LOGINDianugerahi kecantikan sempurna, Alana menjalani kehidupan bagai kutukan. Dilecehkan pemujanya, dikhianati kekasih hati, hingga dijual pada Juragan perkebunan oleh bibinya, Alana terus dalam tekanan. Menderita hingga tak sanggup, kemudian melarikan diri sampai menemukan cinta sejati.
View More"Tolooong! Tolooong! Siapa pun tolong aku!"
Sudah terpojok, punggungnya tersudut dinding ruangan remang tempat dia disekap. Kalaupun ada celah melarikan diri, Alana tak yakin akan berhasil. Pria itu berada tepat dihadapannya. Tidak ada benda secuil pun untuk bisa dijadikan senjata. Hanya debu dan aroma sesak dari lapuknya kondisi ruangan. "Teriak! Teriaklah sepuasmu! Sekeras sampai habis suaramu! Tidak akan ada yang menolong dan mendengar suaramu di tempat ini ... kecuali aku!” Laki-laki itu menyeringai. “Jadi berpasrahlah.” Ketukan kakinya tanpa suara, melangkah semakin mendekat pada Alana. Matanya liar dan lapar, siap menerkam. Alana beringsut gemetar. "Jangan, Tuan! Aku mohon ... lepaskan aku!” “Semua laki-laki di desa begitu tergila-gila padamu. Dan sekarang kamu sudah ada di hadapanku, mana mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan ini!” Satu per satu kancing kemeja yang dikenakan dilepas lelaki itu dari balutan badan. Dia adalah salah satu dari sekian banyak OLD (Obsessive Love Disorder), yang tergila-gila pada Alana. Menangis dan menggeleng tanpa bisa berbuat melebihi kesanggupannya yang hanya sebatas memukul-mukul dan mendorong dengan tekanan lemah, Alana putus asa. Perlawanannya tidak ada pengaruh, kekuatannya sama sekali bukan tandingan seorang penculik berbadan kekar. “Ya, Tuhan ... tolong selamatkan aku.” Sebatas itu harapan yang menggema di dalam hati. "Tenang, Cantik. Aku akan bermain dengan sangat lembut. Kau juga akan sangat menikmatinya." Sisa kaos dalam pun sudah terlepas. “Tidak! Kumohon ... jangan." “Aku sudah 'tak tahan lagi. Ayolah, Cantik. Tidak seru kalau terus berontak, pasrah saja dan kita bersenang-senang." “Cuihh!” Pria itu tertegun sebentar seraya menyentuh pipi. Alana baru saja meludahinya. Namun bukannya marah, bibir yang hitam pucat malah menyeringai lalu menyesap jemarinya dengan erotis. "Bahkan air liur mu pun begitu terasa manis.” Detik berikutnya sudah benar-benar menggila. Leher dan wajah Alana dijelajahnya dengan kecupan liar dan kasar, tidak lembut seperti katanya sesaat lalu. Jeritan Alana menantang jagat. Memukul-mukul dan mendorong hanya berakhir nahas. Aroma kalaf pria itu membuatnya terdesak. “Tolooooong!" Tempat itu sepi dan jauh dari keramaian, bangunan tua yang terbengkalai. Tidak ada siapa pun, tidak untuk sekedar membuatnya merasa punya kesempatan untuk terbebas. Nafsu pria itu sudah tidak bisa dikendalikan. Pakaian atas Alana koyak secarik bagian pundak. “TIDAAK!” Akan tetapi ... bersamaan dengan teriakan keras terakhir kali .... BUGGGH! “Arggh!" Ya, masih ada Tuhan. Keadaan membeku sesaat, pria itu memegani tengkuknya sembari menoleh ke belakang dengan gerakan kaku, urat wajahnya meregang karena tekanan sakit yang teramat sangat. “Kamuー” Tanpa sempat melawan, sudah lebih dulu kehilangan kesadarannya. Alana terkejut, pria bajingan itu ambruk menimpa tubuhnya. Lalu pasang matanya melihat sosok yang sangat dia kenali berdiri dengan tatapan cemas. “Isan!” Seorang anak laki-laki bisu, 14 tahunーtetangganya di Tanjung Sekar, malaikat yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkannya. Setelah melempar balok yang digunakannya memukul, Isan menarik tubuh pria penculik dari tubuh Alana dan mengempasnya ke tepi. "Hmm! Hmm!" Lalu mengulurkan tangannya ke hadapan Alana. Alana mendongak menatap wajah anak lelaki yang tidak bisa