MasukMalam turun seperti tirai tebal yang menutupi cahaya sang mentari. Pohon-pohon di pinggir aspal tampak berdiri kaku, seperti saksi bisu yang tidak mau ikut campur. Lampu jalan berkelip pelan lalu padam satu- persatu, seakan malu menatap dunia arwah yang mulai beraktivitas.
Di antara gelap dan dingin, dua sosok duduk di atas genting, yang entah kenapa masih utuh meskipun sudah berusia puluhan tahun.
“Aku berpikir,” kata Dimas pelan.
Suaranya terdengar berat tapi santai, seperti guru olahraga yang santuy setelah ngopi.
“Kalau kamu masih tersangkut di sini, berarti ada sesuatu yang belum selesai saat kamu di dunia. Biasanya itu adalah sebuah keinginan.”
Jaka menyandarkan diri ke dinding depan lantai dua, sambil menatap jalan tempat tubuhnya dulu terguling.
“Keinginan... apa, ya? Apa karna ingin masuk PTN? Atau ingin viral? Tapi, hidupku di dunia sangat berantakan, jadi aku bukan tipe orang yang ambisius.”
“Kadang semua itu bukan soal ambisi. Bisa jadi soal... barang, makanan atau…. Cinta...”
“Barang? Makanan? Cinta?” ucap Jaka sambil menoleh kearah Dimas.
Dimas mengangguk.
“Kamu pasti pernah merasa pengen banget punya sesuatu. Tapi enggak kesampean. Nah, energi keinginan itu yang menarik kamu tetap ada disini. Kayak lem cap iblis.”
“Jangan-jangan aku gentayangan cuma gara-gara nyesel enggak beli headset baru,” gumam Jaka.
“Bisa jadi! Yuk, aku ajak kamu ke hantu yang lebih peka. Dia itungannya senior disini. Dulu sempat jadi seleb dunia lain. Penunggu pohon. Sering dandan. Sering drama. Infonya juga tajam.” ucap Dimas sambil berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah Jaka.
“Kamu ngomongin siapa?” Jaka mengerutkan alis.
“Kamu liat aja.”
“Ok…” ucap Jaka sambil menerima uluran tangan Dimas.
Mereka berjalan menuju pohon besar yang berada tak jauh dari lokasi kecelakaan. Sebuah pohon beringin besar, daunnya rapat, dan akarnya menjuntai seperti rambut orang yang habis nangis semalaman. Udara di bawahnya dingin, bukan dingin seperti biasa, tapi dingin yang membuat bulu kuduk ingin cuti.
Tiba-tiba, terdengar suara tertawa yang melengking. Suara itu panjang dan melayang-layang ditelinga.
“Hihihihi... Dimas... Dimas... Tumben bawa temen... Biasanya kamu kabur kalau liat lipstick aku.”
Dari atas pohon, sosok bergaun merah jambu melayang turun. Rambut panjangnya bergerak seolah ditiup angin dari dimensi lain. Wajahnya pucat, senyumnya terlalu lebar dan ada sisa shimmer di kelopak matanya.
“Kenalin,” kata Dimas, “ini Mbak Kunti. Penjaga wilayah sini. Kadang-kadang MC acara bancakan astral.”
“Sopan banget sih kamu,” sahut Mbak Kunti yang matanya langsung tertuju ke Jaka. “Hmm... anak baru ya? Masih hangat... masih nyimpen sisa napas dunia.”
“Saya... Jaka. Baru... ya, gitu.” ucap Jaka sambil mengangguk pelan.
“Dia nyangkut di dunia ini,” potong Dimas. “Belum bisa masuk ke akhirat. Sepertinya karena ada yang belum kelar di dunia.”
Mbak Kunti melayang pelan mengelilingi Jaka. Sekali dua kali berputar lalu mendekat seperti mencium aroma samar.
“Wah,” katanya, “energi kamu emang kusut. Ada sesuatu yang kamu pengenin banget. Tapi belum sempat kamu dapetin. Aku lihat bayangannya... samar... tapi seperti…… barang mungkin?”
“Barang?” tanya Jaka pelan.
Mbak Kunti menyipitkan matanya. “Iya. Bisa jadi sesuatu yang kamu taksir diam-diam. Atau yang kamu cuma bisa liat dari jauh. Tapi enggak bisa kamu dapetin.”
“Aku...” Jaka menggigit bibir. “Aku bener-bener enggak inget.”
Mbak Kunti tersenyum kecil. “Coba deh, pikirin baik-baik, nak. Kadang yang bikin arwah nyangkut... bukan karena luka... tapi penyesalan yang kelihatan remeh.”
