Beberapa detik dalam keheningan kami tidak sadar sudah saling tatap satu sama lain. Kami langsung salah tingkah, kemudian mengalihkan perhatian, memandang sekitar.
Aku bukannya tak mau menjawab pertanyaannya barusan. Tapi kalau aku menjawabanya, mungkin, itu akan mengubah suasana hangat saat ini.“Anak kucing ini mau kamu bawa ke mana?” Salma mengelus-elus kedua hewan mungil berwarna hitam dan putih itu. Lega rasanya dia mengalihkan pertanyaannya. Rasanya seperti saat diberi pelampung oleh dosen."Malah bengong."“Eh, Aku mau bawa ke kosan. Tapi kalau kamu mau bawa ke tempatmu juga boleh.”“Kalau ke kosanmu boleh, kalau ke kosanku jangan!”“Kenapa jangan?” Padahal aku sudah tahu, pasti kos-kosannya dilarang membawa hewan.“Soalnya di rumah kosku gak bisa bawa peliharaan.”“Gampang, selundupin aja pake tas. Hahaha.”“Ih jangan, sih.” Dia ingin tertawa, tapi dihalangi cemberut.“Bolehlah. Asal jangan aku yang diselundupin, sih. Nanti kamu harus beli makan buat aku, sih,” ledekku sambil tanganku memperagakan.“Idih, emang muat di tas. Hahaha.”“Kalau muat, kamu mau nyelundupin?”“Nggak. Udah ah, nggak lucu garing kaya kue kering.”“Ya udah, nggak maksa. Aku bawa ke kos-kosanku.” Sembari tersenyum aku menarik kardus ke pangkuanku. Kedua anak kucing telah terlelap setelah tadi dijalan kami memberi mereka makan Sosis So Like.“Okey,” dia ikut melekukkan bibir sembari membulatkan dua jarinya.Aku berdiri, mengangkat kardus. Dia juga ikut beranjak."Mau cari tempat lain?" bisiknya tak mau membangunkan anak kucing.Kepalaku mengangguk.Beberapa menit kemudian, kami sudah berjalan menuju tempat untuk duduk yang masih ada sekitar sana. Setelah sampai Salma segera melentikkan pungggung di kursi panjang tepi jalan. Aku menyeruhnya menunggu sebentar.Setelah itu, aku kembali membawa dua air mineral.“Kamu pasti haus.”Dia tersenyum, dengan sigap mengambil airnya, lalu bilang terima kasih.Sekarang, kami memperhatikan orang-orang di seberang jalan sedang berpotret ria dengan dinding bermural di belakang mereka.“Arka, mau selfie nggak?”“Nggak ah. Kalau kamu mau, aku jadi tukang foto aja.”“Kalau kamu nggak mau, aku juga nggak, deh.”“Ngikutin aja, ya, Salma.”“Biarin, soalnya nggak seru kalau sendiri.”“Seumur hidup di Bandung aku selalu ke sini sendiri, tapi seru-seru aja.”“Kenapa nggak ngajak teman kamu?”“Masa aku harus ngajak cowo.”“Iya juga sih.” Dia melihat ke arah lain, lalu melambai. "Dek, sini!" Sambil tersenyum hangat.Mataku menatapnya takjub. Ternyata aku telah menemukan sosok yang selalu di sebut mentari pagi.Gadis kecil lusuh menenteng gitar kecil menghampiri kami. Dia segera memetik alat musiknya, lalu bernyanyi. Salma tersenyum memandanginya. Kami hanya memberinya tak seberapa, tapi anak lusuh itu langsung pergi dengan gembira.Tidak lama setelah itu, seorang pria dewasa berpakaian compang-camping berjalan di depan kami. Pria itu langsung mengambil kardus yang tersandar di antara kami.“Eh!” Aku berdiri.Salma ikut beranjak dari tempat duduk.“Ieu cupang urang,” ujar pria itu sembari cengar-cengir sendiri. Kembali melangkah, kemudian berdiri di dekat pohon.“Arka, itu orang gila!” Dia terperanjat. Masa dia baru sadar.“Salma, kalau aku hitung sampai tiga, lari, ya.”Dia melirikku dengan raut muka bingung.Kedua anak kucing mengeong keras ketika kardusnya diayun-ayunkan. Pria itu terkekeh-kekeh.Aku perlahan mendekat ke sana. Dengan menggerakkan bibir serta jari, aku memberi isyarat pada Salma. Tanpa berpikir panjang kardus itu segera ku rebut.“Tiga! Lari!”“Cupang urang!”Salma tidak ikut bergegas. Sambil menenteng kardus di sebelah kiri, aku segera menggandeng tangannya. Kami langsung menjauh dari sana.Aku tak menyangka kalau pria kurang kewarasan itu mengejar di belakang. Aku langsung berbelok menarik Salma masuk ke dalam Musem Konferensi Asia Afrika. Pintunya langsung ku tutup rapat-rapat.“Syukurlah sekarang bukan hari Senin.”Tangan kami masih bergandengan.“Aku nggak terbiasa olahraga jam segini,” katanya dengan napas terengah-engah.Aku tertawa pelan. Dia terkekeh manis. Sebelum dia sadar perlahan aku melepaskan gandengan tanganku .“Tunggu, emang kenapa kalau hari Senin?”“Nggak kenapa-kenapa.”“Ih, gak jelas!”“Biarin, yang penting kepalaku jelas.” Aku mengusap-usap rambut dua sentiku.“Jelas botaknya. Hahaha.”Aku tersenyum.“Udah kesorean, nih. Kita balik, yuk,” dia menatap jam tangannya.Kepalaku mengangguk, padahal aku tidak ingin mengakhiri kebahagian hari ini. Entah dia merasakan hal yang sama atau tidak.“Udah nggak ada kayaknya,” kataku mengintip dari pintu yang ku buka sedikit.Kami segera beranjak dari sana kembali ke trotoar.“Sekarang ke mana?”“Katanya barusan mau balik?”“Iya, nunggu damrinya di mana?”“Kita ke Alun-alun dulu aja.” Aku tersenyum. Padahal aku hanya ingin mengulur waktu supaya lebih lama bersamanya.“Balik lagi ke sana?” dia menunjuk.“Iya, masa mau lurus nanti nabrak gedung.”“Lucu! Haha!” ucapnya datar sembari bergegas melangkahkan kaki. Aku segera mengimbangi langkahnya.Sekejap, aku melirik ke belakang, seperti ada seseorang yang memperhatikan kami dari tadi. Tapi, aku tidak peduli.-Bersambung-Kami menggulir kaki di antara bangunan-bangunan besar, kendaraan-kendaraan berlalu lalang di jalanan, dan jurig-jurig Kota Bandung telah bergentayangan di sana berfoto bersama orang-orang yang tak gentar. Ada juga Superhero yang melambai-lambaikan tangan seraya menatap tajam pengunjung yang datang.“Salma, mau foto sama Pocong?”“Kalau berdua bareng kamu, aku mau.”“Kamu takut, ya?” ledekku“Nggak! Kamu kali yang takut.”“Kalau gitu, ayo, difotoin sama aku.”“Tuh, kan, kamu yang takut. Kalau kamu nggak takut, kita foto bareng.”“Okey, kalau kamu nantangin. Aku mau.” Dadaku busung teracung sengaja.Akhirnya kami segera mendatangi hantu molen itu dengan semangat. Kami langsung ber-selfie ria bertiga. Lalu aku dan Salma bergantian mengambil gambar. Tidak lupa, kami juga memberi hantunya rupiah pada kotak yang sudah disediakan.
“Lihat, deh, Salma, yang hitam ngeliatin kamu mulu. Kayanya dia terpesona sama rambut hitammu.”“Kenapa rambutku?” Dia memeriksa, mengantungkan rambutnya ke sebelah kanan. Aku menatap heran, kenapa perempuan tampak lebih cantik saat rambutnya digantung ke pinggir?“Katanya, kamu cocok jadi duta sampo Phunten.”Dia langsung terkekeh manis. “Arka, Arka, bisa aja kamu.”Karena keasikan mengobrol, kami tidak sadar kalau mobil telah berhenti. Pak Sopir yang ramah memberitahu, jika sudah sampai di tempat tujuan, di depan gerbang kampus.“Ini, Pak,” kata Salma sembari menyodorkan lembaran kertas berharga.Kami segera turun dan tak lupa bilang terima kasih. Kaki kami bergegas melangkah, kembali melewati pos satpam sembari tersenyum, menyapa.Sesampainya di parkiran kampus, tangan Salma menunjuk kendaraannya ada di sebelah mana. Sepeda motornya masih terdiam tepat di bawah pohon rindang. Waja
Pagi terasa cerah serta sangat dingin, tapi aku dan Ardo telah bergegas memasuki gerbang kampus. Kami menuju kolam berrenang, berniat untuk latihan. Tadi subuh, aku meminta dia mengajariku karena ada informasi, jika kuliah hari ini dipindah ke jam sepuluh siang.Kami tiba di gelanggang. Kemudian mengganti pakaian. Setelah itu kami pemanasan terlebih dahulu.“Pagi-pagi Gelanggang kaya milik pribadi,” ujarnya sembari berdiri dipinggiran kolam.“Yoyoi, can aya sasaha. Yang tengah keliatannya lebih jero dari kemarin.” kataku sambil menelan ludah menatap air yang biru jernih.“Bukan keliatannya lagi, itu emang dalem.”“Kita belajar apa sekarang? Meluncur? Gaya-gayaan?”“Maneh nggak bisa renang banget, kan?”“Betul!” jawabku datar sembari mengacungkan jempol.“Okey! Kalau kataku, maneh harus bisa dulu ngambang di air. Kalau nggak salah disebutnya itu, water trappen.”“Waduh, gimana, tuh, caranya?”Ardo langsung balik kanan, lalu berisyarat padaku untuk menung
“Semoga belum ada,” gumamku sembari berlari menaiki tangga ke lantai dua.Untung saja Ardo yang ditunjuk menjadi ketua kelas. Kalau tidak, sekarang aku tidak akan tahu, jika Dosen masih masuk ke kelas.Aku telah sampai di pintu ruangan. Syukurlah belum ada. Itu tandanya aku tidak terlambat, dan dimarahi Dosen kayak di film-film. Mungkin saja Dosen di sini juga galak.Sementara Ardo duduk di dekat Sela, sekretaris cantiknya. Aku sudah merebahkan punggung di kursi pojok kelas, tak mau mengganggu mereka yang mungkin sedang kasmaran. Menurutku kedua cocok.Teman sekelas yang “telat” mulai berdatangan memasuki ruangan. Di susul oleh dosen yang bergegas ke dalam sambil memegang telepon tipis yang ditempelkan ke telinga, kemudian duduk di bangkunya.Hanya setengah jam dosen muda itu memperkenalkan diri, menjelaskan peraturan saat pembelajarannya, dan menerangkan sedikit tentang mata kuliahnya.“Kali ini saya tidak lama
Enam menit kemudian, kami telah kembali ke jalan. Salma sudah lupa dengan pertanyaannya, untung saja tadi sempat ada ibu-ibu yang tak sengaja menabraknya cukup kencang.Ketika Aku dan Salma hendak menyeberang ada orang berhelm tertutup memacu motor gede yang bising ke arah kami. Aku repleks mendorong punggung Salma hingga ke pinggir dengan badanku lantaran dua tanganku memegang belanjaan. Untung saja aku dan dia tidak terjatuh. Orang itu melewati kami dengan memacu motornya semakin di depan.“Woi! Jangan kabur!” teriakku tak terima.“Udah, Arka, biarin aja.”“Kamu nggak apa-apa, kan, Salma?”“Harusnya aku yang nanya gitu, kan, kamu yang udah nyelamatin aku.”“Aku nggak apa-apa.” Mataku melirik semua kantong belanjaan, syukurlah masih utuh.“Udah, lupain aja. Kita, kan, harus bawa belanjaan ini ke kedai.”Aku mengangguk sembari senyum. Entah kenapa mendengar suaranya saja a
“Salma, sebenarnya kita mau ke taman mana? Taman di Bandung itu banyak. Masih jauh, ya?”“Udah deket, Arka,” ujarnya sembari mengipas lehernya dengan tangan.Cuaca pagi menuju siang ini memang membara, padahal baru jam sepuluh lewat. Aku segera menggeser kaca jendela angkot.“Wah, jadi adem.”“Kalau panas bilang, Salma.”“Terima kasih udah bukain kacanya, dari dulu aku nggak bisa kalau mau buka kaca angkot.” Dia tersenyum.“Iya, sama-sama. Masa nggak bisa? Padahal ini nggak sulit, kamu harus tau tekniknya. Namanya, Teknik Membuka Kaca Angkot. Disingkat, TMKA.”“Gimana tekniknya? Ajarin, dong, Teknik Membuka Kaca Angkot, yang disingkat TMKA itu.”Aku menutup kembali jendela untuk mempraktikkannya. “Pertama, kamu jangan langsung mencet kuncinya sambil digeser. Tapi, kamu tarik dulu ke belakang, terus pencet kuncinya, baru, deh, kamu geser dengan lembu
“Udah mau sampai, tuh.”Salma menyelidik ke depan. “Mana?”“Kiri, Mang!” seruku pada sopir angkot yang sedang melirik-lirik mencari penumpang. Angkot perlahan mengerem.Kami telah berdiri di hadapan gerbang besi cukup besar yang telah lebar menganga, banyak orang yang sudah masuk beriringan melewati kami.Salma menengadah. “Kebun Binatang Bandung, serius kamu bawa aku ke sini?”“Emang kenapa kalau aku bawa kamu ke sini? Takut buaya, ya?”“Nggak, sih, tampol aja buayanya.” Dia memajukan bibir.“Terus kenapa, sih?” ledekku sembari tersenyum.“Ya, aneh aja kaya anak kecil aja gitu.”“Mending kita liat aja, apa di dalem lebih banyak anak kecil atau orang dewasa.”“Ayo!” Dia bergegas melangkah mendahului. Aku mengimbangi.Salma berdiri di depanku, kami telah mengantri di antara orang-orang yang ingin masuk ke
“Hei, Mas! Jangan berhenti sembarangan!” dengus supir dengan logat khas daerahnya. Kemungkinan supir itu bukan orang Bandung asli. Tapi kenapa aku jadi memikirkan hal itu? Yang harus ku pikirkan sekarang adalah masalah yang baru datang.Pria yang dibonceng turun, sementara temannya telah meminggirkan macan besinya. Mereka segera merangsek mendekat. Jaket yang mereka kenakan serupa, warna abu, ada logo di dada kirinya, tapi tidak terlalu jelas, jika dilihat dari sini. Yang pasti mereka bukan dua orang yang salah satunya pernah aku ringkus tempo hari.“Siapa mereka, kamu tau?” Salma bicara, masih melirik ke depan.Aku tidak segera menjawabnya, berpikir seje