"Di antara jutaan wajah, aku memilihmu." -Alshameyzea Afsheena
•••• Di luar kafe ini, setiap meja dirancang sederhana untuk empat orang, dengan kursi panjang yang mampu menampung dua orang berdampingan, menciptakan suasana akrab. Malam ini, kafe dipenuhi oleh tawa dan obrolan, aroma kopi yang menggoda, dan alunan musik lembut yang meresap ke dalam jiwa. "Ayo duduk bareng aku," ajak Keenan, senyum hangat menghias wajahnya. Di bawah cahaya lampu temaram, matanya berkilau lembut, seolah menggoda hati yang mendengarnya. Aku mengangguk, "Ayo, Aline, kita duduk di sini saja." Namun, Aline yang masih menggenggam tanganku erat tampak ragu, gelisah dalam keramaian ini. Tiba-tiba, Kafka, dengan ketegasan yang tak terbantahkan, menarik mini bag Aline, menghentikannya. "Eh, lo mau kemana?" tanya Kafka, nada suaranya tenang, tanpa memberi ruang untuk perdebatan. Aline melotot marah, "Lepasin! Lo ngapain narik-narik tas gue? Kalau copot—" "Nanti gue ganti," potong Kafka, tetap santai, seolah tak tergoyahkan oleh amarah Aline yang berkobar. "Mentang-mentang lo itu—" Aline mulai berteriak, namun Kafka, dalam kesabaran yang luar biasa, mengabaikannya. "Udah, jangan bawel. Lo duduk bareng gue, malam ini aja, please. Biarin mereka berduaan," ucap Kafka, berusaha menenangkan suasana dengan menarik Aline menjauh dariku. Aku tahu semua ini pasti sudah direncanakan oleh Keenan. Saat tatapanku bertemu dengannya, senyumnya kembali menyentuh hatiku, membuatku merasakan getaran yang tak terungkapkan. Namun, aku segera mengalihkan pandangan, berusaha menyembunyikan degup jantung yang tak terduga. Kafe ini cukup ramai malam ini, tidak hanya diisi oleh teman-teman kami, tetapi juga pengunjung lain yang tampak menikmati suasana hangat. Musik live mengalun lembut dari panggung di sudut ruangan, sementara lampu-lampu temaram menggantung di langit-langit, menciptakan nuansa syahdu yang intim dan hangat. Saat aku melirik ke sekeliling, pandanganku tertangkap oleh sosok pria yang tampaknya tak asing. Ia mengenakan kaos putih sederhana di bawah jaket denim hitam, celana jeans yang pas, dan sepatu sneakers putih bersih. Meski pencahayaan lembut membuat wajahnya samar, tatapannya yang tajam seolah menembus malam, membawa dingin ke dalam hatiku. ‘Eh? Dia menatapku?’ batinku bergetar, dan seketika tatapan kami bertaut, membekukan waktu sejenak. "Sheena, kamu mau pesan apa?" tanya Keenan dengan nada penuh perhatian, suaranya membelah kebisingan di sekelilingku, mengembalikan pikiranku dari lamunan. Aku menoleh ke arah Keenan, "Terserah," jawabku cepat, berusaha menyembunyikan kekacauan emosional di dalam diriku. Tatapanku kembali mencari pria itu, namun ia sudah menghilang, meninggalkan rasa penasaran yang menyentuh. "Sheena, ada apa?" Keenan bertanya, mengikuti arah pandanganku. Aku menggeleng cepat, mencoba menghilangkan rasa canggung yang mulai merayapi diriku. "Eh, enggak, gak papa," jawabku sambil berusaha fokus pada Keenan. Senyum hangatnya terasa menenangkan, membawa secercah kehangatan di tengah kekacauan malam. "Kamu ngapain ngeliatin aku?" tanyaku, bingung, mengangkat kedua alisku dengan penuh rasa ingin tahu. "Emangnya nggak boleh ya?" Keenan membalas, nadanya genit. Senyum lebar menghiasi bibirnya, menciptakan aura yang memikat. "Boleh sih, tapi—" jawabku, namun kalimatku terputus oleh pertanyaan Keenan yang tiba-tiba. "Kenapa pipi kamu merah?" tanyanya, matanya menyorot lembut, menyingkap keindahan kerentanan di dalam diriku. "Eh?" Aku secara refleks menutupi kedua pipiku, merasakan wajahku memerah seperti tomat yang matang. Dalam momen itu, semua perhatian terasa begitu mendalam, seolah dunia di sekitar kami menghilang, menyisakan hanya kami berdua dan kilauan emosi yang tak terucap. Keenan tertawa kecil, suaranya lembut dan penuh kehangatan, menyebarkan rasa nyaman di sekitar kami. Kamu adalah bukti Dari cantiknya paras dan hati Kau jadi harmoni saat ku bernyanyi Tentang terang dan gelapnya hidup ini Kaulah bentuk terindah Dari baiknya Tuhan padaku Waktu tak mengusaikan cantikmu Kau wanita terhebat bagiku Tolong kamu camkan itu Beberapa menit kemudian, sambil menunggu pesanan tiba, suara lembut dari lagu "Bukti" mengalun di kafe. Meskipun aku tidak tahu siapa yang menyanyikannya malam ini, suaranya begitu memikat, menyatu dengan melodi lagu yang indah. "Lagunya pas banget buat cewek yang malam ini duduk di depan aku," ujar Keenan, menatapku dengan penuh arti. "Pas gimana?" tanyaku dengan nada polos, penasaran. "Kamu adalah bukti, dari cantiknya paras dan hati," Keenan mulai menyanyikan beberapa baris lirik dengan lembut. Suaranya, meskipun tidak semerdu penyanyi di panggung, memiliki kehangatan dan keintiman tersendiri yang membuatku tersentuh. "Udah ah, Keenan, jangan godain aku terus," balasku, sedikit malu namun juga merasa senang. Keenan terkekeh pelan, suara tawanya lembut dan menyenangkan. Dia kembali menatapku dengan penuh perhatian, menopang dagunya dengan tangan kanan, dan senyuman manisnya terus menghiasi wajahnya. Malam itu terasa begitu spesial, dengan setiap detik dipenuhi dengan kehangatan dan perhatian yang membuat jantungku berdegup lebih kencang. "Keenan, kamu ngapain gitu! Diliatin orang-orang loh! Udah ah, aku ke Aline aja," ujarku, sudah siap berdiri untuk meninggalkan kursi. "Jangan dong," cegah Keenan, menahan pergerakanku dengan lembut. "Sorry ya... aku cuma liatin kamu kok, nggak boleh ya?" Keenan berkata dengan ekspresi sedikit sedih yang membuatku merasa bersalah. Akhirnya, aku duduk kembali di kursi. Keenan duduk tegak dengan tatapan lembut yang terus tertuju padaku. "Kamu ada yang mau diomongin? Atau mau cerita sesuatu?" tawar ku, berusaha mengubah suasana agar lebih nyaman. "Hmm..." Keenan terlihat berpikir sejenak, wajahnya tampak serius namun tetap lembut. "Daripada kamu ngeliatin aku terus, mending kamu cerita sesuatu deh," kataku, mencoba memecahkan ketegangan yang mulai terasa. Keenan menghela napas lembut, ekspresinya berubah sedikit sedih. "Sorry, Sheena, kalau kamu nggak suka aku tatap," ujarnya dengan suara lirih. "E-eh, bukan gitu," jawabku, gelagapan mendengar pernyataannya. "Oh, jadi suka?" Keenan bertanya sambil menaikkan dan menurunkan kedua alisnya dengan nakal. BERSAMBUNG“E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da
Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke
Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t
Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl
Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam