LOGINArga heaven, seorang mahasiswa pendidikan sejarah, tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah menemukan seorang gadis misterius di bawah lampu jalan yang berkedip di tengah hujan. Gadis itu, Hina Everleigh, mengenakan gaun putih klasik seperti berasal dari abad ke-19 dan tidak mengingat siapa dirinya atau bagaimana dia bisa berada di dunia modern. Namun, kehadiran Hina membawa keanehan. Arga mulai melihat kilasan dunia lain-kota tua dengan jalan berbatu, ballroom megah, dan bayangan dirinya dalam balutan pakaian bangsawan. Seiring waktu, batas antara masa lalu dan masa kini semakin kabur. Dunia modern dan dunia lama mulai bertabrakan, garis waktu dua dunia berantakan, membawa mereka ke dalam pusaran misteri yang mengancam eksistensi keduanya. Tapi waktu mereka terbatas. Jika mereka tidak menemukan jawabannya sebelum purnama berikutnya, salah satu dari mereka akan menghilang selamanya. Di antara dua dunia, mereka berdua diuji. Apakah takdir akan memberi mereka kesempatan, ataukah mereka harus berpisah untuk selamanya?
View MoreMalam itu, hujan turun tanpa jeda.
Langit seolah ikut menangis. Tapi anehnya, air mata Arga kecil terus mengalir. Dia hanya anak kecil tak berdosa yang sedang dalam saat hancurnya. Ia duduk di pojok kamarnya, memeluk boneka singa yang bulunya sudah mulai rontok. Di balik matanya yang sembab, ada satu pertanyaan yang terus ia ulang-ulang: "Kenapa aku harus ada di sini?" Sejak ibunya pergi, semua berubah. Rumah menjadi asing. Ayah menjadi dingin. Dunia menjadi lebih gelap dari sebelumnya. Dan malam itu, di antara suara hujan dan sunyi yang menggigit tulang, seseorang datang membuka pintu. Seseorang yang berdiri di tengah kamar dengan wajah kabur, seperti diselimuti kabut. Rambutnya hitam, tubuhnya tinggi, matanya buram seperti kaca berembun. Arga kecil menatap orang itu dengan mata membesar. "Siapa...?" Orang itu tidak menjawab. Hanya berlutut di hadapannya, lalu memeluknya erat-erat. "Maafkan aku... karena aku hampir menyerah padamu." Bisik orang itu. Anak kecil tak bicara. Tapi air matanya jatuh-dan untuk pertama kalinya, Orang itu memeluk Arga kecil. Pelukan yang aneh. Hangat, tapi berat. Seperti menelan semua rasa sakit tanpa perlu dijelaskan. "Kenapa kamu sedih?" bisik orang itu. Arga kecil menggigit bibir. Matanya kembali memanas. "Karena aku nggak tau caranya berhenti sakit." Orang itu mengelus kepalanya, pelan. Suaranya berat, seperti suara yang pernah Arga dengar tapi lupa dari mana. "Nggak apa-apa sedih." "Nggak apa-apa takut." "Nggak apa-apa nggak ngerti kenapa hidup begini." "Maafkan aku... karena aku hampir menyerah padamu." Arga kecil menatapnya dengan mata bingung. Arga kecil memeluk boneka singanya lebih erat. "Tapi kenapa? Semua orang bilang aku beban. Kalau aku hilang, dunia lebih baik." Orang itu tersenyum samar-meski wajahnya tetap kabur. "Kamu nggak perlu kuat sekarang, kamu berguna suatu hari nanti meskipun kamu harus melewati ribuan masalah, ribuan hinaan, ribuan kebencian." "Tugasmu cuma satu: jangan lepasin pelukan ini. Jangan lepasin dirimu sendiri. Dunia ini tidak pernah berkata tidak membutuhkanmu, itu hanya perkataan orang-orang yang membenci dirimu." "Aku hanya ingin bilang... Jangan pernah menyerah." Arga kecil tersenyum mendengar kata-kata orang misterius tersebut. Hanya beberapa kata penyemangat membuat perasaan Arga kecil kini menjadi lebih baik. Belum pernah ia mendengar kata-kata tersebut diberikan kepadanya. Pelan-pelan, dunia di sekitarnya memudar. Suara hujan lenyap, kamar kembali seperti semula, dan Arga kecil terbangun dengan peluh membasahi wajahnya. Ia masih memeluk boneka singa itu. Tapi anehnya, ada rasa yang berbeda. Ada sesuatu yang tersisa di dadanya. Sesuatu yang tidak ia mengerti saat itu. Sebuah janji. Janji yang akan dia bawa sampai dewasa, dia tak akan melupakan orang itu. ----------------------------------------------------------- Hujan deras mengguyur atap rumah sakit itu. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Arga duduk di bangku lorong, menggenggam erat ponselnya yang bergetar, namun tak sanggup ia jawab. Dalam ruangan ICU, detak jantung ayahnya perlahan melemah, hingga akhirnya-garis lurus muncul di layar monitor yang berada di samping ayahnya yang terbujur kaku. "Maaf, kami sudah berusaha semampu kami, tapi tuhan berkehendak lain." ujar dokter dengan suara pelan. Arga tak menjawab, hanya terdiam. Matanya nanar menatap tubuh ayahnya yang kini tak bergerak. Dunia seakan runtuh di hadapannya. Langit gelap dan hujan petir membuat suasana semakin hancur. Beberapa hari setelah pemakaman, Arga berdiri di depan pintu apartemen kontrakan mereka. Sepi. Tak ada lagi suara ayahnya. Ibunya telah lama meninggalkan mereka karena masalah keluarga, dan kini, hanya ada dirinya. Kehidupan suram masa lalunya selalu mengekang dan menguncinya. "Jadi sekarang aku benar-benar sendiri...," gumamnya lirih. Arga berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang buruh pabrik yang bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan mereka, sementara ibunya pergi meninggalkan mereka ketika Arga masih kecil. Ayahnya selalu mengajarkan Arga untuk mandiri walaupun terkadang ia tidak memperdulikan Arga, ayahnya selalu mendidiknya untuk tidak bergantung pada siapa pun. Namun, dengan kepergiannya, Arga merasa seperti kehilangan tiang penopang terakhir dalam hidupnya. Tak ingin larut dalam kesedihan, Arga memutuskan untuk pindah ke sebuah apartemen yang lumayan murah-ruangan bernomor 201, hasil dari sedikit warisan yang ditinggalkan ayahnya. Hidup sendiri di ibu kota bukanlah hal mudah, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Ia harus bertahan. --- Arga heaven adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Sejarah di salah satu universitas negeri. Sejak kecil, ia selalu tertarik pada kisah masa lalu, pada bagaimana peristiwa-peristiwa sejarah membentuk dunia saat ini. Namun, beban hidup tak mengizinkannya hanya fokus pada kuliah. Untuk mencukupi kebutuhannya, ia bekerja paruh waktu sebagai pelayan di sebuah kafe pusat kota. Jadwal kerjanya tidak menentu, kadang ia bekerja malam hari, kadang ia mendapatkan hari libur di sela-sela kesibukannya. Setiap kali mendapat giliran kerja, ia mengenakan seragam putih-hitamnya dan mulai bekerja. Mengantar pesanan, melayani pelanggan, mencatat orderan, dan membersihkan meja menjadi rutinitasnya. Gaji yang didapatnya tak besar, tapi cukup untuk bertahan hidup. "Arga, ada pesanan meja tiga!" panggil Rendi, rekan kerjanya. "Siap, kak!" Arga segera membawa nampan berisi makanan ke meja yang dimaksud. Kadang, di sela kesibukannya, Arga termenung. Ia sering bertanya-tanya, apakah kehidupannya akan selalu seperti ini? Berjuang sendirian di tengah kota yang tak pernah tidur? Namun, di balik keraguan itu, ada tekad dalam dirinya untuk menyelesaikan kuliah, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, dan membuktikan bahwa ia bisa bertahan, meski sendirian. Jam 11:00. Malam itu, setelah menutup kafe, Arga berjalan pulang melewati trotoar yang basah karena hujan. Ia menatap langit yang penuh dengan cahaya lampu gedung. Ia memikirkan masa depan, tentang bagaimana ia akan melewati hari-hari mendatang tanpa ayahnya. Sesampainya di apartemen, ia merogoh sakunya untuk mengambil kunci. Saat membuka pintu, ia mendapati surat dari pihak kampus terselip di bawahnya. Surat itu berisi pemberitahuan tentang pembayaran uang kuliah yang segera jatuh tempo. Arga mendesah. Ia harus mencari cara untuk mendapatkan uang tambahan, atau ia berisiko harus menunda kuliahnya. "Besok adalah hari baru," bisiknya kepada diri sendiri. "Aku pasti bisa."Perjalanan menuju pasar Evernight dimulai sejak fajar belum sepenuhnya pecah. Kabut tipis masih menggantung rendah di antara pepohonan ketika Arga mengendalikan