Keira menikah demi menyelamatkan keluarganya. Tapi, ia tak pernah tahu, pria yang menjadi suaminya- Rafael Ardian - adalah duda, CEO dingin dengan mata setajam pisau dan rahasia yang membunuh perlahan. Saat sebuah flashdisk mengungkap proyek rahasia bernama R.K Keira sadar: ia bukan hanya istri kontrak, ia adalah bagian dari rencana yang lebih gelap. Tapi bagaimana ia bisa kabur? Saat hatinya perlahan menyerah pada pria yang tak bisa ia percaya.
View More"Kau milikku sekarang,” bisiknya pelan, sebelum ia menyentuh pipiku dengan jemari panjangnya yang dingin.
Aku mematung.
Ini bukan mimpi. Ini nyata.
Aku… baru saja dinikahkan dengan Rafael Ardian, pria yang bahkan baru pertama kali ini aku lihat secara langsung.
Nama itu sering disebut-sebut ayahku dengan nada hormat. Pengusaha sukses, dominan, dan terlalu tampan untuk dipercaya. Namanya sering berseliweran di berita, dan investor yang menyelamatkan bisnis kami—dengan syarat.
Aku dijadikan syarat itu.
Dan sekarang, kami berada di kamar pengantin. Hanya kami berdua.
Kini, aku berdiri di kamar yang lebih besar dari rumahku sendiri.
Gaun kebaya putihku masih melekat di tubuh. Tubuh yang kini terasa terlalu terbuka, terlalu rentan, terlalu… menggoda.
Kutahu bentuk tubuhku tidak sederhana. Pinggangku ramping, bokongku bulat, dan dadaku… ya, sering jadi bahan lirikan sejak aku SMA. Tapi malam ini, aku ingin tubuh ini menghilang. Tertelan bumi. Disembunyikan dari tatapan pria yang kini berdiri beberapa langkah dariku.
Rafael membuka kancing kemeja satu per satu, perlahan. Tatapannya tak pernah lepas dariku.
“Aku suka gaun itu,” katanya tiba-tiba. “Tapi aku lebih suka kalau kau melepasnya.”
Aku berdiri kaku. Rasanya seperti tubuhku lupa cara bernapas—atau bahkan merasa.
“Apa kau… serius?” tanyaku, nyaris berbisik.
Rafael melangkah mendekat. Tubuh tingginya seperti bayangan malam yang melingkupi ruang.
“Apa kau pikir aku bercanda, Keira?” Napasnya hangat di wajahku. Tapi tatapannya dingin. Dalam.
Aku menahan napas saat tangan satunya turun ke pinggangku. Menyentuh kain kebaya yang tipis. Lalu berhenti.
“Tubuh ini terlalu sempurna untuk seorang gadis dengan wajah lugu sepertimu,” bisiknya.
Aku mundur setapak. Tapi ia menarikku. Tubuhku menabrak dadanya. Tubuhnya keras. Panas. Dan aku bisa merasakan—Tuhan, aku bisa merasakan tonjolan itu di antara perut kami yang bersentuhan.
Jantungku seperti meledak.
“Dia terangsang…”
Pikiran itu menyengat. Aku mendorong dadanya dengan kedua tangan, kuat. Tapi ia tak bergeming.
“Aku tidak mencintaimu,” ucapku tajam. “Dan aku tidak ingin disentuh.”
Rafael menunduk, menempelkan keningnya ke keningku. “Cinta bisa dicari nanti. Tapi kamu sudah sah jadi istriku.”
“Tidak berarti aku milikmu seutuhnya malam ini juga.”
“Apa kau pikir aku akan memperkosa wanita yang baru saja jadi istriku?” Suaranya pelan, tapi tegang. “Aku bukan monster, Keira.”
Aku melihat matanya. Dalam. Sulit ditebak. Tapi… bukan tatapan pria yang ingin melukaiku.
Lalu, ia melepaskan pelukannya.
Aku mundur satu langkah. Kakiku seperti kehilangan tulang, dan napasku datang putus-putus—terbata antara takut dan bingung.
