Radit menghentikan mobilnya dengan perlahan ketika mereka sampai di halaman rumah besar miliknya. Rumah itu terlihat megah, dengan taman luas yang rapi dan sebuah kolam renang kecil di sudut kanan halaman. Elina yang semula tampak ragu-ragu, kini melangkah keluar dari mobil mengikuti langkah Radit, meski suasana hati sedikit berat. Perintah Radit untuk ikut ke rumahnya membuatnya terdiam, tetapi ia tahu, ini adalah bagian dari kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Radit menatapnya sekilas dan berkata dengan suara datar, "Baju-baju kamu yang sudah ada di koper tadi pagi sudah dibereskan oleh Lisa." Elina mengerutkan kening. "Apa kamu serius?" tanyanya, menatap wajah Radit penuh tanda tanya. Radit hanya mengangguk, ekspresinya tetap tenang. "Iya, saya serius. Kalau ada masalah, bisa katakan sekarang. Jangan ragu untuk berbicara," jawabnya, suaranya lebih lembut daripada yang Elina duga. Elina hanya tersenyum tipis. Ia sudah cukup lama mengenal Radit, dan meskipun ada ketegang
"Kenapa kamu mengusir saya, Elina? Bukannya waktu itu kamu juga pernah menyelinap ke kamar saya!" bentak Radit, nadanya tajam, matanya menatap Elina penuh tuduhan.Elina sontak terdiam. Jantungnya berdebar. Kalimat itu membangkitkan kembali ingatan yang sudah lama ia kubur. Ia memang pernah masuk ke kamar Radit diam-diam… tapi bukan karena keinginannya sendiri."Itu… itu salah paham. Lisa yang menyuruh aku ke kamar Pak Radit malam itu," ujar Elina pelan, tapi cukup jelas untuk membuat Radit menghentikan langkahnya.Tatapan Radit berubah. Matanya kini menyipit, mencoba membaca raut wajah Elina. "Lisa yang menyuruh kamu?" tanyanya, suaranya turun satu oktaf, lebih tenang, tapi penuh tanda tanya.Elina mengangguk, menatap Radit dengan kebingungan. "Iya. Dia yang bilang harus ambil dokumen penting dari meja kerja kamu. Aku nggak ngerti kenapa harus buru-buru waktu itu. Tapi dia kelihatan panik."Radit terdiam. Ingatannya melayang pada malam itu—malam ketika pintu kamarnya terasa seperti a
Pagi hari yang cerah.Pagi hari yang cerah.Langit bersih tanpa awan, matahari menggantung rendah dengan sinarnya yang hangat menembus dedaunan dan menyentuh kap mobil hitam milik Radit yang terparkir rapi di depan rumah.Radit sudah duduk di balik kemudi, tapi mesinnya belum menyala. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir, sementara matanya terus melirik jam tangan. Sesekali ia mendesah—tak sabar.Akhirnya, pintu rumah terbuka. Elina muncul dengan langkah cepat. Dia terkejut saat melihat mobil Radit masih terparkir. Keningnya berkerut, alis kirinya naik, mencerminkan rasa heran."Pak Radit belum berangkat?" gumamnya lirih.Radit menurunkan kaca jendela dan melirik tajam. "Lama amat. Ayo masuk!"Elina sedikit bingung, tapi langsung menuruti. "Saya kira Pak Radit udah duluan ke kantor.""Ayo cepat, jangan banyak tanya," potong Radit, nadanya terdengar malas menjelaskan.Elina membuka pintu penumpang dan masuk tanpa membantah lagi. Dia tahu bosnya itu bukan tipe orang yang suka diinterogasi
Aroma asap dari ayam bakar yang sedang dipanggang menusuk hidung Rian saat ia berdiri di depan restoran Ayam Taliwang itu. Sederhana, tapi ramai. Letaknya tidak jauh dari kantor tempat Elina dan Radit bekerja. Dan ya, inilah restoran yang disebut Elina—tempat dia memesan makanan untuk Ramon beberapa waktu lalu.Rian tak datang untuk makan siang. Ia datang untuk mencari tahu—siapa yang mencoba mencelakai Radit lewat makanan.Ia melangkah masuk. Pelanggan terlihat sibuk menyantap makanan, tertawa ringan. Tak ada yang terlihat mencurigakan. Tapi Rian tahu, sesuatu terjadi di balik dapur yang tertutup itu.“Selamat siang, Kak. Mau makan di sini atau bungkus?” sapa seorang pelayan perempuan.“Bukan. Saya ingin bertemu manajernya. Tentang pesanan makanan beberapa hari lalu,” jawab Rian, suaranya datar tapi tegas.Tak lama, seorang wanita keluar. Wajahnya kaku, matanya tajam. “Saya manajernya. Ada apa?”“Saya hanya ingin tahu, adakah yang aneh dengan pesanan atas nama Elina beberapa hari lal
Elina menghela napas panjang. Matanya masih terpaku pada kejadian barusan—Radit, lelaki yang selama ini mengisi hatinya, tampak begitu hangat tertawa bersama Bela. Tatapan mereka, kedekatan mereka, semuanya membuat dada Elina terasa sesak."Menyebalkan sekali!" umpat Elina, suaranya pelan namun tegas, menggigit udara sore yang mulai dingin.Tanpa pikir panjang, Elina berbalik dan melangkah keluar. Dia tak sanggup melihat lebih lama. Hatinya terlalu rapuh untuk menyaksikan kebersamaan yang menyakitkan itu. Kepalanya penuh dengan bayangan—Bela yang selalu tampil sempurna, Radit yang akhir-akhir ini berubah dingin. Apa aku hanya pelarian? batinnya resah.Duk.Langkahnya yang terburu membuatnya menabrak seseorang.“Oh maaf—” Elina langsung mendongak dan terkejut saat melihat sosok di depannya.“Kamu melamun, Elina?” tanya pria itu dengan senyum hangat. Dokter Rian.“Dokter Rian? Tumben sekali datang ke sini,” ucap Elina, mencoba menyembunyikan kegelisahannya di balik senyum canggung.Rian
“Kamu kenal, Elina?”Suara Rian tenang, tapi sorot matanya menusuk seperti pisau tajam yang menembus lapisan luar Radit.Radit menoleh, dan tanpa perlu berkata apa-apa, ia tahu Elina akan membenarkannya.Elina berdiri di dekat pintu, tubuhnya tegak, tapi jemarinya mengepal di samping tubuh. Ada sesuatu di sorot matanya—entah luka, entah kecewa, atau mungkin… keduanya.“Dia Kina. Dari divisi yang sama dengan Bela,” katanya pelan, tapi tegas.Radit mengangguk sekali, rahangnya mengeras.“Panggil dia ke sini.”“Baik, Pak Radit.”Elina berbalik, langkahnya cepat, nyaris seperti ingin segera menjauh dari ruangan itu. Tapi setiap langkahnya terasa berat, seolah ada yang menahannya untuk tetap tinggal.Begitu pintu tertutup, suasana di dalam ruangan berubah drastis. Sunyi. Tegang. Seolah udara ikut menahan napas.Rian menyilangkan kaki, menatap Radit dari balik meja.“Kamu beneran tertarik sama Elina?”Radit tak langsung menjawab. Ia menatap meja, lalu jendela, lalu kembali pada sahabatnya.
