Share

#6 Belum Bisa Jujur

“Lihat, deh, Salma, yang hitam ngeliatin kamu mulu. Kayanya dia terpesona sama rambut hitammu.”

“Kenapa rambutku?” Dia memeriksa, mengantungkan rambutnya ke sebelah kanan. Aku menatap heran, kenapa perempuan tampak lebih cantik saat rambutnya digantung ke pinggir? 

“Katanya, kamu cocok jadi duta sampo Phunten.”

Dia langsung terkekeh manis. “Arka, Arka, bisa aja kamu.”

Karena keasikan mengobrol, kami tidak sadar kalau mobil telah berhenti. Pak Sopir yang ramah memberitahu, jika sudah sampai di tempat tujuan, di depan gerbang kampus.

“Ini, Pak,” kata Salma sembari menyodorkan lembaran kertas berharga.

Kami segera turun dan tak lupa bilang terima kasih. Kaki kami bergegas melangkah, kembali melewati pos satpam sembari tersenyum, menyapa.

Sesampainya di parkiran kampus, tangan Salma menunjuk kendaraannya ada di sebelah mana. Sepeda motornya masih terdiam tepat di bawah pohon rindang. Wajahnya sekarang terlihat lebih lega dari sebelumnya.

“Motor kamu di sebelah mana?”

“Aku nggak bawa motor, atau lebih tepatnya nggak punya.” Aku tak mau jujur, jika kukatakan yang sebenarnya, aku takut dia menjauh.

“Bareng aja kalau gitu. Kalau kita searah.”

Dua anak kucing merengek kencang, sepertinya mereka mulai lapar. Aku harus buru-buru memberi keduanya makanan.

“Nggak usah, tempat kosku di bawah. Nanti kamu ke maleman.”

“Yah, kos-kosanku di atas.”

Kembali ada hening di antara kami, saat dia sudah duduk dan menyalakan motor. Aku jadi canggung ketika akan meminta nomor teleponnya.

“Apa di kampus seluas ini nanti kita bakal ketemu lagi?” ujarnya.

“Pasti kita ketemu lagi,” jawabku meyakinkan.

“Caranya gimana?”

Ini saatnya.

“Caranya, gimana kalau kita tukeran nomor HP,” aku tersenyum lebar.

“Ih, bilang aja kalau kamu mau nomorku.”

“Iya, aku jujur mau nomor kamu.”

“Udah, buruan ketik. Aku ngomongnya cepat, nih.”

Tanganku segera merogoh saku celana, aku mengeluarkan telepon genggamku, bersiap untuk menekan tombolnya.

“Itu beneran HP kamu?” katanya sedikit terkejut.

“Kenapa gitu? Nggak mau tukeran, karena HPku jadul?”

“Maksudku nggak gitu. Cepetan ketik mau nggak?” dia memajukan bibir.

“Okey, siap!”

Saat dia mendiktekkan nomor teleponnya, aku pun mengetiknya dengan cepat tanpa bernafas.

“Coba panggil.”

“Tapi jangan diangkat, ya, pulsaku cuman dikit. Hehehe.” Sebenarnya sekarang, aku sangat senang bukan kepalang. Tapi, aku mencoba untuk tetap cool.

“Iya, nggak. Udah nih nyambung. Kamu mau disimpan pake nama apa?”

“Nama aku, lah, masa nama yang punya kos-kosanku.”

“Hahaha. Siapa tau gitu.”

“Udah gelap, sebaiknya kamu segera pulang. Kecuali kamu masih kangen aku.”

“Idih, aku udah mau berangkat,” dia kembali memajukan bibir.

“Kalau gitu hati-hati. Kalau ada polisi tidur jangan dibangunin.” aku tersenyum sembari melambai.

Baru satu meter dia kembali berhenti. “Beneran, nih, aku bisa, kok, ke bawah dulu!”

Aku menggeleng, tersenyum.

“Okey, deh, aku sekarang berangkat beneran. Dadah.”

“Hati-hati!”

Dia menjalankan motornya tampak sembari tersenyum. Aku melambai sambil melangkah ke arah berbeda.

Kedua kucing kembali merengek, kali ini lebih keras, setelah dari lima menit lalu terdiam. Kakiku langsung berjalan lebih cepat masuk ke dalam gang, kemudian tidak lagi di wilayah kampus. Langsung muncul di jalanan besar.

Di pinggir-pinggir jalan banyak kios pedagang, di tengah jalan kendaraan berlalu lalang. Keadaannya sangat ramai. Beberapa kafe yang ada pun dipenuhi pelanggan. Aku menulusur tepi jalan. Tak jauh, kemudian sampai di kedai pedagang nasi goreng. Arah langkahku berbelok ke tempat itu. Aku bergegas menghampiri seorang lelaki hampir paruh baya sedang menggoreng dengan cekatan. Rambut putihnya memantulkan cahaya lampu yang terpasang tepat di atas kepalanya.

“Mang, gimana banyak?”

“Kamu lihat, tuh, ke dalam. Banyak teu?”

“Aduh! Rame, Mang,”

“Jadi, buru atuh kita gawe.”

“Siap, Mang!” Aku mengacungkan ibu jari.

Pada malam hari, ini adalah kegiatanku. Tepatnya menjadi seorang pelayan di kedai nasi goreng Mang Kurnia yang sederhana. Syukurlah aku tidak terlambat datang. Dengan segera, aku bolak-balik membawa satu-dua piring ke meja pemesan.

Tangan Mang Kurnia sudah sangat lihai membuat nasi goreng, kapan-kapan aku juga ingin berguru padanya. 

Sembari menunggu pesanan yang lain siap dihidangkan, aku meminta sedikit suir daging untuk dua kucing dalam kardus yang kusimpan di belakang pintu. Si Putih dan Si Hitam langsung lahap memakannya. Setidaknya itu nama kedua kucing ini sekarang.

Di luar ada dua pengendara yang menggeram-geramkan motornya. Belum sempat aku keluar hendak menegor, mereka telah melesat jauh.

-Arka-

Sudah jam setengah sepuluh malam.

Aku membuka gerbang depan kos-kosanku. Kemudian melangkah menuju kamar yang pintunya masih terbuka. Di dalam, Ardo sedang fokus menatap layar laptopnya.

“Lancar?” tanyanya.

“Lancar. Tadi banyak yang beli nasi goreng,” jawabku sembari berusaha membuka sepatu di ambang pintu.

“Bukan itu.”

“Terus?”

“Tadi lancar jalan sama cewe?” tanyanya lagi sembari memasang muka penasaran.

“Oh itu, lancar, lah.” Aku heran kenapa dia bisa tahu.

“Ceritain, Ka.”

“Males, ah. Cape, Do.”

“Okey.” Matanya kembali ke layar talenan canggihnya.

Setelah berhasil membuka tali sepatu, aku masuk, lalu menyimpan kardus di dekat pintu kamar mandi. Kemudian mengangkat plastik hitam dari dalamnya. 

“Itu apa, Ka?”

“Ini nasi goreng Mang Kurnia, tadi diberi.”

“Bukan itu. Kardusnya?”

“Oh, itu anak kucing. Tadi di jalan ada yang buang.”

“Okey, nanti aku beli pasirnya.”

“Siap!”

Ardo telah menyiapkan dua piring untuk kami makan. Aku langsung membagi dua nasi gorengnya. Kemudian menyendoknya dengan lahap.

Walau baru masuk kuliah, kami memang sudah akrab. Karena dua minggu yang lalu kami bertemu di kos-kosan ini. Agar tidak terlalu mahal kami pun sepakat untuk sekamar berdua. Untung saja ada kamar yang ranjangnya bertingkat. Jadi, kami tidak tidur bareng.

“Gimana tadi jalan-jalannya?”

“Jalan-jalan biasa nggak ada yang aneh.”

“Maneh baru masuk kuliah aja udah dapet cewe. Cewenya yang ditabrak lagi, udah kaya sinetron wae.”

“Hahaha. Dapet cewe kumaha? Itu baru kebetulan ketemu, mungkin nanti dia nggak akan mau diajak lagi jalan-jalan.”

“Tapi mungkin dia suka maneh, Ka.”

“Ah, henteu mungkin, Do, cewe cantik begitu pasti banyak cowo ganteng yang deketin. Tadi dia mungkin lagi bosen aja terus ngajak dibaturan.”

Dua gelas air dari galon sudah disediakan Ardo. Dia memang orang yang cekatan.

“Jangan gitu, Ka, siapa tau dia beneran suka maneh,” ujarnya sembari menyuap makanannya

“Udah, Do, bahas yang lain. Gimana tadi renang di kelompok yang bisa?”

“Cape, Ka, cape. Beneran tadi kuliah di kolam gede kaya latihan militer, beres-beres perut kaya minum air tiga liter. Terus kalau di kelompok nggak bisa gimana?”

“Cape, Do, cuman latihan gerak dasar di kolam kecil yang nggak dalem, terus main air kaya anak-anak baru nemu kolam. Hahaha.” Sembari terbahak, aku mengunyah nasi goreng.

“Enak banget itu.” 

“Mungkin tadi baru pertemuan pertama, nggak tau nanti gimana.”

Tak terasa nasi goreng di piring sudah habis, kami segera meleguk air di gelas. Kemudian membereskan semuanya.

.”Besok kuliah apa?”

“Katanya besok kuliah dikelas.”

Ardo kembali fokus pada laptopnya. Aku merogoh isi kantong, mengambil buku catatan dan buku puisi yang Salma pinjamkan dari perpustakaan, akan kubaca nanti saja. Aku langsung keluar kamar sambil membawa buku catatan, lalu menaiki tangga.

Setibanya di atas, aku duduk di kursi kayu. Kemudian membuka buku catatan berwarna hitam putih. Langit tampak kelabu terhampar malam ini. Aku segera meliukkan penaku di lembar buku yang masih kosong.

Di atas sini angin sepoi lembut berembus, daun pohon mangga di depan kos melambai senada. Tiba-tiba pikiranku terbanyang Salma, apa dia sudah terlelap(atau belum?

Aku juga jadi teringat sebuah pertanyaan, kenapa aku bisa kuliah di kampus negeri? Karena semenjak kelas tiga SMA, aku tidak pernah terpikirkan mau meneruskan kuliah. Namun, pasti ini adalah takdir. Setelah lulus sekolah dan tanpa persiapan apa pun, aku langsung mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi.

Karena itu kemauan spontanku, dari SMA aku sudah terbiasa menanggung sendiri. Mulai dari bayar kuliah sampai biaya hidup. Maka dari itu, aku membantu di kedai Mang Kurnia. Tapi, jika ada kerjaan lain saat waktu luang, aku siap melakukannya.  Aku tidak mau menyusahkan kedua orang tua. Bapakku mengajarkanku mandiri, Ibuku juga. Mereka selalu mendukungku agar katanya aku tidak jadi orang tak berguna. Jadi, aku harus bisa membanggakan mereka.

Sekarang, aku memegang telepon genggamku, memberanikan diri mengetik pesan. Lalu ku kirimkan pada Salma. Kalau dia sudah tidur pasti akan dibaca besok pagi.

Anginnya sudah semakin dingin. Aku segera kembali ke kamar.

Ardo sudah tertidur pulas di kasurnya. Dengan tanpa membuat suara, aku pelan-pelan naik ke ranjang atas.

Aku mencoba menerka kembali wajah orang yang memperhatikan kami berdua tadi. Otak kecilku langsung tahu siap orang itu. Sebenarnya mau apa dia mengawasiku?

-Bersambung-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status