Pagi hari ponsel Ivander berdering. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali, untuk mendapatkan kesadarannya. Terlalu banyak minum membuatnya jadi pusing dan seluruh badannya terasa remuk.
"Ya mom?" sapanya pada wanita yang berada di seberang sana.
"DARI MANA SAJA KAMU? MENGAPA TIDAK PULANG SEMALAMAN? KELAYABAN LAGI? IVANDER KAMU ITU UDAH DEWASA. KAMU HARUSNYA SUDAH MENIKAH DAN MEMPUNYAI ANAK TAPI MALAH KELAYABAN GA JELAS SEPERTI ITU. MALU SAMA UMUR NAK!" cerocos wanita di sebrang sana.
Ivander menjauhkan ponselnya dari telinganya. Mendapatkan Omelan bertubi-tubi dari sang ibu membuatnya yang baru saja terjaga jadi hilang semangat.
"Hei kenapa malah diam? Dasar anak bandel, bukannya menjawab malah diam," omel sang ibu lagi dari kejauhan.
"Iya mom aku dengar, aku baru bangun mom. Tadi malam aku kecapean makanya aku memutuskan untuk menginap di apartemen,"
"Pulang sekarang juga atau kau tidak perlu datang ke rumah ini lagi!"
Amora begitu marah pada putra sulungnya ini. Anak itu sangat menyebalkan meskipun dia putra kesayangan Amora tapi setiap kali Ivander tidak pulang ke rumah, ia tahu kalau putranya sedang mabuk atau sedang bersenang-senang dengan kupu-kupu liarnya. Itulah sebabnya ia akan selalu marah-marah jika putranya itu tidak pulang semalaman.
"Iya mom, aku pulang," jawabnya kemudian mematikan ponselnya dengan kesal.
***
Sebelum pergi ke kantor Ivander menyempatkan diri untuk bertemu dengan ibunya. Ia ingin menepati janjinya pada ibunya untuk bertemu dengan sang ibu.
"Akhirnya kamu pulang juga, dasar anak nakal. Semalaman ga pulang, bikin orang tua khawatir aja," omel Amora sambil menjewer telinga putranya saat mendapati putranya baru saja pulang.
"Aduh mom sakit. Pulang-pulang malah dijewer begini?" gerutu Ivander sambil mengusap telinganya.
"Momy kan udah bilang kamu itu pulangnya harus ke rumah. Momy tuch khawatir sama kamu. Momy ga mau terjadi sesuatu yang buruk sama kamu," Amora yang tadinya berapi-api memarahi putranya tiba-tiba langsung menyendu. Ia benar-benar khawatir pada putranya itu.
Meskipun sudah berumur tiga puluh tahun tetap saja bagi Amora, Ivander masih putra kecilnya yang akan selalu ia jaga.
"Ada apa ni ribut-ribut?" tanya Antonio yang merupakan sang ayah ketika mendengar keributan antara putra dan istrinya.
"Ini loh, anak ini cari masalah terus dia ga pulang malah Kelayaban ke club dan dia mabuk," jelas Amora pada suaminya.
"Apa? kamu mabuk-mabukan lagi?" tanya Antonio memastikan kembali.
"Apa sich my? Momy tahu dari mana aku mabuk?" kilah pemuda itu pada ibunya.
"Masih mau bohong! kamu pikir momy ga tahu kelakuan kamu di luar sana? Apapun yang kamu lakukan momy tahu! orang-orang momy selalu kasih tahu Momy apa yang kamu lakukan diluaran sana!" ucap Amora dengan nafas memburu. Ia benar-benar kesal pada putranya.
"Jadi selama ini momy nyuruh orang buat mengawasiku?" kesalnya pada sang ibu. Ivander tidak suka kalau hal privasinya dicampuri. Ini sangat menyebalkan.
"Kalau momy tidak menyuruh orang buat mengawasimu, kamu itu bakalan ga bisa diatur," ucap sang ibu lagi padanya.
"Sudah-sudah jangan bertengkar lagi! untuk kali ini Dady maafin kamu, lain kali kalau kamu ketahuan lagi berbuat macam-macam Dady bakal kasih kamu hukuman!" tegas sang ayah padanya. "Sekarang cepat pergi ke kantor, Asisten kamu si Gery tadi bilang ada rapat di kantor," ucap sang ayah, segera Ivander menuju kantor setelah ia meminta maaf pada ayah dan ibunya.
