Share

7 :: Rembulan di Pagi Hari ::

Wanita paruh baya di depan Arinda itu tersenyum lalu mempersilahkan Arinda untuk masuk.

"Bawa masuk saja sekalian ya. Saya panggilkan keponakan saya dulu," kata wanita yang terlihat sangat anggun itu.

Arinda membawa sedikit demi sedikit barang yang dia bawa dan meletakkan di tempat yang wanita tadi minta.

Ruangan yang dia masuki saat ini sangat mewah dia sangat terpesona melihatnya.

Setelah selesai menata semua orderannya Arinda berniat pamit dan ingin mengucapkan terima kasih. Tapi yang dia dengar ada semacam keributan antara dua orang dengan bahasa inggris, dan untungnya dia tidak mengerti sama sekali apa yang mereka bicarakan.

Tidak lama keluar seorang pria membuatnya langsung menampilkan senyuman. Sementara pria itu mengusap wajahnya berulang kali dan perlahan mendekati Arinda dengan hanya menggunakan handuk yang dililitkan di pinggangnya.

Arinda otomatis ikut mundur perlahan dan dia masih tidak mengerti apa yang terjadi.

"It's you," suara pria itu membuat Arinda semakin tidak mengerti.

"Eadric what are you doing ?!" Lagi Arinda tidak mengerti dengan apa yang terjadi dan kini wajahnya sudah di sentuh dengan kedua telapak tangan pria bule yang membuatnya ketakutan.

Hingga si Ibu menyelamatkan jantung Arinda. "Maafkan keponakan saya, dia masih mabuk jadi seperti ini." Tangan Ed langsung di tarik oleh wanita itu dan menjauhkannya dari Arinda yang bernapas lega.

"Oh iya Bu. Saya permisi, ini juga sudah di bayar oleh Bapak Ali," kata Arinda ingin segera pergi dari sana dan dia mengira Ed adalah Ali yang pesan semua makanan itu kepadanya.

"Hei wait ! wait !" panggil Ed tidak ingin wanita yang dia mimpikan dua hari ini pergi begitu saja.

Arinda yang tidak mengerti apa yang Ed ucapkan terus saja keluar dari sana membuat Ed menyingkirkan tangan tante-nya yang pagi ini datang secara tiba-tiba. Dia mengejar Arinda masih menggunakan lilitan handuk dan untungnya mereka bertemu di lift.

Arinda yang kini kembali ketakutan memegang erat tas selempang yang dia pakai. "Ad-a apa Pak ?" tanya Arinda dan Ed malah tersenyum.

"Akhir-nya kita bertemu." Arinda semakin bingung dengan jawaban pria itu. Jelas terlihat bahasa Indonesia pria bule ini masih sangat kaku.

"Abang kenal sai-ya ?" tanya Arinda dan kenapa dia memanggil 'abang' ini kebiasaan Arinda dan anehnya dia juga ikut gugup.

"Come on follow me," ujar Ed menarik tangan Arinda yang tentu saja di tepis Arinda dengan kasar. Dia juga tidak mengerti apa yang dikatakan pria ini. "Ayo ikut saya," ujar Ed lagi pelan membuat Arinda menaikkan kedua alisnya tidak mengerti namun pintu lift kemudian terbuka.

"Abang ! Eh, Pak Ali mau bawa saya kemana ?"

"Saya bukan Ali."

"Loh terus lo siapa ?!" Arinda berhenti lagi dan dia benar-benar ketakutan saat ini. "Heh ! Lo siapa, lepasin tangan gue !" Ed berhenti melihat wajah Arinda yang panik lalu kemudian dia menghela napas.

"Saya Ed. Saya bos Ali yang memesan masakan kamu," kata Ed lalu dia mengulurkan tangannya. Arinda terdiam dia melihat Ed dari ujung kepala ke handuk lalu sampai ke kaki pria itu yang tidak menggunakan apapun mengejarnya. Kemudian Arinda membalas uluran tangan Ed.

"Sa-ya Arinda," ucapnya sambil menatap Ed dengan awas.

"Akhirnya saya bisa bertemu kamu."

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya ?"

"Sering di dunia nyata dan di dalam mimpi saya."

Arinda yang masih sangat polos tidak mengerti dengan semua yang Ed ucapkan, tapi karena pria ini mengaku sebagai bos Ali yang memesan masakannya dia akhirnya mengikuti Ed untuk masuk kembali ke dalam unit apartemen pria itu.

"Kamu tunggu saya disini, saya akan berpakaian dulu." Arinda hanya diam mendengarnya, wanita yang tadi ada di sana juga tidak terlihat lagi. Perasaan Arinda tidak tenang karena Ed terlalu lama, dia takut ini hanya modus untuk menculiknya kemudian mereka menjual semua organ tubuhnya.