Kina sudah tersenyum dengan bahagia ketika dirinya dipanggil ke ruangan bosnya. Dia sudah bersiap dengan merapikan penampilan dirinya.Sampai di atas sebelum masuk ke dalam, dia melihat ke arah Elina yang tidak jauh dari sana."Kamu gak masuk Elina?" tanya Kina dengan nada sedikit menyindir. Biasanya wanita itu tidak bersikap seperti itu dengan dirinya."Nanti aku menyusul," jawab Elina dengan santai.Kina lalu menatap kembali kepada Elina dengan pandangan penuh arti. "Sepertinya sebentar lagi kamu akan ditendang oleh Radit. Dia menginginkan aku sekarang bukan kamu," sindir Kina.Elina yang tahu alasan Kina dipanggil pun langsung tersenyum dengan penuh arti. Dia tahu kalau hal ini pasti akan terjadi dengan dirinya. Setidaknya semuanya sudah dia atur dengan baik."Oh iya, aku gak percaya tuh. Semoga berhasil," jawab Elina dengan santai.Kina tidak suka dengan jawaban yang dilontarkan oleh Elina barusan. Terlebih itu sangat tidak menguntungkan untuk dirinya."Jika aku berhasil, kamu ada
Radit sudah menunggu Elina di parkiran, tetapi wanita itu tidak kunjung muncul juga. Padahal dia sudah bilang kalau akan pulang bersama. Apa wanita itu menghindar dari dirinya? jangan sampai Elina malah pulang bersama dengan Dani. "Ke mana Elina sebenarnya?" tanya Radit dalam hati.Kenapa wanita itu sulit sekali untuk dia atur. Jangan bilang kalau wanita itu masih marah dengan dirinya hanya karena tadi. Padahal Bela yang menggoda dirinya duluan dan dia juga tidak tertarik dengan Bela. "Apa Elina cemburu?" gumam Radit. Sampai di depan lobi, Radit mengerem mendadak. Matanya membulat melihat sosok Elina yang berjalan tertatih ke arahnya. Rambut wanita itu sudah acak-acakan seperti habis diterjang badai, sebagian menjuntai menutupi wajahnya yang kusam. Lengan bajunya sobek, memperlihatkan luka gores memanjang dengan darah yang mulai mengering.Radit langsung keluar dari mobil, jantungnya seketika berdetak lebih cepat. Ada rasa tidak enak menggelayuti dadanya saat melihat Elina seperti
Elina kini tinggal sendiri di kontrakan barunya. Rumah sederhana yang ia pilih bukan karena nyaman, tapi karena jauh dari Radit—seseorang yang dulu pernah begitu dekat, tapi kini justru menjadi alasan utama ia menghindar dari masa lalu.Angin sore berembus pelan, menerpa tirai jendela yang setengah terbuka. Hening, sampai sebuah ketukan pintu tiba-tiba memecah keheningan.Tok… tok… tok…"Sebentar!" serunya.Langkah Elina cepat tapi hati-hati. Ia membuka pintu dan mendapati seorang kurir berdiri dengan sebuah paket berbungkus rapi di tangan."Maaf Bu. Mohon terima ini, dan jangan lupa tandatangani."Elina mengernyit. "Paket dari siapa? Saya tidak merasa pesan apa-apa."Kurir itu hanya mengangkat bahu. "Dari seseorang. Saya tidak tahu, maaf. Saya harus lanjut, permisi."Tanpa sempat menolak, Elina menerima paket itu. Pintu ditutup kembali, tapi pikirannya justru terbuka lebar oleh rasa penasaran yang mengganggu."Siapa yang kirim ini?" gumamnya, menatap bungkusan itu seakan bisa menjawa
Elina sudah mulai bekerja kembali dan kebetulan sekarang dia duduk di ruangan terpisah dengan Radit. Elina sengaja melakukan itu karena dia masih memprotes sikap Radit."Ini kopi buat kamu," kata Dani.Elina menatap Dani dengan tajam, seolah tatapannya mampu menembus hati. Ia menurunkan cangkir kopi yang baru saja disodorkan Dani, belum menyentuh setetes pun.“Tumben banget kamu bikin kopi,” ujarnya dingin, tak menyentuh nada ramah sedikit pun.Dani menyunggingkan senyum tipis, tapi ada kegugupan yang tak bisa disembunyikan dari matanya. “Memangnya kenapa? Nggak boleh aku berbuat baik?”Elina menyipitkan mata. “Kamu nggak masukin sesuatu ke minuman ini, kan?”Senyum Dani langsung menghilang. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskan dengan berat. “Elina... apa aku sebegitu rendahnya di matamu sekarang?”Elina tidak menjawab. Tapi diamnya sudah cukup menjadi konfirmasi.Dani melanjutkan, lebih tenang. “Aku sadar, aku banyak salah. Aku pernah bodoh dan jahat. Tapi sekarang... aku seda
