Menjadi seorang istri tapi dengan label adik itu terasa sangat menjengkelkan. Bayangkan saja, ketika suami yang sudah sejak beberapa hari ini kau tunggu kabarnya, kini pulang dengan santai sambil membawa oleh-oleh yang katanya semuanya untukku. Hei, aku ini bukan lagi adik kecil yang perlu oleh-oleh saat kamu pergi jauh. Bukan juga senyum tengil yang kini seolah menjadi hal wajib ketika ada bersamaku. Aku benci dia. Aku benci sikapnya. Bahkan, kini aku sangat membenci senyumnya. Aku benci semua hal tentang dirinya.Aku mengurung diri di dalam kamarku sendiri. Aku tak mau lagi berbagi kamar dengannya. Biar saja dia kembali ke kamar lamanya. Toh, setelah maupun sebelum menikah sama saja bagiku. Dia tetap Raihan yang sibuk dengan segala kegiatannya.“Sa, ayo makan malam. Suami kamu sudah nungguin tuh dari tadi. Masa Ibu yang harus nemenin, sih?” Ibu mengetuk pintu kamarku pelan. “Nissa nggak lapar, Bu. Ibu sama Kak Raihan makan duluan saja.” Aku bergeming. Aku tak mau ke sana. Untuk ap
Dio datang ke rumah bersama Dina. Aku yang baru saja akan pergi akhirnya mengajak mereka ke cafe tempat Kak Raihan dan Saskia janjian bertemu. Sesampainya di sana, aku tidak menemukan keberadaan mereka. “Kamu yakin mereka janjian di sini?” tanya Dina tak sabar karena dia yang paling mengerti perasaanku saat ini.“Aku sih dengernya begitu, tapi nggak yakin juga karena Kak Rai kan sudah jalan satu jam sebelum kita ke sini,” jawabku sambil masih mencoba menilik seisi cafe.Dio berjalan menuju toilet yang berseberangan dengan toilet wanita. Aku pikir dia hanya ingin ke kamar kecil. Namun, tidak lama kemudian dia muncul dengan wajah memelas.“Dia nggak ada di toilet juga,” ucapnya polos membuatku dan Dina serempak tertawa.Bocah ganteng ini sungguh benar-benar polos. Dia bisa dengan lugunya berpikir mereka berdua ada di toilet. Astaga, apakah benar ini orang yang sama dengan juara kelas yang kukenal dulu?“Yakali mereka ketemuan di t
Malam ini, Ibu kembali menginap di rumah Kak Amara. Beliau bilang, Kak Amara sedang sakit dan Kak Dodi masih di luar kota. Ibu tak tega meninggalkannya sendirian mengurus bayi dan kedua kakaknya yang hiperaktif itu.Ada baiknya Ibu tak ada di rumah. Malam ini akan kupastikan Kak Raihan menjawab pertanyaan yang selama ini mengusik hidupku. Jika benar hubungan ini sebatas hubungan di atas kertas, maka aku akan memperjelas situasinya dan mengajukan beberapa syarat, salah satunya tentang perceraian. Entah bagaimana respons Kak Raihan menanggapi semua syarat dariku, yang pasti aku mau hubungan yang jelas. Aku juga ingin segera move on dan mulai menata kembali hatiku supaya bisa membuka hati untuk yang lain. Sudah cukup rasanya aku bertahan selama ini.“Aku mau bicara,” ujarku sambil duduk di sisi kanan sofa ruang TV, sementara dia berada di sisi kirinya.“Kenapa?” tanyanya seolah tanpa dosa.Aku ingin membahas tentang kejadian tadi siang, tapi Kak Rai malah terl
“Kamu butuh yang lain?” Suara Kak Raihan membuyarkan lamunanku. Aku tesentak. Bisa-bisanya aku melamun di tengah-tengah supermarket ini dan mengabaikan Kak Raihan yang entah sudah berapa kali bertanya kepadaku. Dua bungkus nugget yang dia sodorkan tadi aku terima dan memasukkannya ke keranjang. Seminggu setelah keputusan itu, kami berusaha bersikap seperti biasa. Sisa waktu ini akan kami habiskan dengan tanpa masalah, semoga. Kami kembali menjadi saudara yang saling menyayangi sejak saat itu, dan aku merasa cukup.“Mau apa lagi? Ada yang kurang?” tanya Kak Raihan lagi karena tadi aku hanya terdiam saja.“Nggak ada, Kak. Eh, tapi ada satu barang yang mau kubeli sebelum pulang nanti. Apa Kakak bisa antar aku ke sana?” Aku perlu membeli beberapa baju dalam untuk persiapan seminar nanti. Lucu saja kalau sampai teman sekamarku nanti tahu kalau baju dalamku sudah belel semua.“Oke.” Kak Raihan berjalan ke kasir dan mengantre untuk membayar belanjaan kami ya
