Adik Ipar Pengganti Istri

Adik Ipar Pengganti Istri

Oleh:  Intan Tanzza  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
4 Peringkat
76Bab
2.7KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

"Menikahlah dengan suamiku dan jadi ibu untuk anakku." Permintaan itu membuat Hana Zahra Alwani diam membeli. Ia tak pernah mengira saudara kembarnya meminta hal seperti itu. Sang kakak memang kerap didera pemikiran negatif akibat penyakitnya yang semakin lama menggerogoti tubuh. Ketakutan itu semakin nyata saat beberapa hari yang lalu, mereka baru dikaruniai putri kecil cantik. Satu lagi rahasia yang tidak pernah dibagi pada siapa pun, Zahra menyimpan perasaan pada kakak iparnya. "Mas tidak akan menikah dengan perempuan lain, termasuk Zahra." Hanya saja, penolakan itu menjadi pukulan bagi Zahra. Ia seperti tak punya kesempatan, padahal ia belum menjawab permintaan sang kakak. Apakah Zahra akan menerima pernikahan sang kakak? Sanggupkah dia melihat keponakan yang ia asuh dengan sepenuh hati di rawat oleh orang lain? Bisakah dia meruntuhkan tembok besar bernama Gibran?

Lihat lebih banyak
Adik Ipar Pengganti Istri Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Angelina Onga
saya sudah kali isi koin sdh dibayar, malah tanggapan nya gagal membeli tetapi sdh dibayar
2024-03-11 10:32:45
0
user avatar
Intan Tanzza
Halo, gimana nih sama ceritanya?
2024-02-20 23:58:49
0
user avatar
Intan Tanzza
Hai, salam kenal. aku Intan Tanzza. Gimana nih pendapat kalian tentang buku ini? ini pertama kalinya aku nulis di sini. jangan lupa kasih kritik dan masukan ya... Terima kasih.
2023-12-30 00:45:58
0
user avatar
Intan Tanzza
Hallo, babnya masih aku perbaiki ya. Yang sudah membaca, bisa refresh dulu supaya revisinya ada. Terima kasih...
2023-12-30 00:38:25
0
76 Bab
Bab 1 | Takdir Tuhan
"Ceraikan aku, Mas." Permintaan itu bagaikan minyak yang memperbesar kobaran api. Nazhira dan Gibran yang sejak tadi diam dengan pikiran dan emosi masing-masing, mematung. Mereka tidak percaya kalimat itu keluar dari mulut Humaira yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit. “Omong kosong apa itu, Humaira?!” tanya Gibran dengan tak suka. Ia merasa permintaan Humaira sangat tidak masuk diakal. Gibran menatap istrinya dengan lekat. Bagaimana bisa Humaira melontarkan permintaan yang bahkan tak pernah terpikirkan oleh dirinya. Perceraian? Omong kosong. Humaira benar-benar berbicara omong kosong dengan minta diceraikan ketika keadaannya tidak stabil dengan fakta baru saja melahirkan putri kecil di tengah pernikahan mereka. Tidak jauh berbeda dengan Ghibran, Nazhira yang memang tengah menunggu sang kakak tak kalah terkejutnya. Selama ini, Nazhira melihat pernikahan kakak kembarnya baik-baik saja, tidak ada masalah yang terlihat. Baiklah jika memang ada pertengkaran di antara keduanya.
Baca selengkapnya
Bab 2 | Hanya Pengganti
"Tanggal kematian, 05 November 2023 pukul 16.00 WIB" Ucapan itu membuat semua keluarga luruh sekitar. Tangis kesedihan pecah. Tidak ada yang menyangka jika Humaira akan pergi. "Dokter bohong! Istri saya tidak mungkin pergi." Gibran melangkah mendekat. Lelaki itu menatap sang istri yang memejamkan mata, lalu memegang bahu dan menggoyangkan pelan. Lelaki itu tak putus asa untuk memanggil sang istri, berharap panggilan itu mendapatkan respon. Sayang, harapan Gibran tidak terjadi. Istrinya benar-benar telah tiada. "Humaira …." "Zahra, bisa tolong ke dapur sebentar?" Pertanyaan itu berhasil menyadarkan Zahra pada lamunan. Ingatan menyakitkan di rumah sakit itu tidak bisa hilang dari memori otak Zahra. Tidak ada yang tahu Takdir yang Tuhan gariskan ke depannya. Baik jodoh, maut, kebahagiaan, itu semua hanya takdir Tuhan. Mau marah? Tidak bisa. Kita tidak ada hak untuk marah. Kecewa memang wajar dirasakan saat menerima itu semua. Namun, kembali lagi pada bagaimana cara kita menyikapi
Baca selengkapnya
Bab 3 | Kata-kata Menyakitkan
Gundukan tanah dengan patok bertuliskan nama, tanggal lahir dan kematian menjadi saksi terakhir. Kini, Humaira sudah menyatu dengan tanah, tempat di mana semuanya akan kembali, kelak. Kesedihan kembali terlihat. Mama Nadia kembali histeris setelah Humaira dimasukkan ke liang lahat. Wanita paruh baya itu tak sanggup kehilangan anak pertamanya. Kesakitan sebagai seorang ibu yang ditinggalkan lebih dulu, jelas terlihat. "Papa pulang dulu, Nak. Jangan terlalu lama di sini!" ujar Papa Bagas sambil menepuk bahu menantunya. Ia dan Zahra berusaha waras di tengah kesedihan yang melanda. Malang bagi Zahra, anaknya itu tak bisa melihat pemakaman saudara kembarnya karena menjaga Nazira. "Di rumah, Nazira masih membutuhkan kamu." "Iya, Pa. Gibran hanya perlu waktu sedikit lagi dengan Humaira." Gibran tetap berdiri. Ia sadar satu persatu pelayat mulai meninggalkan pemakaman. Selama hidup, Gibran tak pernah memiliki bayangan akan berdiri di sini lebih cepat. Yang menyakitinya, Humairanya yang b
Baca selengkapnya
Bab 4 | Sulit Menggapainya
Lantunan ayat suci terdengar begitu menenangkan jiwa. Tidak ada yang bisa menolak merdunya ayat suci. Setiap ayat memiliki arti yang berbeda, terdapat juga selingan doa-doa yang ditujukan untuk semua orang, terutama Humaira. Ya, hari ini acara tahlil tujuh harian Humaira. Tidak menyangka bahwa Humaira sudah tujuh hari pergi meninggalkan semua orang, meninggalkan bayi cantik. Hal yang paling menyedihkan adalah saat Nazira belum bisa melihat ibu kandungnya secara langsung. Namun, semua orang yakin jika Humaira tak pergi dari hati anak perempuannya. Wanita itu akan selalu terkenang di hati sang anak. “Mbak Zahra, masih ada yang kurang?” tanya Wati, salah satu tetangga yang membantu memasak untuk acara hari ini. “Kayaknya nggak ada Mbak Wat. Nanti kalau ada yang kurang, bisa bilang ke Bi Jum. Atau kalau nggak, bisa langsung bilang ke saya saja,” ujar Zahra sambil melihat kebutuhan yang akan digunakan hari ini. Seperti hari sebelumnya, Zahra menjadi tokoh penting dalam acara tujuh haria
Baca selengkapnya
Bab 5 | Surat Perjanjian
Matahari mulai terbenam, menunjukkan cahaya jingga yang sangat cantik. Kesibukan semakin terlihat jelas saat waktu pelaksanaan kirim doa semakin dekat. Orang yang paling sibuk selama acara adalah Zahra. Wanita itu seolah tak memiliki lelah dan terus bergerak memastikan segalanya. "Mbak, nggak ada yang kurang, kan?" tanya Zahra pada Mbak Wati yang mendapatkan tugas sebagai penanggung jawab dapur. Mbak Wati yang tengah memotong semangka menengadahkan kepala. "Nggak ada Mbak. Lauknya sudah, nasinya juga sudah." "Camilan? Buah?" Mbak Wanti menengadahkan kepala. "Sudah siap Mbak. Ini tinggal potong semangkanya saja." Zahra bisa bernafas lega pada akhirnya. Setelah sekali lagi memastikan semuanya, dia baru bisa bernafas lega. Zahra memilih untuk kembali ke kamar. Dia ingin memanggil Gibran dan memandikan Nazira, sebelum dirinya mandi. "Mas, bangun." Zahra sebanyak tak tega membangunkan tidur Gibran. Namun, dia harus melakukannya. Zahra takut tamu datang, tuan rumah justru tidak ada. "
Baca selengkapnya
Bab 6 | Diabaikan
Mata sembab, kepala pusing, itulah yang dirasakan Zahra saat ini. Tadi malam, ia terlalu banyak menangis. Dengan berat hati, dia menandatangani surat perjanjian yang rasanya mengoyak harapannya. Dengan penuh kepercayaan diri, dia berani mengajukan satu poin di perjanjian, izin berusaha membuka hati Gibran. Dia akan berusaha mendapatkan hati suaminya itu. Berbagai cara akan ia lakukan. Akan tetapi, Zahra tidak akan melakukan dengan cara kotor. Huh, beruntung sekali anggota keluarga memutuskan kembali ke kediaman masing-masing setelah acara tahlilan. Zahra tidak perlu mencari alasan mengapa matanya terlihat bengkak, seperti hari ini. "Kamu pasti bisa, Zahra." Zahra menyakinkan diri sekuat tenaga. "Pasti akan ada jalan." Setelah mengikat rambut, Zahra lantas beranjak. Ia melihat box bayi di sebelahnya. Ternyata Nazira masih tidur pulas di box bayinya. Melihat Nazira yang masih anteng, Zahra bergegas ke dapur. Ia tak bisa menyia-nyiakan kesempatan membuat sarapan untuk sang suami. Me
Baca selengkapnya
Bab 7 | Mengungkit Posisiku
Memasak, bangun pagi, memandikan Nazira menjadi rutinitas Zahra setiap harinya. Dulu, dia memang kerap bangun pagi. Namun, kini rasanya jauh lebih berbeda. Dia merasa dibalik itu semua ada tanggung jawab yang harus dirinya emban. Meskipun begitu, Zahra merasa tidak terbebani karena Zahra sangat menikmatinya. Kuliah? Sebenarnya dirinya mengalihkan jadwal kuliahnya dari yang semula offline menjadi daring selama dua minggu ini. Dia kerap mengirimkan tugas yang diberikan dosen di kala waktu senggang. Zahra ingin menikmati waktu bersama Nazira dulu. Jika keadaan sudah terlihat memungkinkan, Zahra akan kembali mengambil kelas offline. ‘Semoga Mas Gibran suka sama masakan aku. Dan aku berharap, kali ini Mas Gibran mau mencicipinya,’ ucap Zahra dalam hati sambil menutup matanya sekilas. ‘Semangat, Zahra. Lupakan yang terjadi kemarin!’ Zahra tidak ingin kejadian kemarin merusak suasana hatinya. Biarlah yang sudah terjadi, berlalu begitu saja. Dia hanya perlu fokus dengan yang ada di depan mat
Baca selengkapnya
Bab 8 | Haruskah Menyerah?