***
Sesampainya di kantor, Ivander memimpin rapat hari itu bersama para kliennya. Meskipun suka seenaknya, tapi dalam urusan pekerjaan Ivander tidak pernah main-main ia sangat serius melakukan pekerjaannya. Bahkan para rivalnya saja takut jika menghadapinya.
Di sela-sela rapat, ia memperhatikan Kiara yang terlihat sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Tidak seperti biasanya gadis itu seperti ini. Biasanya dia selalu fokus dengan pekerjaannya tapi hari ini Kiara terlihat seperti banyak pikiran. Hingga akhir rapat Ivander hanya memperhatikan Kiara.
Selesai rapat, Ivander meminta Zascy untuk menyuruh Kiara ke ruangannya.
"Zascy suruh Kiara ke ruangan ku sekarang juga," titah lelaki itu sambil masuk ke dalam ruangannya.
Zascy langsung mengikuti perintah bosnya. Dia langsung menyuruh Kiara untuk menemui Ivander.
Tok ... tok ... tok.
"Ya, masuk," ucap Ivander dari dalam ruangannya.
"Bapak memanggil saya?" tanya gadis itu menampakkan dirinya ke hadapan atasannya.
"Iya, aku lihat kamu tadi tidak fokus ketika acara rapat tadi. Apa kamu sedang ada masalah?" tanya lelaki itu menatap lekat pada Kiara.
"Ahm tidak pak, saya cuma kurang fokus saja," ucap Kiara sambil mengalihkan perhatian. Ia tidak ingin terlihat ada masalah dihadapan lelaki itu. Ia sangat yakin lelaki itu pasti akan menekannya kalau sampai ia tahu apa yang sedang dipikirkan Kiara saat ini.
"Benar kamu ga ada masalah?" selidik lelaki itu sambil mendekat ke arah Kiara.
"Be- benar pak, saya tidak bohong," kilahnya lagi.
"Lantas bagaimana dengan tawaran saya kemarin?" tanya lelaki itu sambil lebih mendekat lagi pada Kiara. Membuat gadis itu termundur.
"Pak, tolong kasih saya waktu untuk mencari cara mengganti uang bapak," pinta Kiara penuh pengharapan. Saat ini ia sedang mencari cara mendapatkan uang untuk mengganti kerugian mobil Ivander belum lagi keluarganya yang sangat membutuhkan uang.
"Sudahlah, kamu tanda tangani saja surat kontrak yang akan saya berikan padamu, kemudian kamu berkencan dengan saya dan saya akan mentransferkan uangnya ke rekening kamu sekarang juga," bujuk Ivander sambil terus mendekat kepada Kiara membuat gadis itu semakin terdesak.
Kiara semakin termundur hingga punggungnya membentur tembok. Saat itu pula dirinya terkunci oleh Ivander. Kiara semakin merasa takut, tapi lelaki itu malah menaruh kedua tangannya diantara wajah Kiara lalu mencondongkan wajahnya ke wajah Kiara.
"Apa yang bapak lakukan?" tanya Kiara sambil menundukkan kepalanya. Berada sedekat itu dengan Ivander membuatnya merasa sangat gugup. Sementara itu Ivander diam-diam memandangi wajah cantik Kiara dengan sangat intens.
Sial ternyata dia jauh lebih cantik jika dilihat sedekat ini, gumam lelaki itu sambil menolak gejolak di dalam dadanya.
"Pak, kita bicaranya jangan seperti ini," cegah Kiara pada lelaki itu sambil menunduk ke bawah.
"Lihat aku kalau sedang bicara!" bentak lelaki itu membuat Kiara langsung mendongak ke arahnya, karena memang Ivander mempunyai tinggi sangat jauh dari pada Kiara.
Ivander sendiri malah jadi terkesima saat wajah gadis itu berhadapan dengan wajahnya. Jantungnya seketika berdegup kencang. Tidak pernah sebelumnya ia merasakan seperti ini. Padahal ia sudah terbiasa bersama dengan banyak wanita.
"Bagaimana keputusanmu?" desaknya lagi pada Kiara.
