Blurb “Tenang saja, kamu mengandung tanpa harus saya sentuh,” ucap Kapten Yudha. “Jadi, aku ini istri sewa rahim?” tanya Tari terhenyak. Andi Ayudia Batari, terpaksa menikah dengan Kapten Yudha Giriandra. Dibayar 300 juta untuk mengandung benih yang dirahasiakan oleh pria itu. Namun, petaka mulai terjadi saat Yudha bertugas. Pria itu luka parah dan kehilangan separuh ingatannya. Disaat yang sama, seseorang mengatakan jika bayi dalam kandungan Tari bukan anak kandung Yudha. Bagaimana bisa Yudha membiarkannya hamil anak pria lain? Apa yang harus dilakukan Tari saat jawabannya hanya ada dalam ingatan Yudha? Semua dimulai dengan tantangan menaklukkan hati sang Kapten. Simak kisahnya yang mengharu biru!
View More“Kalau minta sumbangan itu, jangan sampai memeras donaturnya!” sindir seorang wanita paruh baya yang melemparkan segopok uang ke pangkuan seorang gadis berambut sebahu.
Mata gadis itu berembun. Dengan tangan gemetar ia menyentuh dua bundel uang pecahan seratus ribu rupiah itu. Uang dengan nominal yang telah dijanjikan pemilik perusahaan tempat Tari bekerja sebagai cleaning service. Tanpa mampu ia bendung, tetesan bening itu jatuh satu persatu membasahi uang di pangkuannya.
Tari sama sekali tidak berniat memeras. Ia hanya sedang berusaha mengumpulkan uang sumbangan untuk biaya operasi jantung salah satu adik pantinya. Ia juga tidak meminta, tapi Tuan Giriandra, suami dari wanita di hadapannya itulah yang memintanya datang ke rumah mewah ini. Pria itu mendadak harus ke luar kota sehingga tidak sempat mampir ke panti.
Dengan bibir bergetar dan menelan getir, Tari berucap, “Te-terima kasih banyak, Nyonya.”
“Hem!” gumamnya duduk menyilang kaki.
Tari menelan saliva untuk kesekian kalinya sejak datang ke rumah ini. Setelah sejam lebih menerima caci maki, akhirnya istri atasannya itu memberikan uang yang dijanjikan.
“Lain kali jangan minta lagi! Kalau masih mau, cium kaki saya dulu!” tukasnya sebelum gadis yang bersimbah air mata itu beranjak dari sofa.
Tari menatap alas kaki si Nyonya Besar. Sangat jauh berbeda dengan kakinya yang polos tak beralaskan apa pun. Saat datang tadi, ia diminta melepas alas kakinya agar tidak menapaki karpet mahal ruang tamu ini.
Mengingat kondisi adik pantinya yang semakin memburuk, Tari mengumpulkan keberanian. Ia menatap mata wanita judes yang duduk ongkang-ongkang kaki sambil membolak-balik tabloid di pangkuannya.
Menyadari jika sedang ditatap, wanita itu mendongak membalas tatapan gadis berbaju lusuh itu. “Kenapa?”
“Kalau Nyonya bersedia membiayai operasi jantung adik panti saya, saya bersedia mencium kaki Anda, Nyonya,” ucapnya lirih.
Bukannya merasa iba, wanita dengan bibir berpoles liptik merah itu beranjak dan tertawa terbahak-bahak. “Heh! Kamu pikir uang untuk operasi jantung itu sedikit? Mikir! Kamu kira uang yang kamu pegang sekarang itu daun yang habis disapu di halaman? Itu duit hasil keringat suami saya! Awas ya, sekali lagi saya dengar kamu minta sumbangan sama suami saya,” ucapnya menoyor kepala gadis itu. “Saya pastikan tidak akan ada lagi donasi untuk panti tempat kamu tinggal. Mengerti?!”
“I-iya, Nyonya,” sahut Tari terbata. Ia hanya sedang mencoba, mungkin saja wanita itu mau mengabulkannya.
“Mau saya kasih tahu caranya buat dapat uang banyak dan cepat?” bujuk wanita itu.
Tari menoleh dengan penuh harap. “Anda punya tawaran pekerjaan untuk saya, Nyonya?”
“Ada. Saya sarankan kamu jual diri. Wajah jelek kamu bisa ditutupi makeup. Tubuh kamu memang tidak sebagus model, tapi cukup berisi di sisi yang tepat. Pasti banyak yang mau bayar mahal untuk pelayanan gadis murahan seperti kamu,” ucap wanita itu dengan senyum mengejek.
Rasanya jantung Tari seperti ditusuk-tusuk. Kalimat-kalimat hinaan dari wanita itu seakan tak ada habisnya. Tari merasa ingin segera pergi dari hadapan nenek sihir yang satu ini.
Tari menggeleng pelan menghapus air matanya. Walau memaksakan diri, gadis itu berusaha menunjukkan senyum terbaiknya. Nominal 20 juta rupiah memang bukan nominal yang kecil. Maka, sebisa mungkin ia harus menahan sakit dari penghinaan ini.
Nominal di tangannya ini adalah gaji setengah tahun bagi Tari. Kalau saya tidak memikirkan sulitnya mengumpulkan rupiah dalam waktu singkat, mungkin ia akan mengembalikannya.
Itulah masalah besar Tari sekarang. Selain nominal yang sangat besar, dirinya juga tidak punya banyak waktu. Dokter menyarankan agar segera dilakukan operasi.
“Sana kamu pergi! Jangan pernah datang dan menginjakkan kaki di rumah ini lagi!” desis wanita itu menarik kasar lengan Tari dan mendorongnya keluar dari ruang tamunya. Tak lupa wanita itu menendang sepasang sandal jepit itu keluar.
Blam!!!
Disaat yang sama, Tari nyaris terjungkal jika saja seseorang tidak menahan lengannya. Tari menghela lega, hampir saja ia jatuh menggelinding di tangga teras rumah ini. Sepertinya bukan hanya terkilir, tapi kepalanya mungkin akan terluka.
“Maafkan sikap mama saya,” ucap seseorang.
Suara bariton itu terdengar tegas, tapi juga hangat disaat yang sama. Tari menoleh ke belakang dan mendapati seorang pria berseragam loreng.
Tubuh tinggi tegapnya seperti tiang kokoh. Bahunya lebar dan lengannya kekar. Membuka kelopak matanya lebih lebar, Tari dapati wajah rupawan dengan rahang yang tegas, hidung bangir dan bibir yang mengulas senyum tipis. Kontras dengan sorot tatapnya yang tajam dan lengkung alisnya yang hitam pekat.
Mama.
Satu kata itu menyadarkan Tari sehingga refleks menarik lengannya. Jangan sampai wanita bermulut culas itu kembali muncul dan mencecarnya. Bukan tidak mungkin dirinya dituduh sebagai penggoda putranya.
“Maaf dan terima kasih,” ucap Tari berusaha berdiri sendiri dan membersihkan kedua telapak tangannya.
Tari kembali menjauh untuk mengambil sandalnya. Ia harus segera pulang memasak untuk makan malam adik-adik panti. Malam ini ia juga harus kerja paruh waktu di warung tenda.
“Anda butuh uang berapa?”
“Ha?” Tari kembali menoleh ke arah pria tampan dan gagah itu. Siapa pun akan setuju jika melihat wujud tentara yang satu ini.
“Bukannya Anda sedang mengumpulkan uang untuk sumbangan? Saya tanya, berapa banyak yang Anda butuh? Saya bisa kasih hari ini juga,” ucap pria yang di dadanya melekat sulaman nama Yudha.
Tari mengulas senyum tipis lalu bertanya, “Anda berniat menyumbang atau punya maksud tertentu?”
Pria itu maju selangkah. Lengannya tersilang di dada, menunduk lalu berbisik, “Jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan juga, Nona.”
Tari memejamkan mata menahan kesal. Gadis itu masih sadar di mana kakinya berpijak. Ia belum meninggalkan rumah mewah ini.
“Saya butuh uang 250 juta, Tuan Muda,” jawab Tari mengulurkan map di tangannya.
Pria itu menerima dan mulai membacanya. Tari yakin dia bisa melihat proposal bantuan pembiayaan untuk tiga anak panti yang sedang sakit. Terutama anak yang butuh operasi jantung dalam waktu dekat.
Bola mata yang dibingkai alis tebal itu bergerak ke kanan dan ke kiri. Dari jarak sedekat ini, Tari bisa mencium aroma kayu dan buah segar. Parfum mahal memang punya kelasnya sendiri.
Seketika Tari merasa minder. Tubuhnya mungkin bau keringat karena harus berlari dari gerbang perumahan ini. Tadi tidak ada ojek sama sekali di dekat gerbang, sementara istri atasannya mengharuskannya datang sebelum pukul dua siang. Wanita itu mengatakan ada janji penting. Kenyataannya, ia hanya sedang dipermainkan.
Pria berseragam loreng itu mengembalikan map hijau pada Tari seraya berkata, “Saya punya penawaran untuk Anda, Nona Andi Ayudia Batari.”
“Tidak, terima kasih, Tuan Muda,” tolak Tari menggeleng. Tari menduga pria itu akan memberikan ide yang sama seperti yang diutarakan mamanya tadi. “Saya permisi.”
Baru dua langkah Tari menuruni tangga teras, pria itu berkata, “Saya siapkan uang 300 juta. Bagaimana?”
###
Akibat ketahuan menjarah isi toples milik istri sang Kapten Galak, Serda Ken akhirnya mendapat hukuman. Tidak sendirian melainkan bersama yang lainnya. Pasalnya, mereka turut menutupi kelakuan si Bontot Tim Alfa. "Sumpah, badanku pegel semua, Bang," keluh Sertu Fatur memijat bahunya bergantian."Jangan kau, aku yang latihan kayak biasa ikutan pegelinu. Latihan kalau sama Kapten Yudha biasanya selalu seru, tapi beda kalau dia lagi badmood," ungkap Serka Hilman terkekeh.Serda Ken yang berjalan paling belakang dan nyaris terseok-seok, kini kembali menghela napas panjang. Sang Kapten belum mengampuninya. Ia harus meminta maaf pada istri kaptennya, barulah setelah itu ia akan dimaafkan."Jangan bersedih, Ken. Bukankah tadi kita diundang makan malam sama Kapten Yudha? Kalau kuenya seenak tadi, bayangkan dengan masakannya?" hibur Rian.Langkah para rekannya terhenti. Karena terlalu lelah, mereka sampai lupa jika tadi skor latihan mereka mencapai target. Hanya saja sempat terlupakan karena
Di tempat lain, Ayana tersenyum setelah mendapat pesan balasan dari Yudha. Ia senang karena selama mempersiapkan prosedur bayi tabung, bukan Tari yang berkomunikasi dengannya. Melainkan Yudha langsung.Data pasien di hadapannya membuat senyum Ayana luntur. Kalau saja tidak ingin kehilangan kepercayaan Yudha. Ayana sebenarnya tidak sudi membantu menanamkan benih itu ke dalam rahim Tari.Di sisi lain, jika ia nekat untuk mengandung benih itu, maka dirinya akan dalam masalah. Keluarganya akan murka jika dirinya sampai hamil diluar nikah. Yudha juga pasti akan membencinya.“Andi Ayudia Batari. Saya yakin kamu melakukan semua ini hanya untuk mendongkrak status hidup kamu. Upik Abu bermimpi jadi seorang cinderella. Dia bahkan hanya seorang mantan cleaning servis dan pekerja serabutan. Apa sih, yang Yudha lihat dari gadis ini?” gumam Ayan masih tak habis pikir.Ayana merasa jika Tari begitu licik. Kembali gadis itu menghela napas panjang sambil bersa
“Doyan!!” sahut mereka kompak. Bahkan, Rian yang bisanya kalem malah ikut-ikutan.Serka Hilman berdeham lalu berkata, “Kami hanya menjalankan perintah. Tadi Bu Kapten minta kami habiskan.”Tari mengulum senyum sembari mengangguk. Padahal, yang Tari maksud adalah minuman mereka. Ya sudahlah.Wanita itu kemudian meletakkan air mineral kemasan gelas di hadapan mereka. Jangan sampai para tamunya kena batuk karena kebanyakan mengkonsumsi makanan manis.“Kuenya enak banget, Bu Kapten,” ucap Ken serius.Tanpa Yudha dan Tari duga. Empat jempol sersan itu memuji sajian di atas meja. Satu-satunya yang tampak gugup adalah Ken. Pasalnya, kantong samping celananya yang tadinya kosong, kini berisi beberapa kue.“Apa iya, kue tari seenak itu? Baru juga ditinggal sebentar langsung ludes?” batin Yudha duduk meminum minumannya. Segar sekali.Sembari memasang sepatunya, Yudha berkata, “Kalau hasil la