“Kamu butuh yang lain?” Suara Kak Raihan membuyarkan lamunanku. Aku tersentak. Bisa-bisanya aku melamun di tengah-tengah keramaian ini dan mengabaikan Kak Raihan yang entah sudah berapa kali bertanya kepadaku. Dua bungkus nugget yang dia sodorkan tadi aku terima dan memasukkannya ke keranjang. Seminggu setelah keputusan itu, kami berusaha bersikap seperti biasa. Sisa waktu ini akan kami habiskan dengan tanpa masalah, semoga. Aku rasa sudah lebih dari cukup hubungan kami sebatas kakak-adik seperti dulu.“Mau apa lagi? Ada yang kurang?” tanya Kak Raihan lagi karena tadi aku hanya terdiam saja.“Nggak ada, Kak. Eh, tapi ada satu barang yang mau kubeli sebelum pulang nanti. Apa Kakak bisa antar aku ke sana?” Aku perlu membeli beberapa baju dalam untuk persiapan seminar nanti. Lucu saja kalau sampai teman sekamarku nanti tahu kalau baju dalamku sudah belel semua.“Oke.” Kak Raihan berjalan ke kasir dan mengantre untuk membayar belanjaan kami yang sungguh a
Aku tidak tahu apa salah hingga masih belum mendapat jodoh di usiaku yang lebih dari seperempat abad. Randi bukanlah cowok pertama yang mengisi hatiku. Ada Beni saat SMA, Ramon saat awal kuliah dan terakhir Randi. Mereka semua memutuskan sepihak hubungan kami tanpa alasan yang jelas."Kamu sih, Sa! Cowok mana yang tahan pacaran lama tapi nggak dapet apa-apa," cecar Dina, sahabatku sejak SMA.Aku mengalihkan pandangan dari novel ke wajah cuek Dina. Masih mencoba mencerna kata-katanya, akhirnya aku bertanya, "Maksud kamu?""Masa nggak ngerti, sih! Kamu inget-inget, deh. Beni, Ramon, dan Randi punya alasan yang sama waktu mereka mutusin kamu. Nggak cocok! Padahal karena kamu menghindari kontak fisik dalam bentuk apa pun. Boro-boro cium, gandengan tangan aja kamu nolak." Aku tercengang mendengar kata-kata Dina yang tak masuk akal. Meski dalam hati, aku mengiyakan asumsinya itu."Apa pacaran itu harus begitu? Pacaran buatku tujuannya cuma satu, menikah. Toh nanti saa
Seminggu berselang setelah malam lamaran tak terduga itu. Masih teringat dengan jelas senyum manis dari wajahnya, yang hingga kini masih membuat degup jantung tak karuan. Malam itu, diriku yang bar-bar berubah menjadi pendiam. Tak ada suara cempreng yang selalu berteriak karena kalah beradu argumen dengannya. Tak ada juga bantal yang melesat dari tanganku menuju wajah bulat berlesung pipi itu.Aku sibuk meredam suara debaran jantung yang terlalu kencang, seolah takut orang lain pun bisa mendengar. Sesekali melirik ke arah pria berkemeja biru yang juga tampak gelisah. Mungkin ia pun malu, sebagaimana diriku saat itu."Hayo ... melamun apaan, nih? Pasti lagi mikirin mau bulan madu ke mana, ya?" Sebuah suara diiringi tepukan ringan pada bahuku sontak membuat lamunan tadi buyar seketika. Gadis itu mengerling ke arahku."Apaan, sih? Sah aja belum, udah mikir bulan madu." Aku berpura-pura sibuk dengan map yang masih berserakan di meja, berharap Dina percaya dan tak m
"Kita mampir dulu, ya? Lapar," rengek Kak Rai sambil mengelus perut six pack-nya dengan satu tangan, sedang yang lain memegang kemudi."Kan tadi sebelum pergi kita makan dulu. Masa makan lagi?" Aku menatapnya bingung. Tapi, dia malah terkekeh geli."Kalau orang nervous pasti bawaannya lapar mulu." Dia mengedipkan sebelah matanya ke arahku."Nervous kenapa?""Lah, dia pake nanya segala! Kok, kesannya cuma aku yang antusias sama pernikahan ini? Kamu nggak suka, ya?""Kalau gitu kita makan di situ saja," kataku seraya menunjuk sebuah mall yang tak jauh dari posisi kami. Aku sengaja tak menjawab pertanyaannya. "Hmm ... ok!"Kak Rai berbelok masuk ke arah gedung bertingkat itu. Ada gurat kekecewaan di wajahnya yang aku tak tahu karena apa.Kami memilih cafe bernuansa Sunda, karena memang Kak Rai suka dengan makanan khas Si Kabayan itu. Baru saja memasuki cafe, tiba-tiba sebuah suara memanggil nama Kak Rai dari meja yang terletak di sudut ruangan."Rai