"Pak, apa tidak ada opsi lainnya selain berkencan dengan anda?" Kiara mencoba bernegosiasi. Ia benar-benar tidak siap jika harus berkencan dengan pria yang baru dikenalnya dalam beberapa hari ini. Apalagi ia juga atasannya.
"Aku tidak suka bernegosiasi katakan saja apa keputusanmu?" lelaki itu semakin mengintimidasinya. Ivander tahu persis gadis itu tidak punya pilihan lain selain mengikuti kemauannya.
Kiara tidak mampu menjawab ia kembali menunduk. Takut untuk menjawab. Ia masih teringat pada pesan ibunya untuk selalu menjaga dirinya saat di kota dan yang terpenting ia harus menjaga kehormatannya sebagai wanita. Itu hal paling ditekankan sang ibu saat ia akan pergi ke kota. Masih terngiang jelas perkataan sang ibu ditelinganya saat melepas kepergiannya.
"Ayolah, tunggu apa lagi? Kau pasti butuh uang itu bukan? Ibumu sedang sakit dan adikmu juga butuh uang itu untuk biaya sekolahnya. Kau pasti membutuhkannya?" ucap lelaki itu sambil mengangkat dagu Kiara dan menatapnya dengan senyum smirk.
"Dari mana bapak tahu saya butuh uang itu? Bapak menguping pembicaraan saya ya?!" ketus Kiara saat mengetahui atasannya itu mengetahui apa yang menjadi permasalahannya. Kiara memicingkan matanya menatap pria itu.
"Aku tidak menguping aku hanya tidak sengaja mendengar saat kau menelpon adikmu," ucap Ivander terbata. Ia tidak berbohong karena memang ia tak sengaja lewat di ruangan Kiara dan mendengar pembicaraannya. Kiara mendengus kesal.
"Maaf aku tidak sengaja, tapi intinya aku tidak ingin membahas tentang keluargamu aku hanya mau kau memberikan jawaban untuk keputusanmu," Ivander melanjutkan ucapannya. Ia tidak ingin terpojok dan tidak mau kalah berdebat.
"Sa... saya..."
"Tanda tangani kontrak itu sekarsng juga. Aku akan mentransfer lima ratus juta ke rekeningmu saat ini juga jika kau setuju. Kau pasti butuhkan uang itu bukan?" tanya lelaki itu semakin tidak sabaran.
Kiara kembali berpikir. Lima ratus juta? Itu bukan nominal yang sedikit. Jika ia mendapatkan uang sebanyak itu sekarang juga dia pasti akan bisa membantu keluarganya di kampung.
"Baiklah aku setuju," jawab gadis itu singkat. tanpa berpikir panjang ia langsung menyetujui. Bukan karena nominal yang ditawarkan oleh Ivander tapi karena ia sangat membutuhkan uang itu.
Lagi pula ia hanya akan berkencan sekali saja, dan pasti atasannya itu tidak akan berbuat macam-macam padanya. Palingan cuma sekedar menemaninya makan atau pergi ke sebuah acara. Mana mungkin ia akan meminta lebih, Kiara kan bukan tipenya.
"Kau yakin?" tanya Ivander sambil mengusap wajah Kiara lembut membuat gadis itu bergidik ngeri. Kiara hanya mengangguk.
"Baiklah kalau begitu, tunggu disini," lelaki itu menelpon Zascy dan memintanya untuk membawakan surat kontrak yang akan ditandatangani Kiara.
"Tuan ini surat kontrak yang anda minta," ujar Zascy yang membawakan surat kontrak pada Ivander. Lelaki itu langsung mengambil surat itu dan membawanya ke dalam ruangan.
"Tanda tangani surat itu sekarang juga!_ tegasnya pada gadis itu. Kiara langsung mengambil surat itu.
"Sebaiknya baca baik-baik sebelum kau menandatangani surat itu, jangan sampai nanti kau akan merasa aku menjabkmu," Ivander mengingatkannya sebelum Kiara menandatangani surat itu.
Kiara sudah lelah berlama-lama di ruangan itu. Tanpa banyak bertanya dan membaca terlebih dahulu, Kiara langsung menandatangani surat itu.
"Saya sudah menandatanganinya pak," ucapnya sambil menyerahkan dokunen itu pada Ivander.
