”“Kan, yang belanja juga harus sambil jalan-jalan, masa sambil tengkurep.”“Eh, bener juga, Sih. Hahaha.” Dia tertawa terkekeh-kekeh.Aku tersenyum, saat ini merasa ada yang aneh dengan hatiku.Sopir menghentikan laju busnya. Seorang Nenek renta masuk dibantu oleh Helper. Aku lihat semua kursi sudah terisi. Nenek itu kebingungan harus duduk di mana, sementara bus sudah kembali berjalan.“Nek, di sini!” se
Beberapa detik dalam keheningan kami tidak sadar sudah saling tatap satu sama lain. Kami langsung salah tingkah, kemudian mengalihkan perhatian, memandang sekitar.Aku bukannya tak mau menjawab pertanyaannya barusan. Tapi kalau aku menjawabanya, mungkin, itu akan mengubah suasana hangat saat ini.“Anak kucing ini mau kamu bawa ke mana?” Salma mengelus-elus kedua hewan mungil berwarna hitam dan putih itu. Lega rasanya dia mengalihkan pertanyaannya. Rasanya seperti saat diberi pelampung oleh dosen."Malah bengong."“Eh, Aku mau bawa ke kosan. Tapi kalau kamu mau bawa ke tempatmu juga boleh.”“Kalau ke kosanmu boleh, kalau ke kosanku jangan!”“Kenapa jangan?” Padahal aku sudah tahu, pasti kos-kosannya dilarang membawa hewan.“Soalnya di rumah kosku gak bisa bawa peliharaan.”“Gampang, selundupin aja pake tas. Hahaha.”“Ih jangan, sih.” Dia ingin tertawa, tapi
Kami menggulir kaki di antara bangunan-bangunan besar, kendaraan-kendaraan berlalu lalang di jalanan, dan jurig-jurig Kota Bandung telah bergentayangan di sana berfoto bersama orang-orang yang tak gentar. Ada juga Superhero yang melambai-lambaikan tangan seraya menatap tajam pengunjung yang datang.“Salma, mau foto sama Pocong?”“Kalau berdua bareng kamu, aku mau.”“Kamu takut, ya?” ledekku“Nggak! Kamu kali yang takut.”“Kalau gitu, ayo, difotoin sama aku.”“Tuh, kan, kamu yang takut. Kalau kamu nggak takut, kita foto bareng.”“Okey, kalau kamu nantangin. Aku mau.” Dadaku busung teracung sengaja.Akhirnya kami segera mendatangi hantu molen itu dengan semangat. Kami langsung ber-selfie ria bertiga. Lalu aku dan Salma bergantian mengambil gambar. Tidak lupa, kami juga memberi hantunya rupiah pada kotak yang sudah disediakan.
“Lihat, deh, Salma, yang hitam ngeliatin kamu mulu. Kayanya dia terpesona sama rambut hitammu.”“Kenapa rambutku?” Dia memeriksa, mengantungkan rambutnya ke sebelah kanan. Aku menatap heran, kenapa perempuan tampak lebih cantik saat rambutnya digantung ke pinggir?“Katanya, kamu cocok jadi duta sampo Phunten.”Dia langsung terkekeh manis. “Arka, Arka, bisa aja kamu.”Karena keasikan mengobrol, kami tidak sadar kalau mobil telah berhenti. Pak Sopir yang ramah memberitahu, jika sudah sampai di tempat tujuan, di depan gerbang kampus.“Ini, Pak,” kata Salma sembari menyodorkan lembaran kertas berharga.Kami segera turun dan tak lupa bilang terima kasih. Kaki kami bergegas melangkah, kembali melewati pos satpam sembari tersenyum, menyapa.Sesampainya di parkiran kampus, tangan Salma menunjuk kendaraannya ada di sebelah mana. Sepeda motornya masih terdiam tepat di bawah pohon rindang. Waja
Pagi terasa cerah serta sangat dingin, tapi aku dan Ardo telah bergegas memasuki gerbang kampus. Kami menuju kolam berrenang, berniat untuk latihan. Tadi subuh, aku meminta dia mengajariku karena ada informasi, jika kuliah hari ini dipindah ke jam sepuluh siang.Kami tiba di gelanggang. Kemudian mengganti pakaian. Setelah itu kami pemanasan terlebih dahulu.“Pagi-pagi Gelanggang kaya milik pribadi,” ujarnya sembari berdiri dipinggiran kolam.“Yoyoi, can aya sasaha. Yang tengah keliatannya lebih jero dari kemarin.” kataku sambil menelan ludah menatap air yang biru jernih.“Bukan keliatannya lagi, itu emang dalem.”“Kita belajar apa sekarang? Meluncur? Gaya-gayaan?”“Maneh nggak bisa renang banget, kan?”“Betul!” jawabku datar sembari mengacungkan jempol.“Okey! Kalau kataku, maneh harus bisa dulu ngambang di air. Kalau nggak salah disebutnya itu, water trappen.”“Waduh, gimana, tuh, caranya?”Ardo langsung balik kanan, lalu berisyarat padaku untuk menung
“Semoga belum ada,” gumamku sembari berlari menaiki tangga ke lantai dua.Untung saja Ardo yang ditunjuk menjadi ketua kelas. Kalau tidak, sekarang aku tidak akan tahu, jika Dosen masih masuk ke kelas.Aku telah sampai di pintu ruangan. Syukurlah belum ada. Itu tandanya aku tidak terlambat, dan dimarahi Dosen kayak di film-film. Mungkin saja Dosen di sini juga galak.Sementara Ardo duduk di dekat Sela, sekretaris cantiknya. Aku sudah merebahkan punggung di kursi pojok kelas, tak mau mengganggu mereka yang mungkin sedang kasmaran. Menurutku kedua cocok.Teman sekelas yang “telat” mulai berdatangan memasuki ruangan. Di susul oleh dosen yang bergegas ke dalam sambil memegang telepon tipis yang ditempelkan ke telinga, kemudian duduk di bangkunya.Hanya setengah jam dosen muda itu memperkenalkan diri, menjelaskan peraturan saat pembelajarannya, dan menerangkan sedikit tentang mata kuliahnya.“Kali ini saya tidak lama
Enam menit kemudian, kami telah kembali ke jalan. Salma sudah lupa dengan pertanyaannya, untung saja tadi sempat ada ibu-ibu yang tak sengaja menabraknya cukup kencang.Ketika Aku dan Salma hendak menyeberang ada orang berhelm tertutup memacu motor gede yang bising ke arah kami. Aku repleks mendorong punggung Salma hingga ke pinggir dengan badanku lantaran dua tanganku memegang belanjaan. Untung saja aku dan dia tidak terjatuh. Orang itu melewati kami dengan memacu motornya semakin di depan.“Woi! Jangan kabur!” teriakku tak terima.“Udah, Arka, biarin aja.”“Kamu nggak apa-apa, kan, Salma?”“Harusnya aku yang nanya gitu, kan, kamu yang udah nyelamatin aku.”“Aku nggak apa-apa.” Mataku melirik semua kantong belanjaan, syukurlah masih utuh.“Udah, lupain aja. Kita, kan, harus bawa belanjaan ini ke kedai.”Aku mengangguk sembari senyum. Entah kenapa mendengar suaranya saja a
“Salma, sebenarnya kita mau ke taman mana? Taman di Bandung itu banyak. Masih jauh, ya?”“Udah deket, Arka,” ujarnya sembari mengipas lehernya dengan tangan.Cuaca pagi menuju siang ini memang membara, padahal baru jam sepuluh lewat. Aku segera menggeser kaca jendela angkot.“Wah, jadi adem.”“Kalau panas bilang, Salma.”“Terima kasih udah bukain kacanya, dari dulu aku nggak bisa kalau mau buka kaca angkot.” Dia tersenyum.“Iya, sama-sama. Masa nggak bisa? Padahal ini nggak sulit, kamu harus tau tekniknya. Namanya, Teknik Membuka Kaca Angkot. Disingkat, TMKA.”“Gimana tekniknya? Ajarin, dong, Teknik Membuka Kaca Angkot, yang disingkat TMKA itu.”Aku menutup kembali jendela untuk mempraktikkannya. “Pertama, kamu jangan langsung mencet kuncinya sambil digeser. Tapi, kamu tarik dulu ke belakang, terus pencet kuncinya, baru, deh, kamu geser dengan lembu