bicara itu. “Terima kasih, Isan,” ucapnya. Diterimanya uluran tangan Isan lalu berdiri. Isan mengangguk dengan senyuman tipis, yang mungkin maknanya: 'senang bisa menolong Kakak'. Setelah itu keduanya berjalan bergandengan menuju jalan keluar dengan langkah Alana yang masih lemah. “Kamu hebat, San.” Satu tangan Isan menepuk dada, sombong. Alana terkekeh di antara lelah. Sampai sesaat kemudian eskpresinya berganti bingung. "Tapi, San ... dari mana kamu tahu kalau Kak Lana dibawa ke sini?” Isan menjelaskan dengan bahasa isyarat, yang makna penjelasannya; Dia melihat Alana diseret paksa masuk ke dalam sebuah mobil bak tua di jalanan sepi, dari sana anak itu langsung mengikuti dengan sepeda butut yang kebetulan sedang dikendarainya. Alana terharu dan melontar berulang terima kasihnya. Mereka berdua memutuskan pulang berjalan kaki. Sepeda usang milik Isan tidak cukup kuat dipakai bonceng berdua. Satu jam termakan untuk sampai ke Tanjung Sekar, desa tempat tinggal Alana dan Isan. Matahari sudah hampir lenyap saat keduanya sampai di depan halaman rumah Alana. “Kamu pulang saja, San. Mbok pasti sudah sangat mengkhawatirkan kamu. Sekali lagi terima kasih, ya.” Isan tersenyum dan mengangguk, lalu mengayuh sepedanya untuk pulang menuju rumahnya sendiri. Selepas kepergian Isan. Pelan dan hati-hati, Alana menginjakkan dua kakinya di teras rumah berbahan kayu. Pintu tidak terkunci saat ruas jari-jemari memutar handle. Tepat saat tubuhnya satu langkah melewati pintu .... "Dari mana saja kamu, Jalang?!" Jantung Alana terlonjak kaget. Sambutan Marni memekakkan gendang telinga. Dengan perlahan kepalanya bergerak ke sisi itu. “Bibi.” Ya, Marni adalah bibinyaーbibi yang garang, tidak ada lembut-lembutnyaーberlaku hanya pada Alana. Alana menunduk takut, jari-jari tangannya saling menjalin satu sama lain di depan perut. “Jawab pertanyaanku, Bodoh!" bentak Marni, perhatiannya tertuju pada robekan di baju Alana, lalu berdecak, “Ck, benar-benar jalang!” “A- aku. Aku ta- tadi..." Alana tergagap, bingung. Marni sudah pasti tak akan menerima penjelasannya. “Jawab yangー” “Lana!” Suara Kakek Sadeli memecah tema, mengusik perangai Marni. “Kamu pulang, Nak? Dari mana saja kamu? Kakek cemas sekali!” Dia keluar dari kamarnya karena mendengar teriakan putri keduanya yang bagai tabuhan simbal. Marni mendelik 'tak suka, lagi-lagi bapaknya datang menyelamatkan keponakan yang sangat dibencinya nyaris sampai ke ubun-ubun itu. “Maafkan Lana, Kek, sudah membuat Kakek khawatir,” ucap Alana, menyambut hangat pelukan kakeknya. Sesaat pelukan itu dilepas, sekarang Kakek Sadeli menelisik tampilan Alana yang tidak biasa. “Apa yang terjadi padamu, Nak? Kenapa berantakan seperti ini?" “Anu ... aku ... aku tadi ....” Alana ragu mengutarakan. Namun pada Kakek Sadeli, dia tidak akan mungkin bisa berbohong. “Aku tadi diculik, Kek! Aku hampir dilecehkan!" “Apa?!” Kakek Sadeli terkejut setengah mati. “Siapa yang menculikmu, Nak?! Di mana kejadiannya?!” Dari wajah lalu ke lengan Alana, Kakek menelisiknya dengan gerakan rusuh. “Kamu tidak apa-apa, 'kan?!” “Aku baik-baik saja, Kek,” jawab Alana. “Orang itu ... aku tidak tahu. Aku tidak mengenalinya sama sekali. Tiba-tiba dia membekapku di jalan sepulang dari perkebunan.” “Halaah ... jangan bohong kamu!” Marni menyergah. “Pasti kamu memang sengaja pergi bersama lelaki itu, 'kan? Pakai alasan diculik segala.” "Tidak, Bi. Aku tidak berbohong!" tampik Alana. “Aku benar-benar diculik. Orang itu membawaku ke bangunan tua yang cukup jauh dari desa ini." “Lalu siapa yang dengan senang hati menyelamatkanmu?! Apakah si Dirga kekasihmu itu, hah?!" Alana menunduk, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Bukan, Bi." Bibir Marni tersenyum remeh. "Sudah kuduga, kamu pasti berbohong. Mana bisa kamu terlepas begitu saja dari penculik." Alana kembali ragu memberitahu, tapi lagi-lagi dia selalu sulit mengarang cerita. "Isan yang sudah menyelamatkan aku, Bi.” "Hahaha!" Tawa Murni meledak keras, menggema di seluruh ruang. "Siapa katamu? Isan? Isan si bocah gagu itu? Hahaha! Lalu menurutmu aku akan percaya begitu saja, huh?!" Dalam sekejap rautnya kembali bengis, matanya melotot lebar seolah menelan Alana. "Benar, Bibi. Memang benar Isan yang sudah menyelamatkan aku." Alana berusaha meyakinkan walaupun hasilnya jelas bisa ditebak. “Dasar perempuan sialan! Sudah tahu salah, masih menyangkal juga!" “Cukup, Marni!" Kakek Sadeli membentak keras, sabarnya hilang. "Lana, pergilah ke kamarmu, Nak. Nanti saja kamu ceritakan pada Kakek. Sekarang beristirahatlah.” Alana menurut tanpa berkata. Melangkah seraya mengusap sisa basahan air mata di garis pipi. “Dan kamu Marni, jaga mulut kotormu itu!” "Bapak selalu saja membela anak sialan itu." Marni tak terima. Kakek Sadeli sudah berlalu tanpa mendengar apa yang dia ucapkan. Koridor kosong yang tadi dilalui Alana tajam ditatap Marni. “Dasar gadis sialan! Kamu akan menyesal seumur hidup karena telah hadir di tengah-tengah keluarga kami."“Kenapa hidupku harus begini lagi, Tuhan?” Alana meratap sedih di tepi jalanan.Dia baru saja mendapat musibah.Uang dipercayakan Suparti untuk berbelanja kebutuhan kedai, raib dirampas jambret saat berjalan menuju pasar.“Apa yang harus aku katakan pada Bu Parti? Bagaimana aku mengganti uangnya? ... Aku bahkan tak berani kembali. Tapi aku harus tetap bertanggung jawab.”“Nona!”Alana mendongak. Seraut wajah tahu-tahu ada di hadapannya. “A-Anda, siapa?" tanyanya kaku terbata.“Cantiknya ....” Sosok itu terkesima dengan wajah Alana, kemudian segera menyentak diri dan mengembalikan sikap macam biasa. “Ah, ehm! Saat lewat tadi, aku melihat kamu menangis sampai tersedu begitu, aku jadi tertarik untuk berhenti. Apa ... ada yang bisa kubantu?” Tanpa meminta izin, langsung dia duduk di samping Alana.Perwujudannya seorang pria, bersih, tinggi, tampan, tidak ada kekurangan secara fisik dan tata bahasaーJun Andreas.Dari wajahnya, Alana bingung, sedikit ada ketakutan juga.“Aku bukan orang jaha
Alana membuka mata, sekeliling masih meremang, belum jelas penglihatannya.Memaksakan diri bangkit, wajahnya langsung meringis. Seluruh badannya terasa remuk.Setelah jelas, disapukannya pandangan ke sekitar tempat.“Di mana ini?!”Lalu tertegun.“Ah.”Kepalanya mendadak sakit saat dipaksa mengingat, dia memeganginya sambil meringis.Namun ...“Nenek itu!” Dia tersentak.Ingatannya samar sebenarnya, bahkan tentang kenapa dia berakhir terdampar di tempat itu sekarang, masih teka-teki.Kemudian saat akan berdiri, tak sengaja tangannya menyentuh sebuah buntalan kain. “Buntalan ini?” Alana mengangkat buntalan itu hingga ke depan wajah. Perasaan tak enak langsung menyeruak ke dalam dada.Nenek Samiah, menolongnya dari kehausan, lalu mengobati semua luka gores di kakinya dengan tumbukan dedauan obat.“Ini baju-baju milik putriku, pakai saja untuk berganti di jalanan. Dan kain hitam itu, pakailah di kepalamu, jangan lepas kecuali kau akan mandi. Selamat menempuh perjalananmu, Nak. Jangan pe
Hari itu Jun Andreas memutuskan untuk mengambil cuti dari kepadatan rutinitas kerjanya. Ia berniat mendatangi sebuah tempat yang sudah lima belas tahun lamanya 'tak pernah dia jejaki.Sepanjang perjalanan, berulang merapal do'a dan berharap, semoga gadis kecil yang sekarang sudah berusia 23 tahun itu masih bisa ditemuinya.Setelah berjam-jam menempuh perjalanan yang menguras tenaga seorang diri tanpa supir pribadi, akhirnya Jun Andreas sampai di tempat tujuan, sebuah desa yang telah banyak berubah dari yang dia ingat terakhir kali.Keluar dari dalam mobil dengan tatapan takjub mengedar ke sekeliling.Meski sudah bertahun silam dan sangat lama sekali, dia masih sangat mengenali setiap sudut, bahkan tahu detail mana yang telah berubah dan yang belum.Mobilnya terparkir di tempat lapang, di samping sebuah pos ronda tempat warga berjaga malam.Pasang kaki dengan sepatu jordan menyusur jalanan. Kemeja denim lengan panjang yang bagian depannya tak dikancing berkibar-kibar seiring langkah, k
Bangkit perlahan dengan kepala pening, Alana merasakan haus. Seraya memegangi tenggorokan dengan posisi duduk berleseh, matanya menyapu sekeliling. “Ya, Tuhan.”Ada di tengah lebatnya hutan. Suara angin terasa jelas menembus telinga. Gemeresak dedaunan kering menambah kebimbangan di dalam hati."Kamu sudah sadar, Nak?"Alana langsung melengak ke asal suara.Seorang nenek berbadan kurus yang belum bungkuk, tersenyum sembari mendekat. Di satu tangannya, sebuah botol air mineral yang nampak usang terisi penuh air yang bening. “Minumlah.”Dengan ragu, tangan Alana meraihnya. Terdorong rasa haus yang tak tertolong, lekas ditenggaknya air di dalam botol hingga sisa setengah volume. “Terima kasih, Nek,” ucapnya seraya menyapu bibir dengan telapak tangan.Senyuman teduh menyambut, nenek itu duduk di hadapan Alana. “Kakimu banyak goresan, harus diobati. Ayo ikut ke gubuk Nenek.”Lagi, Alana meragu, namun kemudian mengangguk karena tak ada pilihan lain.Dengan langkah tertatih dia mengikuti wan
Mesin mobil berderu di halaman. Dari dalam rumah, Marni menyibak sedikit gorden untuk mengintip, penasaran siapa yang datang. Setelah melihat, senyum mengembang dari bibirnya. Gegas dibukanya pintu lalu mendekat untuk menyambut. Ternyata dua orang anak buah Juragan Wasesa. "Kalian pasti mau jemput kami, 'kan?" tanyanya penuh percaya diri. Hanya basi-basi saja, dia tak butuh jawaban karena mengira semua benar. “Sebentar kami bersiap dulu!” Dengan semangat melanting ke dalam rumah, memasuki kamar, tak peduli dua orang pria yang saling beradu pandang dengan kernyitan di dahi mereka. “Siapa yang datang, Bu?" tanya Utari, menghampiri ibunya yang sedang memoles lipstik di depan cermin. “Tari, cepat kamu siap-siap, dandan yang cantik. Kita sudah dijemput!” “Dijemput?" Utari mengerut kening. “Dijemput siapa, Bu?” “Kamu ini bagaimana, kita akan menghadiri upacara sakral!” “Upacara sakral?” “Pernikahan Alana dan Juragan Wasesa! Mereka akan menikah hari ini!” Demi apa pun, Utari tidak
Dibantu cahaya bulan di ketinggian, Alana menyusur jalan setapak. Entah sudah berapa jauh, yang jelas, jalan yang dilaluinya sekarang dimulai dari belakang rumah mewah Juragan Wasesa, sesuai arahan Rani. Setahu Alana, jalanan itu mengarah ke hutan. Langkah tak tentu arah tujuan, yang penting menjauh dulu dari Juragan Wasesa dan anak buahnya. Tidak mengarah pulang ke Tanjung Sekar, bertemu Marni sama saja bunuh diri kembali dan pasti akan berakhir di tempat sama. Waktu sudah hampir pagi, Alana benar-benar sudah memasuki hutan yang dalam. Udara dingin kian menusuk, tidak bisa dihalau karena pakaian yang tidak tebal. “Aku lelah. Aku tak kuat lagi." Langkah yang tak lagi kokoh bergerak limbung. Rasa perih dari luka-luka goresan belukar sudah 'tak dihirau. Perlahan, pandangan Alana memburam, melemas, dan ... BRUK!** "Kalian semua memang tidak becus! Menjaga satu perempuan lemah saja tidak mampu! Aku tidak mau tahu, cari dia sampai ketemu!” teriakan Juragan Wasesa membahana di seant
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments