Home / Young Adult / About Me: Alshameyzea / Bab 7. Bukti (Part 3)

Share

Bab 7. Bukti (Part 3)

Author: litrcse
last update Last Updated: 2024-09-26 08:00:14

Kafka lalu bergeser ke samping teman-temannya, yang tampak sedang berbincang dengan serius. Mereka tiba-tiba memarkirkan motor-motor mereka dengan rapi di depan rumahku, memperlihatkan tampilan motor-motor mereka yang mengkilap dan mengesankan di bawah cahaya lampu malam.

"Heh, kalian pada ngapain?" tanya Aline dengan nada bingung.

"Kita mau naik angkot juga bareng kalian," jawab Kafka, seraya melambaikan tangan ke arah angkot yang menunggu.

Aku dan Aline saling bertukar pandang, masih kebingungan.

"Udah, ayo sini, gue bantu seberangin," ucap Kafka, sambil melangkah mendekati kami. Dia membantu kami menyeberangi jalan dengan penuh perhatian, sementara aku terus merenung tentang alasan Keenan tidak bisa naik angkot dan mengapa teman-temannya tampak khawatir tentang hal itu.

Keenan mempersilahkan aku duduk di kursi angkot yang empuk, dan dengan nada lembut, ia bertanya, "Apa aku boleh duduk di samping kamu?" Suaranya yang khas membuatku merasa tak enak hati untuk menolak, jadi aku mengangguk pelan. Dengan begitu, Keenan duduk di sampingku, sementara di sebelahku ada Aline. Di depan kami, Abhi, Nevan, dan Kafka duduk, menciptakan suasana yang hangat di dalam angkot.

"Apa Lo lihat-lihat!" seru Aline dengan nada kesal, langsung memusatkan perhatian pada Kafka yang duduk berhadapan dengannya.

"Kepedean banget, siapa juga yang liatin lo," sahut Kafka dengan nada datar, memalingkan wajahnya dengan acuh tak acuh.

Tiba-tiba, suara Keenan memecah kebisingan, menarik perhatianku dari pertengkaran kecil antara Aline dan Kafka. "Sheena," panggilnya lembut, membuatku tersentak dari lamunanku.

"Malam ini kamu cantik sekali," tambah Keenan dengan senyum hangat yang menyapu wajahnya, menatapku penuh perhatian. Matanya berkilau lembut di bawah cahaya lampu angkot, membuat jantungku berdebar kencang.

"Makasih," jawabku, mencoba menenangkan detak jantung yang berdegup cepat.

Akhirnya, angkot tiba di tujuan kami. Abhi dan Nevan turun lebih dulu.

"Yuk, Sheena," ajak Keenan sambil mengulurkan tangannya dengan penuh perhatian, senyumnya menghangatkan suasana di dalam angkot.

"Eh, aku bisa kok, Keenan," jawabku sambil berdiri. Aku meraih pegangan pintu angkot, tetapi merasa sedikit canggung dengan perhatian Keenan.

"Lo diem dulu di sini," kata Kafka tiba-tiba, menahan Aline yang hampir meloncat keluar dari angkot.

"Heh! Ngapain lo nahan-nahan gue!" teriak Aline, suaranya melengking di dalam angkot, menarik perhatian semua orang. Ekspresinya marah namun lucu, dan kami semua menoleh ke arah keributannya.

"Lo gak usah keluar," ujar Kafka dengan nada tegas namun santai, meninggalkan Aline yang masih berdiri di ambang pintu.

"Alsha! Tungguin!" teriak Aline, melotot ke arah Kafka dengan tatapan penuh perlawanan sebelum berlari menghampiriku, mengikuti langkahku keluar dari angkot.

