Sasha tidak pernah menyangka pernikahannya dengan Reno akan membawanya ke dalam pusaran intrik keluarga yang rumit. Warisan menjadi taruhan, dan ia adalah pion yang paling penting. Di tengah tekanan, Arka, teman SMA yang lama menghilang, kembali hadir. Sasha tidak tahu bahwa Arka selalu mencintainya dalam diam. Arka kembali karena wasiat terakhir ayahnya, tetapi hatinya terpanggil untuk melindungi Sasha dari niat jahat Ratna—ibu tirinya—dan Reno. Cinta masa lalu yang terpendam kembali bersemi, membawa Sasha dan Arka ke dalam hubungan terlarang yang penuh gairah. Sementara itu, Ratna berusaha menyingkirkan Sasha dengan segala cara, termasuk memvonisnya mandul. Di antara cinta yang membara, rahasia masa lalu, dan pengkhianatan yang menyakitkan, mampukah Sasha dan Arka memperjuangkan kebahagiaan mereka?
View More“Kalau perempuan tak bisa punya anak, apa gunanya menikah?”
Kalimat itu meluncur begitu saja bagaikan cambuk mematikan. Sendok di tangan Sasha berhenti di udara. Ia bisa merasakan beberapa pasang mata tengah menatap ke arahnya.
Sasha memejamkan matanya sejenak, mengambil napas sebanyak mungkin, dadanya kini terasa sesak. Kenapa mertuanya harus mengucapkan hal itu di waktu yang tidak tepat? Tak bisakah sedikit saja wanita itu menghargainya, menerima kenyataan bahwa bagaimanapun ia adalah istri dari anaknya?
Di hadapannya, Ratna—ibu mertuanya—duduk dengan tenang, tangannya menyeka mulutnya dengan tisu lalu meletakkannya di sisi piring. Wajahnya terlihat tenang dan datar.
"Dua tahun kamu menikah, tapi sampai detik ini kamu tidak bisa memberikan saya keturunan, saya curiga kalau kamu mandul.”
Lagi, perkataannya menampar Sasha lebih keras dan lebih menyakitkan. Matanya mulai memanas, rasa perih menjalar hingga tenggorokan. Tangisnya hampir pecah, namun sekuat tenaga ia menahannya agar air mata tak jatuh di hadapan mereka.
“Ma, aku tidak mandul,” lirihnya dengan suara bergetar.
Ratna mendengus, “Siapa yang tahu? Buktinya kamu tidak kunjung hamil.”
Setiap ucapan yang keluar dari mulut Ratna seperti jarum yang menancap satu per satu ke dalam jantung. Sasha menoleh ke arah Reno–suaminya–berharap ada sedikit pembelaan.
Namun, apa yang dilihatnya membuat ia semakin sakit, pria itu hanya duduk tenang, menyesap anggurnya dengan santai, seolah semua yang terjadi di meja makan hanyalah tontonan gratis.
“Ma, semua ada waktunya. Mungkin sekarang aku belum bisa hamil, tapi besok? Tidak ada yang tahu,” ucap Sasha berusaha membela diri.
Ratna tersenyum sinis bibirnya terangkat sedikit. “Sasha … wanita itu dilihat dari apa yang dia beri, bukan dari omong kosong yang belum tentu kapan bisa terjadi.”
Tatapannya kini beralih pada Arka, adik tiri Reno. Senyum tipis menghiasi wajah wanita itu. “Kebetulan Arka sedang ada di Indonesia, mungkin dia bisa memeriksa kesuburanmu … selagi ada kesempatan.”
Sasha terbelalak tak percaya dengan apa yang disampaikan oleh mertuanya, ucapannya telah melukai hatinya sebagai seorang wanita.
Di meja makan ini, harga dirinya dilucuti habis habisan, seolah Sasha bukan lagi seorang menantu tapi seperti sebuah aib yang pantas dipermalukan.
Sementara itu, Reno hanya bergeming di tempatnya. Wajahnya datar, seolah sikap yang dilakukan mamanya adalah sesuatu yang pantas. Bahkan ketika Sasha direndahkan di hadapannya, tak satu pun kata pembelaan meluncur dari bibir pria itu.
