Rindu, hari ini Zahra merasakan rindu akan kedua orang tuanya. Sudah cukup lama dia tak bertemu dengan Mama Nadia maupun Ayah Bagas. Mereka hanya berhubungan melalui panggilan video. Kesibukannya membuatnya tidak memiliki banyak waktu. Beruntung kedua orang tuanya memahami peranan baru. Tadi, dia baru saja melakukan panggilan video bersama Bunda Nadia. Banyak yang mereka bicarakan, termasuk resep menu makanan yang biasa Bunda Nadia buat saat di rumah. Selain itu, Zahra juga banyak bertanya tentang cara merawat bayi yang baik dan benar. Setelah selesai, Zahra bergegas menuju bawah. Senyumnya langsung mengembang saat melihat Nazira berada di tempat tidur goyangnya sambil bermain dengan Bi Jum. “Masyaallah, anak Buna lagi main?” tanya Zahra, membuat Bi Jum yang asyik bermain menolehkan kepala. Bi Jum mengulas senyum melihat nona mudanya. “Hallo Buna, Nazira pinter loh hari ini,” ujarnya sambil menirukan suara anak kecil. “Zira hari ini nggak nangis waktu Buna belajar,” lanjutnya membu
“Loh Mas, kamu sudah pulang?”Seruan itu membuat Mama Tania dan Gibran tersentak. Lelaki itu menegakkan tubuhnya, menatap Zahra dan Mama Tania bergantian. Dengan memperlihatkan ekspresi datarnya, Gibran tengah menyembunyikan sedikit rasa panik. Dia takut baik Zahra atau Mama Tania menuduhnya yang tidak-tidak, misalnya memperhatikan istri secara diam-diam.“Hm,” jawab Gibran sangat singkat.“Kok Mama nggak dengar suara mobil kamu?” Mama Tania mengerutkan kening. “Kamu sudah lama?”Gibran sedikit gelagapan mendapatkan tembakan pertanyaan itu. Meski begitu, Gibran tetap mempertahankan ekspresi datarnya. Sungguh, Gibran tidak ingin semua orang salah paham.“Belum.”Gibran menjawab sambil lalu, memilih mengambil minum. Setelah itu, Gibran melenggang pergi begitu saja. Dengan balutan kerja lengkap, Gibran mulai menapaki setiap anak tangga. Jujur saja hari ini dirinya sangat lelah. Ada klien yang sengaja mempersulit hingga belum ada kata setuju di antara dua perusahaan.“Kamu nggak menyiapka
“Selamat pagi cucuma Oma.”Mama Tania yang baru saja membuka mata langsung disambut suara menggemaskan dari Nazira. Bayi mungil itu ternyata sudah membuka mata sambil menggerak-gerakkan tangannya, seolah ingin meminta Mama Tania membangunkan dirinya.“Masyaallah, cucu Oma pintar sekali,” pujinya saat melihat bayi mungil itu bangun lebih dulu daripada dirinya.Wanita paruh baya itu memilih mengajak Nazira berbicara. Setiap kata yang keluar dari mulut Tania, selalu Nazira balas dengan suara khas bayi yang menggemaskan. Respon itu membuat Tania tersenyum bahagia dan bangga. Zahra berhasil menerapkan kebiasaan baik untuk Nazira.“Kita mandi dulu ya, Sayang. Habis itu temani Oma masak di dapur. Okey?”Tania menggendong Nazira. Dibawanya bayi mungil itu di tempat bak mandi kecil. Tangannya yang sudah terlatih sejak lama, membuatnya tidak kagok, meski pengalaman itu terjadi dua puluh tujuh tahun lalu.Sesekali, Tania mengajak Nazira berbicara. Dia ingin membiasakan Nazira mendengarkan banyak
“Pagi sayangnya Buna, Pagi Mah, Pagi Bi Jum,” sapa Zahra dengan ceria sesaat menuruni tangga.Dia wanita paruh baya yang ia sapa justru saling tatap. Seulas senyum geli terlihat di wajah keduanya. Bahkan, Bi Jum dan Mama Tania sampai melipat kedua bibirnya ke atas untuk menahan tawa. Sayangnya, tingkah keduanya disadari oleh Zahra.“Kalian kenapa?” tanya Zahra. Ia menatap Bi Jum dan Mama Tania bergantian. Kepalanya sampai miring untuk melihat dengan cermat.Untuk sesaat, Zahra merasa ada yang salah dengan penampilannya hingga membuat Bi Jum dan Mama Tania menahan tawa. Kepalanya sontak menunduk, memastikan lagi apa ada yang salah dengan penampilannya. Dia juga mengambil ponsel dan membuka fitur kamera. Zahra sampai membuka fitur kamera dan memilih kamera depan untuk mengaca.Hanya saja, dia tidak mendapatkan apa pun. Zahra merasa penampilannya tidak aneh. Riasan wajah yang ia gunakan juga tidak berlebihan. Lalu, mengapa dua wanita di depannya ini menahan tawa. Dan, tunggu … sekarang ke
