Share

#4 Tangan Yang Bergandengan

Beberapa detik dalam keheningan kami tidak sadar sudah saling tatap satu sama lain. Kami langsung salah tingkah, kemudian mengalihkan perhatian, memandang sekitar.

Aku bukannya tak mau menjawab pertanyaannya barusan. Tapi kalau aku menjawabanya, mungkin, itu akan mengubah suasana hangat saat ini.

“Anak kucing ini mau kamu bawa ke mana?” Salma mengelus-elus kedua hewan mungil berwarna hitam dan putih itu. Lega rasanya dia mengalihkan pertanyaannya. Rasanya seperti saat diberi pelampung oleh dosen.

"Malah bengong."

“Eh, Aku mau bawa ke kosan. Tapi kalau kamu mau bawa ke tempatmu juga boleh.”

“Kalau ke kosanmu boleh, kalau ke kosanku jangan!”

“Kenapa jangan?” Padahal aku sudah tahu, pasti kos-kosannya dilarang membawa hewan.

“Soalnya di rumah kosku gak bisa bawa peliharaan.”

“Gampang, selundupin aja pake tas. Hahaha.”

“Ih jangan, sih.” Dia ingin tertawa, tapi dihalangi cemberut.

“Bolehlah. Asal jangan aku yang diselundupin, sih. Nanti kamu harus beli makan buat aku, sih,” ledekku sambil tanganku memperagakan.

“Idih, emang muat di tas. Hahaha.”

“Kalau muat, kamu mau nyelundupin?”

“Nggak. Udah ah, nggak lucu garing kaya kue kering.”

“Ya udah, nggak maksa. Aku bawa ke kos-kosanku.” Sembari tersenyum aku menarik kardus ke pangkuanku. Kedua anak kucing telah terlelap setelah tadi dijalan kami  memberi mereka makan Sosis So Like.

“Okey,” dia ikut melekukkan bibir sembari membulatkan dua jarinya.

Aku berdiri, mengangkat kardus. Dia juga ikut beranjak.

"Mau cari tempat lain?" bisiknya tak mau membangunkan anak kucing.

Kepalaku mengangguk.

Beberapa menit kemudian, kami sudah berjalan menuju tempat untuk duduk yang masih ada sekitar sana. 

Setelah sampai Salma segera melentikkan pungggung di kursi panjang tepi jalan. Aku menyeruhnya menunggu sebentar.

Setelah itu, aku kembali membawa dua air mineral.

“Kamu pasti haus.”

Dia tersenyum, dengan sigap mengambil airnya, lalu bilang terima kasih.

Sekarang, kami memperhatikan orang-orang di seberang jalan sedang berpotret ria dengan dinding bermural di belakang mereka.

“Arka, mau selfie nggak?”

“Nggak ah. Kalau kamu mau, aku jadi tukang foto aja.”

“Kalau kamu nggak mau, aku juga nggak, deh.”

“Ngikutin aja, ya, Salma.”

“Biarin, soalnya nggak seru kalau sendiri.”

“Seumur hidup di Bandung aku selalu ke sini sendiri, tapi seru-seru aja.”

“Kenapa nggak ngajak teman kamu?”

“Masa aku harus ngajak cowo.”

“Iya juga sih.” Dia melihat ke arah lain, lalu melambai. "Dek, sini!" Sambil tersenyum hangat.

Mataku menatapnya takjub. Ternyata aku telah menemukan sosok yang selalu di sebut mentari pagi.

Gadis kecil lusuh menenteng gitar kecil menghampiri kami. Dia segera memetik alat musiknya, lalu bernyanyi. Salma tersenyum memandanginya. Kami hanya memberinya tak seberapa, tapi anak lusuh itu langsung pergi dengan gembira.

Tidak lama setelah itu, seorang pria dewasa berpakaian compang-camping berjalan di depan kami. Pria itu langsung mengambil kardus yang tersandar di antara kami.

“Eh!” Aku berdiri.

Salma ikut beranjak dari tempat duduk.

“Ieu cupang urang,” ujar pria itu sembari cengar-cengir sendiri. Kembali melangkah, kemudian berdiri di dekat pohon.

“Arka, itu orang gila!” Dia terperanjat. Masa dia baru sadar.

“Salma, kalau aku hitung sampai tiga, lari, ya.”

Dia melirikku dengan raut muka bingung.

Kedua anak kucing mengeong keras ketika kardusnya diayun-ayunkan. Pria itu terkekeh-kekeh.

Aku perlahan mendekat ke sana. Dengan menggerakkan bibir serta jari, aku memberi isyarat pada Salma. Tanpa berpikir panjang kardus itu segera ku rebut.

“Tiga! Lari!”

“Cupang urang!”

Salma tidak ikut bergegas. Sambil menenteng kardus di sebelah kiri, aku segera menggandeng tangannya. Kami langsung menjauh dari sana.

Aku tak menyangka kalau pria kurang kewarasan itu mengejar di belakang. Aku langsung berbelok menarik Salma masuk ke dalam Musem Konferensi Asia Afrika. Pintunya langsung ku tutup rapat-rapat.

“Syukurlah sekarang bukan hari Senin.”

Tangan kami masih bergandengan.

“Aku nggak terbiasa olahraga jam segini,” katanya dengan napas terengah-engah.

Aku tertawa pelan. Dia terkekeh manis. Sebelum dia sadar perlahan aku melepaskan gandengan tanganku .

“Tunggu, emang kenapa kalau hari Senin?”

“Nggak kenapa-kenapa.”

“Ih, gak jelas!”

“Biarin, yang penting kepalaku jelas.” Aku mengusap-usap rambut dua sentiku.

“Jelas botaknya. Hahaha.”

Aku tersenyum.

“Udah kesorean, nih. Kita balik, yuk,” dia menatap jam tangannya.

Kepalaku mengangguk, padahal aku tidak ingin mengakhiri kebahagian hari ini. Entah dia merasakan hal yang sama atau tidak.

“Udah nggak ada kayaknya,” kataku mengintip dari pintu yang ku buka sedikit.

Kami segera beranjak dari sana kembali ke trotoar.

“Sekarang ke mana?”

“Katanya barusan mau balik?”

“Iya, nunggu damrinya di mana?”

“Kita ke Alun-alun dulu aja.” Aku tersenyum. Padahal aku hanya ingin mengulur waktu supaya lebih lama bersamanya.

“Balik lagi ke sana?” dia menunjuk.

“Iya, masa mau lurus nanti nabrak gedung.”

“Lucu! Haha!” ucapnya datar sembari bergegas melangkahkan kaki. Aku segera mengimbangi langkahnya.

Sekejap, aku melirik ke belakang, seperti ada seseorang yang memperhatikan kami dari tadi. Tapi, aku tidak peduli.

-Bersambung-

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status