Walau hanya rumah dinas sederhana, tapi Tari benar-benar bahagia. Ia memiliki wewenang untuk mengatur semua hal di rumah itu. Termasuk semua kebutuhan harian Yudha.Rumah itu tidak memiliki banyak perabot. Perabot yang ada pun, benar-benar dipilih sesuai fungsi dan ukuran ideal untuk kebutuhan mereka berdua.Ruang tamu hanya diisi satu set kursi rotan, satu vas bunga besar di sudut ruangan dan foto-foto Yudha dan timnya selama ini.Bagian yang paling disenangi Tari tentu saja adalah dapur. Ia sungguh tak menyangka jika kakak iparnya menghadiahkan beberapa perangkat khusus untuk membua kue. Dapur minimalis itu bahkan sudah seperti dapur toko kue.Yang membuat Tari sempat tercengang adalah, kulkas di dapurnya adalah kulkas dua pintu. Padahal, ia dan Yudha hanya tinggal berdua saja. Pemborosan, bukan?Yudha hanya minta agar Tari tidak ikut campur masalah pribadinya. Tidak, selama Yudha tidak meminta pendapat Tari. Seperti halnya kotak furniture
Yudha dan Tari telah tiba di markas kesatuan tempat Yudha selama ini dinas. Selama sesi wawancara, Tari tak mampu menyembunyikan degub jantungnya. Organnya yang satu ini tak bisa tenang.Berbanding terbalik dengan Yudha. Pria itu menjalani sesi wawancara seolah hanya ngobrol dengan teman-temannya. Padahal, beberapa pria berseragam resmi di hadapan mereka itu memiliki pangkat dan jabatan yang lebih tinggi.Hampir dua jam, sesi tersebut akhirnya selesai. Tari dan Yudha lega karena semuanya berjalan lancar. Yudha akui Tari gadis cerdas yang mampau memberikan jawaban lugas dan realistis.Atasannya sampai terkesan. Mengira jika selama ini ia dan Tari memang diam-diam menjalni LDR. Mereka pun mengisi beberapa berkas yang diperlukan sebelum keluar dari kantor.“Akhirnya Kapten Hot batalion ini sold out juga,” goda salah satu istri atasan Yudha.Rekan kapten yang menjalani sesi wawancara dengan Yudha dan Tari tadi ikut terkekeh. Pasalnya, banyak kowad dan staf di satuan mereka yang patah hati.
Lusiana kembali memijat kepalanya yang baru saja selesai dipijat oleh ART-nya. Sejak mendengar kabar Yudha memboyong Tari berbulan madu ke Bali, entah kenapa ia jadi kesal. Ia masih setengah hati mengharapkan cucu dari rahim gadis miskin itu.“Mama kenapa?” tanya Rudi yang baru saja pulang bersama putra sulungnya. Tadinya ia pikir, istrinya tidur karena salam mereka tidak dibalas.Lusiana yang bersantai di sofa depan tv mendongak. Setelah melihat kedatangan suami dan anaknya, wanita itu tak juga beranjak. Tetap rebahan santai dengan kaki tersilang. Bahkan wajahnya tetap cemberut.“Ma, perusahaan sedikit tidak stabil. Kalau dalam tiga bulan masalah di internal perusahaan belum berhasil diatasi, mungkin kita akan bangkrut,” ucap Arbian mengedipkan sebelah mata pada papanya.“APA??!!!” Lusiana sontak turun dari sofa lalu berbalik menatap suaminya.Rudi memilih diam mengikuti sandiwara putranya. Rasanya ia ingin tert
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments