Pagi terasa cerah serta sangat dingin, tapi aku dan Ardo telah bergegas memasuki gerbang kampus. Kami menuju kolam berrenang, berniat untuk latihan. Tadi subuh, aku meminta dia mengajariku karena ada informasi, jika kuliah hari ini dipindah ke jam sepuluh siang.
Kami tiba di gelanggang. Kemudian mengganti pakaian. Setelah itu kami pemanasan terlebih dahulu.“Pagi-pagi Gelanggang kaya milik pribadi,” ujarnya sembari berdiri dipinggiran kolam.“Yoyoi, can aya sasaha. Yang tengah keliatannya lebih jero dari kemarin.” kataku sambil menelan ludah menatap air yang biru jernih.“Bukan keliatannya lagi, itu emang dalem.”“Kita belajar apa sekarang? Meluncur? Gaya-gayaan?”“Maneh nggak bisa renang banget, kan?”“Betul!” jawabku datar sembari mengacungkan jempol.“Okey! Kalau kataku, maneh harus bisa dulu ngambang di air. Kalau nggak salah disebutnya itu, water trappen.”“Waduh, gimana, tuh, caranya?”Ardo langsung balik kanan, lalu berisyarat padaku untuk menunggu. Setelah beberapa detik, dia kembali sambil membawa galah cukup panjang di tangannya.“Buat naon eta, Do?”“Udah, sekarang maneh langsung aja loncat ke tengah kolam.”“Ke tengah?” kataku sembari kembali menelan ludah.“Percaya, deh, kalau ada ini moal tenggelam.”“Naha nggak pake pelampung aja?”“Udah, percaya aja, Ka. Kalau pake pelampung terlalu mudah. Maneh mau bisa renang, kan?”“Percaya maneh, musyrik!” ledekku.“Ah, percaya aja, dah.”Kali ini, aku mengangguk tegas, lalu balik badan, dan berdiri di keramik tepian kolam. Seketika jantungku berdetak lebih kencang bagai pertama kali menatap mata Salma. Tapi beda, ini karena dasar kolam yang terbias tampak menyeramkan.Tak kusangka di tribune paling atas ada dua orang pria yang sedang berdiri, menonton. Pandanganku tidak bisa jelas melihat wajah mereka, tapi karena gaya rambut serta pakaian, aku tahu mereka seumuran denganku. Mataku kembali menatap kolam.Sekarang, ku coba mengambil napas tenang. Benakku menyemangati, aku pasti bisa! Namun, itu tidak mengubah suasana tegangnya.“Yo, Ka! Jadi lelaki itu harus berani bertanggung jawab. Kamu masuk ke Fakultas Olahraga, ya, berarti harus bisa renang bagaimana pun caranya. Jangan sampai ada niatan nyerah di tengah jalan, Ka.”“Bener omonganmu, Do. Urang nggak akan nyerah!”“Siap, ya!”Tanpa aba-aba badanku di dorong dari belakang, kemudian terpelanting jatuh ke tengah membelah birunya air kolam. Perlahan mataku terbuka, tubuhku tenggelam. Namun, kini pikiranku terasa lebih tenang, beda dengan kemarin.Kakiku telah menapak ke dasar. Dengan sekali hentakkan badanku melesat lurus ke atas. Tanganku segera meraih galah yang sudah dijulurkan Ardo. Kepalaku sekarang tidak kembali ke dalam air karena kedua lenganku telah menggenggam erat alat bantu.“Ka! Kakinya gerak!” teriaknya sembari berusaha menduduki galah.“Tadi belum siap, euy!” ujarku dengan napas sedikit terengah-engah.“Udah, ulah ngeluh!”“Bagaimana kumaha gerakkannya?!” “Tau, kan, gerakkan kaki katak?!”Dalam benakku langsung terbesit banyangan cara hewan itu berenang.“Ka, tau, kan?!”Aku memberi isyarat dengan mengacungkan jempol tangan kanan, yang kiri terus memegang galah seerat mungkin karena aku tidak mau kembali tenggelam.