Sudah lebih dari lima belas menit kami berdua duduk berhadapan. Sesekali Salma melihat-lihat pemandangan Kota Bandung dari jendela bus di belakangnya. Bila ada kesempatan aku pandang wajah cantiknya yang terhias cahaya.
“Udah kenyang lihat akunya?” tegurnya memajukan bibir.“Belum, eh. Kamu pikir makan bisa kenyang,” jawabku keceplosan.“Kita mau ke mana, sih?” Dia mengalihkan pembicaraan.“Kita ke Pasar Baru, sih,” ledekku.“Mau apa ke sana? Belanja?”“Nggak belanja, kita jalan-jalan aja.”“Orang lain ke pasar itu buat belanja bukan jalan-jalan.”“Kan, yang belanja juga harus sambil jalan-jalan, masa sambil tengkurep.”“Eh, bener juga, Sih. Hahaha.” Dia tertawa terkekeh-kekeh.Aku tersenyum, saat ini merasa ada yang aneh dengan hatiku.Sopir menghentikan laju busnya. Seorang Nenek renta masuk dibantu oleh Helper. Aku lihat semua kursi sudah terisi. Nenek itu kebingungan harus duduk di mana, sementara bus sudah kembali berjalan.“Nek, di sini!” seruku seraya beranjak dari kursi.Nenek itu segera menghampiri. Aku mendekat ke kursi orang lain.“Punten, Pak, sebaiknya Bapak pindah, ini kursi khusus lansia, Pak.”“Oh, iya. Terima kasih, ya, Dek.”Aku tersenyum, mengangguk.Bapak itu beranjak, lalu pindah ke tempat dudukku.“Hatur nuhun, nya, Cu. Nama cucuk siapa?” kata Nenek itu setelah berhasil merebahkan punggungnya di kursi."Aku bukan siapa-siapa." Aku tersenyum, kemudian berdiri di tengah-tengah para penumpang yang duduk.Bus kembali berhenti. Ternyata kita sudah sampai tujuan.“Salma, ayo!” seruku sembari menengok ke belakang.Kami segera berjalan ke depan, aku menyodorkan ongkos pada Helper dan bilang terima kasih.Setelah kami turun Sopir langsung tanjap gas.Pasar masih ingar-bingar, kami sudah ada di hadapannya. Tapi sebenarnya tujuanku bukan ke sini. “Ini,” kata salma menyodorkan uang.“Aku bayarin.”“Baguslah. Hahaha.” Dia tertawa.“Tapi, nanti balik kamu yang bayarin.”“Ih. Iya, deh.” Dia memajukan bibir.“Hahaha. Itu namanya adil.”Kami diam beberapa detik menatap keramaian. Sebenarnya tujuanku masih jauh dari sini.“Ayo, ke dalam.”“Ke mana?”“Masuk pasar.” Dia mengangkat alis bingung.“Emang, aku ngajak ke pasar?”“Tadi kamu bilang kita ke pasar.”“Nggak, aku ngajaknya jalan-jalan.”“Ih, kan, tadi katanya ke pasar.”“Iya, ke pasar. Kita turun di pasar, tapi kita jalan dari sini.”“Terus ke mana?”“Ke Alun-alun.”“Beneran, ya? Jalannya ke mana?”“Benerlah, masa palsu. Dari sini lurus aja.”Salma melangkah di depanku sambil antusias melihat-lihat toko-toko di sepanjang tepi jalan. Aku tersenyum melihatnya di belakang. Mungkin dia baru pertama kali berjalan-jalan di sini.Kami tiba di pertigaan jalan, lalu berbelok. Mataku tertuju pada sebuah kardus di depan toko yang telah tutup, aku segera melihatnya. Perkiraanku benar, di dalamnya ada dua ekor anak kucing berwarna hitam dan putih.“Ada apa, Arka?”“Anak kucing, mereka kayaknya baru dibuang.”“Terus mau diapain?”“Aku bawa, mereka nggak akan bertahan di sini.”“Berarti nanti aku yang beliin makanannya, ya.”“Ide bagus!”Kami melanjutkan perjalanan. Sesampainya di Alun-alun, tanpa berpikir lagi kami langsung menuju halaman luas di depan Mesjid Agung.“Jadi, ini tempat yang selalu ada di media sosial,” tegas Salma antusias.“Sebelum nginjak rumputnya buka sepatu dulu.”