Arka yang sedari tadi diam perlahan mengangkat wajahnya, menatap mamanya dengan sorot mata yang sulit dijelaskan.
“Aku datang ke sini untuk makan malam dengan nyaman, bukan untuk mencampuri urusan rumah tangga orang. Seharusnya Mama tau ada hal yang tak sebaiknya dibahas di meja makan,” ujar Arka dingin.
“Arka, kamu tahu persis mama tidak suka dibantah.” Ratna meraih gelas di hadapannya, meneguk air dengan tenang sebelum kembali bersuara. “Lagipula, kamu tidak akan mengerti. Segala yang mama lakukan bukan tanpa alasan, semuanya demi mereka … dan demi menjaga martabat keluarga kita.”
Arka meletakkan tangannya di atas meja, kedua siku bertumpu mantap sementara jemarinya saling bertaut, hampir menyentuh dagu.
“Kalau demi martabat keluarga, seharusnya Mama juga tahu batasan,” ucapnya dingin.
“Arka!” bentak Ratna, netranya menatap tajam ke arah Arka. “Jangan mengajari mama soal batasan, karena mama lebih tau bagaimana cara menjaga keluarga ini.”
Ratna bangkit dari kursinya, tanpa menoleh sedikitpun, melangkah dengan anggun meninggalkan meja.
“Aku juga sudah selesai,” ucap Reno datar tanpa ekspresi, ia meletakan serbet di atas meja lalu pria itu melangkah pergi mengikuti mamanya. Tanpa menoleh, tanpa berkata, Reno meninggalkan Sasha begitu saja bersama Arka.
Satu ruangan bersama Arka membuat Sasha merasa kurang nyaman, interaksi di antara mereka, nyaris tidak pernah terjadi. Dan kejadian hari ini membuat Sasha tak punya muka lagi, wanita itu hanya menunduk menelan rasa sakit itu sendirian.
Namun, saat ia menunduk, pandangannya tanpa sengaja jatuh menatap foto keluarga yang tergantung di dinding. Di dalam foto tersebut, Arka terlihat sedikit berbeda, pria itu berdiri tegap menggunakan jas hitam, rahangnya terlihat tegas memberikan kesan dingin, matanya yang tajam seolah mampu menelanjangi siapapun yang menatapnya.
Sasha mengalihkan pandangannya, meskipun itu hanya sebuah foto, tapi … menatap Arka terlalu lama membuatnya merasakan sesuatu yang asing yang tak pernah ia rasakan bahkan ketika berhadapan dengan Reno. Darahnya berdesir hebat dan jantungnya berdetak cepat dari biasanya, aneh.
Sasha berdiri menghadap jendela, menatap langit malam yang kelam tanpa bintang. Acara makan malam tadi seharusnya menjadi momen hangat, sebuah kebersamaan yang meninggalkan kesan manis. Namun kenyataannya, meja itu justru berubah menjadi tempat untuk menghakiminya. Ironisnya, suaminya sendiri pun hanya diam, tak sekalipun membela.
"Aku mau keluar dulu. Kalau kamu ngantuk, tidur aja. Jangan tunggu aku pulang," ucap Reno datar begitu melangkah keluar dari kamar mandi.
“Tapi … kita baru saja pulang, Mas. Masa kamu mau keluar lagi?” Sasha menoleh, berjalan pelan ke arahnya.
“Aku ada urusan yang nggak bisa diabaikan. Menurutlah, Sasha. Jangan banyak protes,” ujar Reno seraya merapikan dasi di lehernya, kemudian meraih jas berwarna krem yang terlipat rapih di sandaran kursi. “Aku berangkat dulu, jangan lupa kunci pintu,” imbuhnya sebelum melangkah pergi.
Sasha menatap kepergian suaminya hingga punggungnya hilang dari balik pintu, lalu ia berjalan pelan menuju balkon kamarnya. Dari ketinggian, Sasha bisa melihat mobil suaminya melaju membelah jalanan malam.