Jaka duduk termenung di bawah pohon beringin, memijit pelipis seperti mahasiswa yang selesai UTS ekonomi mikro.
“Aku udah berpikir keras, tapi otak aku seperti nasi setengah mateng, Mbak,” keluh Jaka.
Mbak Kunti, yang sekarang duduk melayang, kakinya goyang-goyang seperti di kursi Santai, mengangkat alis tipisnya.
“Enggak usah dipaksa. Kadang ingatan itu muncul dari rasa, bukan logika. Kayak bau... warna... atau benda yang pernah kamu sayang banget.”
Jaka mengerutkan dahi. “Benda? Benda apaan ya?”
“Sepasang mungkin,” gumam Mbak Kunti lirih, pandangannya menerawang ke ujung jalan yang gelap. “Bukan mata. Tapi... sesuatu yang biasa kamu pakai buat lari. Buat ngejar. Buat nendang mimpi kecil kamu.”
Dimas melirik Jaka. Tapi Jaka udah diam membatu seperti patung Liberty.
Dan tiba-tiba, pikiran Jaka seperti layar bioskop rusak yang kembali menyala, memori itu mulai muncul.
Jaka menarik napas pelan.
“Aku inget...”
Dia berdiri, walau pandangannya kosong tapi penuh muatan.
“Waktu kelas dua SMA, aku pengen banget punya sepatu futsal. Bukan yang mahal banget, tapi keren. Warnanya merah bata, dan ada garis hitam di samping. Aku nabung berbulan-bulan. Sampe – sampe, aku tahan enggak jajan es teh di kantin. Pas akhirnya kebeli, rasanya kayak jadi manusia paling keren se-kabupaten.”
Mbak Kunti melirik sekilas ke arah Dimas, lalu kembali menatap Jaka.
“Terus?”
“Terus... ada anak-anak di kelas. Yang emang sering ngebully aku. Mereka pura-pura ngajak main. Waktu aku taruh sepatu itu di pinggir lapangan, eh, malah mereka rusak. Dicoretin... dilempar ke got.”
Udara malam terasa semakin dingin. Daun - daun beringin berdesir pelan, seperti ikut menyimak.
“Sejak itu aku enggak pernah beli lagi. Aku pakai sepatu sekolah yang sobek.”
Mbak Kunti menyipitkan matanya.
“Kamu sayang banget sama sepatu itu. Enggak cuma soal gaya. Tapi karena kamu perjuangin. Itu simbol kecil dari kepercayaan dirimu yang pertama.”
“Dan waktu itu dihancurin...” bisik Jaka.
“Kamu enggak pernah ngelawan?” sambung Dimas.
“Karena aku takut,” gumam Jaka. “Aku mikir, percuma kalau aku ngelawan mereka.”
Mbak Kunti berdiri dengan gaun yang berayun pelan.
“Kadang, kita terikat bukan oleh luka... tapi oleh sesuatu yang seharusnya bisa bikin kita bahagia. Tapi malah dirampas oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Kalau kamu ngerasa sepatu itu penting... mungkin itu jawabannya.”
Dimas bersiul pelan. “Berarti misi kita jelas. Cari sepatu...”
Jaka mengangguk. Mata arwahnya berbinar, seperti ada satu percikan cahaya kecil yang mulai menyala.
***
Setelah hari itu, segalanya berubah. Ibu Jaka, yang selama ini larut dalam duka, akhirnya mengikhlaskan kepergian anaknya. Ia mulai membuka jendela-jendela yang lama tertutup, mebersihkan halaman yang dulu penuh dengan barang - barang dan menata kembali tiap ruang rumah.Wajahnya yang sebelumnya lesu kini kembali hangat. Langkah-langkahnya ringan dan senyum yang dulu hilang perlahan muncul lagi. Ia mulai memasak makanan kesukaan Jaka, menyiram tanaman, bahkan sempat tertawa kecil saat melihat bayangan dirinya di cermin seolah melihat dirinya yang dulu.Jaka melihat semua itu dengan perasaan campur aduk. Ia tersenyum, walau tak terasa matanya ikut basah.“Makasih ya, Bu. Kamu adalah ibu yang kuat,” bisik Jaka walau tak terdengar.Sementara itu, di sebuah gang sempit tampak Jaka, Dimas, dan Awan berdiri seperti orang hilang. Awan baru saja keluar dari tubuh anak
Suasana rumah Dimas sore itu seperti posko darurat. Terlihat ada semangat yang membara disana, kertas – kertas yang di penuhi strategi dan sisa pop mie di meja. Jaka duduk dengan kaki menggantung, memandangi jendela sambil gelisah. Dimas duduk di lantai sambil memegang catatan strategi yang dia tulis menggunakan spidol merah dan bekas struk pulsa.“Jadi, gini aja ya... Awan masuk ke tubuh orang, kita datangi ibu aku, lalu memberi tau yang sebenarnya, lalu berpamitan baik-baik. Selesai.” ucap Jaka menjelaskan sambil menggambar sketsa di udara.Dimas mengangguk pelan. “Iya... terdengar mudah. Kecuali satu hal.”“Apa?” tanya Jaka.“Bila yang dirasukin ternyata sedang boker atau orang gila.”Mereka saling berpandangan dan suasana menjadi hening sebentar.Kemu
Setelah kepergian Briga, rumah Dimas kembali sunyi. Tidak ada lagi suara derap langkah berat di lorong, atau suara teguran tegas dari sudut ruangan. Yang tersisa hanya aroma samar minyak kayu putih dan rasa dingin yang menggantung di udara, seolah kenangan Briga belum benar-benar pergi.Jaka duduk termenung di tangga belakang rumah. Di sampingnya, Dimas dan Awan hanya terdiam, sama-sama larut dalam pikiran masing-masing.“Kenapa rasanya sedih banget ya, padahal Briga udah tenang…” gumam Jaka sambil memainkan batu kecil di tangannya.Awan menatap langit yang dipenuhi cahaya bintang, lalu menjawab pelan,“Karena kita tahu… dia adalah seorang yang luar biasa, dia yang terkuat dari antara kita semua.”Jaka menunduk. Karna Jaka baru tahu sedikit tentang kehidupan Briga, maka ia bertanya,
Pertarungan sengit terus berlangsung. Di ruang tengah rumah Dimas yang kini lebih mirip dengan arena gladiator daripada tempat tinggal, meja makan sudah berjungkirbalik, karpet melayang-layang dan lampu gantung berkedip seperti lampu disko.Pasukan hantu makelar satu per satu mulai tumbang. Tuyul mutan terkena jebakan ‘Kalimat Nasehat dari Ibu’ dimana mereka langsung menangis dan memutuskan pensiun. Hantu awan menguap sendiri karena Awan melemparkan ‘Debu Pengingat Mantan’ yang sangat emosional. Sementara nenek bertongkat listrik malah sibuk bermain kartu remi dengan boneka kuntilanak karaoke.Kini hanya tinggal satu yaitu hantu makelar.Dia berdiri di ujung lorong gelap. Napasnya berat, mata merahnya melirik ke arah serbuk mimpi yang hanya beberapa langkah darinya.Briga melihat itu.“Awas!! Hantu makelar mau mengambil serbuk itu!!”
Mereka sudah bersiap. Rumah Dimas sudah seperti benteng pertahanan akhir zaman. Tapi dua hari telah berlalu dan tidak terjadi apa-apa.Tidak ada pasukan.Tidak ada teriakan.Tidak ada tangisan.Bahkan suara jangkrik pun tidak ada karena jangkriknya kabur duluan.Jaka mulai terlihat gelisah. Awalnya dia duduk tegak, memegang sapu terbang dengan gaya siap serang. Setelah itu, dia mulai tiduran di lantai sambil membuat origami dari kertas mantra.Siangnya, dia sudah mengubah jebakan-jebakan jadi mainan seperti puzzel. Sorenya, dia membuat sandiwara satu babak di ruang tamu.“Apa mereka nyasar ya?” gumam Jaka sambil makan kerupuk angin.Briga tetap tenang sambil duduk di depan pintu dengan posisi meditasi.“Ini yang berbahaya, Jak. Diam-diam meresahkan.”
Setelah mereka berhasil kembali dan mendapatkan serbuk mimpi, suasana sedikit terlihat aneh. Dimas sering duduk di pojok ruangan sambil memeluk lutut dan matanya menatap kosong ke arah dinding.“Dim, kamu kenapa sih?” tanya Jaka sambil menyemprotkan minyak angin ke betisnya sendiri.Dimas menghela napas lalu berkata, “Sebelum aku masuk ke lubang hitam, aku melihat dia…”“Dia siapa?” tanya Awan pelan.“…hantu makelar,” jawab Dimas lirih.Ruangan menjadi sunyi.“Dia menatapku. Tatapannya… seperti menanam sesuatu di kepalaku. Seperti… menempel sebuah tanda.”Briga berdiri dan menepuk bahu Dimas, “Tenang. Tidak ada apa-apa. Kalau dia mau ngapa-ngapain kamu, pasti kamu sudah jadi semur jenglot dari tadi. Tatapan hantu makelar tuh emang seperti itu







