LOGIN"Rencananya pagi ini Aku baru mau ke sana untuk memberitahunya." Kata Adamis lagi.
Ariana terlihat bersemangat. Tapi ia juga tau Adamis tidak menyukai Evara. Ia pernah mengatakannya. "Aku benci Dia, Mama. Dia yang membuat Kak Brian meninggalkan Kita!" Bagaimana kalau ia mengacau karena mengamuk di sana? "Mama yang akan memberitahunya, Dami. Mama akan pergi bersama Sony." Kata Ariana lembut. "Sebaiknya Kamu ke kantor aja." Katanya lagi. "Apa Mama yakin?" Sebenarnya Adamis memang enggan ke rumah Evara. Ke rumah perempuan yang membuat Kakaknya pergi meninggalkan rumah ini. Ia benci Evara! "Mungkin Sony akan terlambat ke kantor." Kata Ariana mengingatkan. Adamis mengangguk mengerti. Sony adalah orang kepercayaan Brian. Tentu ia sudah mengenal Evara. "Baiklah, Ma. Katakan pada Sony, waktu kerjanya hari ini fleksibel. Tapi hanya hari ini. Aku akan ke kamarku dulu." Katanya. Ia mencium pipi sang Mama sambil berharap dalam hati, 'Semoga Mama juga tidak terpengaruh pada perempuan jahat itu seperti Kak Brian.' Ariana tersenyum dan memegang bahu Adamis, "Apa Kamu ingin pergi bersama Kami?" Tentu saja tidak. Ada kesempatan untuk tidak bertemu perempuan jalang itu, kenapa harus dilewatkan? Adamis menggeleng. "Mama saja. Dan hati - hati." Ariana mengerutkan dahinya. Kenapa ia harus berhati - hati? Tapi ia tidak sempat bertanya karena Adamis sudah berlalu dari hadapannya. Ariana keluar dari kamarnya dan meminta pelayan untuk memberitahu Sony. "Aku tunggu Dia di mobilku." Titahnya. Pelayan itu merasa heran. "Nyonya, Nyonya hendak kemana sepagi ini?" Tanyanya sambil memperhatikan baju hitam yang masih dikenakan Ariana. "Aku ingin menjemput Nyonya Mudamu." Sahut Ariana sambil bergegas pergi. Nyonya muda? Apa ia tidak salah dengar? Dengan langkah cepat pelayan itu mencari Sony yang masih setia berdiri di ruang keluarga. Ia tidak duduk sama sekali karena Ariana tidak memerintahkannya untuk duduk. "Tuan Sony, Anda ditunggu Nyonya di mobilnya." "Ah, baiklah." Sony sedikit terkejut. Ia bergegas keluar agar tidak membuat Ariana menunggunya terlalu lama. Adamis tidak jadi berangkat. Masih terlalu pagi untuk ke kantor. Tadinya ia ingin ke rumah Evara untuk memberitahu kematian Brian, tapi sekarang itu tidak perlu lagi. Tanpa membuka setelan jasnya ia berbaring di tempat tidurnya dan menatap langit - langit kamarnya. 'Bagaimana cara Mama memberitahunya? Kenapa Mama terlihat begitu exited?' Adamis tidak tau kalau Ariana bahkan ingin menjemput Evara agar tinggal di rumah ini. Bersama mereka. Andai ia tau, ia tentu akan menentangnya habis - habisan. Brian sudah tidak ada lagi. Buat apa perempuan itu ada di sini? Sony membungkukkan tubuhnya sebelum naik di samping sopir. Ariana hanya mengangguk sedikit. "Cepatlah," Titahnya pada sopir pribadinya. Sopir itu mulai menyalakan mobilnya seraya menatap Sony. "Dari pintu gerbang belok ke kiri." Beritahu Sony. Ia yang akan memandu perjalanan ini. Ariana tersenyum dengan air mata yang kembali turun di pipinya. 'Aku akan membawa istri dan anakmu pulang, Brian. Maafkan Mama, Sayang.' Ia membuka tas dan melihat ponsel Brian. Ini yang akan ditunjukkan pada Evara kalau ia tidak mempercayai ucapannya. Evara tidak pernah mengenalnya. Mungkin ia akan menolak semua yang ia katakan. Ada dompet Brian juga. Ariana merasa hatinya teriris melihat hanya ada beberapa lembar uang kecil di dompetnya. Ada fotonya bersama Evara, itu yang akan membuat Ariana nanti dapat mengenalinya. 