“Okey,” ucapnya sembari membulatkan kedua jari.Langkah kami berhenti di tengah-tengah. Kami duduk menghadap ke arah gedung tinggi. Banyak anak-anak dan orang tuanya bermain di sini. Ada juga beberapa remaja yang sedang berduan seperti kami di setiap tempat, mereka mungkin sudah bolos karena masih memakai seragam.Matahari setengah jalan lagi tiba di ufuknya, cahaya sudah tidak lagi menusuk kulit. Angin sore berembus sangat tenang. Kami menikmati ingar-bingar kota. Rambut Salma yang terurai tersisir angin lembut. Aku sesekali menatapnya berdalih melihat anak kucing yang ku simpan di tengah-tengah kami.“Arka?” ucapnya seraya melirik ke arahku.“Iya, aku Arka,” kataku menatapnya, ada yang aneh lagi dengan hatiku.“Ih, jangan ngambil kalimatku dong.”“Oh, itu kalimatnya udah berhak cipta?”“Iya, jadi jangan diambil.”“O. Hahaha.”“Ih, nyebelin nggak jadi, deh.”Kami menatap langit yang tetap cerah meski sudah hampir sore hari. Sesekali aku memandang lagi wajahnya, dia melekkukkan bibir tersenyum merdu.“Ceritanya ngambek, nih. Iya, deh, kamu mau bilang apa tadi?”“Jawab jujur, ya.”“Belum juga nanya udah jawab jujur aja.”“Ih, kamu.” Dia langsung mencubit lenganku.“Aduh, nyeuri. Iya aku jawab jujur, tapi lepasin dulu.” Tapi cubitannya itu malah membuat hatiku tak karuan.“Kenapa kamu waktu pertama kali ketemu nggak bisa menatapku?”“Jadi kamu ingin aku menatapmu terus?”“Ih, kamu katanya mau jawab jujur.” Dia menunjukkan dua jarinya.Aku tersenyum lebar. “Ampun. Iya, iya, aku jawab.”Sesaat ada keheningan datang.“Aku tidak bisa menatap mata perempuan. Karena mungkin aku terkena trauma oleh hal itu,” lanjutku memecah keheningan.“Kenapa bisa begitu?”“Dulu, aku punya seseorang yang aku cinta, tatapan matanya itu sangat indah. Namun, ternyata tatapan itu yang merusak semuanya, dia hanya memanfaatkanku dengan tatapan indahnya. Dan, semenjak itu aku tak mau menatap mata perempuan lagi. Tapi ....”“Tapi kenapa kamu bisa menatapku?” serobotnya.Ada hening datang lagi.-Bersambung-
“Ka, kamana?” sapa Ardo yang sedang jalan berduaan dengan Sela. Mereka sepertinya sedang menuju parkiran kampus.“Ke fakultas sebelah,” jawabku tanpa ragu.“Asik, apel nih. Okelah urang jalan dulu, Ka.”“Okey, Do.” Aku mengangkat jempol. “Oh iya, Sel, makasih tadi udah ngabarin.” Aku nyengir tak lupa juga memberi jempol.“Kembali kasih,” balas Sela tersenyum ramah.Aku melanjutkan langkah setelah Ardo dan Sela sudah kembali berjalan lebih dulu menuju tujuan mereka. Aku ke arah berbeda.Sambil menyusuri jalan aku teringat kejadian tadi. Tiga senoir cupu yang merundung teman sekelasku. Tadi aku balik kanan karena setelah dipikir-pikir itu bukan urusanku. Sekarang, aku jadi merasa bersalah pada temanku itu. Ah sudahlah, yang terpenting sekarang aku harus mengajak Salma healing.Segera aku duduk pada bangku dari batu di depan Fakultas Bahasa Indonesia. Salma memintaku untuk menunggunya di luar dari balasan SMS-nya barusan.Tak sampai tujuh menit, Salma sudah muncul dari ambang pintu kaca f
“Aka.”Aku tersadar oleh suara gadis yang terlampau merdu, tapi aku tetap melangkah menghiraukannya. Namun, dia segera menyerobot ke depanku sambil cemberut. Langkahku terpaksa berhenti.“Aka, jangan melamun aja, jawab ih pertanyaanku,” gerutu Keysa.“Eh iya, kamu nanya apa barusan?” Aku nyengir sambil mengusap rambut belakangku.Bibir Keysa melekuk indah sambil menatap tajam. “Apa kamu kalah, Aka?”Aku membelalakkan mata. “Apa kamu bilang?”“Arka!” Tiba-tiba tak jauh dari belakang Keysa teriakan seseorang memekakkan telinga. Pandanganku segera beralih ke arah suara itu. Ada seseorang di sana, tapi tampak samar.Aku alihkan lagi pandangan lurus. Kini, Keysa tersenyum licik. “Kamu kalah, Aka!” teriaknya meremehkan. Keningku mengkerut sembari perlahan mundur, tapi keseimbanganku seketika hilang. Pandanganku menggelap.“Arka!”Mataku langsung terbuka. Wajah indah dengan air mata yang masih tertinggal di pelupuknya kini tepat di hadapanku. Aku tersenyum. Salma segera memalingkan wajah semb
“Aka!” Dari arah tribune suara Keysa memecah hiruk pikuk orang-orang di lapangan. Bodohnya aku masih tergoda panggilannya tanpa sadar melirik ke arah tribune.Tidak diduga, si Mantan mengambil kesempatan dalam kelengahan. Aku melihat dari ujung mata, dia berlari sembari mengacungkan pisaunya siap menyabet. Refleks, aku ngeles ke samping sedikit melompat. Namun, tak diduga ada musuh menerjang dari kanan, tapi dengan cepat orang itu terhempas terhantam tinju.“Yow, Bos, ulah lengah,” ledek Satria sembari meniup kepalan tangannya yang besar.“Eheheh. Nuhun, Sat.” Aku membenarkan topi.Satria beralih melihat si Mantan dengan serius, sebelah alisnya terangkat. “Butuh bantuan, Bos?”“Di sini urusan urang, mending maneh bantu yang lain,” jawabku tanpa ragu.Tak banyak bicara Satria segera menjaga area belakangku, menghalangi setiap orang berjaket abu yang mendekat.Aku kembali menatap si Mantan yang terus menyeringai. Aku harus memikirkan bagaimana cara mengalahkannya dan segera menolong Sal
“Hahaha. Apa lo nggak inget gue, Arka? Liat sini, apa lo kaget liat gue?”Aku menunduk tak percaya kalau Salma juga akan mengkhianatiku seperti perempuan di tribune yang sekarang sedang teriak terbahak.“Cuma segitu mental lo, Arka?”“Jangan dengerin dia, Bang, coba liat Salma dia nangis,” bisik Ferdi.Pandanganku kembali lurus. Wajah Salma tampak sembab, tetesan tetap muncul meski dia mencoba menahan air mata. Aku terus menatapnya, tapi Salma malah berpaling menyembunyikan tangisan.Aku beralih melirik pria berambut agak ikal cepak itu. Aku menghela napas panjang. “Lo ngapain dia, Rusdi?!”“Ternyata lo masih inget gue. Gue kir
“Kita harus secepatnya ke sana,” tutur Alan sambil berjalan tergesa-gesa. Kami telah melangkah cukup jauh dari gang masuk rumah kontrakan Wini berniat menuju tempat Alan tinggal. Kami tadi bergegas berpamitan dengan Wini setelah mendapat panggilan telepon, meski raut wajahnya kecewa karena kami tak jadi memakan moci, tapi dia tetap melambai dan tersenyum. Alan juga tadi memasang muka masam, mungkin karena belum sempat berkenalan dengan Wini. Aku juga sedikit resah tak bisa merasakan makanan kenyal itu. Aku dan Alan masih melangkah cepat. Kami tak menyangka kalau hari pertaruhannya dimajukan secara sepihak oleh kelompok l
“Gue hajar lagi lo nanti!” Si Mantan telah menaiki macan besinya dengan sekujur muka yang babak belur. Ternyata dia masih belum menyerah. Kulihat ketujuh temannya masih tetap bergeming di tempat. “Beri tahu ketua Anda, jangan ganggu ketua kami sebelum hari penyerangan,” tutur Alan sambil memakai kacamatanya lagi setelah kusodorkan. Si Mantan langsung tancap gas dengan penuh amarah. Tanpa berpikir panjang tujuh pria lainnya buru-buru mengikuti dengan motor mereka masing-masing. D