Sesampainya di kafe, keindahannya langsung menelusup ke dalam benakku. Meski letaknya tak jauh dari rumah, aku belum pernah terpikir untuk singgah, hanya melewatinya dengan pandangan yang selalu sekilas. Tapi malam ini, cahaya lampu-lampu gantung yang bergelayut di halaman, memantulkan kehangatan yang lembut, seakan menyambut setiap kedatangan dengan hangat. Interiornya klasik, penuh sentuhan elegan, membawa ketenangan yang samar-samar menyusup ke dalam diriku, sementara malam melingkupi kami dengan segala ketenangannya.

Aline menggenggam tanganku, menyusuriku menuju area terbuka di luar. “Kita harus duduk bareng,” katanya tanpa keraguan, senyumnya mengundang persetujuan. Aku menurut, mengikuti langkahnya menuju tempat yang dikelilingi lampu-lampu kecil yang berkedip lembut. Angin malam mengusap pelan, membawa aroma kopi yang baru diseduh dan wewangian dari halaman. Di atas kami, bulan bersinar, seakan menjadi pusat dari segala keindahan malam ini.

“Di luar lebih enak, ya,” lanjut Aline, menunjuk meja-meja yang tersebar, menantikan percakapan panjang di bawah langit terbuka.

Aku mengangguk, mataku tak lepas dari bulan yang melayang anggun di langit malam. Cahaya lembutnya begitu tenang, membingkai malam dengan keindahan yang hanya bisa dirasakan, bukan diucapkan.

“Kamu suka ngeliat bulan?” Suara Keenan memecah keheningan lembut itu, namun tak mengganggu. Nada suaranya seolah menyatu dengan malam.

Aku menoleh, tersenyum kecil. “Iya,” jawabku singkat, seperti enggan memecah damainya.

"Bulannya cantik banget ya? Sampai gak kedip gitu ngeliatnya," kata Keenan, matanya yang tajam dan penuh perhatian tak pernah lepas dari wajahku.

Aku menunduk, sedikit malu, menyembunyikan rona merah yang mungkin mulai tampak di pipiku.

"Tapi..." Keenan melanjutkan, membuatku menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.

"Tapi apa?"

"Tapi kamu gak kalah cantik malam ini, Sheena." Kalimat itu jatuh begitu saja di antara kami, tapi dampaknya seakan menyelimuti seluruh tubuhku. Rona di pipiku, yang mungkin tak bisa kusembunyikan lagi, mulai terasa memanas. Keenan tetap memandangku, senyumnya lembut, namun begitu nyata, membuatku seolah tenggelam dalam momen yang begitu sederhana namun mendalam.

Sebelum aku sempat meresapi sepenuhnya, suara Nevan tiba-tiba meledak, "Hadeh, ingin rasanya pergi ke Mars," keluhnya, mengundang tawa dari yang lain. Satu tarikan humor yang tiba-tiba mengubah suasana menjadi lebih ringan. Abhi, dengan nada godaan, ikut menimpali sambil menarik hoodie Nevan yang longgar. “Mending kita auh-jauh deh, biar gak makin ketara jones-nya.”

Suasana yang tadinya khusyuk perlahan mencair, tawa mereka terdengar di sekitar kami, membawa suasana lebih santai. Tapi Keenan? Tatapannya tetap sama, hangat dan tak teralihkan, seakan segalanya yang lain hanyalah latar belakang yang tak penting.

Di bawah langit yang berhiaskan bulan, kata-katanya tadi masih bergema di dalam hatiku. Aku menunduk, berusaha meredam rasa malu yang memuncak, tapi bayangannya tetap ada, menghantui pikiran.

Aku tahu, malam ini akan tersimpan lama dalam ingatan, seperti bulan di langit yang tak pernah gagal mengingatkan kita akan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. Dan mungkin, seperti cahaya bulan yang menyelinap ke dalam, kata-kata Keenan akan tetap tinggal, hangat dan lembut, meski malam sudah berakhir.

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 7)

    “E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 6)

    Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 5)

    Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 4)

    Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 3)

    Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 2)

    Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status