Sasha menarik napas panjang, membiarkan angin malam menyapu wajahnya, wanita itu termenung sejenak, teringat kembali akan perkataan mertuanya yang memintanya untuk tes kesuburan, benarkah ia harus melakukannya?
Apalagi melakukannya dengan… adik suaminya sendiri?!
Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi pesan membuyarkan lamunannya. Sasha buru-buru merogoh saku piyamanya.
Sebuah nomor tidak dikenal.
[Aku Arka. Besok jam 10 datang sendiri ke tempatku. Ingat, jangan ajak siapa pun.]
“Arka,” gumamnya, matanya masih menatap layar ponsel.
'Untuk apa dia memintaku datang?' pikirnya. “Jangan-jangan ….” Sasha menutup mulutnya, tangannya mulai gemetar dan jantungnya kembali berdetak lebih kencang.
Pada akhirnya, Sasha tak bisa lagi menahan diri. Tangisnya pecah, dan ia menunduk, wajahnya bersembunyi di dada bidang Arka, berusaha meredam suara tangisnya. Arka bergeming membiarkan Sasha menangis melepas rasa sakit. Setelah merasa sedikit lega, Sasha mengangkat kepalanya, menyeka pipi dengan punggung tangannya. “Maaf …,” lirihnya, sesekali isakan kecil masih terdengar. ***Acara gala telah usai. Satu per satu tamu meninggalkan Hotel Grand Marella, hingga akhirnya hanya tersisa bayangan-bayangan yang bertebaran di lobi. Sasha pun melangkah keluar dan Arka berjalan beberapa meter di belakangnya. Sasha mempercepat langkahnya, terlepas dari apa yang terjadi malam ini, wanita itu hanya ingin pulang untuk menenangkan diri. Begitu melewati pintu menuju parkir bawah tanah, tangan besar menahanya, menyentuh pergelangan tangan. “Kita perlu bicara.” Sasha menoleh, Arka berdiri di depannya. Pria itu membuka pintu mobilnya, memberi isyarat. Sasha tidak menolak, dia masuk ke mobil Arka. “
Reno dan Sasha melangkah keluar dari ruangan Arka. Begitu mereka sudah berada di parkiran mobil, Reno tiba-tiba melepaskan genggaman tangannya dengan kasar.Sasha terhuyung sedikit, menatap suaminya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Mas ….” suaranya pelan nyaris berbisik.“Cukup, Sasha! Jangan bersandiwara di depanku!” bentak Reno.“Apa maksudmu, Mas? Sandiwara apa?”“Apa maksudku harusnya kamu sudah tau!” Reno menaikan nada bicaranya satu oktaf. “Sekarang aku minta penjelasan, penjelasan yang masuk akal bukan yang dimanipulasi dengan polesan kebohongan.”Sasha tertegun, jantungnya berdegup kencang. “Aku sungguh tidak mengerti maksudmu, Mas. Kebohongan apa yang kamu bicarakan?”Reno mendekat, sorot matanya dingin. “Jangan pura-pura polos, Sha! Aku tahu apa yang kamu lakukan di belakangku.”Reno mendorong Sasha hingga punggungnya membentur dinding basement. “Katakan! Katakan padaku apa yang kalian lakukan di dalam ruangan itu sebelum aku datang! Apa kamu menggodanya, hah?!”Sasha
Hari ini Sasha menjalani pemeriksaan lanjutan seperti yang sudah dijadwalkan sebelumnya, semalam Arka sudah mengingatkannya agar tidak sampai terlupa. Meski dalam hati ia tidak yakin, Sasha tetap meminta Reno menemaninya.“Mas, hari ini Arka mengundangku untuk melakukan pemeriksaan lanjutan, kamu ikut nemenin aku, ya!” ajak Sasha lembut. Tangannya terus mengaduk teh yang tersaji di meja, sedangkan Reno sibuk membaca koran.“Kamu berangkat dulu saja, kalau sempat, aku akan nyusul,” ucap Reno datar, matanya tetap tertuju pada koran di depannya.“Tapi, Mas ...,” lirih Sasha. Sendok di tangannya berhenti bergerak.“Apakah kamu tidak dengar Reno bilang apa?” Ratna tiba-tiba muncul, wanita itu duduk di samping Reno. “Reno itu orang sibuk. Kamu bisa berangkat sendiri tanpa merepotkan suami!”“Aku ….”Reno menurunkan korannya kasar dan melipatnya asal. “Sudahlah, Sasha, jangan rewel! Aku sibuk,” ketusnya. Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berlalu begitu saja, meninggalkan Sasha duduk te