"Kamu itu hanya pengasuh untuk Nazira. Jangan berharap bisa menggantikan posisi Humaira!" Kedua mata Zahra terpejam mendengar kata menyakitkan itu kembali terdengar. Tidak, kali ini kata yang keluar dari mulut Gibran lebih menyakitkan. Iya, Zahra mengingat dirinya tak bisa menggeser posisi Humaira. Dia tidak akan membantahnya. "Ingat posisi kamu, Zahra. Kamu hanya sekadar ibu pengasuh bagi Humaira. Jangan bertingkah diluar batas tugas dan perjanjian yang kita sepakati!!" ucap Gibran dengan sangat tegas. Ia kembali menekankan posisi Zahra di rumah ini beserta bagi Gibran dan Nazira. "Berhenti bersikap sesuka hati!" "Iya, Mas. Aku ingat itu," jawab Zahra sambil mengulas senyum ke arah Gibran. Setelah mengatakan itu, Gibran melangkahkan kaki keluar dari kamar. Dia meninggalkan segala kekacauan yang sudah ia buat. Gibran sama sekali tidak memperdulikan kata-katanya menyakiti hati Zahra atau tidak. Ah, atau bisa saja sebenarnya Gibran menampik rasa bersalah setelah menyakiti Zahra denga
Baca selengkapnya
Bab 9 | Terus Menyangkal
Perubahan yang terjadi di dalam hidup membuat Zahra hampir tidak bisa beradap tadi. Kesibukannya bertambah dua kali dan kini ada tanggung jawab yang ia emban. Rasanya, Zahra ingin menangis.Jika biasanya ada Humaira yang menjadi tempatnya bercerita, berkeluh kesah, kini semuanya berubah. Zahra diharuskan berpijak pada kedua kakinya sendiri, menyimpan segala resah, kekecewaan, dan sakit hati. Beruntung masih ada keluarga yang memberikan dukungan moril, meski tidak tahu apa yang sudah ia lewati.Setelah hampir satu bulan kuliah dari h, Zahra akhirnya memutuskan untuk kembali kuliah offline. Semesteran sudah di depan matanya. Dia harus masuk karena mendengarkan penjelasan langsung membuat Zahra lebih nyaman dalam belajar."Pagi, Non," sapa Bi Jum saat melihat Zahra sudah berada di dapur, seperti kebiasaan sebelumnya.Zahra yang tengah menumis menolehkan kepala. Senyum hangatnya menyambut wanita paruh baya yang kini menjadi sosok orang tua untuknya di kediaman pribadi Gibran. "Pagi, Bi."
Baca selengkapnya
Bab 10 | Orang Tak Perlu Tahu
Mas, aku izin ke kampus ya. Aku berangkat, assalamualaikum.Itulah isi pesan yang Zahra kirimkan pada Gibran. Tangannya masih senantiasa memegang ponsel, dia berharap ada pesan balasan yang dikirimkan Gibran. Namun, sampai lima menit menunggu, pesannya hanya centang satu. Hal itu membuat Zahra mengulas senyum getir."Jangan patah semangat, Ra. Hari ini, fokus dulu sama kuliah."Setelah itu, Zahra benar-benar meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, Zahra menyenandungkan lagu Jawa yang tengah ia gemari, kisinan 2. Jujur saja, dia cukup tersentil dengan liriknya karena menggambarkan dirinya saat ini. Meski begitu, dia tidak akan patah semangat.Dua puluh menit perjalanan, akhirnya Zahra sampai di kampus. Sepanjang koridor, dia menerima ucapan belasungkawa dari teman-teman yang ia kenal, baik satu organisasi dengan dirinya atau teman kelas Humaira. Dia sangat senang karena Humaira memiliki teman-teman yang sangat baik."Zahra !!!" panggil perempuan yang diketahui bernama Adel.Dia salah
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status