“Okey, Ka, Mantap!”Kedua kakiku mencoba bersinkronisasi dengan otak yang sedang memikirkan seekor katak berenang. Tak kusangka ternyata ini mudah. Namun, otot-otot paha dan betisku masih terasa sangat kaku, tapi mungkin nanti juga akan terbiasa.“Bagus! Tapi lakukan gerakkannya dengan tenang dan perlahan, Ka, kalau nggak, maneh nggak akan ngambang!”Dengan menarik napas panjang, aku berusaha membiasakan kakiku. Benar kata dia, badanku jadi terasa ringan sekarang, terasa mengambang.“Siip, terus begitu selama tiga menit!”“Emang bisa?!”“Pasti bisa, lah!”“Tapi, kalau keram nanti langsung tarik gantar-nya, yo!”“Yo, tenang aja!”Tiga menit telah terlampuai, tapi Ardo menyuruhku untuk lanjut ke lima, enam, hingga sepuluh menit dengan jeda istirahat beberapa detik di setiap sesinya. Gayanya kali ini sudah seperti Dosen. Aku terpaksa harus menurutinya karena ini caranya melatihku.“Mau terus?!”Namun, otot-otot kakiku sudah terasa sangat tegang seperti galah ini. Aku segera melambai. Dalam sekejap dia telah menarik galah yang dari tadi didudukinya dan kucengkram erat. Tanganku langsung berpegangan pada pinggir kolam.“Edan ... edan ... edan cape juga,” kataku dengan napas terengah-engah.“Harusnya tiga puluh menit,” ujarnya sembari mengulurkan tangannya, membantuku naik.“Serius, euy?”“Tapi itu udah alus.”Anehnya tiba-tiba ada bunyi nada dering handphone, ternyata itu suara telepon genggam milik Ardo yang dia selipkan dicelana renangnya. Dia segera mengambil, lalu menatap layarnya.“Siapa, Do?”“Si Sela.”“Sekretaris?”Dia mengangguk, kemudian dengan cekatan langsung mengangkatnya.Pandanganku kembali ke tribune. Dua orang tadi sudah tidak ada di sana. Dahiku terlipat.“Apa?! Seriusan?! Okey, kamu informasikan ke grup kelas, ya, dan terima kasih infonya, Sel.”“Ada apakah gerangan, Do?” Aku sedikit bercanda sembari beranjak dari pinggir kolam.“Kita harus cepet, Ka, Dosennya ternyata mau masuk jam setengah delapan.”“Seriusan? Ini jam berapa?”“Jam tujuh.”Aku telah mengambil ancang-ancang. “Katanya harus cepet? Hayu, ganti baju!”Dengan secepat kilat kami segera membawa tas, lalu lari ke ruang ganti. Kemudian setelah beres, kami langsung berjalan cepat bergegas dari sana menuju ke fakultas yang jaraknya cukup jauh.Baru setengah jalan, aku menghentikan kaki.“Ada apa, Ka?” Ardo ikut mengerem.“Tiheula, urang ada urusan dulu. Kalau telat salamin buat Dosen. Tapi kalau Dosennya bapa-bapa jangan. Hehehe.”“Yoyoi, Slur! Duluan, yo!” Dia bergegas. Lalu hilang di lekukkan jalan.Langkahku berganti arah, masuk ke jalan kecil di antara dua bangunan. Kini di hadapanku ada dua orang yang sedang berjalan. Perlahan, aku dekati mereka. Seketika ku piting satu orang, membawanya ke arah lain. Dia berontak, lalu ku jatuhkan kencang. Raut mukanya langsung terperanjat. “Ngomong! Maneh diperintah siapa?!”-Bersambung-“Ka, kamana?” sapa Ardo yang sedang jalan berduaan dengan Sela. Mereka sepertinya sedang menuju parkiran kampus.“Ke fakultas sebelah,” jawabku tanpa ragu.“Asik, apel nih. Okelah urang jalan dulu, Ka.”“Okey, Do.” Aku mengangkat jempol. “Oh iya, Sel, makasih tadi udah ngabarin.” Aku nyengir tak lupa juga memberi jempol.