LOGINJaka terpaku akan sosok tinggi besar yang berdiri tepat di depannya. Sosok itu berwajah pucat seperti bule yang kurang tidur. Sosok itu tampak menatap Jaka lekat-lekat. Terlihat juga bahwa sosok itu berjalan pincang dan terdengar seperti menyeret pelan, tapi menimbulkan getaran horor di hati Jaka.
“A-aku... aku juga sudah melihat kamu. Maksudnya, barusan... baru saja...” kata Jaka sambil mundur sedikit demi sedikit seakan mau lari.
Sosok itu tidak menjawab. Ia hanya menatap dengan kepala yang agak miring seperti orang bingung atau lebih tepatnya seperti ada yang rusak di bagian engsel lehernya.
“A... aku hanya numpang lewat. Swear…” ucap Jaka sambil mendekatkan jari kelingkingnya. Lanjutnya, “Aku enggak berniat ngerecokin kamu. Enggak berniat maling juga. Aku enggak berniat ngapa-ngapain kok...”
“Tenang saja,” kata sosok itu akhirnya dengan suara pelan tapi berat. “Aku cuma pengen bicara.”
Jaka melotot.
Lho... suaranya nggak seperti hantu-hantu di TV.
Kok malah kalem?
Tapi... bukannya ini hantu rumah kosong yang rumornya serem itu ya?!
Yang kata tetangga pernah bikin orang kesurupan cuma gara-gara menengok jendelanya?!
“Kamu... siapa?” tanya Jaka dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Sosok itu diam sejenak.
“Nanti juga kamu tahu.”
Jaka makin merinding mendengar jawaban itu.
Waduh, jawabannya misterius banget. Beneran hantu jahat kayaknya.
“Kamu yang selama ini... suka muncul di jendela, ya? Yang buat warga enggan lewat sini karena ketakutan?”
Sosok itu mengerutkan kening.
“Apa?”
“Yang suka muncul di jendela situ tengah malam? Yang kata orang matanya bisa berputar 360 derajat seperti baling – baling bambu?”
Sosok itu semakin mendekat, namun langkahnya masih ganjil.
“Kamu kebanyakan denger cerita.”
Jaka langsung mundur terbirit, tapi naas ia menabrak pagar dan jatuh tersipu.
“Eh... iya sih. Ada benernya. Tapi tetep aja! Gimana kalau kamu sebenernya hantu jahat? Yang hanya pura-pura baik, terus tiba-tiba... BLEK! Nelen aku bulat-bulat?”
Sosok itu tertawa pelan.
“Aku udah lama di sini. Kalau aku hantu jahat, harusnya dari dulu aku menyakiti orang.”
“Kalau begitu... kenapa kamu nyamperin aku?” tanya Jaka masih curiga.
“Karena kamu tampak beda,” katanya. “Kamu... bukan hantu yang biasa aku lihat disekita sini.”
“I…. iya…. Aku memang anak baru…” jawab Jaka sedikit nyengir.
Sosok itu mendekat satu langkah lagi. Jaka langsung reflek mundur dua langkah, namun lagi – lagi kepentok pagar.
“Tenang. Aku nggak akan menyakiti kamu,” katanya mencoba meyakinkan.
“Yap, itu yang biasa dikatakan penipu di film-film sebelum mereka ngegigit dan menghancurkan kepala orang,” gumam Jaka yang lebih ke diri sendiri.
Sosok itu berhenti. Lalu mengangkat satu tangannya dengan gerakan yang lambat dan kaku, seperti boneka yang baru belajar yoga.
“Aku... Dimas.”
Jaka langsung membeku.
“Di-Dimas?” suaranya menyangkut di tenggorokan.
Dimas mengangguk.
“Betulkan? Yang katanya bisa mengilang lalu muncul di ujung jendela?! Yang pernah bikin bu RT tempatku jatuh pingsan gara-gara ngeliat kamu di halaman rumah ini?!”
Dimas menghela napas.
“Ah… iya…. Tapi tidak seperti yang diceritakan orang-orang. Aku lagi cari kelerengku yang jatuh dari jendela kamar.”
Jaka melongo mendengar pengakuan itu. Separuh jiwanya serasa ingin kabur, separuhnya lagi ingin mengajak selfie bareng karena Jaka merasa seperti ketemu seleb di dunia hantu. Tapi Jaka tetap berjaga-jaga, matanya awas ke segala sudut. Siapa tahu Dimas benar hantu yang jahat dan bisa menelan Jaka.
Dimas menatap Jaka lama.
Jaka masih berdiri setengah siap kabur, tapi Dimas tidak bergerak atau pun menyerang. Atau bahkan melet ke Jaka. Juga mengeluarkan belatung dari mulut seperti rumor-rumor yang beredar dulu.
Hingga situasi terasa canggung setebal harapan orangtua, Jaka menggerutu pelan,
“Yasudah deh... lagian kalau aku mau kabur, aku juga enggak tau mau ke mana…”
Dimas mengangguk pelan.
“Jadi... kenapa kamu bisa ada di sini?”
“Ehm... aku meninggal karena kecelakaan. Dijalan depan itu. Terus...niatnya aku kerumah Malaikat Azrael buat masuk ke pintu akhirat. Tapi saat ketemu dengan Malaikat Azrael, dia bilang aku belum bisa masuk akhirat.” sambil ngusap tengkuknya.
“Kenapa?” tanya Dimas sambil menaikkan alis.
“Nah itu dia masalahnya!” Jaka mendadak semangat karena merasa ada yang mau mendengarkan keluh kesahnya selama menjadi hantu. “Aku juga enggak tahu. Malaikat Azrael hanya berkata kalau aku masih punya keinginan duniawi yang membuat aku terperangkap disini. Tapi aku disuruh mencari tahu sendiri. Ingatan aku meninggal aja udah samar – samar, gimana mencari tahunya coba?!”
Dimas terdiam setelah mendengar sebuah alkisah dari Jaka. Tapi matanya, yang tadi membuat Jaka hampir pipis gaib, kini terlihat seperti mengerti dan memahami perasaan Jaka.
“Aku tahu rasanya jadi kamu,” katanya pelan. “Terjebak dan bertanya – tanya kenapa belum bisa pergi dari sini.”
“Kamu juga...?” tanya Jaka sambil menoleh penasaran.
Dimas mengangguk dengan wajah memelas.
“Kita bernasib sama...”
Jaka menatap Dimas lama. Ia masih sedikit merasa ngeri pada Dimas, tapi rasa itu mulai lumer dan tergantikan dengan rasa menenangkan. Seperti menemukan teman sekelas di alam barzakh.
“Terus... maksud kamu, kamu mau bantuin aku untuk mencari keinginan duniawi itu?”
“Kalau kamu berhasil pergi, siapa tahu bisa nego ke Azrael dan aku juga bisa ikut.”
“Hmm... make sense sih.” sambil mengangguk-angguk pelan.
Kedua mata mereka saling bertemu. Mereka saling menatap dalam hening. Lalu, Dimas mengangkat satu jari tangannya.
“Berarti, sekarang kita akan kerja sama kan! Jadi kita harus bikin janji.”
“Janji?” Jaka nyengir. “Kayak anak TK?”
Dimas mengulurkan kelingkingnya. “Ya. Tapi anak TK yang meninggal karena penasaran.”
“Oke deh, bro hantu.” sahut Jaka sambil tertawa pelan.
Ia menyambut jari kelingking Dimas dengan senyum lebar dan dua makhluk gentayangan itu mengikat janji dengan gestur paling suci menurut anak-anak yakni janji kelingking.
***
Rumah Azrael tidak berubah, masih tampak tenang, kokoh dan memancarkan aura yang sulit dijelaskan.Azrael menunggu di depan meja kerjanya dengan mengenakan jubah putih yang kali ini tampak lebih bersinar. Di tangannya, buku besar dari catatan kehidupan Jaka terbuka di halaman terakhir.“Kamu menepati janji, Jaka,” ucap Azrael. “Selamat datang... waktumu telah tiba.”Jaka menatap pintu besar yang bercahaya itu. Kali ini tidak ada keraguan lagi. Begitu melangkankan kaki ke ambang pintu, cahaya putih yang menyilaukan menyambutnya. Ia melangkah masuk perlahan, kenangan – kenangan masalalunya mulai bermunculan di pikirannya. Perjalanan yang cukup panjang, telah ia lewati dengan baik, hingga akhirnya, ia dapat memasuki dunia abadi.Cahaya itu bukan cahaya yang membuatnya terpaku, melainkan dunia yang terbentang luas di hadapannya. Terlihat hamparan pa
Malam itu, setelah melewati pertarungan yang besar dan penyelamatan Dimas yang melelahkan, Jaka dan Dimas duduk berdua di beranda rumah Dimas. Udara dingin membawa aroma tanah basah, dan tampak lampu jalan berkedip lembut seperti ikut menikmati suasana damai. Keheningan terasa menggantung disana, sampai akhirnya, Dimas menatap Jaka dengan serius.“Jak, aku mau tanya sesuatu…”“Apaan?”“Kenapa kamu enggak masuk ke pintu akhirat aja? Kenapa harus balik buat nolongin aku? dan pasti ada harga yang harus kamu terima, kan? Apa itu?”Jaka terdiam. Tangannya memainkan sudut kain sarung yang entah dari mana ia gunakan. Lalu, ia hanya menjawab sambil nyengir.“Enggak kok, karna emang belum siap aja… Masih pengen nongkrong sama kamu, tau.”
📍 Di Rumah DimasLangit malam tampak seperti biasanya, tidak ada signyal – signyal bahaya yang terpancar.Dimas membuka pintu rumahnya dengan santai, mengira segalanya telah kembali normal. Tanpa sesosok Jaka ataupun yang lainnya. Ia melepas jaket, menggantungnya di balik pintu yang tampak pakunya sudah copot sebelah. Langkah berpindah menuju dapur untuk mengambil air minum…Dan tiba – tiba….KRAAAKK!!Suara lantai kayu mencicit tajam, Dimas segera membalikkan badannya. Sepuluh pasang mata merah menatapnya dari ruang tengah. Bayangan-bayangan hitam, tubuh-tubuh berjas compang-camping, rambut panjang lepek, dan mulut menganga seperti mesin ketik rusak.“Selamat datang kembali... Dimas.”“Kami sudah menunggumu.”Hantu Makela
Malam itu di rumah Dimas suasana terasa sangat tenang. Udara dingin perlahan masuk melalui jendela yang setengah terbuka. Dimas duduk di pinggir tempat tidur sambil menatap langit malam, sementara Jaka bersandar di dinding sambil menatap kosong ke arah langit-langit.“Akhirnya…” ucap Jaka pelan.“Kita berhasil,” sahut Dimas.Lalu mereka diam beberapa saat. Di wajah Jaka tergambar sebuah kebahagiaan, tapi juga ada awan tipis yang menyelimuti matanya.“Aku seneng… banget…. tapi juga agak sedih, Dim.”“Sedih kenapa?”“Karena aku bakal ninggalin kamu sendirian di sini…”Dimas menatap Jaka.“Kamu enggak ninggalin aku, kok Jak. Kamu cuma pulang, ditem
Sinar matahari yang hangat menyelinap masuk melalui tirai jendela rumah berdiri di pinggir kota. Dokter Hadi yang terkena kilauan cahaya itu, perlahan membuka matanya. Tubuhnya terasa berat seperti baru bangun dari tidur puluhan tahun. Ia lalu duduk di sofa sambil memijit pelipisnya.Suasana seperti biasanya, hening.Tanpa ia sadari, terdapat hal yang terasa aneh di sekelilingnya. Rumah yang biasanya berantakan dan dipenuhi tumpukan sampah dan debu, kini tampak sangat bersih. Lantai yang tampak mengilap, foto-foto di rak yang kembali berdiri tersusun rapi dan tirai jendela yang terbuka seolah membiarkan cahaya pagi menyapa dengan lembut.Dokter Hadi berdiri perlahan melihat sekelilingnya. Kakinya melangkah pelan ke area ruang tengah dan pandangannya tertuju pada sebuah meja kecil di dekat rak sepatu.Sebuah catatan kecil yang ditempel di situ.Jangan lupa semir sepatu bila in
Setelah melihat isi dari buku tabungan dan sedikit menjamah serpihan masa lalu dokter Hadi, Jaka mendadak menoleh ke arah Dimas dengan ekspresi yang serius, tampak seperti seorang yang mau mengajak bisnis MLM.“Dim, ini penting banget.”“Apa?”“Kita butuh... duitnya.”Dimas memelototkan mata, “Hah?!”“Buat beli bahan sushi!” seru Jaka cepat, “Ini bukan untuk hura – hura kok, tapi buat kepentingan yang sangat mulia!”Dimas menatap dompet si dokter yang sudah tergeletak di meja.“Kalo yang ini... aku rasa, ga masalah, dia juga tidak akan keberatan.”Jaka segera meminta Dimas menuliskan daftar panjang seperti chef profesional yang sedang mempersiapkan