kuda tua yang menarik gerobak kayu di belakangnya. Roda berdecit pelan setiap kali melewati batu atau akar yang mencuat dari tanah. Di dalam gerobak, karung-karung kecil berisi hasil dagangan Hendrickson tersusun rapi—herbal kering, kain kasar, alat logam sederhana. Barang-barang biasa. Terlalu biasa untuk menarik perhatian. Ia mengenakan pakaian yang sudah ia sesuaikan semampunya: kaus lengan pendek yang ia kenakan saat pertama kali kesini dibuat berwarna kusam, celana kain tebal, sepatu kulit sederhana. Tapi tetap saja ada yang terasa janggal. Potongannya sedikit terlalu rapi. Jahitannya terlalu simetris. Bagi mata orang-orang Evernight, itu cukup untuk menimbulkan kecurigaan. Ia menghembuskan napas perlahan, mencoba mengingat ulang semua nasihat Hendrickson. Hendrickson tidak bisa ikut kali ini karena dia ada kesibuka
Halaman belakang rumah Hendrickson terletak sedikit lebih rendah dari bangunan utama, seperti cekungan alam yang sengaja dibiarkan apa adanya. Tanahnya padat dan keras, bercampur pasir kasar dan akar pohon tua yang menyembul ke permukaan. Bekas goresan pedang, cekungan pijakan kaki, dan noda gelap yang sudah lama mengering menjadi saksi bahwa tempat itu bukan sekadar halaman—melainkan arena. Arga berdiri di tepi, punggungnya sedikit menempel pada pagar kayu rendah. Dari posisinya, ia bisa melihat keseluruhan lapangan latihan, namun ia merasa seolah berdiri terlalu dekat. Terlalu terekspos. Udara terasa aneh. Tidak berat, tidak panas, tetapi menegang—seperti sebelum hujan badai pecah. Asta dan Saki berdiri berhadapan. Asta bertelanjang dada, hanya mengenakan celana panjang lusuh dan ikat kain di pinggang. Topeng kertas yang selalu menutupi wajahnya tetap terpasang, lubang mata itu gelap dan tidak memberi petunjuk apa pun tentang ekspresinya. Pedang di tangannya tidak besar, tap
Hari-hari setelah Arga tiba di rumah Hendrickson mengalir dengan ritme yang asing baginya, namun perlahan terasa masuk akal. Rumah itu berdiri di pinggir desa terpencil, cukup besar untuk ukuran pedesaan, terbuat dari kayu tua dan batu yang disusun rapi. Di sekelilingnya, ladang hijau terbentang, diselingi pepohonan tinggi yang seolah menjadi penjaga bisu antara desa dan hutan. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan—sesuatu yang jarang Arga rasakan di dunia modernnya yang penuh beton dan suara mesin. Setiap pagi, Arga bangun lebih awal dari kebiasaannya. Bukan karena disuruh, melainkan karena tubuhnya seakan menyesuaikan diri dengan dunia ini. Tidak ada suara alarm, tidak ada notifikasi ponsel. Yang ada hanya kokok ayam jauh di kejauhan dan cahaya matahari yang menembus celah jendela kayu. Hendrickson tidak banyak bicara. Pria tua itu bergerak dengan tenang, langkahnya stabil, matanya tajam namun lelah oleh waktu. Ia memperlakukan Arga bukan sebagai tamu, bu
Di rumah kayu gelap itu, suasana makin pekat seiring cerita Hendrickson mengalir. Angin dari celah dinding membawa aroma tanah basah dan rumput liar, seakan dunia ingin ikut mendengarkan. Arga duduk diam, tangannya menggenggam cangkir teh yang sudah mendingin. Saki memperhatikan setiap perubahan ekspresi Arga, sementara Asta bersandar di tembok, topeng kertasnya menghadap ke lantai seperti sedang mendengarkan juga. Hendrickson berhenti bicara sejenak. Matanya fokus pada Arga, terlalu lama untuk dianggap tatapan biasa. “Ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?” tanya Arga, canggung. Hendrickson menggeleng perlahan. “Bukan bertanya. Aku hanya mengamati.” “Kenapa?” “Ada sesuatu pada dirimu—cara kau bereaksi saat kusebut nama Julian. Cara napasmu tertahan ketika aku bicara tentang ramalan itu.” Ia menyipitkan mata. “Seolah kau bukan hanya tahu… tapi kau terhubung.” Arga merasakan tubuhnya menegang. Asta langsung berdiri menegakkan badan, seakan situasi berubah penting dalam sekejap.






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviews