Share

ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa
ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa
Author: Tadi hujan

#1 Datang Tak Diundang

“Aduh, telat, euy,” kataku.

Aku berlari di jalanan kampus bersama Ardo teman satu kosku. Jam di dinding kantin yang kami lewati telah menunjukkan pukul 06.45.

Hayu, cepat!” desaknya.

Saat aku masih memperhatikan jam, tabrakan pun tak terhindarkan. Seseorang di depanku terdiam, dia seorang gadis, buku yang dipegangnya berhamburan. Aku langsung sigap mengambil buku-bukunya.

“Maaf, ya, saya buru-buru,” kataku.

Dia tidak berbicara, ngambek pun tidak.

Aku bergegas mengembalikan buku-buku miliknya. Mataku belum sempat memperhatikan seperti apa wajah gadis itu. Lebih tepatnya aku tidak sanggup kalau harus bertatapan dengan perempuan, kecuali ibuku.

“Nggak apa-apa ...,” katanya.

Tapi aku tetap menunduk. Lalu kembali berlari menyusul temanku.

Lari kami tak sia-sia. Tak berselang lama kami sudah tiba tepat waktu di Gelanggang Kolam Renang, sebuah bangunan stadion yang di tengah-tengahnya terdapat kolam berenang luas.

Benar, Mata kuliah pertamaku adalah kelas renang atau yang disebut juga aquatik. Banyak senior bilang kalau kelas ini mata kuliah neraka, karena katanya dosen-dosennya galak dan pembelajarannya sangat menguras adrenalin.

Aku sudah memakai celana renang hitamku. Dengan wajah tegang aku keluar dari ruang ganti. Karena selama ini tidak pernah tahu caranya berenang, menyentuh air kolam pun tak pernah, itu satu-satunya yang saat ini membuatku tegang.

Sekitar puluhan Mahasiswa termasuk aku sudah duduk di pinggir, membelakangi kolam yang airnya berwarna biru cemerlang. Tiga Dosen berada di depan, salah satu dari mereka sedang menjelaskan.

“Teknik dasar meluncur itu gampang, kalian hanya tinggal meluruskan badan, tapi pastikan badan kalian lurus, maka seluruh badan akan otomatis mengambang. Lalu kayuh,” jelas Dosen.

Seluruh Mahasiswa berdiri, aku juga.

Dosen mengatakan, kalau sekarang adalah pembelajaran meluncur sekaligus memilah Mahasiswa supaya bisa di bagi menjadi tiga kelompok. Kelompok yang bisa, kelompok kurang bisa, dan kelompok tidak bisa. Aku cocok dengan kelompok ketiga.

Sekarang bagianku meluncur setelah lima orang di depan berhasil ke seberang. Aku berdoa, ragu-ragu, dan perlahan masuk kolam. Air kolam yang dingin menusuk dari telapak kaki sampai ubun-ubun.

“Ayo, cepat!” teriak Dosen.

Dengan tangan di depan, aku meluncur. Bulu kudukku merinding saat melihat betapa dalamnya tengah-tengah kolam ini, kiri-kira sedalam tiga meter. Tanpa sadar aku tidak mengayuh. Sedetik kemudian badanku telah tenggelam.

“Aduh, euy, aku pasti mati?” celetukku dalam hati.

Napasku habis, untung saja kakiku berhasil menyentuh dasar. Seketika dengan kencang aku melompat-lompat ke atas sambil melambai minta tolong. Tapi tidak ada siapa pun yang menolong.

Setelah beberapa detik aku melompat dan melambai, Salah satu dosen melemparkan pelampung. Aku segera meraihnya, dan akhirnya aku bisa mengambang. Napasku tertarik panjang, lega rasanya.

-Arka-

Dua jam pembelajaran renang sudah selesai, sekarang aku telah berada di kantin kampus. Mungkin bagi yang sudah bisa dan kurang bisa renang, mata kuliah itu seperti neraka. Tapi buatku dan teman satu kelompokku tadi pembelajarannya cuman latihan di kolam cetek, tidak menguras adrenalin sama sekali.

Kantin kampus belum terlalu ramai, hanya ada satu-dua mahasiswa yang duduk di hadapan meja panjang. Ada beberapa meja dan kursi panjang yang di simpan di luar, mungkin biar makan bisa sambil lihat orang jalan. Baguslah kalau belum banyak orang, karena aku lebih suka suasana damai daripada ramai.

Ini kali pertama aku masuk ke kantin kampus, katanya di sini ambil makanannya kayak prasmanan. Ternyata itu benar. 

“Sikat,” tegas benakku.

Tanpa pikir panjang, aku segera mengambil piring yang sudah disediakan, menyendok nasi banyak-banyak, dan menghiasinya dengan lauk-pauk.

“Oh, harus langsung bayar,” gumamku melihat satu orang di depan menyodorkan uang ke kasir.

Tanganku bergegas merogoh saku kanan celana, tapi tidak ada. Aku coba sebelah kiri, tidak ada juga.

“Tenang.”

Aku segera melihat saku kemejaku. Ini saatnya panik.

“Aduh, duitku hilang,” kataku dalam hati.

Seseorang menyerobotku. Gadis berambut panjang terurai itu berbicara sebentar dengan kasir, dia langsung menyodorkan uang, lalu berjalan keluar.

 Aku ragu-ragu mendekati kasir.

“Makanannya udah dibayarin sama pacar kakak,” ungkap kasir.

“Pacarku?” cakapku bingung.

“Iya, pacar kakak yang duduk di meja itu.” Kasir menunjuk keluar.

Kepalaku menoleh. Dia gadis yang tadi menyerobotku.

“Ini kembaliannya, Kak. Terima kasih.” Kasir menyodorkan uang.

Aku mengambilnya. “I-iya, terima kasih.”

“Sama-sama.”

Dengan perasaan canggung, aku menghampiri meja gadis itu.

Dia menatapku biasa saja.

Aku langsung menunduk menatap makananku.

“Pe-permisi,” kataku canggung.

“Kamu boleh duduk.”

Aku duduk di hadapannya. Tapi, Aku ragu bisa mengobrol dengannya.

“Kamu juga mahasiswa baru, ya?”

“Sebelumnya terima kasih sudah membayar makananku, ini kembaliannya.” Aku menyimpan uangnya di tengah meja dengan tangan bergetar. “Nanti aku ganti.”

“Nggak usah. Itu sebenarnya uangmu.”

“Maksudmu?”

“Itu uangmu yang tadi jatuh saat menabrakku.”

“Oh, maaf, tadi aku buru-buru. Terima kasih.”

“Nggak apa-apa, aku juga tadi buru-buru. Tapi, kamu nggak sopan, ih, dari tadi bicara sambil nunduk.”

“Aku ... lagi menghitung nasi, eh, maksudku, lagi ....”

Dia tertawa. Mungkin merasa aneh dengan lelaki sepertiku. Aku hanya menunduk tersenyum.

“Oke, kita habiskan dulu makannya,” katanya.

Aku mengangguk. Lalu menyantap dengan lahap.

Kami berdua selesai menghabiskan makanan di piring masing-masing. Aku masih menunduk, ragu, apa bisa aku memulai percakapan. Tapi, aku harus mencoba. Dia sepertinya menatapku.

“Kenapa tadi kamu tahu kalau aku mahasiswa baru?” ujarku memulai percakapan.

“Kelihatan,” jawabnya.

“Kelihatan apanya?”

“Botaknya. Hahaha.” Dia tertawa terkekeh.

Tanganku refleks memegang kepala. Benar sekali, aku lupa kalau rambutku telah di cukur gundul dua senti. Tapi tidak ada pilihan lain, karena ini syarat mahasiswa baru laki-laki di fakultasku.

“Kamu masih tidak sopan, ih.”

Aku terdiam.

“Oh, aku punya triknya. Kamu kalau bicara jangan menatap mata, tapi tataplah ke antara kedua mata. Ayo, coba, deh, kamu pasti bisa.”

“Maksudmu menatap pangkal hidung?”

“Iya, kamu pasti bisa.”

Kepalaku perlahan terangkat, entah kenapa aku menuruti permintaannya. Tak lama, aku memandang wajah cantik gadis itu. Dia tersenyum padaku. Matanya lebih cemerlang dari kolam renang. Tak tahu kenapa aku malah tidak menuruti triknya, tapi malah menatapnya.

“Itu, kamu bisa.”

“Hehehe. Iya. Tapi, aku masih canggung.”

Dia kembali tertawa. Aku tersenyum.

“Kamu pasti dari Fakultas Olahraga, aku sudah tahu itu.”

“Kamu gampang menebakku, tapi aku tidak bisa menebak kamu dari fakultas mana?”

“Aku dari Fakultas Bahasa.”

Aku tersenyum menatapnya. “Oh iya, kenalkan, namaku Arka.”

“Aku Salma,” jawabnya.

Hari itu aku tahu nama gadis itu. Salma Larasati. Sesuai dengan namanya yang cantik. Namun, dia lebih cantik serta imut.

Aku dan Salma mulai akrab di waktu pertama makan bareng itu. Setelah beberapa menit mengobrol, dia buru-buru pergi, katanya ada kelas. Aku hari ini sadar kalau perempuan tak seegois yang selama ini kupikirkan. Tapi aku masih canggung bisa memulai percakapan atau tidak, jika nanti bertemu dia lagi. Dan, bodohnya tadi aku tidak meminta nomor teleponnya.

-Bersambung-

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Cia kamelida
Arka si polos ini......... ngakak aing
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status