Arka terduduk, menatap hasil tes yang jelas menyatakan: Sasha sehat, Reno tak mungkin jadi ayah biologis. Rahangnya mengeras, kemarahan memenuhi hatinya saat mengingat bagaimana mamanya menghina Sasha tanpa tahu kebenaran.Ia tahu pilihannya sama-sama berisiko. Diam, berarti membiarkan Sasha hancur oleh tuduhan. Bicara, berarti menelanjangi kelemahan kakaknya dan meruntuhkan martabat keluarga.Arka memijit pangkal hidungnya, napasnya berat. Hatinya ingin melindungi Sasha, tapi darahnya menuntut setia pada keluarga.***Sasha kini berada di ruang kerja mertuanya, tapi entah mengapa dia selalu merasa ada sesuatu yang aneh di keluarga ini. Apalagi saat melihat interaksi antara ibu dan anak di mana Ratna terlihat begitu berbeda cara memperlakukan Reno dan Arka.Namun, Sasha tidak ingin sembarangan, ia ingin mencari tau tentang Arka, serta mengapa pria itu seperti dianggap asing oleh keluarganya?Pandangannya menyapu setiap inci rumah mewah itu, berharap ia akan menemukan sesuatu yang bisa
Sasha terbangun dari tidurnya, matanya langsung melirik ke sisi ranjang, tapi ia tak melihat keberadaan suaminya, bahkan tempatnya pun masih rapih seperti tak tersentuh.“Apa semalam Mas Reno nggak pulang, atau dia berangkat kerja lebih awal?” Sasha bermonolog, ia mengulurkan tangan, mengambil ponsel yang berada di nakas.Sasha menatap layar ponsel yang kini menampilkan nomor suaminya. Ia menekan tombol panggil, lalu mendekatkan ponsel ke telinga. Nada sambung terdengar berulang kali, namun tak juga ada jawaban.“Apa dia benar-benar sesibuk ini sampai tak bisa dihubungi?” Sasha mendesah pelan, lalu meletakan ponselnya. Sampai akhirnya ia teringat jika ia mempunyai janji temu dengan Arka.Sasha segera bersiap, ia sudah memantapkan hati, kenyataan apapun yang akan terjadi, ia akan hadapi. Setelah membersihkan diri, Sasha berdiri di depan cermin, memoles wajahnya dengan bedak tipis dan memberi sedikit rona pada bibirnya, agar dirinya tampak lebih segar.Sebelum Sasha pergi, ia berpapasan
“Kalau perempuan tak bisa punya anak, apa gunanya menikah?”Kalimat itu meluncur begitu saja bagaikan cambuk mematikan. Sendok di tangan Sasha berhenti di udara. Ia bisa merasakan beberapa pasang mata tengah menatap ke arahnya.Sasha memejamkan matanya sejenak, mengambil napas sebanyak mungkin, dadanya kini terasa sesak. Kenapa mertuanya harus mengucapkan hal itu di waktu yang tidak tepat? Tak bisakah sedikit saja wanita itu menghargainya, menerima kenyataan bahwa bagaimanapun ia adalah istri dari anaknya?Di hadapannya, Ratna—ibu mertuanya—duduk dengan tenang, tangannya menyeka mulutnya dengan tisu lalu meletakkannya di sisi piring. Wajahnya terlihat tenang dan datar."Dua tahun kamu menikah, tapi sampai detik ini kamu tidak bisa memberikan saya keturunan, saya curiga kalau kamu mandul.”Lagi, perkataannya menampar Sasha lebih keras dan lebih menyakitkan. Matanya mulai memanas, rasa perih menjalar hingga tenggorokan. Tangisnya hampir pecah, namun sekuat tenaga ia menahannya agar air
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments