Uang duka?
"Apa maksud Anda dengan uang duka?" Alis Evara bertaut. Ia terlihat bingung. Pimpinan proyek itu segera menyadari kalau Evara belum menerima kabar ini. "Maaf, Nyonya Brian. Kami dari proyek tempat suami anda bekerja." katanya dengan berat hati. Evara mulai mengerti. "Apa yang terjadi dengan suamiku?" Tanya Evara. Air matanya mulai mengalir turun. Evara sudah dapat menduga tetapi hatinya menolaknya. Pimpinan proyek itu saling berpandangan dengan kedua anak buahnya. "Brian.. Mengalami kecelakaan kemarin siang, Nyonnya" Dunia mulai terasa berputar di mata Evara. Tapi ia masih mencoba bertahan. 'Tidak,' ia mengibaskan kepalanya. "Apa Brian ada di rumah sakit? Rumah Sakit mana?" Tanyanya dengan bibir bergetar. Pimpinan proyek itu terdiam cukup lama. Ia tidak tega melihat air mata Evara. Wajah cantiknya terlihat pucat seperti tak berdarah. "Brian,.. Brian meninggal, Nyonya." Anak buahnya merasa tidak tahan lagi. Ia tidak ingin membuat Evara berharap terlalu lama. "Tidak." Evara menggeleng - geleng kan kepalanya. "Tidak, Brian! Kamu dimana sekarang?!" Teriaknya seiring dengan tangisannya yang mulai pecah. Evara menangis tanpa suara. Bahunya yang berguncang menandakan ia menangis dengan sangat hebat. "Nyonya Brian!" Mereka berteriak karena Evara jatuh terkulai. Ia pingsan! "Bagaimana ini?" Kata pimpinan proyek itu. Ia mengangkat Evara dan membaringkan nya di sofa. "Panggil ibunya!" Titahnya. Itu tidak perlu mereka lakukan. Safira keluar karena teriakan Evara dan kehebohan mereka karena Evara pingsan. "Evara kenapa?" Tanyanya heran. Ia melirik amplop yang tergeletak di atas meja. Amplop apa itu? "Dia pingsan Nyonya." Jawab salah seorang dari mereka. "Aku tau itu, tapi kenapa?" Tanya Safira gusar. "Suaminya, Brian, meninggal dalam kecelakaan, Nyonya. Kami kesini untuk mengantarkan uang duka cita. Kami tidak tau kalau Nyonya Brian belum mengetahui kabar ini." Jelas pimpinan proyek itu dengan nada prihatin. Jadi begitu penjelasan untuk amplop itu. Safira pura - pura terkejut. Ia juga pura - pura sedih. "Malangnya anakku, Evara." Katanya dengan tangis buayanya. Ia memeluk Evara dan pura - pura berusaha menyadarkannya. Sejatinya ia tidak mengguncang tubuh Evara. "Eva, Sayang. Bangun, Nak." Isaknya menghiba. "Sebaiknya Kami pergi dulu, Nyonya. Biar Nyonya Brian bisa beristirahat. Apa Kami perlu membantu Nyonya membawanya ke kamarnya?" Kata pimpinan proyek itu. "Tidak, tidak perlu. Biar Kami yang mengurusnya. Atha!" Teriak Safira memanggil Athena. "Athena!" Teriaknya lagi. Athena terbangun dengan kepala pusing. "Athena!!" Teriakan Safira seperti membobol gendang telinga Athena. Athena memaksakan dirinya untuk bangun. Saking pusingnya ia merasa mual. Ia berjalan ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Safira mendengar Athena muntah dan ia merasa kesal. 'Mabuk aja terus!' umpat hatinya sebal "Athena! Bantu Ibu!" Teriaknya lagi. Athena berjalan terhuyung menghampiri ibunya. "Kenapa Ibu membangunkanku?" Tanyanya gusar. Pengaruh minuman masih menguasai pikirannya. Ia berhenti melihat ketiga orang asing di hadapannya. "Tolong angkat kakakmu ke kamar, Sayang." Safira mengedipkan sebelah matanya di belakang para tamunya itu. "Iya, Bu." Athena mendekat dan seperti ingin mengangkat Evara tapi Ia justru duduk di samping Evara dan memandangi ketiga tamu Evara itu. "Kami permisi dulu, Nyonya." Pimpinan proyek merasa ada yang salah tapi ia tidak tahu apa itu. Safira mengangguk, "Terimakasih untuk memberitahu kabar buruk ini." Katanya halus dan lembut, seolah - olah ia adalah seorang ibu yang sangat lembut dan penyayang. "Ibu, Aku tidak kuat bila harus menggendong Eva." Kata Athena setelah ketiga orang itu pergi dengan mobilnya. "Kamu nggak perlu menggendongnya. Biar Dia yang bangun sendiri." Sahut Safira dengan senyum culas di bibirnya. Safira mengambil amplop tebal yang dari tadi sangat menarik perhatiannya. "Apa itu, Bu?" Tanya Athena. Matanya berbinar penuh harap. Ia melupakan rasa pusingnya. "Uang duka cita untuk kematian Brian." Kata Safira enteng. Athena terperanjat. "Brian mati? Kenapa?" Tanyanya. "Kecelakaan." Jawab Safira tak peduli. Ia mulai menghitung uang dalam amplop. "Hanya 5 juta. Pelit amat." Gerutunya. "Buat Aku aja, Bu." Kata Athena bersemangat. "Buat apa?" Tanya Safira meski ia tau apa yang akan dijawab oleh Athena. "Ya buat beli minuman lagi, lah!" Jawab Athena tanpa merasa bersalah. Safira menghela nafas. Kecanduan Athena pada minuman keras semakin parah. Itu gara - gara Viona menjauhinya belakangan ini dan itu karena Evara. Lagi - lagi ia menyalahkan Evara. ************ Safira dan Athena berlalu ke dalam dan meninggalkan Evara yang masih pingsan sendirian. Evara bangun tidak lama kemudian. Ia langsung merasakan hatinya yang hampa dan sangat sakit. Ia mulai menangis lagi. "Brian, dimana Kamu sekarang? Kemana Aku harus mencarimu?" Isaknya. Ia tidak tau kalau Brian sudah langsung dimakamkan kemarin. Ia menangis sambil bersimpuh di depan sofa. Ia tidak ada niat untuk berangkat kerja lagi. Ia merasa lemas dan tidak bertenaga. "Kenapa Kamu nggak bawa Aku juga, Brian? Kamu bilang akan membawaku keluar dari sini. Apa Kamu bohong sama Aku, Brian? Kenapa?" Isakannya semakin keras dan membuat Safira dan Athena merasa terganggu. Mereka langsung keluar untuk mendamprat Evara. "Berhentilah merengek, Eva! Brian sudah tidak ada, Kamu bisa menikah dengan laki - laki pilihan Ibu!" Semprot Safira tanpa dosa. "Ibu! Kenapa Ibu tega ngomong begitu?" Sahut Evara sedih dan marah sekaligus. "Kenapa tidak? Kamu akan bahagia, Eva! Kamu nggak akan menangis lagi!" "Brian itu tidak ada gunanya, Eva! Berhenti menangis, jangan membuat kepalaku semakin pusing!" Athena ikut bersuara. Evara terus menangis. Ia ingin mengeluarkan semua duka laranya agar dadanya bisa menjadi lebih lega. "Eva! Aku pusing mendengar tangisanmu! Apa Aku perlu membungkam mulutmu?!" Teriak Athena tidak sabar. Telinganya terasa berdengung mendengar tangisan Evara. Safira menatap Evara dengan sinis. Ia menganggap Evara semakin sulit diatur. "Pergilah menjauh! Pergi sana!" Evara balas berteriak dalam tangisannya. 'Brianku yang malang, kenapa Kamu pergi begitu cepat? Bagaimana dengan anak Kita?' Memikirkan itu membuat tangisan Evara semakin menghebat. "Kamu berani ngusir Aku? Sialan!" Athena mengangkat tangannya. Ia akan menampar Evara. "Tunggu!" Teriakan seorang wanita membuat gerakannya terhenti. Evara mengangkat wajahnya yang penuh dengan air mata. Siapa yang berteriak tadi? Ia tidak mengenali suaranya. Ariana berdiri di depan pintu dan langsung mengenali Evara. Entah kenapa hatinya merasa hancur melihat air mata di wajah Evara. "Anda siapa? Kenapa begitu saja masuk ke dalam rumahku?" Tegur Safira. "Pintu ini terbuka." Jawab Ariana apa adanya. "Bukan berarti Anda bisa memasuki rumah orang seenaknya!" Bantah Safira marah. Ariana tidak peduli. Ia langsung menyadari kenyataan bagaimana posisi Evara di rumah ini dan itu membuatnya kesal. Ia sudah datang dari tadi dan mendengar semuanya. "Aku ingin menjemput menantuku." Katanya tenang. Safira, Athena dan Evara