Sial !

Arinda lalu segera keluar dari sana. Bisa saja dia di umpan dengan orderan besar lalu kemudian mereka menjual dirinya atau mungkin organ tubuhnya. Maka dari itu dia buru-buru pergi dari sana sebelum si Abang yang mengaku bos itu keluar.

Ed yang buru-buru memakai pakaian yang bisa di lihat pertama kali di dalam ruang pakaiannya kini sudah rapi dan dia bersemangat untuk menemui wanita yang wajahnya seperti rembulan bernama Arinda, bahkan Ed juga melihat dagu yang terbelah milik wanita itu seolah memanggilnya untuk mengecupnya lembut.

Ed bahagia pagi ini karena dia bisa melihat wanita itu dan bisa tahu namanya. "Hai Arinda saya,____" ucapnya terhenti karena Arinda sudah tidak ada di dalam apartemen miliknya.

Ed harusnya menduga jika Arinda akan lari begitu saja tadi, dia tidak berpikir demikian karena biasanya para wanita akan rela menunggu untuknya tapi wanita ini malah pergi begitu saja.

Jika tahu begitu harusnya Ed menariknya untuk ikut ke dalam kamar tadi.

Ponselnya bergetar menampilkan nama Tante-nya tercinta yang selama ini selalu memperhatikannya.

"Halo," jawabnya datar.

["Ed aunty mau pesan lagi dong ini sarapannya. Beneran enak loh ini."]

Ed melihat ke arah meja makan dimana tadi terdapat banyak box makanan dan kini tidak bersisa satu pun.

Dia memang sengaja memesan banyak karena di rumah keluarga besarnya sedang ada acara keluarga jadi dia sengaja memesan dalam jumlah banyak. Tapi aunty tercintanya benar-benar membawa seluruh box yang berisi sarapan itu.

["Ed do you hear me ?"]

Ed yang masih kesal mematikan begitu saja sambungan telpon itu, dan langsung menelpon Ali.

"Ali cari tahu dimana tempat tinggal wanita bernama Arinda yang diberikan asisten Raka nomornya ke kamu itu  ! Saya ingin bertemu dengannya sekarang," perintah Ed tidak terbantahkan.

***

Turun dari taksi Arinda langsung mengirimkan pesan kepada Nindy. Anton yang baru keluar dari dalam kos melihatnya dan menyapa Arinda.

"Hai Rin darimana ? Cantik banget," katanya membuat Arinda yang di puji cantik langsung bersemu merah. Belum ada yang mengatakan dia cantik selama ini selain opung dan kedua orang tua-nya dulu.

"Tadi habis antar pesanan sarapan Bang. Abang gak kerja ?" Arinda balik bertanya.

"Kerja, tapi ada yang ketinggalan jadi balik lagi deh."

"Oh begitu. Ya sudah Rinda naik dulu ya bang," ujar Arinda lalu pergi dari hadapan Anton yang merasa sangat bahagia karena bisa membuat Arinda merona tadi.

Arinda masuk kedalam kamar kos sambil membaca chat-nya dengan Nindy yang tidak percaya dengan apa yang baru saja dia alami.

Karena merasa tubuhnya benar-benar kelelahan dia memilih untuk tidur saja. Tapi bagaimana mau beristirahat jika bentuk kamarnya sudah seperti kapal pecah.

Kamarnya yang menjadi dapur dadakan itu terlihat mengenaskan. Dia memutuskan untuk mengganti pakaian santai untuk di rumah agar lebih leluasa.  Celana pendek dan kaos besar yang sudah lusuh warna-nya adalah pilihan Arinda dan dia mengikat tinggi rambutnya.

Perlahan demi perlahan dia membersihkan kamar itu hingga terlihat layak dan nyaman kembali. Rasanya benar-benar lega karena setelahnya dia bisa tidur dengan nyaman.

Belum dia menutup mata tapi pintu kamarnya sudah diketuk. Arinda melihat jam di dinding dan tidak mungkin semua sahabatnya sudah pulang, karena ini masih jam dua siang.

"Siapa ?" tanya Arinda.

"Saya," jawab orang diluar sana yang Arinda ketahui adalah pria pastinya. Dia pun berdiri dan membuka pintu kamarnya.

Lambaian tangan dari pria itu bagaikan kutukan untuk Arinda karena dia benar-benar takut saat ini.

"Lo !?"

"Hai Arinda," sapa pria dengan wajah sperti aktor-aktor luar negri yang tak lain adalah Ed.

"Ganteng sih iya ! Tapi kok nyeremin."

Bersambung...

Tinggalkan jejak kalian ya,

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status