Home / Lainnya / Ada Hantu Di Ujung Jalan / Misi Mencari Tahu Keinginan Jaka

Share

Misi Mencari Tahu Keinginan Jaka

Author: Jeanne Darc
last update Last Updated: 2025-08-12 06:45:19

Malam turun seperti tirai tebal yang menutupi cahaya sang mentari. Pohon-pohon di pinggir aspal tampak berdiri kaku, seperti saksi bisu yang tidak mau ikut campur. Lampu jalan berkelip pelan lalu padam satu- persatu, seakan malu menatap dunia arwah yang mulai beraktivitas.

Di antara gelap dan dingin, dua sosok duduk di atas genting, yang entah kenapa masih utuh meskipun sudah berusia puluhan tahun.

“Aku berpikir,” kata Dimas pelan.

Suaranya terdengar berat tapi santai, seperti guru olahraga yang santuy setelah ngopi.

“Kalau kamu masih tersangkut di sini, berarti ada sesuatu yang belum selesai saat kamu di dunia. Biasanya itu adalah sebuah keinginan.”

Jaka menyandarkan diri ke dinding depan lantai dua, sambil menatap jalan tempat tubuhnya dulu terguling.

“Keinginan... apa, ya? Apa karna ingin masuk PTN? Atau ingin viral? Tapi, hidupku di dunia sangat berantakan, jadi aku bukan tipe orang yang ambisius.”

“Kadang semua itu bukan soal ambisi. Bisa jadi soal... barang, makanan atau…. Cinta...”

“Barang? Makanan? Cinta?” ucap Jaka sambil menoleh kearah Dimas.

Dimas mengangguk.

“Kamu pasti pernah merasa pengen banget punya sesuatu. Tapi enggak kesampean. Nah, energi keinginan itu yang menarik kamu tetap ada disini. Kayak lem cap iblis.”

“Jangan-jangan aku gentayangan cuma gara-gara nyesel enggak beli headset baru,” gumam Jaka.

“Bisa jadi! Yuk, aku ajak kamu ke hantu yang lebih peka. Dia itungannya senior disini. Dulu sempat jadi seleb dunia lain. Penunggu pohon. Sering dandan. Sering drama. Infonya juga tajam.” ucap Dimas sambil berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah Jaka.

“Kamu ngomongin siapa?” Jaka mengerutkan alis.

“Kamu liat aja.”

“Ok…” ucap Jaka sambil menerima uluran tangan Dimas.

Mereka berjalan menuju pohon besar yang berada tak jauh dari lokasi kecelakaan. Sebuah pohon beringin besar, daunnya rapat, dan akarnya menjuntai seperti rambut orang yang habis nangis semalaman. Udara di bawahnya dingin, bukan dingin seperti biasa, tapi dingin yang membuat bulu kuduk ingin cuti.

Tiba-tiba, terdengar suara tertawa yang melengking. Suara itu panjang dan melayang-layang ditelinga.

“Hihihihi... Dimas... Dimas... Tumben bawa temen... Biasanya kamu kabur kalau liat lipstick aku.”

Dari atas pohon, sosok bergaun merah jambu melayang turun. Rambut panjangnya bergerak seolah ditiup angin dari dimensi lain. Wajahnya pucat, senyumnya terlalu lebar dan ada sisa shimmer di kelopak matanya.

“Kenalin,” kata Dimas, “ini Mbak Kunti. Penjaga wilayah sini. Kadang-kadang MC acara bancakan astral.”

“Sopan banget sih kamu,” sahut Mbak Kunti yang matanya langsung tertuju ke Jaka. “Hmm... anak baru ya? Masih hangat... masih nyimpen sisa napas dunia.”

“Saya... Jaka. Baru... ya, gitu.” ucap Jaka sambil mengangguk pelan.

“Dia nyangkut di dunia ini,” potong Dimas. “Belum bisa masuk ke akhirat. Sepertinya karena ada yang belum kelar di dunia.”

Mbak Kunti melayang pelan mengelilingi Jaka. Sekali dua kali berputar lalu mendekat seperti mencium aroma samar.

“Wah,” katanya, “energi kamu emang kusut. Ada sesuatu yang kamu pengenin banget. Tapi belum sempat kamu dapetin. Aku lihat bayangannya... samar... tapi seperti…… barang mungkin?”

“Barang?” tanya Jaka pelan.

Mbak Kunti menyipitkan matanya. “Iya. Bisa jadi sesuatu yang kamu taksir diam-diam. Atau yang kamu cuma bisa liat dari jauh. Tapi enggak bisa kamu dapetin.”

“Aku...” Jaka menggigit bibir. “Aku bener-bener enggak inget.”

Mbak Kunti tersenyum kecil. “Coba deh, pikirin baik-baik, nak. Kadang yang bikin arwah nyangkut... bukan karena luka... tapi penyesalan yang kelihatan remeh.”

Jaka duduk termenung di bawah pohon beringin, memijit pelipis seperti mahasiswa yang selesai UTS ekonomi mikro.

“Aku udah berpikir keras, tapi otak aku seperti nasi setengah mateng, Mbak,” keluh Jaka.

Mbak Kunti, yang sekarang duduk melayang, kakinya goyang-goyang seperti di kursi Santai, mengangkat alis tipisnya.

“Enggak usah dipaksa. Kadang ingatan itu muncul dari rasa, bukan logika. Kayak bau... warna... atau benda yang pernah kamu sayang banget.”

Jaka mengerutkan dahi. “Benda? Benda apaan ya?”

“Sepasang mungkin,” gumam Mbak Kunti lirih, pandangannya menerawang ke ujung jalan yang gelap. “Bukan mata. Tapi... sesuatu yang biasa kamu pakai buat lari. Buat ngejar. Buat nendang mimpi kecil kamu.”

Dimas melirik Jaka. Tapi Jaka udah diam membatu seperti patung Liberty.

Dan tiba-tiba, pikiran Jaka seperti layar bioskop rusak yang kembali menyala, memori itu mulai muncul.

Jaka menarik napas pelan.

“Aku inget...”

Dia berdiri, walau pandangannya kosong tapi penuh muatan.

“Waktu kelas dua SMA, aku pengen banget punya sepatu futsal. Bukan yang mahal banget, tapi keren. Warnanya merah bata, dan ada garis hitam di samping. Aku nabung berbulan-bulan. Sampe – sampe, aku tahan enggak jajan es teh di kantin. Pas akhirnya kebeli, rasanya kayak jadi manusia paling keren se-kabupaten.”

Mbak Kunti melirik sekilas ke arah Dimas, lalu kembali menatap Jaka.

“Terus?”

“Terus... ada anak-anak di kelas. Yang emang sering ngebully aku. Mereka pura-pura ngajak main. Waktu aku taruh sepatu itu di pinggir lapangan, eh, malah mereka rusak. Dicoretin... dilempar ke got.”

Udara malam terasa semakin dingin. Daun - daun beringin berdesir pelan, seperti ikut menyimak.

“Sejak itu aku enggak pernah beli lagi. Aku pakai sepatu sekolah yang sobek.”

Mbak Kunti menyipitkan matanya.

“Kamu sayang banget sama sepatu itu. Enggak cuma soal gaya. Tapi karena kamu perjuangin. Itu simbol kecil dari kepercayaan dirimu yang pertama.”

“Dan waktu itu dihancurin...” bisik Jaka.

“Kamu enggak pernah ngelawan?” sambung Dimas.

“Karena aku takut,” gumam Jaka. “Aku mikir, percuma kalau aku ngelawan mereka.”

Mbak Kunti berdiri dengan gaun yang berayun pelan.

“Kadang, kita terikat bukan oleh luka... tapi oleh sesuatu yang seharusnya bisa bikin kita bahagia. Tapi malah dirampas oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Kalau kamu ngerasa sepatu itu penting... mungkin itu jawabannya.”

Dimas bersiul pelan. “Berarti misi kita jelas. Cari sepatu...”

Jaka mengangguk. Mata arwahnya berbinar, seperti ada satu percikan cahaya kecil yang mulai menyala.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ada Hantu Di Ujung Jalan   Misi Mencari Keinginan Jaka 2

    Sore itu, cahaya jingga menembus kaca buram di rumah tua peninggalan orang tua Dimas. Jaka duduk di atas sofa butut warisan zaman kolonial yang entah kenapa masih ada di ruang tamu rumah Dimas. Kakinya disilangkan, tangan bersedekap di dada, gayanya benar-benar seperti juragan kontrakan.“Mas, rumah sebesar ini isinya cuma kita aja. Enak juga ya hidup jadi hantu elite,” kata Jaka sambil menggeliat malas.Dimas berdiri di depan jendela, hanya diam. Tubuh jangkungnya membentuk siluet unik di balik kain penutup jendela yang goyang perlahan.“Eh, kamu kenapa? Dari tadi ngetem di jendela mulu. Nungguin gojek?” tanya Jaka sambil melirik.Dimas tidak langsung jawab. Tangannya berada didalam saku dan matanya yang kosong menatap halaman depan yang tampak sepi.“Aku kepikiran sesuatu,” katanya akhirnya. “Soal kamu.”

  • Ada Hantu Di Ujung Jalan   Kado Terindah

    Langkah Jaka dan Dimas menyusuri lorong pasar kali ini terasa berat. Tidak ada lagi semangat dan tidak ada lagi harapan. Sorotan kerlap kerlip lampu yang memanjang di market hantu, tidak lagi terasa hangat dan menyemangatkan. Yang tersisa hanya perasaan hampa di dada Jaka.“Sepatu terakhir, katanya…” gumam Jaka sambil menunduk. “Terakhir buat dia. Bukan buat aku...”Dimas mengangguk pelan sambil ikut termenung.“Tapi kamu sudah membuat arwahnya tenang dengan masuk akhirat, Jak. Itu sebuah prestasi yang luar biasa.”Jaka hanya mengangkat bahu.“Ya, tapi aku? Masih di sini. Masih... bergentayangan.”Mereka terus berjalan putusasa, melewati toko-toko aneh yang menjual barang-barang absurd seperti sisir rambut dari bayi tuyul, termos yang bisa membeli mimpi, sampai kacamata untuk

  • Ada Hantu Di Ujung Jalan   Lanjutkan Pertandinganmu

    Di tengah hiruk pikuk pasar hantu, Jaka terduduk lesu di depan toko. Tatapannya masih tertuju pada sepatu merah bata dengan garis hitam itu yang barusan telah terjual oleh hantu pemain futsal.Dimas berdiri di samping Jaka sambil menghela napas karena menyaksikan sesosok hantu yang putusasa oleh keadaan“Ya udah, Jak. Memang bukan rejeki kamu…”Lalu langkah ringan terdengar mendekati Jaka. Jaka mendongak ke arah suara itu. Hantu pemain futsal, kini berdiri tak jauh dari Jaka sambil memeluk kotak sepatu di dadanya. Wajahnya bingung dan sedikit bimbang, lalu mengusap ujung kotak itu pelan.“Kamu ingin sepatu ini?” tanya hantu pemain futsal itu.Jaka hanya menganggukkan kepalanya, memberitanda bahwa ia menginginkan itu.“Waktu dengar kamu merengek... aku te

  • Ada Hantu Di Ujung Jalan   Sepatu Futsal Harapan Jaka

    Atas petunjuk dari mamak Gombel, Dimas, Jaka dan mbak Kunti melanjutkan perjalannya menuju toko sepatu itu. Sepanjang lorong-lorong pasar yang aneh itu, mereka melewati banyak hal yang absurd, seperti ada lapak yang menjual topi dari rambut stress yang diambil langsung dari rambut para orang gila di rumah sakit jiwa, kios parfum dengan nama ‘Aroma Mantan’ dan pedagang kaki lima yang berjualan sandal jepit bekas tabrakan.Setelah melewati gang berkelok - kelok yang makin malam makin gelap, akhirnya mereka sampai di sebuah bangunan besar berbentuk sepatu raksasa. Di atas pintunya terdapat plang dengan neon berkedip-kedip bertuliskan:TOKO TAPAK AKHIR – Semua Sepatu Untuk Langkah TerakhirmuBegitu masuk, mereka semua melongo melihat bagian dalam toko itu. Toko itu ternyata sangat luas, disana berisi rak-rak sepatu yang membentang panjang sampai langit ke-tujuh. Ada sepatu dari berbagai jenis dan berbagai b

  • Ada Hantu Di Ujung Jalan   Menuju Market Hantu

    Begitu kata ‘sepatu’ keluar dari mulut Mbak Kunti, Dimas langsung membelalak lalu menjentikkan jari seperti baru bertemu pencerahan hidup.“Berarti misi kita jelas. Cari sepatu...”“Tapi harus cari dimana? Sepatu itukan udah rusak?” tanya Jaka sedikit sedih."Market Hantu!" seru Dimas dramatis dengan tangan yang menunjuk ke langit malam yang mendadak ada efek petir, padahal nggak ada awan.Jaka mengerutkan dahi. "Market apaan?""Market Hantu, bro. Surga belanjanya makhluk astral. Di sana semua ada, mulai dari barang, kenangan, sampai keinginan yang belum kesampaian."Belum sempat Jaka bertanya, terdengar suara klakson aneh dari kejauhan. Bunyinya seperti perpaduan suara kucing kawin, kentongan ronda dan sirene ambulans. Dari balik kabut, mun

  • Ada Hantu Di Ujung Jalan   Misi Mencari Tahu Keinginan Jaka

    Malam turun seperti tirai tebal yang menutupi cahaya sang mentari. Pohon-pohon di pinggir aspal tampak berdiri kaku, seperti saksi bisu yang tidak mau ikut campur. Lampu jalan berkelip pelan lalu padam satu- persatu, seakan malu menatap dunia arwah yang mulai beraktivitas.Di antara gelap dan dingin, dua sosok duduk di atas genting, yang entah kenapa masih utuh meskipun sudah berusia puluhan tahun.“Aku berpikir,” kata Dimas pelan.Suaranya terdengar berat tapi santai, seperti guru olahraga yang santuy setelah ngopi.“Kalau kamu masih tersangkut di sini, berarti ada sesuatu yang belum selesai saat kamu di dunia. Biasanya itu adalah sebuah keinginan.”Jaka menyandarkan diri ke dinding depan lantai dua, sambil menatap jalan tempat tubuhnya dulu terguling.“Keingi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status