“Kembali kasih,” balas Sela tersenyum ramah.Aku melanjutkan langkah setelah Ardo dan Sela sudah kembali berjalan lebih dulu menuju tujuan mereka. Aku ke arah berbeda.Sambil menyusuri jalan aku teringat kejadian tadi. Tiga senoir cupu yang merundung teman sekelasku. Tadi aku balik kanan karena setelah dipikir-pikir itu bukan urusanku. Sekarang, aku jadi merasa bersalah pada temanku itu. Ah sudahlah, yang terpenting sekarang aku harus mengajak Salma healing.Segera aku duduk pada bangku dari batu di depan Fakultas Bahasa Indonesia. Salma memintaku untuk menunggunya di luar dari balasan SMS-nya barusan.Tak sampai tujuh menit, Salma sudah muncul dari ambang pintu kaca f
“Aka.”Aku tersadar oleh suara gadis yang terlampau merdu, tapi aku tetap melangkah menghiraukannya. Namun, dia segera menyerobot ke depanku sambil cemberut. Langkahku terpaksa berhenti.“Aka, jangan melamun aja, jawab ih pertanyaanku,” gerutu Keysa.“Eh iya, kamu nanya apa barusan?” Aku nyengir sambil mengusap rambut belakangku.Bibir Keysa melekuk indah sambil menatap tajam. “Apa kamu kalah, Aka?”Aku membelalakkan mata. “Apa kamu bilang?”“Arka!” Tiba-tiba tak jauh dari belakang Keysa teriakan seseorang memekakkan telinga. Pandanganku segera beralih ke arah suara itu. Ada seseorang di sana, tapi tampak samar.Aku alihkan lagi pandangan lurus. Kini, Keysa tersenyum licik. “Kamu kalah, Aka!” teriaknya meremehkan. Keningku mengkerut sembari perlahan mundur, tapi keseimbanganku seketika hilang. Pandanganku menggelap.“Arka!”Mataku langsung terbuka. Wajah indah dengan air mata yang masih tertinggal di pelupuknya kini tepat di hadapanku. Aku tersenyum. Salma segera memalingkan wajah semb
“Aka!” Dari arah tribune suara Keysa memecah hiruk pikuk orang-orang di lapangan. Bodohnya aku masih tergoda panggilannya tanpa sadar melirik ke arah tribune.Tidak diduga, si Mantan mengambil kesempatan dalam kelengahan. Aku melihat dari ujung mata, dia berlari sembari mengacungkan pisaunya siap menyabet. Refleks, aku ngeles ke samping sedikit melompat. Namun, tak diduga ada musuh menerjang dari kanan, tapi dengan cepat orang itu terhempas terhantam tinju.“Yow, Bos, ulah lengah,” ledek Satria sembari meniup kepalan tangannya yang besar.“Eheheh. Nuhun, Sat.” Aku membenarkan topi.Satria beralih melihat si Mantan dengan serius, sebelah alisnya terangkat. “Butuh bantuan, Bos?”“Di sini urusan urang, mending maneh bantu yang lain,” jawabku tanpa ragu.Tak banyak bicara Satria segera menjaga area belakangku, menghalangi setiap orang berjaket abu yang mendekat.Aku kembali menatap si Mantan yang terus menyeringai. Aku harus memikirkan bagaimana cara mengalahkannya dan segera menolong Sal
“Hahaha. Apa lo nggak inget gue, Arka? Liat sini, apa lo kaget liat gue?”Aku menunduk tak percaya kalau Salma juga akan mengkhianatiku seperti perempuan di tribune yang sekarang sedang teriak terbahak.“Cuma segitu mental lo, Arka?”“Jangan dengerin dia, Bang, coba liat Salma dia nangis,” bisik Ferdi.Pandanganku kembali lurus. Wajah Salma tampak sembab, tetesan tetap muncul meski dia mencoba menahan air mata. Aku terus menatapnya, tapi Salma malah berpaling menyembunyikan tangisan.Aku beralih melirik pria berambut agak ikal cepak itu. Aku menghela napas panjang. “Lo ngapain dia, Rusdi?!”“Ternyata lo masih inget gue. Gue kir
“Kita harus secepatnya ke sana,” tutur Alan sambil berjalan tergesa-gesa. Kami telah melangkah cukup jauh dari gang masuk rumah kontrakan Wini berniat menuju tempat Alan tinggal. Kami tadi bergegas berpamitan dengan Wini setelah mendapat panggilan telepon, meski raut wajahnya kecewa karena kami tak jadi memakan moci, tapi dia tetap melambai dan tersenyum. Alan juga tadi memasang muka masam, mungkin karena belum sempat berkenalan dengan Wini. Aku juga sedikit resah tak bisa merasakan makanan kenyal itu. Aku dan Alan masih melangkah cepat. Kami tak menyangka kalau hari pertaruhannya dimajukan secara sepihak oleh kelompok l
“Gue hajar lagi lo nanti!” Si Mantan telah menaiki macan besinya dengan sekujur muka yang babak belur. Ternyata dia masih belum menyerah. Kulihat ketujuh temannya masih tetap bergeming di tempat. “Beri tahu ketua Anda, jangan ganggu ketua kami sebelum hari penyerangan,” tutur Alan sambil memakai kacamatanya lagi setelah kusodorkan. Si Mantan langsung tancap gas dengan penuh amarah. Tanpa berpikir panjang tujuh pria lainnya buru-buru mengikuti dengan motor mereka masing-masing. D
“Oh, jadi gara-gara si Botak ini kamu nggak mau balikan.” Lelaki itu---aku sebut saja si Mantan---menunjuk angkuh. Sambil mengangkat sebelah alis aku mengusap kepala, seenggaknya sekarang rambutku sudah sedikit panjang. “Woi, sekarang gue bales lo, Botak!” pekiknya, lalu menyeringai. Teman-temannya tersenyum secuil sembari mengepal-ngepalkan tangan. Aku telaah hanya si Mantan yang memakai jaket berlambang gagak, sementara kesembilan temannya cuman memakai kaos biasa.
“Eh, kalem, Salma, kalem.” Aku segera menggenggam pundaknya, tapi tubuh Salma malah terus memaksa maju. “ cerita ada apa?” lanjutku seraya bergegas beranjak. Salma ikut berdiri, kemudian matanya menelaahku dari atas sampai kaki. “Kamu nggak merasa ada yang nyadap?” tanyanya polos. Aku mengangkat sebelah alis, apa dia kemasukan setan kos-kosan? Sesaat aku perhatikan wajah Salma sedikit pucat, rambutnya tampak belum dirapikan, tapi dia tetap manis dengan baju tidur biru bergambarnya. Aku melihat ke belakang Salma, ada laptop yang terbuka. “Nggak ada yang nyadap, kan?” tanyanya lagi. “Kamu kebanyakan nonton film.” Aku menggeleng sambil menyimpan tasku di kasur. “Kita ngobrolnya di luar biar tenang,” tambahku sembari meraih tangan Salma. Aku langsung menuntunya sambil membuka daun pintu. Kami tiba di atap, beberapa jemuran tergantung rapi, ada---bahaya kalau disebut satu-satu. Kami sudah berada di ujung, kemudian menatap deretan bangunan-bangunan
“Kapan hidup aing damai? Jumat tes renang, sabtu nyerang,” gumamku, kemudian mengangkat ponsel jadul yang dari tadi bergetar. “Kalem, Fer, gua baru jalan dari kosan.” “Oke, gua tunggu, Bang.” Aku telah berjalan di dalam tempat makan cukup besar. Banyak orang-orang tengah menyantap hidangan mereka, ada yang mengobrol, juga yang sibuk memotret makanan yang tersaji di meja. Tampak Ferdi sudah duduk di hadapan meja kayu mengkilap sembari menatap laya