“Tapi jangan salah sangka,” katanya pelan. “Tadi… aku memang ingin menyentuhmu. Dan kamu merasakannya, kan?”
Aku menunduk. Panas menjalar dari leher hingga telingaku, dan aku berharap lantai kamar ini bisa membungkusku.
“Bilang padaku kalau kamu tak merasakan apa pun.”
Aku menahan gigi di bibir bawah. “Kamu menjijikkan.”
Tapi bahkan aku bisa mencium kebohongan dari suaraku sendiri.
Tawa pendek keluar dari bibir Rafael. Tapi matanya tidak tertawa. “Justru itu yang paling membuatku tertarik.”
Ia lalu mengambil selimut dari lemari dan melemparkannya ke sofa panjang di sudut kamar.
“Aku akan tidur di sana malam ini. Tapi mulai besok…” ia menatapku dengan pandangan yang menusuk. “Aku tak akan sebaik ini lagi.”
Aku menunduk. Jantungku masih kacau.
Apa yang baru saja terjadi?
Sekarang aku duduk di ujung ranjang, mengenakan daster maroon tipis pemberian Ibu—kainnya murahan, tapi malam ini terasa seperti jubah tak terlihat yang tak mampu melindungiku. Gaun kebaya sudah kulepas. Rambutku tergerai, menjuntai lembab karena peluh, atau mungkin gugup.
Langit di luar gelap, tapi lampu gantung mewah di langit-langit tetap menyala redup. Cahaya keemasan memantul di lantai marmer, membuat ruangan terasa lebih dingin dari seharusnya.
Rafael tak bersuara dari sofa. Tapi aku bisa merasakan tatapannya menusuk punggungku.
Lalu… langkah pelan terdengar.
Detak jantungku ikut melambat. Aku menoleh sedikit. Rafael berdiri, lalu melangkah perlahan ke arahku. Diam. Penuh kendali. Seperti bayangan yang tak bisa ditolak.
Ia duduk di tepi ranjang, hanya beberapa jengkal dari tubuhku.
Tangan besarnya terulur, menyentuh pundakku. Lembut. Tapi dingin. Entah mengapa, aku menggigil karena sentuhan itu…
"Keira..." gumamnya. Suaranya berat, namun bukan hanya karena hasrat. Seolah ada banyak yang ia tahan.
"Kalau kau terus terlihat seperti ini... aku mungkin akan berubah pikiran."
Aku menoleh cepat. “Kau gila.” Tapi bibirku gemetar saat mengucapkannya.
Rafael menatap tubuhku. Tatapannya menurun ke dadaku. Aku tahu dasterku tipis, dan membuat gundukan besar itu menyembul di baliknya. Tapi aku juga tahu… ia tahu batas.
Untuk sejenak, kami hanya terdiam. Nafas kami jadi satu-satunya suara di ruangan yang terlalu mewah untuk pernikahan yang tak diinginkan.
Matanya masih padaku. Tapi aku menggigit bibir, mencoba menenangkan rasa tak nyaman yang menjalari tengkukku.
Sebelum ia menyentuhku lagi, aku berkata, “Jangan.”
Ia berhenti. Memejamkan mata sejenak. Tarik napas panjang. Lalu berdiri.
"Kau menang malam ini." Ia berjalan menjauh. Tapi sebelum ia benar-benar berbalik, ia menoleh dengan sorot mata seperti badai yang belum sempat datang.
"Tapi tidak untuk malam-malam selanjutnya. Aku akan membuatmu menyerah. Perlahan. Tanpa paksaan."
Tak lama terdengar air mengalir dari kamar mandi.
“Keira…”
Aku mendengar namaku disebut—pelan, dalam, seperti keluhan tertahan. Suara Rafael.
Aku menajamkan telinga. Awalnya aku pikir dia bicara sendiri. Tapi suara itu kembali terdengar.
“Keira… sial…”
Aku menggigit bibir. Tubuhku menegang. Suara itu… bukan sekadar suara.
Nafasku tercekat ketika kudengar hembusan nafas berat lalu disusul suara Rafael… lebih jelas, lebih berat.
Aku tahu suara seperti itu. Aku bukan anak kecil. Dan aku tahu apa yang sedang terjadi di balik pintu itu.
Dia menyebut namaku. Saat dia melepaskan hasratnya.
Aku menutup telinga dengan kedua tangan, tapi suara itu seperti menggema langsung ke dalam pikiranku. Satu dua detik… lalu napasnya semakin cepat… lalu—
“Keira… ohhhh...”
Aku memejamkan mata kuat-kuat.
Aku ingin berteriak. Tapi tak ada suara yang keluar. Aku hanya membenamkan wajah ke bantal, mencoba menenangkan jantung yang memukul-mukul dada.
Beberapa menit kemudian, suara air berhenti.
Aku menahan napas.
Pintu kamar mandi terbuka perlahan. Rafael keluar dengan hanya mengenakan handuk yang melilit pinggang. Rambutnya masih basah. Tapi bukan itu yang membuatku memalingkan wajah dengan wajah panas membara.
Tatapannya… tak lagi seganas tadi. Tapi juga bukan lemah.
Itu tatapan pria yang puas.
Aku menunduk, berpura-pura tidur. Tapi jantungku masih memburu liar. Kupikir dia akan bicara. Tapi tidak. Dia hanya menghela napas, mematikan lampu utama, lalu kembali ke sofanya.
Dan aku? Aku masih terjaga, ku tarik selimut hingga ke dagu, tapi tangan ini tetap gemetar seolah menyimpan sisa badai yang belum selesai.
Dia melepaskan hasratnya… sambil membayangkanku.
Itu membuatku marah.
Tapi… juga membuatku malu.
Dan entah kenapa… bagian kecil di dalam diriku—bagian yang paling kubenci—merasakan rasa aneh yang tak bisa kugambarkan.
Brrr… brrr… brrr…Getaran itu menusuk telingaku, memaksa kesadaranku kembali dari tidur yang tak benar-benar lelap. Kelopak mataku berat, kepala terasa berdenyut, dan setiap sendi tubuhku seperti dipukul berulang kali. Rasa sakit merayap dari bahu hingga ke pinggang, mengingatkan malam panjang yang baru saja kulewati. Aku menggeliat sedikit, merintih pelan, tapi yang kudapat hanya rasa perih yang membuatku mengerutkan wajah.Suara bergetar itu belum berhenti. Ritmenya konstan, menyebalkan, datang dari arah nakas di samping ranjang. Perlahan, dengan tenaga yang tersisa, aku melirik sisi tempat tidur. Kosong. Rafael sudah tidak ada. Hanya sprei kusut, aroma maskulinnya yang masih tertinggal, dan keheningan yang terasa menyesakkan.Aku menarik napas panjang, menutup mata sejenak, berharap getaran itu berhenti sendiri. Tapi tidak. Getaran itu semakin lama semakin memaksa, seolah sengaja mengusik sisa-sisa tenang yang kupunya. Dengan desahan letih, aku memaksa tubuhku bangkit, menyibakkan
Brak!Aku terhempas di atas kasur, tubuhku memantul di permukaan empuk yang terasa seperti perangkap. Nafasku tercekat, kedua tangan refleks meraih selimut untuk menutupi diri. Tapi Rafael sudah di atasku, menahan kedua pergelangan tanganku di sisi kepala, tubuhnya menindih tanpa memberi jarak.“Rafael… lepaskan…” suaraku pecah, campuran takut dan marah. Aku meronta, tapi kekuatannya tak tergoyahkan.Dia menatapku lama, tajam, lalu mendengus pendek, seakan kesabarannya habis. “Tidak ada lelaki waras yang bisa menahan diri dengan istri sepertimu di rumah,” gumamnya serak. Tangannya berpindah, menyentuh rahangku kasar, lalu turun menyusuri leher hingga berhenti di dada. “Putih… terlalu besar... lembut… sempurna.” Jemarinya menekan perlahan di sana, membuatku terperangah, pipi panas terbakar malu.“Jangan…,” bisikku terputus-putus, air mata menetes di pelipis.Dia hanya mengangkat sebelah alis, bibirnya tersenyum miring tapi matanya tetap gelap. “Kau tidak tahu betapa aku menahan ini sej
"Keira."Suaranya tajam. Dalam. Membekukan udara yang semula tenang.Aku mematung di balik semak, kaki yang baru saja hendak mundur terasa membatu. Perlahan, aku menoleh. Rafael berdiri tegak, pandangannya menusuk segelap malam, tepat ke arahku. Aku tak tahu bagaimana dia bisa melihatku di balik bayangan pohon itu, tapi sorot matanya... seakan aku tak punya tempat bersembunyi lagi."Kabur, hm?" Suara itu kembali menghantam, datar, dingin, tanpa nada marah—justru itu yang membuatku semakin takut.Bagaimana dia tahu rencanaku?Sebelum aku bisa bergerak, suara tawa kecil mengiris ketegangan itu.Wanita bergaun merah darah yang tadi memeluk Rafael kini berbalik, matanya menyapaku dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan menghina. Ia melangkah mendekat, hak tingginya mengetuk bebatuan dengan irama yang membuatku ingin mundur lebih jauh lagi."Jadi ini istrimu, Rafael?" katanya, senyumnya miring, menusuk. "Aku, Dinda. Mantan istri Rafael." Dia memperkenalkan diri dengan angkuh. Fakta ba
“Kamu selalu menolak setiap kali aku sentuh, tapi sepertinya tubuhmu berkata sebaliknya.”Langkahku langsung terhenti di anak tangga terakhir.Suara itu—dalam, dingin, dan menohok—datang dari ujung ruang makan. Suara Rafael. Ada bara yang ia sembunyikan di balik ketenangan itu. Mataku langsung menemuinya, duduk di kepala meja, satu tangan menopang dagu, dengan sorot yang membuat tengkukku panas.Tapi dia tidak menatap wajahku. Pandangannya jatuh tepat ke arah tubuhku.Aku langsung sadar kenapa.Gaun marun ketat ini terlalu menonjol. Mbok Narti yang menyodorkannya, katanya semua bajuku belum selesai dicuci. Aku tak sempat menolak. Tapi jelas, Rafael akan berpikir lain. Dan sekarang... aku merasa seperti sedang telanjang di hadapannya.Tanganku gemetar. Tapi aku berdiri diam di sana. Rahangku mengatup.Rafael bangkit perlahan. Langkahnya terdengar berat dan pasti, seperti dentang ancaman yang semakin mendekat. Aku ingin lari, tapi kakiku beku.Beberapa detik kemudian, dia sudah berdiri
"Kau milikku sekarang,” bisiknya pelan, sebelum ia menyentuh pipiku dengan jemari panjangnya yang dingin.Aku mematung.Ini bukan mimpi. Ini nyata.Aku… baru saja dinikahkan dengan Rafael Ardian, pria yang bahkan baru pertama kali ini aku lihat secara langsung.Nama itu sering disebut-sebut ayahku dengan nada hormat. Pengusaha sukses, dominan, dan terlalu tampan untuk dipercaya. Namanya sering berseliweran di berita, dan investor yang menyelamatkan bisnis kami—dengan syarat.Aku dijadikan syarat itu.Dan sekarang, kami berada di kamar pengantin. Hanya kami berdua.Kini, aku berdiri di kamar yang lebih besar dari rumahku sendiri.Gaun kebaya putihku masih melekat di tubuh. Tubuh yang kini terasa terlalu terbuka, terlalu rentan, terlalu… menggoda.Kutahu bentuk tubuhku tidak sederhana. Pinggangku ramping, bokongku bulat, dan dadaku… ya, sering jadi bahan lirikan sejak aku SMA. Tapi malam ini, aku ingin tubuh ini menghilang. Tertelan bumi. Disembunyikan dari tatapan pria yang kini berdir
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments