Beranda / Young Adult / About Keenan / Bab 12. Ketika Luka Menuntut Balas

Share

Bab 12. Ketika Luka Menuntut Balas

Penulis: litrcse
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-23 16:46:49

"Tindakanmu hari ini bisa menjadi racun bagi hati yang kau cintai esok hari."

•••

Kafka tidak banyak bicara. Begitu melihat Keenan keluar dari kantin, dia langsung melangkah, tenang tapi dengan tekad yang sudah bulat. Di tengah pilihan sulit yang sering kita hadapi, penting untuk mengingat bahwa setiap langkah yang kita ambil bisa membentuk masa depan kita. Terkadang, kita perlu berani melangkah meski jalan yang diambil tidak pasti.

"Eh, mau ke mana si burung kakap?" Abhi berteriak dari belakang, nada suaranya khas, selalu santai.

"Jadi nggak nih kita ditraktir?" sahut Nevan, sedikit kesal tapi tak benar-benar serius.

Kafka berhenti sejenak, menoleh dengan perlahan. Tatapannya tajam, seperti sedang memperingatkan. Mata itu tertuju pada Abhi yang baru saja memanggilnya dengan nama seenaknya.

"Lo pilih jajan atau Keenan?" Kafka berkata datar, tanpa memberi ruang untuk bantahan. Tanpa menunggu jawaban, dia kembali melangkah.

Abhi menghela napas, melirik Nevan, "Berat, nih." Tapi akhirnya dia berdiri, menarik Nevan bersamanya, dan mereka berdua berjalan mengikuti Kafka, meski pikiran mereka masih terbayang pada jajanan yang belum sempat dipesan.

Langkah mereka terhenti ketika sampai di lapangan. Di sana, Keenan sedang melempar bola basket ke ring dengan keras, seolah menumpahkan kemarahannya.

Abhi dan Nevan saling pandang. Kafka hanya menatap Keenan dalam diam, matanya tak berpaling sedetik pun. Tapi ketika mereka hendak mendekat, langkah mereka terhenti lagi. Claudia muncul entah dari mana, langsung berjalan menuju Keenan.

"Waduh, tambah berat, nih," keluh Abhi lagi, merasa suasana semakin rumit.

"Gue gak paham sama tuh cewek," ucap Nevan, tatapannya tajam menelusuri gerak-gerik Claudia.

"Lihat aja dulu, gimana Keenan nanggepin dia," ucap Kafka, suaranya nyaris seperti bisikan, lebih kepada dirinya sendiri.

"Keenan," Claudia memanggil, suaranya penuh dengan permohonan, matanya menatap Keenan dengan harapan yang menggantung.

Keenan mendengus, jelas terganggu. Dia memutar badannya, bersiap pergi. Tapi Claudia lebih cepat, tangannya mencengkeram lengan Keenan, tak membiarkannya pergi begitu saja.

"Keenan, please. Jelasin kenapa lo bisa pacaran sama Clara, anak kepsek itu," suaranya serak, putus asa.

Keenan diam, matanya menatap bola yang ada di tangannya. Tanpa berkata apa-apa, dia berusaha menepis tangan Claudia. Tapi Claudia, dengan gerakan yang tak terduga, langsung memeluknya erat. Keenan terkejut, napasnya tertahan.

Abhi, Nevan, dan Kafka menyaksikan semuanya. Mereka terpaku, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

"Bener-bener gila tuh cewek," gumam Nevan, matanya masih menatap ke arah Claudia.

Tanpa sadar, Abhi refleks menutup mata Kafka dengan tangannya. "Woy!" serunya, tapi malah seperti menampar wajah Kafka.

Kafka segera menepis tangan Abhi dengan kesal. "Ngapain lo nabok gue, hah?" Nada suaranya datar, tapi jelas dia terganggu.

"Eh, sorry, refleks," jawab Abhi canggung.

Kafka menghela napas, hendak membalas Abhi, tapi matanya menangkap sesuatu. Alsha. Dia berjalan mendekati lapangan, langkahnya perlahan tapi pasti. Darah Kafka mendesir, menyadari apa yang bisa terjadi jika Alsha melihat Keenan dan Claudia.

Tanpa pikir panjang, Kafka berlari ke arah Alsha, berharap bisa menghentikannya sebelum pemandangan itu terungkap.

"Eh, Kaf, lo mau ke mana lagi?" teriak Abhi dari belakang.

Nevan, yang mulai paham situasinya, segera menarik Abhi untuk mengikuti Kafka. Mereka bertiga berlari mendekati Alsha, berharap bisa menutupi kenyataan pahit yang mungkin tak ingin dilihatnya.

"Hey, Al, mau ke mana?" Kafka bertanya tiba-tiba, tangannya menggaruk kepala yang jelas-jelas tak gatal. Ini adalah hal yang jarang, bahkan pertama kalinya dia mencoba basa-basi dengan cewek. Demi Keenan, Kafka melakukan ini tanpa ragu.

Alsha menoleh dengan senyum lembutnya. “Oh, aku mau ke perpus, Kaf. Ada apa?” tanyanya pelan, suaranya lembut dan menenangkan, seolah setiap kata yang diucapkannya membawa angin sejuk.

Nevan dan Abhi yang baru tiba ikut menyapa. Alsha hanya tersenyum, mengangguk sopan kepada mereka, namun tetap tak mengalihkan fokus dari Kafka, menunggu jawaban dengan sabar.

"Al, kayaknya perpusnya tutup, deh," Kafka berusaha terdengar yakin, meski hatinya sendiri penuh ragu.

Nevan yang mengerti situasi langsung menyahut. “Iya, Al. Katanya petugasnya sakit,” tambahnya, mencoba memperkuat kebohongan kecil Kafka. Sementara Abhi tetap diam, memperhatikan setiap reaksi Alsha dengan waspada.

Alsha mengangguk perlahan, matanya melirik ke arah perpustakaan, penuh keraguan. “Oh, gitu ya,” jawabnya lembut, tanpa ingin mempertanyakan lebih jauh. Ada keheningan sejenak, saat Nevan sengaja menyenggol Abhi untuk menghalangi pandangan Alsha ke arah lapangan.

Namun suasana berubah saat Ghisel muncul dari arah perpustakaan, wajahnya ceria seperti biasa. “Hey, Al! Kok nggak jadi ke perpus? Aku udah dapet bukunya, nih,” katanya sambil mengacungkan buku di tangannya.

Kafka dan Nevan hanya bisa menepuk dahi mereka dengan pelan, menyadari bahwa rencana mereka gagal. Sementara Alsha menatap dengan mata lembut ke arah Kafka, lalu ke Ghisel. “Katanya tadi tutup?” tanyanya, suaranya tetap tenang, namun ada sedikit kebingungan di balik sorot matanya.

Kafka terdiam. Semua rencana di kepalanya buyar. Dia hanya bisa menatap Alsha yang kini menunggunya menjelaskan.

Ghisel tersenyum ramah. “Buka kok, Al. Nih, buktinya,” ujarnya sambil menunjukkan buku di tangannya lagi. “Ya udah, aku duluan ya.” Ghisel berlalu, meninggalkan mereka dengan suasana canggung yang menggantung di udara.

Alsha kini kembali menatap Kafka dan Nevan, dengan mata penuh pengertian namun tetap lembut. “Jadi, yang benar yang mana?” tanyanya pelan, namun tidak ada nada menuduh dalam suaranya.

Abhi yang sejak tadi diam, akhirnya menangkap situasi dan menjawab dengan tenang. “Neng Alsha, mungkin petugasnya tadi sakit perut, jadi ditutup sementara.”

Kafka menoleh dengan pandangan lega, meski Alsha tetap menatap mereka dengan tatapan penuh pertanyaan, meski tanpa sedikit pun kecurigaan.

“Bisa jadi gitu, Al,” sahut Nevan dengan senyum kecil yang tampak lega.

Alsha mengangguk lagi, senyum kecil muncul di wajahnya. “Ya sudah, kalau gitu aku ke perpus dulu, ya.” Langkahnya perlahan hendak menuju ke sana, tapi Kafka, dengan keberanian yang baru pertama kali muncul, berkata, “Eh, Al, kita temenin, ya? Kita juga mau pinjem buku.”

Alsha berhenti sejenak, menatap Kafka dengan senyum yang penuh kelembutan. “Boleh,” jawabnya. Mereka pun berjalan bersama menuju perpustakaan, dengan Abhi dan Nevan yang tetap berjaga-jaga, sementara Kafka mencoba mengalihkan perhatian Alsha dengan obrolan ringan. Meski gugup, dia tahu satu hal: ini adalah sesuatu yang baru baginya, mencoba menjaga seseorang yang begitu tenang dan lembut seperti Alsha dari peristiwa yang bisa merusak pandangannya. Peristiwa yang sedang terjadi di lapangan sana.

Di sisi lain, di lapangan yang perlahan senyap, hanya terdengar suara bola yang bergulir di atas aspal. Keenan berdiri tegak, matanya penuh amarah, namun tubuhnya terkunci dalam pelukan Claudia yang tak mau melepaskannya. Dia menggeliat, mencoba lepas, tapi Claudia memeluknya semakin erat, seolah tak ada lagi yang bisa dia pegang selain Keenan.

"Lo gila ya? Lepasin gak!" Suara Keenan menggema, nadanya tajam, penuh kesal, tapi di balik itu ada sekelumit kelelahan yang tersirat.

Claudia menatap Keenan, matanya berkilat. “Enggak, Keenan. Gue nggak bakal lepasin sebelum Lo jawab pertanyaan gue!” suaranya bergetar, tapi tekadnya tak goyah.

Sebelum Keenan bisa menjawab, sebuah suara keras menggema di udara. “Claudia!” Bukan dari Keenan, melainkan dari Davin, yang kini berdiri di tepi lapangan. Wajahnya penuh amarah, tatapannya tajam seperti pisau yang menusuk.

Claudia menoleh, terkejut, dan seketika itu juga dia melepaskan pelukan dari tubuh Keenan. Keenan terdiam, napasnya memburu. Dia tahu, kehadiran Davin di sini bukanlah kebetulan, dan ini akan menjadi lebih rumit dari yang dia bayangkan.

BERSAMBUNG

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • About Keenan   BAB 23. Badai yang Terkendali

    Ketika bel istirahat berdering, suara riuh siswa yang berlomba-lomba meninggalkan kelas terdengar menggema. Namun, di salah satu bangku, Keenan tetap duduk diam, tak beranjak. Tatapan matanya terpaku pada Alsha, mengamatinya dalam diam, seolah setiap gerakan gadis itu adalah misteri yang tak ingin ia lepaskan begitu saja."Ayo, Al, ke kantin," suara Aline terdengar, lembut, penuh semangat, ia menggenggam tangan Alsha, mengajak sahabatnya pergi. Alsha sempat melirik ke arah Keenan, namun cowok itu segera mengalihkan pandangan, menyembunyikan ekspresi di wajahnya yang sulit diartikan. "Al!" panggil Aline lagi, kali ini sedikit lebih mendesak. Akhirnya, Alsha mengangguk kecil, menerima ajakan Aline, dan mereka pun akhirnya melangkah keluar bersama.Keenan hanya bisa memandang punggung gadis itu yang semakin menjauh, menyisakan jejak perasaan yang tak terucap. Tak lama, tiga sosok temannya muncul, memperhatikan wajah ketua mereka yang tampak menyiratkan amarah yang sulit ia sembunyikan.

  • About Keenan   Bab 22. Penakluk Hati Keenan (Part 2)

    Setelah Athala menghilang dari pandangan, suasana kembali tenang. Mereka semua duduk kembali, meneruskan obrolan yang seakan tak terganggu oleh apa pun yang baru saja terjadi.Keenan menatap Abhi dengan tatapan tajam, seolah mengingat sesuatu yang tertunda. "Lo tadi mau ngomong apa?" tanya Keenan. Dia pergi ke markas, berharap mendengar kabar soal Alsha, namun sepertinya Abhi masih belum memberi informasi yang dicari. Abhi menggaruk kepala yang tak gatal, matanya sedikit menghindar. "E-eh," jawabnya ragu, suara serak yang keluar dari mulutnya menunjukkan dia sedang kebingungan. "Sorry, Pak Ketu, gue lupa mau ngomong apa tadi," lanjutnya, jelas merasa kikuk karena tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Keenan mendengus pelan, ekspresinya datar, namun gerakannya cepat. Tanpa peringatan, ia merampas snack dari tangan Abhi, menikmati keripik itu dengan lahap."Eh, Pak Ketu," ujar Abhi terkejut melihat tingkah Keenan yang tiba-tiba. Keenan hanya melotot ke arah Abhi, matanya menyip

  • About Keenan   Bab 22. Penakluk Hati Keenan

    Keenan dan Athala tiba di markas. Malam itu sunyi, tapi suasana langsung berubah begitu Abhi dan Nevan melihat mobil putih milik Athala memasuki halaman. Teman-teman Keenan, yang sedang asyik bercanda, langsung bergegas berdiri. Mereka saling bertugas pandang dengan senyum kecil yang penuh arti. Bagi mereka, Athala bukan sekadar kakak bagi Keenan, tapi juga sosok kakak yang selalu hadir untuk mereka semua.Abhi yang langsung menyambut Athala dengan lambaian tangan. "Hey, Bang Athala! Tumben nongol malam-malam gini! Mau gabung sama kita?"Athala turun dari mobil dengan langkah tenang, melemparkan senyum tipis pada mereka. "Lagi kosong aja," jawabnya sambil menepuk bahu Abhi. "Gue kangen ngeliat kalian semua. Udah lama, kan, nggak ngobrol bareng?""Bukan sekadar lama, Bang! Kita udah hampir lupa kapan terakhir kali Abang nongkrong di sini," canda Nevan sambil tertawa.Athala terkekeh pelan, menatap mereka satu per satu. Rasanya hangat, kembali berada di tengah-tengah mereka. Dia tahu, d

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 6)

    Keenan melajukan motornya, membelah jalanan malam yang sepi dengan kecepatan yang menggila. Pikiran-pikirannya berserakan, berkelindan dengan bayangan wajah ibunya yang tulus, penuh ketidakmengertian, dan ayahnya yang terbungkus kepalsuan dan dusta. Kekecewaan semakin membakar dadanya, membuat tangannya refleks memutar gas lebih kencang, seolah berharap kecepatan bisa menghapus segalanya.Di tengah kesibukannya melawan pikirannya, tiba-tiba, dari kejauhan, segerombolan orang berdiri menghadang di tengah jalan. Davin dan teman-temannya, berdiri dalam bayang malam yang samar, seolah sudah menunggu kedatangannya. Keenan ngerem mendadak, membuat roda motornya berdecit keras, meninggalkan bekas yang panjang di aspal. Matanya menatap tajam ke arah mereka, tanpa rasa takut sedikit pun. Tanpa ragu, ia turun dari motor dan berjalan mendekat, tatapannya penuh kemarahan yang tersimpan.Davin tersenyum licik, wajahnya tampak puas melihat Keenan mendekat. "Wah, lihat siapa yang muncul, guys," ucapn

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 5)

    Keenan tetap diam, namun tatapannya tidak berubah, tajam dan penuh kekecewaan. Ini bukan kali pertama ia merasakan ancaman dari sang ayah, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Rasa takut yang dulu menghantuinya perlahan tergantikan oleh keberanian untuk melawan.Ayahnya melangkah maju, mendekati Keenan hingga jarak mereka hanya beberapa sentimeter. "Ingat ini baik-baik, Keenan. Kamu cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa tentang hidup. Kalau kamu masih berani buka mulut soal ini ke Mama, atau ke siapa pun, Papa akan pastikan hidupmu nggak akan nyaman di rumah ini." ucapnya dengan suara yang begitu rendah, namun jelas mengandung ancaman yang serius.Keenan menahan napas, merasakan amarahnya semakin membara. "Silahkan, Pa. Kalau itu yang Papa mau. Tapi itu nggak akan mengubah fakta kalau Papa salah, kalau Papa sudah menghancurkan kepercayaan orang-orang yang sayang sama Papa."Mata ayahnya semakin menyipit, napasnya terengah-engah seolah sedang menahan diri agar tidak meledak lebih

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 4)

    Suasana rumah begitu hening saat malam telah sepenuhnya turun, hanya suara napas lembut Kavin yang terlelap di tempat tidur Keenan yang mengisi keheningan. Keenan menghela napas, menyelimutkan kain lembut hingga menutupi bahu kecil adiknya, lalu melangkah pelan-pelan keluar dari kamar, bersiap menuju markas sesuai janjinya dengan Abhi. Tapi ketika dia sampai di pintu depan, langkahnya terhenti.Ayahnya baru saja pulang, berdiri di ruang tamu dengan tubuh yang tampak kelelahan. Setelan kerjanya masih rapi, namun leher kemejanya terlihat sedikit berantakan, dan mata Keenan tak sengaja tertuju pada satu hal yang merusak semuanya, bekas kecupan lipstik yang samar namun jelas di kerah kemeja ayahnya. Seketika, detak jantungnya terasa lebih keras, menambah tekanan dalam dirinya. Bayangan masa kecilnya seketika muncul, saat dulu, ketika ia tak sengaja menemukan ayahnya bersama wanita lain. Dan saat itu juga, hanya ancaman yang ia dapat.Keenan menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit diba

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status