'Evara - mu menang cantik sekali, Sayang. Apa hatinya juga secantik itu?' Tangan Ariana mengusap wajah Brian dalam foto, lalu ia mengusap wajah Evara juga. 'Bagaimanapun ia sedang mengandung darah daging Brian, cucuku.' Hati Ariana menjadi hangat. Perlahan Ia mengusap air matanya. ************ Brian tidak juga pulang. Evara menjadi semakin cemas dan gelisah. Ia tidak tahu harus mencari Brian kemana. "Aku hidup sebatang kara." Kata Brian waktu itu saat mereka menikah. "Keluargaku hanya Kamu, Sayang. Kuharap Kamu nggak keberatan." Itu lebih baik buat Evara. Daripada mempunyai keluarga seperti ibu dan adiknya? "Kita sekarang ini satu keluarga, Sayang. Suatu saat Aku akan membawamu pergi dari sini." Evara tidak mempersalahkan itu. Bersama Brian ia menemukan kebahagiaannya di tengah terpaan hinaan dan celana yang ia terima selama ini. "Uangmu selamanya tidak akan pernah cukup. Apa Kamu bisa menyembuhkan kakiku?" Sengit Athena. Uang Evara selalu habis untuk kebutuhan makan mereka. Ia bahkan tidak mempu menyenangkan dirinya sendiri. Wajahnya selalu polos tanpa make up. Tapi kecantikannya tetap memancar keluar. Itu yang membuat Brian jatuh cinta. "Ia akan menjadi seorang putri jika dipoles sedikit saja." Katanya pada Sony. Sony tidak menyangkalnya. Evara memang sangat cantik. "Belok lagi ke kiri." Kata Sony. "Apakah masih jauh?" Tanya Ariana. Mereka sudah keluar dari pusat kota sepuluh menit yang lalu. "Katanya Ia bekerja di Mall Bahana, itu lumayan jauh dari sini." Kata Ariana lagi. "Memang, Nyonya. Tapi kalau naik motor bisa lebih cepat. Ia harus menghabiskan waktu tiga puluh menit pulang pergi dari tempat kerjanya dengan motor Brian." Jelas Sony. 'Motor? Sejak kapan Brian mengendarai motor? Motor siapa? Ah ya, Brian meninggal karena kecelakaan motor!' Ariana tidak tau kalau Brian mendapat fasilitas motor dari tempatnya bekerja. Dengan itu ia bisa menghemat uang Evara agar tidak dihabiskan untuk naik ojek online. Ariana menghela nafas. Begitu sulitnya kehidupan Brian setelah menikah. Ia mempunyai andil di dalamnya. 'Mama akan membayar semua kesalahan ini, Sayang. Mama akan menjaga istri dan anakmu mulai sekarang. Kamu beristirahatlah dengan tenang.' hati nya mengeluarkan tekad. Pihak proyek tempat Brian bekerja juga mendapat laporan tentang kecelakaan yang menimpa Brian. Itu karena motornya terdaftar atas nama perusahaan yang sedang mengerjakan proyek itu. "Apa istrinya sudah tau, Pak?" Tanya pimpinan proyek dengan nada prihatin. "Belum. Kami belum memberi kabar ini langsung pada istrinya. Katanya pihak keluarga almarhum yang akan memberitahunya." "Jadi begitu." Ia tau Brian belum lama menikah dan kabarnya istrinya sedang mengandung. 'Kasihan sekali.' gumamnya dalam hati. Ia memutuskan untuk mendatangi rumah Evara untuk memberi tanda bela sungkawa. Ia datang lebih dulu dari Ariana. Evara sedang bersiap untuk berangkat ke tempat kerjanya saat sang Ibu memanggilnya, "Eva! Ada yang mencarimu!" "Siapa?" Evara balas berteriak. Ia baru selesai mengenakan seragamnya. "Keluarlah dan tanya sendiri!" Ketus Safira. Athena masih tidur di kamarnya setelah semalam ia pulang dalam keadaan mabuk. Evara keluar dan menemui tamu yang ingin bertemu dengannya itu. Pimpinan proyek dan anak buahnya melihat perut Evara yang masih rata. 'Ia seperti gadis yang belum menikah.' Itu yang ada dalam pikiran mereka. "Ada apa, ya? Siapa Kalian?" Tanya Evara halus. "Duduklah." Katanya sambil meminta maaf. Ia bertanya sebelum mempersilakan tamunya duduk. Mereka mengikuti permintaan Evara untuk duduk di sofa yang sudah usang tapi bersih. Evara tidak pernah lupa membersihkannya. "Kami hanya ingin menyampaikan uang duka cita ini." pimpinan proyek membuka suaranya. **********Malam mulai datang. Waktu bergulir dengan cepat tapi tidak untuk Adamis dan Evara. Mereka mulai merasa lelah dan ingin beristirahat. Terutama Evara. Ia merasa perutnya nyaris kram tapi ia tetap harus bertahan. Sudah hampir jam sembilan malam saat akhirnya tamu terakhir pulang. Mereka adalah anak - anak buah Adamis di kantornya. Termasuk Robby dan Sony. "Kekasihmu itu.. Tidak datang?" Tanya Evara ketika Adamis mengajaknya beristirahat dan mengganti pakaian mereka. Ia berbicara dengan suara pelan. Adamis menautkan alisnya. "Kekasihku? Siapa maksudmu?"Adamis menatap Evara yang langsung mengalihkan pandangannya. Adamis menjadi gemas. Ia langsung menarik lengan Evara dengan keras. "Aa!" Evara menjerit karena terkejut. Tahu - tahu ia sudah ada dalam pelukan Adamis. Pipi Evara langsung memerah menyadari tatapan tajam Adamis. Wajah mereka begitu dekat. Nafas mereka juga saling menyapu wajah masing - masing. Evara mulai merasa malu dan takut sekaligus. Apa Adamis marah padanya? Evara
Evara bangun dari sofa yang ia duduki bersama Athena. Ia melihat Ariana tampil sangat cantik dengan gaun yang sama dengan Safira. Ariana melihat Safira dan mencoba menyapa, "Besan sudah datang."Safira memaksakan senyum. Entah kenapa sejak datang tadi ia terus menerus merasa insecure. Ariana mengamati Safira yang sedang dirias. Safira cantik tapi kecantikannya tidak sebanding dengan Evara. Athena juga tampan tapi ia juga tidak mirip dengan ibunya. "Athena itu seperti jiplakan Ayahku, Ma. Dia tampan, kan?"'Meski sayang, kakinya cacat.'Bagaimanapun Evara sangat menyayangi adiknya. Ia tiba - tiba merasa sedih. Ia merasa bersalah karena itu yang dibebankan padanya sejak kecil. Ariana jadi berpikiran aneh. 'Kalau Athena seperti Ayahnya, lalu Eva mirip dengan siapa?'"Ayo Kita turun, Sayang. Banyak tamu yang menanyakanmu."Evara menatap Ariana dengan perasaan gelisah. Ia belum mampu menghadapi tamu - tamu yang datang."Aku menunggu Ibu." Katanya dengan nada memohon. Tiba - tiba Safi
"Eva akan menikah? Bagaimana bisa?" Safira menatap undangan virtual yang baru diterimanya. Evara akan menikah dengan Adamis. 'Bukannya dia itu adik si Brian?'"Atha! Eva akan menikah!" Beritahunya pada Athena. "Aku tau, Bu. Aku juga dapat undangannya." Sahut Athena malas. Sudah hampir seminggu ia menikah tapi Viona tidak mengizinkannya untuk datang ke rumahnya. "Beri ruang dan waktu untukku, Sayang. Aku juga merindukanmu." Bujuk Viona melalui ponselnya. "Aku nggak bisa melawan keinginan bayi ini. Apa dayaku?"Viona pura - pura mengeluh. Athena hampir putus harapan. Ia mulai merasa Viona sedang mempermainkannya. Athena mulai menyesal telah memberikan kartu yang diberikan oleh Evara sebagai hadiah pernikahannya pada Viona. "Aku akan datang untuk mengambil kartu itu, Vion."Viona merasakan suara Athena yang datar. Ia pura - pura tidak mengerti apa yang Athena maksud. "Kartu? Kartu apa maksudmu, Sayang?"Viona membuat suaranya terdengar manja. Athena mendengus, "Kartu yang diber