Gedung tinggi di kawasan pusat berdiri dengan kokoh. Aktivitas para karyawan terlihat begitu jelas. Cakra Mas Development, merupakan perusahaan yang bekerja di berbagai bidang, terutama hotel dan apartemen. Siapa yang tak kenal dengan pemimpinnya, Gibran. Nama lelaki itu sudah terdengar di kancah nasional.Kini, lelaki itu tengah duduk di ruangan kerjanya. Ruangan dengan desain mewah dan elegan itu terlihat sangat tertata. Ruangan itu didominasi oleh warna monokrom, warna yang menjadi kesukaan mendiang istrinya.Gibran masih setia memejamkan mata. Kedua tangannya menyatu dengan kepala menengadah. Ada hal yang mengganggu mengganggu dirinya saat ini “Enyahlah!” perintah Gibran setelah mengembuskan nafas panjang.Tawa itu, Gibran tidak suka melihat tawa itu. Bukan, lebih tepatnya Gibran tidak suka siapa yang menjadi pemicu tawa itu, Daffa dan Zahra. Ya, dua nama itu yang sejak tadi mengganggu pikirannya.Dia masih ingat saat keduanya tertawa lepas, setelah Zahra keluar dari mobilnya. Mun
Teriknya matahari tak menyurutkan niat baik Zahra. Kini, wanita itu sudah berada di halaman perusahaan milik suaminya. Senyum cerahnya semakin mengembang saat melihat kotak makan siang di tangannya dan supir taksi yang mengantarnya.“Minta tolong bawakan ke dalam ya, Mas,” pinta Zahra pada driver taksi online yang ia pesan.“Siap Mbak.”Zahra jalan terlebih dahulu, menunjukkan jalan yang akan dilalui. Saat sampai di front office, dia melihat beberapa karyawan menyapa. Ini bukan kali pertama dirinya datang ke kantor Gibran.Sebelumnya, dia sudah pernah ke sini untuk mengantar Humaira mengantarkan makanan. Kini tugas mengantarkan makanan siang untuk Gibran, ia ambil alih. Semoga saja Humaira tidak marah tugasnya ia ambil alih sekarang.“Ib—”Zahra langsung meletakkan jari telunjuk di depan mulut saat Bunga —resepsionis— ingin memanggil dan menghampiri dirinya. Dari banyaknya karyawan yang bekerja di sini, hanya Bunga dan Devan yang mengetahui Zahra sudah menjadi istri Gibran. Bunga meru
Rembulan bersinar terang hari ini. Bintang-bintang setia menemaninya, membuat Zahra yang ada di balkon kamar Nazira tersenyum senang. Dia tengah menikmati keindahan malam dengan Nazira dalam gendongannya, tentu saja dia memberikan selimut tebal untuk anaknya.Sepertinya, bayi itu masih belum mengantuk karena baru saja bangun dari tidurnya. Zahra yang memang tidak memiliki pekerjaan setelah makan malam sangat senang. Kalau bukan Nazira yang menemani dan menghiburnya, siapa lagi? Tidak mungkin kalau Gibran.Mengingat sampai detik ini belum berhasil mendapatkan hati Gibran, membuat Zahra tersenyum miris. Usia pernikahan mereka sudah memasuki dua bulan, tetapi seperti tidak ada perkembangan berarti. Yang membedakan hanya Gibran tidak irit bicara lagi, seperti sebelumnya.“Buna harus melakukan apa lagi, Nak?” tanya Zahra sambil menatap mata bulat milik Nazira. “Buna merasa sudah melakukan semua cara agar bisa mendapatkan hati ayah kamu. Namun, sampai saat ini belum ada hilal sama sekali.”
Rembulan bersinar terang hari ini. Bintang-bintang setia menemaninya, membuat Zahra yang ada di balkon kamar Nazira tersenyum senang. Dia tengah menikmati keindahan malam dengan Nazira dalam gendongannya, tentu saja dia memberikan selimut tebal untuk anaknya.Sepertinya, bayi itu masih belum mengantuk karena baru saja bangun dari tidurnya. Zahra yang memang tidak memiliki pekerjaan setelah makan malam sangat senang. Kalau bukan Nazira yang menemani dan menghiburnya, siapa lagi? Tidak mungkin kalau Gibran.Mengingat sampai detik ini belum berhasil mendapatkan hati Gibran, membuat Zahra tersenyum miris. Usia pernikahan mereka sudah memasuki dua bulan, tetapi seperti tidak ada perkembangan berarti. Yang membedakan hanya Gibran tidak irit bicara lagi, seperti sebelumnya.“Buna harus melakukan apa lagi, Nak?” tanya Zahra sambil menatap mata bulat milik Nazira. “Buna merasa sudah melakukan semua cara agar bisa mendapatkan hati ayah kamu. Namun, sampai saat ini belum ada hilal sama sekali.”Z