"Apa kau yakin tidak membacanya terlebih dahulu?" tanya lelaki itu lagi padanya.
"Tidak, aku rasa itu tidak perlu. Aku percaya pada anda," ujar wanita itu. Ivander tersenyum miring memperhatikan wanita itu.
Ternyata dia memang mudah sekali dibodohi. Cukup dengan menekan mentalnya, gadis itu langsung menurut.
"Baiklah kalau begitu keputusanmu. Besok kau harus berkencan denganku," ingatnya pada Kiara.
"Hmm baiklah, sekarang saya sudah boleh keluar dari ruangan ini pak?" tanyanya sambil menatap Ivander. Lelaki itu hanya mengangguk dan setelahnya Kiara langsung keluar dari ruangan Ivander.
Sungguh, berlama-lama didekat pria itu hanya membuat emosinya semakin terkuras habis. Kiara baru merasa lega saat ia benar-benar telah berada diluar ruangan atasannya, tak berapa lama kemudian ponselnya berbunyi, ada suara notifikasi masuk.
Kiara langsung melihat layar ponselnya dan betapa terkejutnya dia, nominal sejumlah lima ratus juta telah masuk ke dalam rekeningnya dengan pengirim atas nama Ivander Revanda.
Seorang wanita tengah duduk di sofa kesayangannya, ia masih kesal dengan apa yang terjadi di pesta tadi.'Gue akan buat perhitungan sama cewek sialan itu, gue pasti akan menyingkirkan cewek rendahan seperti itu!' gerutu gadis itu dalam hatinya.Bergegas ia mengambil ponsel dan menghubungi seseorang."Halo Robert, aku punya tugas untukmu!" titah wanita itu pada seorang pria di seberang sana."Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda, Bos?""Aku akan mengirimkanmu foto seorang wanita dan kau harus membawa wanita itu ke tempat yang aku tentukan. Jangan sampai kau dan teman-temanmu gagal mendapatkannya!" titahnya lagi pada orang yang bernama Robert itu."Baiklah, Nona. Aku akan segera menyuruh anak buahku untuk menangkap wanita itu!"Selanjutnya, pembicaraan diantara mereka berakhir dan tidak berapa lama kemudian, bunyi notifikasi masuk terdengar. Robert segera membuka layar ponselnya dan terlihat dengan jelas wajah Sheila di sana. Lelaki itu segera memanggil para anak buahnya."Hei, kalian!
'Sial, kenapa juga si Daniel pake acara membela dia di hadapan semua orang? gue jadi malu gara-gara tu cewe,' kesal Vania sambil mengepalkan tangannya. Ia tidak terima dengan sikap Daniel yang membentaknya dihadapan orang ramai."Gimana rasanya hmm? Lo pikir kakak gue mau sama orang kayak Lo? Asal Lo tahu, cewek yang baru saja Lo coba permalukan tadi itu adalah calon kakak ipar gue. So... ga usah cari masalah sama dia!" sekonyong-konyong Cheryl datang memberikan peringatan pada Vania."Lo siapa hah?" tanya Vania sambil menatap tak suka pada Cheryl."Gue adiknya Daniel!" bentak Cheryl pada gadis itu hingga membuatnya terdiam. Semua orang memperhatikan Vania karena keributan kecil yang ia perbuat barusan.Merasa kesal Vania menghentakkan kakinya kemudian melangkah keluar dari acara itu. Ia merasa malu karena sikap Cheryl padanya."Waw, untuk pertama kalinya ku lihat kau berbuat baik," ucap seorang pria sambil bertepuk tangan. Sontak saja hal itu membuat Cheryl menoleh ke arah sumber sua
Daniel membawa Sheila ke tengah-tengah pesta yang begitu mewah dan megah, Sheila merasa sedikit canggung dan gugup saat mengikuti pesta."Sheila, ayo sini. Kenapa kamu malah bengong seperti itu?" panggil Daniel pada karyawannya itu."Pak, apa saya ga salah tempat? saya merasa tidak pantas di acara ini," ucap Sheila merasa gugup berada dikeramaian."Acara ini dibolehkan untuk siapa saja. Termasuk kamu Sheila. Saya sengaja mengajak kamu ke sini untuk mengenalkan kamu pada relasi bisnis saya. Supaya mereka tahu, ada karyawan saya yang bisa saya andalkan dalam proyek saya nanti," jelas Daniel pada Sheila.Daniel sangat mengerti, sebagai orang baru Sheila pasti merasa gugup bertemu dengan para tamu yang elegan dan super mewah, tapi Daniel selalu memberikan semangat pada Sheila untuk mempercayakan dirinya akan tetap menjaga Sheila di acara itu."Tapi pak...""Sudah, jangan membantah. Ikuti saja perkataan saya," tegas Daniel yang tidak ingin mendengar alasan dari Sheila lagi.Acara syukuran
Hari pertama bekerja, Sheila begitu bersemangat. Ia datang lebih awal dan telah mempersiapkan semuanya."Sheila, kamu sudah datang?" sapa Daniel pada gadis muda yang berada di ruang kerjanya."Ah iya pak, kebetulan saya tidak banyak kegiatan di rumah. Jadinya saya berinisiatif untuk datang lebih awal," jawab Sheila dengan santainya."Oh baiklah. Bagaimana keadaan ibumu, bukankah kemarin kamu bilang ibumu harus dirawat di rumah sakit?" tanya Daniel kembali. Ia masih ingat ketika beberapa hari yang lalu Sheila pernah mengatakan kalau ia butuh biaya untuk pengobatan ibunya."Ibu saya, sudah lebih baik pak. Kemarin selesai mendapatkan kabar kalau saya akan bekerja di sini dan berada lebih dekat dengan beliau, keadaannya menjadi lebih baik dari sebelumnya," tukas wanita muda itu pada atasannya."Syukurlah, senang mendengar keadaan ibumu baik-baik saja," ujar Daniel padanya."Terimakasih pak. Saya juga mau berterimakasih karena anda telah bersedia mengizinkan saya bekerja di perusahaan anda
Daniel baru saja tiba di depan perusahaannya dan memarkirkan mobilnya. Ia bergegas menuju ke ruangannya. Di sana telah hadir Sheila yang duduk di sofa tamu bersama sang asisten. "Apa aku terlambat?" tanya Daniel pada Yudistira sambil melirik ke arah Sheila dan menyapanya dengan senyuman. Gadis itu juga membalas tersenyum padanya. "Sedikit bos, pihak investor hampir saja membatalkan kerja sama karena anda belum datang juga sedari tadi," jelas Yudistira kembali. Daniel hanya menghela nafas berat sambil menggaruk alisnya yang tidak gatal. Daniel tahu ini memang sebuah kesalahan yang hampir saja menggagalkan proyek besarnya. "Maafkan saya tuan-tuan, karena kecerobohan saya pekerjaan anda jadi terganggu," sesal Sheila yang di sambut dengan tangan yang terangkat dari Daniel memberi kode untuk Sheila tidak memberikan tanggapan. "Ini masih belum terlambat, aku masih bisa ikut dalam pertemuan itu, dan nona terimakasih sudah bersedia datang ke sini. Ini ponselmu," ujar Daniel sambil memberik
Gery yang didesak oleh Ivander, akhirnya mengantarkan Ivander ke tempat orang yang dimaksud. Dalam perjalanan, tidak begitu banyak pembicaraan di antara keduanya, hanya Gery merasa sedikit gugup. Sesekali ia menoleh pada Ivander yang tampak tenang didekatnya. "Ada apa Ger, kok lo kayaknya mencemaskan sesuatu?" tanya Ivander heran memperhatikan sikap sahabatnya. "Ah, tidak. Gue ga kenapa-napa," jawab Gery mencoba tenang. "Gery, kok kayaknya gue tahu ni jalan yang kita lewati?" Ivander semakin mengetahui arah tujuan mereka saat ini. "Tenang Van, sebentar lagi Lo bakalan tahu siapa penolong perusahaan kita, dan gue yakin Lo bakal kaget kalau udah ketemu orang itu," pungkas Gery sambil mengarahkan mobilnya ke suatu parkiran yang terletak tak jauh dari halaman depan kantor yang mereka tuju. Ivander semakin yakin, sepertinya ia tahu kantor siapa yang sedang dituju Gery, tapi untuk menghilangkan rasa penasarannya ia tetap mengikuti arahan Gery. Betapa terkejutnya Ivander saat ia sampai