"Aku berhenti kerja, Leon. Tolong ambil sisa gajiku bulan ini. Semuanya untukmu."Evara sedang menjawab telpon dari sahabatnya, Leoni. "Apa aku nggak salah dengar, Eva? Kamu berhenti bekerja? Bukannya Kamu tidak ingin diam saja di rumah? Kandunganmu juga belum kelihatan."Evara baru hamil 5 minggu saat Brian berpulang. Sekarang sudah 2 bulan sejak kepergian Brian. "Aku akan menikah, Leon. Calon suamiku melarangku bekerja di sana lagi."Leoni langsung speechless. Ia kehilangan kata - katanya untuk beberapa saat. Evara menautkan alisnya. Tidak ada sahutan dari Leoni. "Leon? Kamu masih di situ?"Leoni langsung sadar. "Dengan siapa Kamu menikah, Eva? Selamat, ya. Apa Dia setampan dan sebaik Brian?"Evara yang terdiam sekarang. "Eva? Apa Aku menyinggungmu? Maafkan Aku. Eva?"Suara Leoni makin membuat Evara merasa tidak nyaman. "Aku tutup dulu, Leon." Katanya sambil memutus sambungan telponnya. Leoni menjadi kebingungan. Apa suami Evara yang sekarang itu tidak sebanding dengan Brian
Adamis semakin kesal. Di suasana seperti ini mamanya tetap mengingat Evara. Evara sendiri duduk di ruang keluarga. Ia nyaris sampai ke ruang tamu saat hatinya mulai ragu. 'Sebaiknya Aku menunggu di sini aja. Nggak ada kepentingaku sama sekali.' kata hatinya. Adamis bangun dan mengatakan, "Sebentar, Ma."Adamis berjalan ke belakang untuk mencari Evara. Setidaknya sejenak ia terbebas dari gencaran tatapan Alea dan keluarganya. Ia menemukan Evara duduk sendirian di ruang keluarga. Ia terkejut melihat Adamis datang dan menghampirinya. "Kenapa Kamu malah duduk di sini? Mama memanggilmu." Omel Adamis. Tanpa menunggu jawaban dari Evara, Adamis langsung berbalik. Dengan ragu Evara melangkah mengikuti langkah Adamis yang terlihat enggan. Ia mencoba membenahi letak gaunnya. 'Apa Aku tidak akan membuat Mama malu?' kata hatinya gelisah. Pemandangan di ruang tamu membuatnya gugup. Memang tidak ada yang memperhatikan kedatangannya selain Ariana. Semua mata sedang tertuju pada Adamis. "Na
Merasa malu karena terpergok, Evara berusaha melepaskan tangan Adamis. Adamis juga langsung melepaskan tangannya. Evara mendekati Ariana. "Tadi Aku mau jatuh jadi Adamis memegangku, Ma."Evara berusaha menjelaskan. Ia takut Ariana salah paham. "Aku mau mandi dulu." Kata Adamis sambil membalikkan tubuhnya dan kembali naik ke atas. "Nggak papa, Sayang. Apa Kamu udah enakan? Mama ingin mengatakan sesuatu padamu dan Dami." Kata Ariana lembut. Evara mulai cemas. Apa yang ingin Ariana katakan? Apa Ariana ingin menegurnya karena ia tadi terlalu dekat dengan Adamis? "Tapi.. Tapi..""Tenang aja, Sayang. Mama nggak akan menggigitmu."Ariana tertawa melihat Evara tersipu malu. Ariana mengajak Evara menuju pantry. Melihat kesibukan di sana dan aroma masakan yang mulai menyebar membuat Evara heran. 'Ada apa, ya?' "Alea ingin melamar Dami. Lucu, ya? Perempuan kok melamar laki - laki?" Kata Ariana seperti menebak apa yang sedang Evara pikirkan. Ariana tertawa geli tanpa menyadari perasaan E