terperanjat. "A.. Apa.. Maksud.. Ibu?" Tanya Evara seraya mengusap airmatanya. Wajahnya yang bening kini terlihat jelas. Wajah polos yang sangat cantik. Ariana tersenyum menatapnya. "Panggil Aku Mama, Evara. Aku Mama Brian." Katanya lembut. Evara tertegun sesaat. "Tapi.. Tapi.. Brian bilang Ia hidup sebatang kara." Katanya bingung. Ariana merasa hatinya teriris. "Oh, jadi Kamu Mama si miskin itu?" Desis Athena seperti ular berbisa. Si miskin? Kembali hati Ariana terasa teriris. "Mama menjemputmu, Eva. Mau kan Kamu ikut bersamaku?" Tanya Ariana. "Jangan mau, Eva! Dia pasti ingin Kamu menafkahinya!" Ketus Safira. Ia tidak tau kalau Ariana datang dengan mobil mewahnya. Ia memarkirkan mobil nya di ujung jalan karena jalanan menuju rumah Evara terlalu sempit. Evara mengusap sisa airmatanya. "Aku akan ikut denganmu, Mama. Kamu mamanya Brian, Aku pasti mau menafkahimu." Katanya tulus. "Tapi Aku ingin melihat Brian. Di mana Dia?" Ariana mengusap air mata Evara yang kembali mengalir dengan penuh kelembutan. Ia sendiri lupa kalau air matanya juga kembali mengalir karena terharu. "Mama akan membawamu ke sana." Mata Athena berkilat karena marah. Ia siap mendamprat Evara. ************Uang duka? "Apa maksud Anda dengan uang duka?"Alis Evara bertaut. Ia terlihat bingung. Pimpinan proyek itu segera menyadari kalau Evara belum menerima kabar ini. "Maaf, Nyonya Brian. Kami dari proyek tempat suami anda bekerja." katanya dengan berat hati. Evara mulai mengerti. "Apa yang terjadi dengan suamiku?" Tanya Evara. Air matanya mulai mengalir turun. Evara sudah dapat menduga tetapi hatinya menolaknya. Pimpinan proyek itu saling berpandangan dengan kedua anak buahnya. "Brian.. Mengalami kecelakaan kemarin siang, Nyonnya"Dunia mulai terasa berputar di mata Evara. Tapi ia masih mencoba bertahan. 'Tidak,' ia mengibaskan kepalanya. "Apa Brian ada di rumah sakit? Rumah Sakit mana?" Tanyanya dengan bibir bergetar. Pimpinan proyek itu terdiam cukup lama. Ia tidak tega melihat air mata Evara. Wajah cantiknya terlihat pucat seperti tak berdarah. "Brian,.. Brian meninggal, Nyonya." Anak buahnya merasa tidak tahan lagi. Ia tidak ingin membuat Evara berharap terlalu lama. "Tid
"Rencananya pagi ini Aku baru mau ke sana untuk memberitahunya." Kata Adamis lagi. Ariana terlihat bersemangat. Tapi ia juga tau Adamis tidak menyukai Evara. Ia pernah mengatakannya."Aku benci Dia, Mama. Dia yang membuat Kak Brian meninggalkan Kita!"Bagaimana kalau ia mengacau karena mengamuk di sana? "Mama yang akan memberitahunya, Dami. Mama akan pergi bersama Sony." Kata Ariana lembut. "Sebaiknya Kamu ke kantor aja." Katanya lagi. "Apa Mama yakin?"Sebenarnya Adamis memang enggan ke rumah Evara. Ke rumah perempuan yang membuat Kakaknya pergi meninggalkan rumah ini. Ia benci Evara! "Mungkin Sony akan terlambat ke kantor." Kata Ariana mengingatkan. Adamis mengangguk mengerti. Sony adalah orang kepercayaan Brian. Tentu ia sudah mengenal Evara. "Baiklah, Ma. Katakan pada Sony, waktu kerjanya hari ini fleksibel. Tapi hanya hari ini. Aku akan ke kamarku dulu." Katanya. Ia mencium pipi sang Mama sambil berharap dalam hati, 'Semoga Mama juga tidak terpengaruh pada perempuan jaha
'Dimana Kamu, Brian?' keluh hati Evara. Tiga tamparan sudah diterimanya hari ini. "Kamu harus melawan, Eva!" Terngiang ucapan Brian di telinga Evara. Plak!!! Evara membalas tamparan Athena dengan sekuat tenaganya. "Kamu yang lancang, Atha! Kamu adikku! Beraninya Kamu menampar orang yang sudah memberimu makan!" Teriaknya setinggi langit. Ia murka juga gelisah. Brian tidak kunjung datang padahal malam semakin merangkak naik. 'Apa Kamu ingin meninggalkanku, Brian? Tolong, jangan siksa Aku seperti ini..' Airmata Evara mulai mengalir turun di pipinya yang memerah karena 3 kali tamparan. "Kalau saja Brian tau kelakuanmu, Atha. Apa Kamu mau menanggung akibatnya?" isak Evara. Air mata terus mengalir di pipinya. Tiga kali tamparan membuat pipinya terasa memar. Tapi bukan itu yang membuatnya menangis. 'Kamu kenapa, Brian? Apa yang telah terjadi padamu? Apa Kamu baik - baik saja, Sayang?' Safira dan Athena mulai cemas. Apa Evara akan melaporkan kekerasan mereka pa
"Apa?!" Ponsel Ariana nyaris terjatuh jika Adamis tidak segera menangkapnya. Mereka baru saja menikmati hidangan makan siang yang mereka pesan. Ariana tidak menjawab. Ia bahkan menangis setengah histeris. Adamis melihat ponsel yang masih tersambung dan menempelkannya di telinganya. "Bagaiamana, Bu! Kapan Ibu akan membawa jenazahnya?" tanya orang di seberang sana. Ia merasakan nafas Adamis hingga ia mengira Ariana kembali pada ponselnya. Adamis merasa hatinya melorot ke bawah. "Ap.. Ap - pa maksud Anda? Jenazah?" Tanya Adamis terbata. "Ini siapa? Apa hubungan Anda dengan korban kecelakaan tunggal ini?" 'Korban kecelakaan tunggal?' Adamis melirik ibunya yang masih terus menangis. Bahkan pengunjung resto yang lain mulai ada yang menghampiri mereka untuk menenangkan Ariana. "Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya salah seorang dari mereka dengan nada prihatin. Adamis menelan salivanya. Sekujur tubuhnya terasa dingin. "Korban.. Kecelakaan.. Tunggal? Siapa maksud..
'Tapi bagaimana kalau Mama mengetahuinya? Mau diletakkan dimana harga diriku?' keluh hati Brian. Ia melajukan motornya setelah mengantar Evara ke tempat kerjanya. 'Evara sedang mengandung. Ia harus berhenti bekerja dalam waktu dekat.' hatinya merasa galau. Ia jadi banyak melamun di tempat kerja. Ia berusaha menghubungi Adamis tapi ia segera membatalkannya. Adamis menatap ponselnya. Baru saja ia akan menjawab panggilan dari kakaknya saat panggilan langsung terputus. Adamis memutuskan melakukan panggilan balik. "Ada apa, Kak?" Tanyanya. "Ada apa?" Brian justru balik bertanya. "Kakak tadi menelponku." sergah Adamis merasa aneh. "Oh, apa begitu? Mungkin kepencet." Kilah Brian. "Sudah, ya. Aku masih harus lanjut kerja." Putus Brian. Ia langsung memutus hubungan tanpa Adamis dapat mencegahnya. 'Aku harus mempunyai alasan yang kuat untuk mendapatkan uang itu. Aku harus memikirkannya lebih dulu.' batin Brian gelisah. Adamis tidak tau itulah percakapan terak
Brian juga tidak mengatakan kalau ia adalah pewaris utama Bramantyo corporation, sejak sang Ayah, Bramantyo Khairan berpulang hampir lima tahun yang lalu. "Bagaimana, Eva? Aku mencintaimu. Aku ingin menikah denganmu. Apa Kamu masih bersedia menikah dengan orang miskin sepertiku?" ucap Brian seraya menatap Evara penuh puja. Evara menunduk. Ia mencintai Brian apapun keadaannya. Memang naif. Tapi itulah kenyataannya. "Aku juga mencintaimu, Brian. Aku mau menikah denganmu." kata Evara dengan kepala tetap tertunduk. Mereka menikah tanpa pesta. Evara mengajak Brian tinggal di rumahnya Brian tidak dapat membawa Evara ke apartemennya karena Ariana juga mencabut haknya atas apartemen itu. "Kembalilah ke rumah, Brian. Ceraikan Dia." Pinta Ariana melalui telpon. "Maaf, Ma. Mama belum mengenal Evara tapi sudah menolaknya." kata Brian. "Tapi dia hanya gadis tanpa masa depan, Brian. Dia dari kalangan bawah!" seru Ariana marah. "Aku yang akan menjadi masa depannya, Ma. Aku