Pov DaniSetelah mengancam Ola, aku langsung pergi begitu saja dari hadapannya dan Dokter Eric. Ola terlihat ingin mengejarku, tapi lagi-lagi dia di gagalkan oleh lelaki sialan itu."Awas kamu Ola, kamu pikir aku cuma main-main dengan ancamanku!" gumamku sembari naik dalam mobil. Ku lihat dokter sial*n itu tengah berbincang dengan Ola saat mobilku melewati mereka. Ada rasa sesak yang menghimpit dadaku melihat itu semua."Brengs*k!" aku memukul stir mobilku menggunakan satu tanganku karena hingga detik ini pun aku belum juga bisa meredakan amarahku.Dalam kalutnya pikiranku, tiba-tiba aku dikejutkan oleh sebuah mobil yang tiba-tiba memepet mobil milikku.Aku hentikan mobilku dan langsung keluar demi melihat siapa yang berani-beraninya melakukan itu.Tak berapa lama kemudian empat lelaki berwajah sangar turun dari mobil tersebut, awalnya aku pikir mereka adalah orang suruhan Dokter Eric. Namun setelah beberapa saat kemudian muncul lagi satu mobil, semua kecurigaanku terbantahkan. Ya, or
Pov Anisa"Bagaimana keadaan adikmu hari ini?"Aku masih pura-pura menutup mata kala Dokter Eric datang ke kamarku. Mbak Ola memang dari sore berada disini menungguiku, karena tak mau kehilangan perhatiannya lagi aku terus berpura-pura lemah di depannya. Padahal aku rasa keadaanku sudah mulai membaik."Suhu tubuhnya sudah normal, Dok. Namun sampai sekarang Anisa masih kelihatan lemah dan tak mau makan."Dokter Eric mengecek suhu tubuhku dengan punggung tangannya. "Benar katamu suhu tubuhnya sudah normal. Mungkin dia butuh sehari atau dua hari lagi untuk bisa benar-benar pulih!""Syukurlah kalau begitu, Dok." ucap Mbak Ola. Aku bisa mendengar jelas helaan nafas panjangnya."La, kamu yakin akan selamanya menyembunyikan adik kamu disini?"Pertanyaan Dokter Eric pada Mbak Ola tiba-tiba menarik perhatianku. Aku tak sabar mendengar jawaban dari wanita yang pernah kusakiti hatinya ini."Saya juga masih bingung, Dok. Di satu sisi saya kasian sama dia. Saya merasa bersalah pada Almarhum Ayah
"Aku sudah pernah jahatin, Mbak. Aku enggak mau ngulang kesalahan yang sama. Aku harap Mbak enggak salah pilih suami lagi!" Aku terus berusaha mencuci otak Mbak Ola. Dia memang diam saja, tapi bisa ku lihat raut wajah kecewa wanita itu dari sorot matanya."Habisin makanannya baru minum obat. Mbak balik ke depan dulu!""Makasih, Mbak!" aku paksa bibirku untuk tersenyum di depan Mbak Ola. Dia hanya sedikit membalas senyumanku. Segera dia pergi meninggalkanku di ruangan sempit ini.Setelah kepergian kakak tiriku, aku melahap habis makanan pemberiannya. Dari dulu Mbak Ola memang pintar memasak, rasa masakannya tak kalah dari makanan di restoran bintang lima.Setelah kenyang ku lirik obat di atas meja. Aku tak meminumnya seperti pesan Mbak Ola. Aku sudah benar-benar sembuh jadi buat apa aku meminum obat lagi.Ku lirik jam di dinding kamar ini, ternyata sudah jam delapan siang. Jam segini Elsa pasti sudah pergi sekolah jadi aku tidak perlu bersembunyi lagi.Bosan berada di kamar, aku memut
Pov Ola"Kamu kenapa, Nis. Kok kaya ketakutan gitu?" tanyaku pada Anisa ketika wanita itu mendekat membantuku menepikan troli berisi barang-barang belanjaan."Enggak kenapa-kenapa, Mbak. Owh ya, barang belanjaan sebanyak ini, kita enggak mungkin bisa bawa sendiri ke tempat parkir. Gimana ini?" tanyanya."Itu ada Bang Yanto, dia bakal tolong bawa salah satu troli ini kok!" ucapku sembari menunjukan jari telunjukku ke arah Bang Yanto. Kebiasaan sopir pribadi Nyonya Hani ketika menungguiku belanja yakni minum kopi di kedai kopi yang berada tepat di di depan supermarket ini."Bang Yanto sejak kapan berada di situ, Mbak?" Pertanyaan Anisa membuatku sedikit mengernyit. Entah apa yang terjadi pada wanita itu barusan, tapi sepertinya dari tadi dia terus terlihat sangat panik."Kayaknya dah dari pertama kita masuk dia disitu. Soalnya tiap antar aku belanja, dia selalu nungguin aku di tempat itu.""Apa? Kok bisa aku enggak lihat!" ucapan Anisa makin membuat aku bingung."Memangnya kenapa kalau
Pov Ola"Gimana, Mbak. Apa yang di bicarakan Dokter Eric. Kenapa dia sampai ngajak ngobrolnya di kamar? Dia enggak ngelakuin sesuatu yang buruk sama Mbak kan?"Baru saja aku menginjakan kaki di dapur, aku sudah di todong banyak pertanyaan oleh adikku Anisa."Enggak, kok. Dokter Eric cuma mau aku ikut makan malam nanti." jawabku jujur."Beneran, Mbak?"Aku mengangguk."Hati-hati loh, Mbak. Nanti ini jebakan saja.""Jebakan gimana maksud kamu, Nis?""Ya, bisa aja kan nanti makanan Mbak di kasih obat tidur terus Mbak di apa-apain Dokter Eric. Kayaknya Nyonya Hani ngebet banget punya menantu kaya Mbak makanya bisa saja mereka bekerjasama untuk jebak Mbak.""Kamu itu enggak cape ya selalu suudzon sama orang. Kalau mereka mau jebak saya sudah lama. Mereka orang baik dan terhormat, enggak mungkin mereka melakukan hal rendah seperti yang pernah kamu dan Mas Dani lakukan padaku." balasku sambil kembali meracik bumbu dapur. Anisa terdiam, sempat ku lihat wajah terkejutnya saat aku mengingatkan
Pov Ola"La, kamu enggak kenapa-kenapa, kan?" suara ketukan pintu toilet terdengar. Aku yang sedari tadi mondar mandir keluar masuk toilet hanya bisa menjawab dari dalam toilet."Enggak kenapa-kenapa kok, Dok." "Kalau kamu baik-baik saja kenapa dari tadi enggak balik ke ruang makan? Apa kamu marah karena ucapan Renata barusan?"Ya ampun, perutku masih terasa mulas namun Dokter Eric malah salah paham."Bukan begitu, Dok. Saya enggak balik ke ruang makan karena dari tadi mondar mandir ke toilet. Perut saya mules sekali. Jadi jangan salah paham!" aku mencoba menjelaskan. Setelah dia tahu kebenarannya aku harap dia akan langsung pergi. Rasanya benar-benar tak nyaman di tungguinya di depan toilet seperti ini."Tadi kamu bilang enggak kenapa-kenapa. Kenapa sih, La. Enggak jujur dari tadi aja. Nanti kalau sudah selesai mulesnya temui aku, ya. Biar aku periksa kamu!""Ba...Baik...Dok...!" balasku sambil menahan sakit. Badanku terasa begitu lemas sekarang. Seingatku aku enggak makan makanan y
Pov Ola"Maaf ya, La. Gara-gara aku bawa adikmu kesini, kamu jadi kembali dicelakai wanita itu. Awalnya aku cuma kasian karena waktu itu dia hampir saja mengakhiri hidupnya karena putus asa." ucap Dokter Erik setelah kepergian Anisa."Enggak apa-apa, Dok. Saya juga salah. Saya pikir dia sudah berubah setelah apa yang sudah di laluinya makanya saya izinkan dia tinggal di sini.""Yang sabar, ya, La. Aku tahu kamu seorang kakak yang baik. Rugi sendiri Anisa kalau dia terus-terusan musuhin kamu."Apa yang diucapkan Dokter Eric benar, Anisa sendiri yang rugi karena sudah menjahatiku. Diluar sana banyak orang-orang jahat. Bahkan ibunya sendiri tega menjualnya demi uang apalagi orang lain. Harusnya Anisa bisa lebih dewasa setelah melalui banyak hal mengerikan di hidupnya. Bukan malah mencari kesempatan lagi untuk menghancurkan orang yang sudah benar-benar tulus ingin membantunya."Dok, saya pergi ke kamar dulu, ya. Saya takut besok bangun kesiangan.""Ok, La. Mimpi yang indah, ya. Kamu janga
Pov Eric"Dok, saya tidak sengaja mendengar obrolan Anisa dan seseorang. Sepertinya mereka mempunyai niat tak baik pada Mbak Ola." ucap Yanto melalui panggilan telepon."Maksud kamu apa?" tanyaku tak paham."Saya kurang begitu paham maksud mereka. Intinya Anisa bilang pada seorang lelaki tua akan menukar tubuhnya dengan Mbak Ola. Dan lelaki tua itu setuju.""Apa?"Tanganku mengepal mendengar ucapan Yanto. Anisa ternyata wanita yang sangat berbahaya. Dia tega sekali melakukan hal sejahat itu pada kakak perempuan yang sudah menolongnya. Aku sangat menyesal sudah membujuk Ola menerima wanita itu lagi di rumahku. Untuk menebus kesalahanku, aku akan melakukan segala cara untuk mengusir wanita itu."Kamu tolong jaga baik-baik, Ola. Jangan sampai kita kecolongan, pastikan Ola aman sampai ke rumah.""Baik, Dok. Saya akan selalu awasi Mbak Ola. Saya pastikan kami selamat sampai ke rumah.""Makasih ya, Yanto. Saya usahakan pulang awal karena kebetulan sepupu saya juga mau datang makan malam ke