Elina berdiri membatu. Lidahnya kelu, tapi hatinya bergemuruh. Tatapan matanya dingin, tajam menembus Radit yang kini berdiri beberapa langkah darinya. Semua yang ingin dia katakan sudah berputar jelas di kepalanya—dan kali ini, dia tak akan mundur."Aku memaafkan kamu, Radit. Tapi itu bukan berarti aku bisa melupakan semuanya. Aku akan tetap mengundurkan diri!"Suara Elina terdengar tegas, seperti pisau yang menorehkan keputusan tak bisa ditawar.Radit menatapnya dengan pandangan tak percaya. Dia melangkah maju, mencoba mendekat, tapi Elina mundur setengah langkah—cukup untuk membuat batas yang tak kasat mata di antara mereka.“Kamu serius? Kamu lebih memilih pergi setelah semua yang kita lalui?” Nada suara Radit mulai meninggi, ada emosi, ada rasa tak rela.Elina menatapnya tajam. “Justru karena semua yang kita lalui. Aku butuh ruang untuk bernapas. Untuk sembuh.”Radit menghela napas, lalu meraih sebuah berkas dari meja. Dengan satu gerakan keras, dia melemparkannya ke atas meja ke
Kantor.Ruangan itu sunyi. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar, berpadu dengan dengung pendingin ruangan yang dinginnya merambat sampai ke tulang. Radit duduk di balik meja kerjanya yang besar, jari-jarinya mengetuk-ngetuk pelan permukaan kayu mengkilap. Pandangannya sesekali melirik ke arah pintu.Masih belum datang.Langkah kaki menggema di luar. Suara sepatu kulit menginjak lantai marmer menggeser sunyi. Lalu terdengar ketukan pelan, seperti ragu."Masuk," ujar Radit, suaranya tegas tapi matanya penuh harap.Namun bukan Elina yang muncul.Radit langsung mendongak, dan rona wajahnya berubah. Ketegangan menjalar di wajahnya ketika melihat siapa yang berdiri di ambang pintu.Dani melangkah masuk, dengan senyum kecil yang menyiratkan lebih dari sekadar salam. Ada sinisme di balik mata itu, tetapi juga... ketenangan.“Aku sudah tahu semuanya,” kata Dani, membuka percakapan tanpa basa-basi. Suaranya datar tapi penuh makna. “Kamu bukan pembunuh Kina. Elina sudah cerita pada
Elina kini sudah sampai di rumah kediaman Radit. Ada rasa yang membuat dia khawatir dan tidak nyaman, terlebih setelah dia mengetahui semuanya.Elina membuka pintu rumah tersebut, sampai dia melihat pembantu baru yang ada di rumah ini.“Kamu siapa?” tanya Elina.“Saya Inah, pembantu baru di sini,” kata Bi Inah.Elina hanya mengangguk membenarkan semuanya. Setidaknya sekarang dia tahu sesuatu. Mungkin pembantu tersebut yang akan menggantikan Lisa.Sampai Bi Yati datang menghampiri Elina, dia yang menjelaskan semuanya pada Elina tentang fungsi pembantu baru yang ada di sini.“Non sudah datang, ini pembantu baru yang direkomendasikan oleh Tuan. Katanya untuk bantu-bantu juga. Soalnya Lisa sudah tidak bekerja lagi di sini.” Bi Yati menceritakan semuanya.“Salam kenal Bi Inah, semoga kamu betah di sana.”“Terima kasih banyak.”Elina lalu mencari kebenaran Radit sekarang, ada rasa yang membuat dia curiga. Terlebih dia tahu kalau semuanya akan jadi seperti ini.“Elina, ikut aku!”Radit tiba-
Elina akhirnya tiba di rumah besar bergaya kolonial yang berdiri megah di ujung jalan lengang. Cat putihnya bersih, pilar-pilar tinggi menjulang dengan anggun, dan taman bunga di halaman depan bermekaran dalam warna-warna hangat. Aroma melati menyambut kedatangannya, tapi hatinya justru terasa sesak, seolah udara damai itu tak mampu menembus kabut gelisah dalam dadanya."Radit tidak mungkin melakukan ini…" gumam Elina lirih, untuk kesekian kalinya mencoba mengusir keraguan yang sejak lama menghantuinya. Tapi hatinya menolak untuk percaya sepenuhnya.Ia mengetuk pintu dengan hati-hati, seolah sedang menguji kekuatan dirinya sendiri.“Permisi…”Pintu terbuka perlahan. Seorang perempuan muda muncul di ambang pintu—kulit kuning langsat, wajah datar, dan mata yang tajam mengamati Elina dari ujung rambut hingga kaki."Maaf, kamu siapa?" tanya perempuan itu, suaranya datar, namun matanya penuh kewaspadaan.“Saya Sari, pembantu baru di rumah ini,” sambungnya cepat, seolah tak memberi celah.E
Elina duduk di ujung sofa, menatap kosong ke arah jendela yang dipenuhi embun tipis. Pikiran dan perasaannya berkecamuk. Rasa curiga itu tak bisa lagi dia abaikan. Bagaimana jika benar Radit—pria yang kini begitu dekat dengannya—adalah dalang dari kematian mantan suami dan anaknya?Jika itu kenyataannya, maka selama ini dia hanya bermain dalam jebakan yang disusun dengan rapi.“Bi, aku izin keluar ya,” katanya pelan, setengah bicara pada diri sendiri, setengah memberitahu Bi Yati yang tengah menyuapi Jio biskuit.Bi Yati menoleh. “Mau ke mana, Non?”Elina menghela napas pelan, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Aku ingin berkunjung ke rumah mertuaku. Ada yang perlu aku pastikan.”Baru saja dia melangkah menuju pintu, suara ketukan terdengar. Saat pintu dibuka, dua sosok familiar berdiri di sana—Dani dan Bela. Wajah Elina langsung berubah. Ekspresi terkejut, tak senang, dan curiga bercampur menjadi satu.“Kalian? Untuk apa datang ke sini?” tanyanya tajam.Dani tersenyum dengan sed
Rian duduk di ruang tamunya yang remang, satu alis terangkat, heran dengan panggilan tak terduga di layar ponselnya. Nama Radit menyala jelas.Ia menarik napas dalam sebelum menekan tombol hijau."Halo, Radit."Radit langsung bicara tanpa basa-basi, suaranya terdengar tegang dan cepat."Kamu sudah menemukan sesuatu?""Aku sudah menemukan semuanya," ujar Rian tenang, meski jantungnya berdetak lebih cepat."Apa maksudmu semuanya?" Radit mendesak."Aku datang ke rumah Kina kemarin malam. Dia tengah menyelidiki seorang wanita bernama Aluna Alisa. Dan anehnya, wajah wanita itu sangat mirip dengan pengasuh yang tinggal di rumahmu… Lisa."Radit terdiam beberapa detik, lalu bertanya pelan,"Siapa Aluna Alisa sebenarnya?""Anak dari Bambang Harmojo," jawab Rian. "Dan dia bukan orang sembarangan. Aku selidiki latar belakangnya. Dia punya riwayat gangguan obsesif, dan satu hal yang paling mengejutkan—dia sudah mengincarmu sejak lama.""Jadi kamu bilang Lisa itu Aluna, dan dia menyamar demi mende
"Kamu sudah tidak bisa berbohong lagi sekarang, Lisa. Aku sudah mengetahui semuanya."Nada suara Radit terdengar dingin dan mantap, seperti pisau yang baru saja diasah. Tatapan matanya menusuk, dan senyuman tipis di sudut bibirnya lebih mencerminkan kekecewaan daripada kepuasan. Lisa, yang selama ini begitu lihai menyembunyikan sesuatu, kini terlihat goyah. Sorotan tajam dari Radit membuat langkahnya mundur setengah inci, nyaris tak terlihat—tapi cukup untuk menunjukkan bahwa dia tahu dirinya kalah.Di sisi lain, Elina berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di dada, seolah menyaksikan eksekusi yang telah lama ia nantikan. Wajahnya tidak bisa menyembunyikan rasa puas."Jadi sekarang aku akan dipecat, ya?" tanya Lisa, suaranya tak lagi setenang biasanya. Kini terdengar getir, dengan sedikit tawa mengejek yang berusaha menutupi kegugupannya."Jelas. Kamu sudah melewati batas!" sahut Elina cepat, matanya membara."Kemasi barang-barangmu dan angkat kaki dari rumah ini," ujar Radit, tak