Suara bentakan yang begitu kencang, terdengar menggema di dalam kamar mandi, membuat Arka dan juga Sasha saling menjauhkan diri satu sama lain.Tubuh Sasha bergetar, merasa bahwa hidupnya akan berakhir saat itu juga, karena suara bentakan tersebut berasal dari bathub dan itu dari Reno."Arka … kita—""Ssssttt." Arka meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, meminta Sasha untuk tidak panik terlebih dahulu.Begitu keduanya menoleh, seketika hembusan napas lega terdengar. Pasalnya, Reno sama sekali tidak sadar, bahkan tubuhnya masih setengah terkulai di bathtub kosong."Kalian … kalian menjauh dari milikku, jangan pernah ganggu milikku!" racau Reno, masih terpengaruh alam bawah sadarnya.“Menjauh dari milikku, dan jangan ada satu pun dari kalian … yang berani mendekati Tania.”Sasha membeku, kedua matanya terlihat bergetar saat mendengar racauan Reno tentang Tania. Namun, getaran dalam sorot mata Sasha bukan lagi sesuatu yang mengandung rasa sakit dan penderitaan seperti biasanya, mela
Sasha sontak terlonjak kaget. Dengan tergesa ia menyelesaikan mandinya, mengambil handuk dan cepat-cepat mengenakan pakaian rumah seadanya. Jantungnya berdetak kencang, firasat buruk menekan dada.Begitu ia membuka pintu kamar mandi, pemandangan di hadapannya membuat napasnya tercekat. Reno tergeletak di lantai, separuh tubuhnya jatuh dari sisi ranjang. Kakinya menyenggol gelas minum yang ada di atas nakas hingga pecah berantakan di lantai, airnya menyebar, dan beberapa serpihan kaca berkilau terkena cahaya lampu kamar.“Mas Reno!” Sasha berteriak panik, berlari menghampiri suaminya. Ia mengguncang tubuh Reno yang tampak lemas, wajahnya pucat, dan mata masih terpejam. “Mas, bangun!”Namun, tak ada respon selain helaan napas berat bercampur aroma alkohol yang menusuk. Sasha berdecak kesal karena ia mulai mual dengan aroma alkohol yang menguar dari mulut suaminya.“Kenapa bisa jatuh gini sih, Mas? Tadi bukannya ka
Arka menegang saat mendengar seseorang bertanya dibelakangnya, hingga membuat ia berbalik dengan hati-hati. Namun, saat melihat siapa yang bertanya, Arka seketika menghembuskan napas lega."Kenapa? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Sasha, seraya meletakkan tasnya di atas sofa tunggal, yang letaknya tak jauh dari meja rias di kamarnya.Sasha sama sekali tidak berani menatap Arka. Kejadian beberapa beberapa waktu lalu antara dirinya bersama Arka, berhasil membuatnya merasa canggung."Aku cuma mau cek keberadaan kamu. Aku pikir, kamu sudah pulang duluan," jawab Arka, lalu sedikit mendekat ke arah Sasha yang terlihat kikuk di depannya.“A-aku ... aku jelas belum pulang. Kamu pergi duluan tadi, aku masih sama Mbak Susi dan—”Suara Sasha tertahan begitu saja, saat Arka semakin dekat ke arahnya, membuat Sasha perlahan mundur satu langkah.Arka tersenyum tipis saat melihat bagaimana Sasha yang sedikit takut padany
Pertanyaan itu membuat dunia seolah berhenti berputar. Arka terdiam, menatap Sasha dengan mata melebar. Beberapa detik hening, hanya terdengar detak jantung mereka yang berpacu kencang.Belum sempat ia kembali melanjutkan kalimatnya, Arka sudah meraih wajahnya dan menempelkan kening mereka. “Kalau kamu hamil, itu anak kita. Aku akan bertanggung jawab. Aku nggak peduli dunia mau bilang apa. Aku akan jaga kamu, aku akan jaga anak itu. Aku janji.”Air mata Sasha makin deras, jatuh tanpa bisa dibendung. “Kamu pikir gampang? Kamu pikir mama bakal terima? Kamu pikir orang-orang nggak akan ngomongin kita? Kenapa kamu mau mengkhianati mereka? Aku nggak mau jadi penyebab keluarga kalian hancur, Arka.”Arka mengangguk, matanya penuh keyakinan. “Biarin mereka ngomong apa. Selama kamu sama aku, aku nggak butuh yang lain. Kamu denger? Aku nggak butuh siapa-siapa lagi. Masalah mengkhianati, bukan aku yang berkhianat. Tapi mereka.&rd
Setiap detik, suara mereka bersahutan dengan hujan. Bukan jeritan, bukan tangis, melainkan desahan tertahan yang menggetarkan ruang sempit itu. Suara yang semakin lama semakin berani, semakin tenggelam dalam badai yang diciptakan oleh diri mereka sendiri.Di luar, dunia seakan hilang. Tidak ada lagi Ratna, tidak ada lagi rumah, tidak ada lagi status sebagai ipar. Yang tersisa hanyalah dua hati yang terlanjur terjerat, dua tubuh yang tak mampu lagi melawan.Mobil itu bergetar pelan, bukan hanya karena hantaman hujan deras, tapi juga karena badai yang tengah mereka ciptakan sendiri. Sasha menggigit bibirnya, matanya terpejam rapat seakan takut menatap kenyataan, di mana yang ia rasakan kali ini hanya sebuah mimpi seperti yang terjadi di setiap malamnya.Sementara Arka, ia semakin mendekap Sasha dengan erat, menelusuri setiap inci tubuh Sasha yang bergerak di atas pangkuannya, dengan tatapan penuh dahaga yang bercampur dengan luka bertahun-tahun
Awalnya terasa hati-hati, nyaris ragu, hanya sentuhan ringan yang membuat jantung mereka berdentum lebih kencang. Namun kelembutan itu justru membuat Sasha terperangkap. Sudah terlalu lama ia tidak merasakan kasih yang setulus ini, perlakuan yang begitu pelan namun dalam.Tanpa sadar, ia membalas. Tangan Sasha yang semula menggenggam baju Arka kini bergerak, merambat naik ke bahunya. Sementara Arka, yang awalnya hanya berniat memberi penghiburan, kehilangan kendali perlahan. Ciuman itu semakin dalam, semakin menuntut, seiring derasnya hujan yang mengguyur kaca mobil.Napas mereka beradu, panas tubuh berpadu dengan dinginnya pakaian basah yang melekat di kulit. Setiap detik membuat mereka kian lupa pada dunia luar.Sasha terengah di sela ciuman, tapi tidak menghentikan. “Arka …,” bisiknya, nyaris tertelan oleh bibir pria itu.Arka menahan tengkuknya dengan satu tangan, memperdalam ciuman itu seolah takut kehilangan kesempat